Bagian 1
"Cla, semalem di samping rumah gue ada duda!"
"Hah?! Serius lo?!" Cewek bernama Clara itu memekik kesenangan. Merasa tertarik dengan topik yang dibawakan oleh sahabatnya, Manda.
"Iya gue serius, ganteng banget gilak! Dia duda beranak satu," katanya semakin membuat Clara gencar mendengarkan.
"Fiks! Gue mau main ke rumah lo terus, titik."
"Tapi dia adanya kalo malem doang, Cla." Manda menambahkan, membuat semangat Clara seketika menciut.
Tetapi Clara tidak menyerah, dia akan terus menanyakan tentang asal-usul duda tampan yang telah dideskripsikan oleh Manda, sahabat sebangkunya.
"Namanya siapa, Man?" Clara bertanya, pupilnya terlihat membesar di mata yang cokelat itu.
"Ngh, kalo gak salah namanya Rain Reino."
"A--"
Clara baru saja ingin membalas ucapan Manda, tetapi wali kelas mereka datang dan berhasil memotong ucapannya yang belum sepenuhnya keluar. Clara memasang wajah dongkol, kenapa disaat-saat terasik seperti ini selalu ada yang mengganggunya?
"Pokoknya, istirahat lo harus ceritain semuanya ke gue!" Clara berseru seraya berbisik, sahabatnya hanya mengangguk mengiyakan. Akan berbahaya jika tidak dituruti, bisa-bisa buku Manda yang menjadi korban kekerasan dari rasa penasaran Clara yang belum ditersampaikan.
Waktu istirahat tiba.
"MANDAAAAA!!!" Clara berteriak, memanggil sahabatnya yang sedang membaca buku di ruang perpustakaan sekolah, mengisi jam istirahat.
Manda melotot, dia menatap tajam mata cokelat itu.
"Astaga, jangan berisik!" Manda berbisik memperingati Clara dari arah pintu masuk.
Cewek itu mulai menahan nafasnya karena malu, seisi perpustakaan memandang ke arahnya dan juga Clara yang sudah menempati kursi di sebelah kirinya.
"Lo udah janji mau ceritain Durin ke gue!" Tagih Clara, perempuan itu tengah menatap sengit ke arah sahabatnya yang justru menghela napas.
"Namanya Rain, Cla, bukan Durin." Manda meralat ucapan Clara.
"Durin itu Duda Rain ... yaudah ceritain sekarang!" Paksa Clara, perempuan keturunan Indonesia - Belanda itu langsung menumpu kedua tangannya di atas meja, siap mendengarkan cerita Manda yang sudah menguras habis ketidaksabaran seorang Clara Diana.
Manda menghela napasnya. "Namanya Rain Reino, duda beranak satu, istrinya pergi ninggalin dia."
"Udah, segitu doang?" Clara bertanya sambil berbisik, takut mengganggu penghuni lain yang siap menerkam Clara karena jeritannya yang tadi berhasil mengganggu.
Manda mengangguk.
"Istrinya kenapa ninggalin dia, Man?
"Gue gak tau." Manda menjawabnya dengan santai, mulai bosan karena dia tahu Clara akan banyak bertanya nantinya.
"Anaknya cewek ato cowok, tingginya berapa sentimeter dan kulitnya warna apa ...?"
"... umurnya berapa, Man. Terus dia asik gak kalo diajak main ...?"
"... lucu juga gak, Man?"
Manda menghela napasnya kembali, benar dugaannya jika Clara akan menanyakan pertanyaannya sekaligus. "Gue gak tau, Cla, gue dapet informasinya aja dari temennya Rain, si Bima."
"Yaudah bagi nomor Bima."
Manda lagi-lagi menghela napas, perempuan keturunan Indonesia asli itu tidak lagi menghiraukan Clara yang entah sedang memikirkan apa. Tiba-tiba saja, Clara diam, tidak membuat Manda kebingungan, justru perempuan manis itu merasa lebih damai walau sebentar lagi akan ada pertanyaan beruntun yang akan datang.
×××
"Rey sayang ... anak Papa mau makan apa?" Rain bertanya, Pria tampan berwibawa itu sedang mengusap kedua pipi anaknya yang berisi. Sesekali mencubitnya sampai anak kecil berusia lima tahun itu meringis kesal.
