Pagi ini, Rey merengek meminta keinginannya dikabulkan. Rey memang keras kepala, tetapi Rain sangat menyayangi anaknya. Rey itu bagaikan berlian yang sedang diperebutkan oleh orang-orang di luar sana, dan Rain sedang menjaga Rey, mendidik agar anaknya kelak menjadi orang yang sukses dan berharap agar Rey tidak mengikuti jejaknya dikemudian hari.
"Papa." Rey memanggil, Rain menatap Rey dengan tenang. "Ayo kita jalan-jalan."
Rain tersenyum hangat. "Let's go, son!"
Kemudian mereka berdua bersiap-siap diri. Tak lupa dengan Luna yang kini tengah mempersiapkan menu sarapan pagi untuk Bos dan juga anak dari Bosnya.
Luna ... sangat beruntung.
"Yey mau dimandiin sama Tante Cyaya, Papa," kata Rey. Anak laki-laki itu membuat Rain menyerngit bingung.
"Cyaya? Siapa sayang?" Rain mengerutkan dahinya. "Mandi sama Tante Luna aja ya, apa mandi sama Papa?"
"Sama Tante Luna aja." Rain tersenyum dan segera melanjutkan aktivitasnya.
×××
Clara menguap lima kali. Perempuan dengan tinggi 161cm itu sedang dikerubuni rasa kantuk yang luar biasa. Sedangkan Manda, perempuan yang kamarnya dihuni oleh Clara sudah terbangun lebih dulu.
"Cla, bangun oy!" Manda menggoyangkan tubuh Clara.
"Wait 5 minutes later," kata Clara.
"Apaan si lo ah segala pakek bahasa Inggris! Udah cepet bangun!" Bentak Manda. Tetapi Clara belum bangun juga.
"What happen, Manda?"
Manda memutar bola matanya malas, kalau sudah begini, Clara bakalan belagu menggunakan bahasa asing.
Manda menarik napas, lalu mengeluarkannya dengan kasar. Menyiapkan ancang-ancang agar Clara cepat bangun.
"TADI GUE KETEMU BIMA DI DEPAN! KATANYA DIA DI AJAK SAMA RAIN KE TAMAN KOTA BARENG REY DAN ... LUNA!"
"WHAT?!" Clara bangun dalam keadaan melotot. Perempuan cantik itu segera berdiri dan merapihkan pakaiannya. "KUY!"
"Ngapain?" Balas Manda.
"KETEMU DUDA ...!!!" Teriak Clara, kesal.
Manda tertawa, sangat garing. Membuat Clara mendengus dan segera pergi menuju kemotor maticnya.
"Lo belum mandi, Cla, serius mau ketemu Duda tapi dengan penampilan yang gak ada nice-nya kayak gitu?" Tanya Manda yang sebenarnya hanya mengompori saja.
"BODO AMAT!"
Kemudian mereka pergi, menuju Taman Kota.
×××
Di Taman Kota.
"Gue beli minum dulu," kata Bima, pria yang kini telah memisahkan diri dari Rain, Rey dan Luna itu mulai menggaruk telinganya dengan kasar. Pria yang sebenarnya tengah berdusta itu kini memilih untuk berdiri di bawah pohon rindang yang siap menikam kegelapan pada siapa pun kala dia berada di bawahnya.
"Lo di mana tai?!" Sambungan telepon itu sudah tersambung tiga detik yang lalu dan berhasil membuat Bima mengeluarkan kata kasarnya pada perempuan yang sejak tadi tak kunjung hadir.
Bima ... menunggu kehadiran Clara dan Manda.
"GC! Gue tungguin di bawah pohon," jelas Bima yang langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Membiarkan udara dipagi hari menerpa kulit putihnya yang tak kalah dari Rain. Bima ... sebenarnya tampan! Sayangnya, pria itu lebih memilih merawat jenggot dan kumis yang membuatnya terlihat semakin tua walaupun usianya tidak berbeda jauh dengan Rain.
Mereka, sama-sama berusia 21 tahun.
"Eh babi, pohon di sini ada ratusan! Enak banget lo asal ngomong 'gue tungguin di bawah pohon', bego lo ya!" Cetus Manda, perempuan yang kini telah berdiri di hadapan Bima dan berada di samping Clara yang tengah menolehkan kepalanya ke segala penjuru arah itu mulai geram dengan tingkah pria menyebalkan yang terus saja membuatnya benar-benar kesal bukan main.
"Astaghfirullahaladzim." Bima menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jadi perempuan gak boleh kasar gitu ngomongnya."
"Ih berisik deh lo berdua! Mana duda gue?" Omel Clara yang kini ditatap malas oleh Bima dan Manda.
"Noh, di ujung deket tukang cilok." Bima menegangkan jari telunjuknya ke arah yang dia maksud, membiarkan kepala Clara dengan sendirinya mengikuti arah salah satu jari milik seorang Bima Andreas.
×××
"Papa, Tante Luna, Yey mau ke sana." Tunjuk Rey pada salah satu pedagang kaki lima penjual balon. Anak laki-laki tampan itu dengan lugu mengedipkan matanya berkali-kali karena hembusan angin yang tak mampu membuatnya menatap sempurna.
"Rey mau ke sana?" Luna bertanya lebih dulu membuat Rain menoleh, Rey pun mengangguk. "Kalo gitu, Tante Luna antar, mau?"
Rey mengangguk kembali. Tangan mungilnya digenggam halus oleh Luna yang kini tengah tersenyum dengan bahagianya. Sedangkan Duda tampan yang kini menatap kedua insan berbeda usia itu ikut tersenyum walau hanya sekilas. Sepertinya ... Duda mulai tertarik dengan sekretarisnya sendiri.
"Lun," panggil Rain.
Luna menatap iris hitam pekat milik Bosnya. "Iya, Pak?"
Rain merogoh saku celananya, mengambil dompet kulit hitam dan menyentuh uang seratus ribu untuk diberikan kepada Luna. "Pakai ini untuk uang jajannya Rey."
"Eh-- gak usah Pak, biar pake uang saya aja," tolak Luna dengan senyum yang masih mengembang disudut bibir merah mudanya yang ranum. "Kalo gitu saya permisi dulu, Pak." Pamit Luna, perempuan hamil itu mulai melangkahkan kakinya bersama Rey. Namun, saat langkah kedua dia mengayunkan kakinya, saat itu pula satu suara menghadangnya untuk kembali berjalan.
"Lun, kamu lagi hamil, lebih baik kamu tunggu di sini, biar saya yang urus Rey." Itu suara Rain, Duda tampan yang dikagumi oleh seorang Clara Diana.
Luna terdiam, matanya memanas, seketika itu pula Luna memandang perut datarnya dengan tatapan yang tidak bisa Rain lihat dari balik punggung sekretarisnya. "S--saya, saya hamil?" lirih Luna dengan terbata.
Rain menyerngit kala mendengar lirihan perempuan yang kini berdiri membelakanginya. Pria dengan status Duda yang telah melekat pada dirinya itu mulai berjalan mendekat ke arah Luna dan meminta Rey untuk lebih dulu ketukang balon.
"Lun, kamu gak tau tentang kabar ini?" Rain bertanya, membuat Luna terus meneteskan air matanya. "Maaf, saya kira kamu sudah tau tentang kehamilan kamu."
Luna menatap datar ke depan, samar-samar dia melihat perempuan yang ditemuinya kemarin malam ketika dia dan Rain menjemput Rey di rumah Bima. Ya! Perempuan itu adalah Clara, perempuan yang kini masih menampilkan raut bingungnya. Tak jauh di belakang Clara, terdapat Bima dan perempuan yang sudah Luna tahu bernama Manda tersebut tengah membeku. Mungkin saja, mereka bertiga telah mendengar ucapan Rain yang seenaknya berbicara ditempat umum seperti ini.
"Saya mau bapak yang bertanggungjawab," lirih Luna, yang pastinya dapat terdengar oleh Clara. "SAYA HARAP BAPAK BISA MEMPERTANGGUNGJAWABKANNYA." Luna berbicara dengan intonasi yang lebih meninggi.
Rain membeku, dia terpelonjat. Clara yang sudah mendengarkan semuanya mulai berjalan mundur dan meneteskan air mata. Manda yang tak lama melihat Clara berlari langsung mengejar sahabatnya yang kini hilang tujuan bersama Bima.
×××
Sore hari yang begitu segar, semilir angin yang mampu membuat sebagian mahluk hidup menikmatinya dibeberapa tempat. Mereka yang merasakan hembusan angin akan merasa sejuk yang luar biasa, dedaunan kering yang berterbangan telah menjadi saksi bisu untuk perempuan cantik nan tinggi yang sedang meringkuk lemah dibangku taman.