"Papa ...."
"Iya sayang, kenapa? Ayo, cepat katakan kamu ingin apa, Papa mau lanjut kerja supaya bisa ajak Rey berkeliling dunia." Rain tersenyum hangat, membuat anaknya ikut tersenyum tetapi tidak bertahan lama.
"Papa jangan kelja, Yey maunya jalan-jalan ke Dufhan baleng Papa," lirih Rey, membuat Rain menghela napasnya. Kalau sudah begini Rain bisa apa? Tetapi, pria yang sudah berstatus sebagai single parent itu mencoba tersenyum tenang. Dia tidak mau melihat anaknya kecewa.
"Rey, Papa gak bisa ajak Rey jalan-jalan sekarang." Rain mencoba berbicara lembut, tetapi Rey tidak terpengaruh, anak kecil itu justru menangis tanpa suara.
"Yey maunya jalan-jalan, Papa. Yey mau jalan-jalan baleng Papa ...."
Rain dibuat bingung, dia harus pergi bekerja hari ini karena ada laporan mengenai Apartemen miliknya yang mengalami kerugian besar. Jika Rain memilih untuk pergi bersama Rey, maka Apartemen miliknya yang akan menjadi taruhan.
"Gimana kalo Rey ke rumah Om Bima dulu?" Rain memberi sebuah tawaran. "Setelah Papa selesai kerja, Papa janji akan ajak Rey jalan-jalan, gimana sayang?" Lanjutnya.
Rey berpikir, anak berusia lima tahun kurang itu tersenyum lucu, kepalanya dianggukan membuat Rain bersorak ria di dalam hatinya. Kemudian Ayah dan Anak itu pergi menuju rumah sahabatnya yang tak lain adalah Bima.
×××
Bel sudah berbunyi, membuat Clara dan Manda segera melangkah menuju parkiran, tetapi dering ponsel milik Clara berhasil menghentikan langkah keduanya.
"Halo," ucap Clara.
"Sayang, kamu pulang ke rumah Manda dulu ya? Mama ada acara di rumah sama temen-temen arisan, gak pa-pa 'kan sayang? Ini penting banget soalnya." Suara dari sambungan telepon itu membuat Clara mencibir pelan. Merutuki Mamanya yang lebih mementingkan acara arisan dari pada anaknya sendiri.
"Iya." Akhir Clara, dia memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Lalu melihat Manda yang kini berdiri di samping kirinya.
"Siapa, Cla?"
"Nyokap ... Man, gue pulang ke rumah lo ya?"
"Segala pake acara izin sih lo, Cla, biasanya juga asal masuk, hahaha." Manda tertawa hambar, membuat Clara mendesis lalu menaiki motor maticnya diikut pula oleh Manda yang menjadi penumpang.
Mereka berdua segera menuju rumah Manda dengan waktu tempuh lima belas menit jika jalanan tidak padat merayap.
×××
"Rey, Papa pergi kerja dulu ya." Rain mencium pipi anaknya ketika dia sudah berada di rumah Bima, menitipkan anaknya di sana.
"Papa jangan lama-lama keljanya, Yey bosan kalo halus main mulu sama Om Bimo."
"Bima Rey, bukan Bimo!" Bima meralat ucapan anak dari sahabatnya tersebut.
Rain hanya tertawa kemudian pergi, memasuki mobil hitam mengkilat yang kini siap untuk dijalankan. Rey, anak itu melambai-lambaikan tangan mungilnya, setelah mobil berjalan menjauh, Rey langsung menatap Bima dengan tatapan manja.
"Om," panggil Rey.
"Iya Om tau, ayo naik." Bima berjongkok membelakangi Rey seakan tahu apa maksud dari ucapan Reyhan, lalu anak berusia lima tahun itu menaiki punggungnya. Mereka keluar pagar untuk menuju warung kecil yang berada di depan rumah Bima.
"Rey mau jajan apa?" Bima bertanya, menurunkan Rey yang sekarang sedang berdiri di hadapan banyak makanan dan minuman warung kaki lima.
Reyhan nampak melihat-lihat banyak makanan ringan yang tergantung rapih di dinding. Tapi fokus Rey hanya pada salah satu minuman seduh yang jika dinikmati tidak akan mengecewakan.