Clara Diana, nama yang telah mengikat dan meresap sebagai tanda pengenal dirinya sendiri. Ya, dia lah orangnya, perempuan yang memiliki mata biru kristal itu tengah termenung di tepi taman yang sepi. Membiarkan pikirannya melayang menuju kejadian yang telah dilaluinya.
"Eh--, itu maksudnya ... ngh, Rain suka ajak Luna ke apartemennya karena Rey, setiap Rey sakit dia selalu minta Luna yang jagain. Mereka berdua emang udah kayak Ibu sama Anak kandung menurut gue, terus kalo soal perasaan Rain ke Luna, setau gue sih Rain mau buka hatinya ... buat perempuan yang bisa bikin Rey seneng."
Clara mengingat setiap rinci ucapan Bima yang tadinya akan menjadi semangat, namun sekarang sudah berubah menjadi ketidakpastian yang luar biasa. Lagi-lagi, Clara diam seraya menikmati rintik-rintik hujan yang baru turun secara perlahan. Gemiris itu tidak bisa mengganggu aktivitas melamunnya sama sekali.
"Lun, kamu lagi hamil, lebih baik kamu tunggu di sini, biar saya yang urus Rey."
Ucapan itu sekali lagi terngiang, benaknya mampu mengingat persis setiap ucapan yang keluar dari bibir merah muda milik pujaan yang selama ini dia harapkan, namun semuanya seakan sirna, Clara kehilangan semangatnya.
"Saya mau bapak yang bertanggungjawab ...,"
"... SAYA HARAP BAPAK BISA MEMPERTANGGUNGJAWABKANNYA."
Clara memejamkan kedua matanya, dia yang sejak tadi meringkuk dan termenung tiba-tiba saja berdiri tegap tanpa aba-aba, membuat Bima yang dari awal sudah menemaninya tanpa ucapan terlonjat kaget. Bima yang menatapnya penasaran juga dapat melihat wajah cantik Clara yang siap menerkam siapa pun itu, bahkan siap meluncurkan kata-kata yang tak pantas didengar. Bima menghela napas, dia ingin angkat bicara sebelum Clara mengucapkan serapahnya yang telah terlontar.
"BANGKE!"
"Lo kenapa bangsul?! Kaget gue!" Umpat Bima dengan lantangnya. Pria berumur dua puluh satu tahun itu mulai berdiri untuk mensejajarkan tubuh tingginya dengan Clara. Perempuan yang saat ini menatapnya dengan aneh. "Lo kenapa, kentut!?" Sambungnya.
"Berisik lo, ah!"
Bima mendelik. "Idih, gue cuma nanya!"
"Gosah nanya pun juga lo pasti udah tau alasannya, Bim-salabim!" Clara melotot, memandang Bima dengan beringasnya.
"Dikira gue pesulap!" Jengkel Bima, pria tampan berkumis dan berjenggot itu mulai mengupil sembarang, membuat Clara yang berada di hadapannya saat ini mundur dua langkah dengan langkah yang lebar, menghindari perbuatan Bima yang bisa saja membuatnya terserang dengan tiba-tiba.
"Udah ya, gue gak mau berantem sama elo! Jangan bikin gue emosi! Btw, gue bosen liat muka lo! Pergi sana! Hush."
"Anjai, gue diusir."
"Berisik lo, ish!" Clara memutar bola matanya jengah, menatap kearah Bima yang sedang memperlihatkan dirinya dengan intens. "Ngapain si lo, ah!"
"Cerita sama gue, siapa tau gue bisa bantuin," tawar Bima. "Gue juga 'kan sahabat karibnya Rain, siapa tau gue bisa kasih solusi yang tepat, terjamin dan terpercaya, a***y!"
Clara memperlihatkan puppy eyes-nya. Perempuan cantik itu segera berhambur untuk memeluk Bima yang wajahnya lumayan tampan meskipun masih tampan Duda yang dia idam-idamkan. Clara menjerit tertahan, meluapkan segala isi hatinya lewat tangisan yang sama sekali tak kunjung berhenti di d**a bidang pria putih nan bersih itu.
Clara marah, dia emosi, dia kecewa, baru saja dia menemukan masa depan yang sama persis seperti kebanyakan cerita dinovel tetapi harus pupus karena perempuan bernama Luna tersebut.
"LUNA ITU SIAPA SIH, BIM?!" Clara menjerit dalam pelukan Bima.
"ANJRIT LO TERIAK DI KUPING GUE!"
"Maaf--"
Bima mendengus lalu memotong ucapan Clara. "Luna itu calon istrinya Rain."