"Yey mau itu," kata Rey sambil menunjuk salah satu bungkus minuman yang siap diseduh. Bima langsung menatap sesuai arah yang ditunjukan Rey.
"Rey mau es teh jus, atau es teh sisri?" Bima bertanya. Melihat kedua minuman itu saling digantung bersampingan.
Rey yang ditanyakan mulai mengerucutkan bibir mungilnya, sekaligus menaruh satu tangan kanannya untuk menumpu dagunya yang tipis. "Yey mau es teh jus aja Om."
Bima mengangguk. "Bu, es teh jusnya dua ya, sama cireng gorengnya lima belas ribu."
"Siap!" Kata Bu Asri.
Setelah itu, Rey dan Bima memilih untuk bersinggah di halaman depan rumah Bu Asri sambil menunggu pesanan mereka.
"MANDAAA GUE MAU BELI ES DULU AH!"
Bima menoleh ke setiap arah, mendengar teriakan yang begitu berdengung di telinganya membuat Bima dan Rey saling menoleh. "Siapa Om?"
Bima hanya mengangkat bahunya. Bima belum pernah mendengar suara gadis bersuara berisik seperti itu.
"IYA CLARAAAAA!"
Bima memejamkan matanya, kalau suara tadi dia kenal! Itu adalah suara Manda, tetangganya, dan pasti suara sebelumnya adalah milik temannya Manda.
"BU ASRI, ES TEH JUSNYA DUA YAAA!" Clara berteriak, membuat Bu Asri yang sedang menggoreng cireng pesanan Bima balas berteriak dari dalam.
"SIAP! TUNGGU YA NENG!"
Rasanya, Bima ingin tenggelam saja.
"Belisik Tante." Rey menegur, membuat Clara, Manda dan Bima menoleh ke arahnya.
"Eh, anak siapa ini cantik amat," kata Clara, kemudian dia melihat Bima, lalu melihat ke arah Manda dan mulai berbisik pelan dengan mata yang tak luput dari Pria yang bersama Rey. "Man, itu Bapaknya?"
Manda langsung menggeleng cepat.
Kemudian Manda balas berbisik yang tak kalah pelan, membuat Bima curiga setengah mati. "Itu Bima, temennya si Duda, dan anak itu anaknya si Duda yang lo incer, Cla."
Clara melotot, dia memberikan senyuman penuh arti, kemudian memandang ke arah Rey yang kini sedang didekap oleh Bima. Pria itu tahu kalau akan ada hal yang tidak beres nantinya.
Clara berjalan mendekat ke arah Rey. Rey biasa saja, tetapi Bima yang was-was.
"Jangan mendekat!" Kata Bima. Clara langsung berhenti dan menatap Bima dengan pandangan meremehkan.
×××
"Rey, Papanya mana?" Clara bertanya sambil mengelap sisa ice cream di pipi Rey, sedangkan anak berusia lima tahun itu tengah menikmati ice milik Clara karena miliknya sudah habis lebih dulu hingga tidak tersisa.
"Pa--pa kelja, Tan--te," jelas Rey disela makannya, Clara mulai tersenyum penuh arti. Setelah kejadian di warung tadi, Clara langsung merebut Rey dari Bima dan Pria itu tidak keberatan.
Di mana Bima sekarang? Dia tengah berada dikasur, menikmati tidur siangnya karena Clara telah mengambil alih untuk menjaga Rey, anak dari Duda tampan yang dia cintai, setelah Clara mengiming-imingkan bahwa dia akan menjaga Rey dengan baik.
Walau kenyataannya memang benar, Clara pasti akan menjaga Rey dengan penuh bahagia dan keikhlasan hati yang pasti memiliki niat tersirat.
"Emang Papa kerja di mana, cantik?" Clara mencium puncak kepala Rey dengan sayang. Wangi rambut pendek Rey benar-benar memabukan Clara. Gimana Bapaknya ya? Clara membatin sambil cekikikan sendiri.
"TANTE! YEY ITU COWO BUKAN CEWE!"
Clara mengerjapkan matanya, menatap kearah Rey yang telah mengerucutkan bibir kecilnya dengan lucu. Clara terpesona dan baru menyadari akan satu hal. "K--kamu co--cowok, Rey?"
Rey mengangguk menggemaskan.
Clara langsung berjongkok di hadapan Rey dan menatap manik mata hitam milik anak laki-laki berusia lima tahun tersebut. "Rey, nama lengkap kamu siapa sayang? Maaf ya Tante Clara baru tau kalo kamu itu cowok, hehehe."
"Yeyan Yeino, Tante." Rey tersenyum, menyebutkan nama panjangnya memakai gaya bahasa anak kecil yang cadel akan huruf 'R. "Tante gak usah minta maaf, kata Papa olang yang halus minta maaf itu olang yang punya salah dan Tante Cyaya gak punya salah sama Yey." Rey melanjutkan ucapannya. Membuat sosok Clara menjadi sangat kagum pada Rey, jika bocah sekecil ini bisa mengucapkan kata dewasa seperti itu, kira-kira bagaimana dengan Papanya, ya?
Clara jadi salah tingkah sendiri, kemudian dia menatap Rey dan tersenyum. "Terus nama lengkap kamu siapa sayang? Rey ... Reyan Reino?" Clara menebak.
Rey menggeleng lucu, pipi berisinya sampai ikut bergetar dan itu sangat terlihat menggemaskan di mata Clara Diana. Rey langsung menggerakan jari telunjuknya yang mungil ke kanan dan ke kiri. "Bukan Tante Cyaya."
"Terus siapa dong? Tante gak bisa terjemahin bahasa anak tampan soalnya." Clara meledek, menoel pipi Rey dengan gemas.
"Yey--han Yeino." Rey mengucapkan namanya dengan sulit.
"Reyhan Reino, bener?" Clara menatap Rey dengan dahi berkerut, Rey mengangguk lucu. Jadi, nama anak laki-laki itu adalah Reyhan Reino.
×××
"Luna, saya langsung pulang, Rey sudah menunggu." Rain tersenyum kepada sekretarisnya yang tengah merapihkan dokumen sehabis meeting tadi.
"Eh-- engh, Pak, maaf." Luna menatap Rain dengan bingung, lalu mengapit kedua lengannya sendiri. Dia menjadi kikuk dan sulit bicara ketika di hadapkan sesosok Duda yang mulai memperhatikannya. "B-besok saya mau izin, Pak."
"Kamu sakit, Lun?" Rain bertanya, dia merasa tidak biasa dengan sikap sekretarisnya saat ini.
Luna tersenyum canggung, perempuan cantik itu tidak bisa menahan rasa mualnya. Luna ... sepertinya masuk angin.
"Uekk!"
"Luna." Rain bingung.
"Uekk!"
"Saya antarkan kamu pulang ya Lun," tawar Rain. Luna menggeleng, menolak ajakan Rain yang statusnya adalah pemilik apartemen di tempatnya bekerja.
"Gak perlu, Pa--uekk!" Luna semakin menjadi-jadi, Rain tidak tega melihat karyawan kepercayaannya seperti ini. Kemudian, Rain membopong Luna menuju klinik terdekat. Luna pun tidak menolak karena tubuhnya memang sudah terlalu lemas untuk berjalan.
Di lobi, para security langsung membukakan pintu mobil milik Rain untuk Luna dibagian penumpang dan tak lupa membukakan pintu juga untuk Rain, selaku pemilik apartemen tempatnya bekerja.
Mereka melesat ke klinik 24 jam dalam waktu tempuh kurang lebih dari dua menit.
Hingga sesampainya di klinik, Luna langsung di bawa oleh perawat yang bekerja secara shift malam ke dalam ruangan khusus.
Rain pun langsung mendudukan diri dibangku tunggu yang tak jauh dari sana, menunggu Luna seraya melihat jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya yang putih kokoh.
Pukul 21:43 P.M.
Rain langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, sampai Duda tampan itu lupa akan janjinya terhadap Rey. Pakaian rapih berjas hitam yang Rain kenakan mampu mengantarkan Dokter yang baru saja keluar dari ruangan tempat Luna dibawa menuju kearahnya.
"Selamat malam, Pak. Anda suaminya?" Tanya Dokter tersebut.
Rain menatap laki-laki dihadapannya, melihat nametag yang dikenakan oleh Pria berjas putih tersebut.
dr. Hendri Ressa
"Malam kembali, Dok. Maaf saya hanya rekan kerjanya." Rain membalas dengan seulas senyum manisnya. "Bagaimana dengan keadaan Luna, Dok?"