Kenapa Bima bisa tahu?
Clara semakin tenggelam dalam pelukan bersama pria berkumis nan berjenggot tipis itu. Dia benar-benar kecewa, mengapa perasaannya harus jatuh dengan laki-laki berlabel Duda seperti dia?! Kenal? Tidak! Bahkan Clara mengenalnya melalui Manda, sahabat yang dia percaya dengan gosip-gosip terhangat untuk pria tampan se-jabodetabek.
"Gue gedek! Bim, sumpah deh." Clara mengoceh, di tepi taman dia masih mengeratkan pelukannya bersama Bima, dan beruntung jika tempat ini hanya dilalui oleh beberapa manusia yang kepo dan sisanya tidak perduli dengan drama yang tengah dijalani oleh mereka berdua.
Drama, ya?
"Sempak lo! Gue lagi gak drama!" kesal Clara, perempuan itu mulai mengelap cairan putih yang keluar dari hidungnya di pundak Bima dan ... Bima tidak keberatan.
"Siapa yang bilang lo lagi ngedrama, emang?" Bima menaikan satu alisnya, bertanya kepada perempuan yang kini terus-menerus mengelap cairan menjijikan itu dikaosnya yang penuh keringat. "Siapa yang bilang kita lagi ngedrama, heh? Belom tau aja dia rasanya dicampakan tuh kayak gimana!"
Clara tak menjawab, dia lebih memilih untuk melepaskan pelukannya dan berjalan mengelilingi taman yang sudah sepi pengunjung. Mungkin bisa merilekskan diri. Itu lah batinnya.
×××
"Lun." Rain memanggil.
"I--iya, Pak."
"Saya minta maaf." Rain menggenggam tangan Luna, sekretarisnya. "Saya minta maaf karena terlalu ceroboh berbicara hal sensitif tadi di depan publik."
"Bapak gak perlu minta maaf, ini juga salah saya, saya yang seharusnya minta maaf ke Bapak, dan, saya juga mau ...," Luna menatap iris mata Rain dengan tatapan menyesal. "Saya mau resign, Pak, saya terlalu banyak ngebebanin Bapak dan Rey," sambung Luna.
Rain menautkan alisnya, menatap bingung ke arah Luna yang kini deras air mata. "Kamu mau resign? Terus kamu mau kerja di mana lagi, Lun, sedangkan kondisi tubuh kamu lagi berbadan dua--"
"Saya bisa cari calon suami untuk saya dan anak saya nanti, Pak." Luna berbicara seakan-akan paling menderita, perempuan itu seakan-akan pula mengharapkan hal yang lebih.
Rain semakin dibuat bingung dengan ucapan sekretarisnya. "Cari calon suami?"
Luna mengangguk lemah. Sesekali dia menatap ke arah Bosnya yang kini telah angkat bicara.
"Kamu gak tau siapa Ayah dari bayi yang kamu kandung sekarang ini, Lun?"
Luna menggeleng, air matanya terus saja mengalir, menyengajakan matanya sembab dan tidak enak dipandang. Mereka masih berada di taman, tak jauh dari tempat Bima dan Clara yang sedang bercakap tak tahu arah. Saat ini pun suasana sekitar terbilang cukup sepi karena hari sudah semakin sore, bahkan senja pun mulai terlihat dengan malu-malu.
"b******k!" Rain mengumpat pelan, Luna hanya diam dan penuh harap. "Kamu gak tau ciri-ciri Pria b******k itu kaya gimana?!"
Luna menjawab dengan gelengan, perempuan itu terus saja menunduk, lagi-lagi menyengajakan air matanya mengalir deras. Tidak ada yang bisa melihat Clara tengah menguping di balik semak-semak sekali pun, kecuali Luna sendiri, karena matanya memicing ke sana.
"Saya ...," Rain menangkup wajah Luna. "Saya yang akan bertanggungjawab, saya yang akan menjadi suami kamu juga Lun, apa kamu tidak keberatan?" Sambungnya dengan sedikit nada keraguan, Rain tidak tega melihat nasib perempuan yang tengah hamil di hadapannya.
Kalimat ragu yang keluar dari bibir lembab milik Rain, sangat terasa jauh lebih tegas di telinga Clara yang tengah mendengarkan perbicangan mereka dalam diam. Clara ... kecewa dengan keputusan Rain yang menurutnya hanya sebuah tanggungjawab atas dasar rasa kasihan.