Dokter itu mengembangkan senyumnya juga. "Nyonya Luna baik-baik saja, termasuk bayi yang dikandungnya," ujar dr. Hendri dengan senyum yang tak pernah lepas di bibirnya.
Rain mengerutkan alis setelah dr. Hendri pamit untuk pergi.
"Luna hamil?" Rain bermonolog. "Dia ... belum menikah."
×××
"Om Bimo, Papa ke mana?" Rey bertanya, menatap ke arah Bima dengan raut wajah lelahnya setelah diajak main oleh Clara yang sekarang menghilang bagai ditelan bumi. "Om ... Papa ke mana?" Rey bertanya lagi, dia merengek, menarik-narik kaos hitam kebesaran milik Bima.
"Rey, Om Bima lagi neleponin Papa, sabar dulu." Sejujurnya, Bima lelah. Tidur siang tadi belum membangkitkan energinya, hingga akhirnya Bima berharap agar Clara cepat kembali dan mengajak Rey untuk bermain lagi.
"REYHAAAAAAN." Suara itu.
Mata Bima berbinar, do'anya telah terkabul. Clara datang dengan pakaian santai, celana jeans selutut dan baju rajut kuning berlengan panjang. Tak lupa dengan Manda yang selalu berada di sisi perempuan keturunan asal Indonesia - Belanda itu.
Kedua malaikat tak berbentuk itu membuat Bima menghela napasnya dengan lega. "Silahkan Nyonya-Nyonya." Bima mempersembahkan Rey kepada Clara dengan gerakan bak kepala pelayan, melihat itu Clara tidak menolaknya sama sekali.
"Tante ... Papa?" Rey mengadu, dia merengek. Anak laki-laki tampan itu menyenderkan kepalanya di pundak Clara setelah perempuan bernetra biru kristal itu menggendongnya.
Clara tersenyum culas. Tetapi hatinya juga bertanya-tanya, ke mana kah Dudanya pergi?
"Bim, Rain ke mana?" Tanya Manda, sahabat Clara itu memang paling the best, tahu apa pun yang akan Clara tanyakan.
"Gak tau, gue juga udah neleponin dia tapi gak ada jawaban, biasanya juga jam segini dia udah pulang kerja," jelas Bima. Laki-laki itu terus menelepon Rain. "Masa iya Bos modelan kayak dia ikut lembur kerja."
Tin ... tin ...
Itu suara klakson mobil. Clara, Rey, Manda dan Bima menoleh kearah luar pagar, melihat sorotan lampu mobil yang berhasil menyinari halaman rumah Bima.
"Itu Papa!" Rey langsung turun dari gendongan Clara, laki-laki kecil itu langsung berlari menuju kearah Papanya.
Sedangkan Clara, dia tengah memegang jantungnya yang berdegup ugal-ugalan. Clara langsung menghadap ke arah Manda, dia panas dingin. "Man, jantung gue mau loncat, tolongin plis!"
Clara terus saja mengatur napasnya. Demi apa pun, Clara dapat melihat penampilan Rain yang begitu kasual ketika Pria itu baru saja keluar dari mobil, cara berpakaiannya sama persis seperti dikebanyakan film dan tokoh-tokoh novel pada umumnya. Rain ... benar-benar terlihat luar biasa, Clara semakin jatuh bangun untuk mencintai single parent tersebut.
"Sayangnya Papa." Rain menggendong Rey, anak laki-lakinya itu terus saja memeluk leher jenjang milik Papanya.
"Papa ... jadi jalan-jalan, kan?" Rey menenggelamkan kepalanya di leher jenjang Rain, Pria tampan itu mulai terkekeh gemas.
Clara melihat dua malaikat itu tanpa berkedip.
"Bagaimana kalo besok?" Rain menawarkan, membuat anaknya mengerucutkan bibir. Rey mulai menggeleng lugu, itu tandanya dia tidak mau.
"No, Papa."
"Ayolah Rey sayang--," ucapan Rain terhenti saat suara pintu mobil dibagian penumpang telah terbuka.
Clara, Manda dan semua yang berada di sana menoleh, melihat siapa yang keluar dari dalam mobil mengkilat milik Rain.
"Luna." Rain menyapa.
"Halo, Rey!" Luna merentangkan tangannya ingin memeluk Rey yang masih berada di dalam gendongan Rain, perempuan berpakaian minim itu telah lebih segar dari waktu sebelumnya. Dan, Rey, anak tampan itu langsung tersenyum dan menyambut uluran tangan dari Luna, sekretaris Rain.
"Cla, lo gak pa-pa?" Manda bertanya ketika melihat adegan itu, dan tentunya Clara tak akan mampu untuk menjawab, dan jawabannya pun tidak perlu dipertanyakan lagi.
Clara menghadap Manda dan berbisik, walaupun matanya tidak luput dari pandangan Rain dan Luna. "Itu istrinya?"
Manda berbalik menghadap Clara dan ikut berbisik. "Gue gak tau, kayaknya sih bukan."
Clara dan Manda tiba-tiba saja menatap Bima. Sedangkan Bima mengangkat kedua telapak tangannya seakan memberi kode 'Keep Calm, nanti gue bakal jelasin.'
"Bim, makasih ya udah jagain anak gue, kalo gitu gue pamit pulang dulu." Rain menatap dan menepuk pundak Bima, lalu berganti menatap Manda yang sudah dia kenal dan menatap Clara yang berada di samping Manda.
Iris mata cokelat Rain menatap iris mata biru kristal milik Clara.
Kalian tahu? Jantung Clara tidak bisa terkontrol untuk detik ini.
Rain tersenyum hangat untuk perempuan yang baru dikenalnya, kemudian berlalu pergi bersama Luna dan Rey tanpa meninggalkan sepatah kata pun untuk Clara.
Suasana seketika menjadi awkward.
×××
Bima ... menarik napas sebelum menceritakan kisah untuk bidadari khayalannya.
"Jadi ... Luna itu sekretarisnya Rain, dia udah kerja sama Rain kira-kira dua tahun yang lalu, kalo soal kedekatan Luna sama Rey mungkin sedekat kaya Ibu dan Anak. Rain suka bawa Luna ke apartemennya," jelas Bima, pria yang sebenarnya tampan itu menatap ke arah Clara yang menampakan wajah salah mengartikan.
Bima gelagapan.
"Eh--, itu maksudnya ... ngh, Rain suka ajak Luna ke apartemennya karena Rey, setiap Rey sakit dia selalu minta Luna yang jagain. Mereka berdua emang udah kayak Ibu sama Anak kandung menurut gue. Terus kalo soal perasaan Rain ke Luna, setau gue sih Rain mau buka hatinya ... buat perempuan yang bisa bikin Rey seneng."
Clara berpikir. Sepertinya ini kesempatan emas.
Rey itu, sama seperti pelet ikan dan Rain adalah ikannya, sedangkan Clara adalah pemancingnya. Semakin Clara berharap pada pelet, maka semakin cepat pula ikan mendekat.
Itu adalah kesimpulan Clara.
Aneh dan tidak masuk akal.
"Jadi ... Rain sukanya sama perempuan yang bikin Rey bahagia?" Clara bertanya, mencoba memastikan.
Bima mengangguk. Clara kembali menyerngit, sedangkan Manda hanya menguap saja sejak kepulangan Rain, Rey dan Luna.
"Berarti Rain suka dong sama Luna?" Clara bertanya, menahan emosinya yang hampir memuncak. "Dia 'kan suka bikin Rey seneng, bahkan Rey sakit maunya sama Luna."
"Jadi orang jangan guoblok banget kek Cla, lu cakep-cakep otaknya gembel ish!" Bima mengoceh, melihat Clara dengan tatapan dongkol.
"Apaan si tai!"
Bima mengalah, lebih baik ia menjelaskan saja supaya Clara cepat pulang. "Jadi gini ...."
Bima mengupil, lalu melanjutkan ucapannya.
"Menurut pengamatan gue sebagai sahabat sejatinya Rain, gue bisa liat dari matanya Rain kalo Luna itu cuma dia anggap sebagai ... baby sitter mungkin ya? Karena Luna gak pernah buat Rey ketawa, singkatnya si Luna itu cuma bikin Rey agar nyaman sama dia doang."