1.
Mentari senja menorehkan warna jingga-keemasan di langit Jogja, membiaskan cahaya ke atas panggung terbuka di sebuah kompleks wisata. Srikandi yang berparas jelita berdiri tegap, kecantikan wajahnya, dipadu dengan keindahan lekuk tubuh bergerak anggun, menyihir para penonton. Di pinggang rampingnya menggantung selongsong anak panah. Srikandi mengambil sebuah anak panah, wajah cantiknya memandang tegas ke arah Aswatama musuhnya. Busur lalu terkembang di tangannya, namun sebelum melesat tepat mengenai sasaran, takdir Srikandi malam ini serupa dengan kisah pewayangannya; ia gugur, terkapar di atas panggung, "terbunuh" oleh Aswatama. Tepuk tangan meriah menggema, menghilang sekejap bayangan kematian yang baru saja diperankan.
Malam ini seperti malam sebelumnya, canda tawa memenuhi ruang ganti aktor pemeran teater. Jika kebanyakan para aktor di temani rekan, keluarga yang mendampinginya, memberinya support, buket buket bunga tergeletak di meja rias, berbeda dengan pemeran Srikandi, gadis cantik pemeran Srikandi yang bernama Nina usianya dua puluh lima tahun itu duduk sendirian sedang menghapus make up-nya. Sepi yang merajut hatinya kini menjadi teman setianya.
Sebenarnya banyak yang menaruh hati pada Nina, tapi setelah para pria tahu garis hidupnya yang menyedihkan, terlilit hutang di sana sini, bekerja hanya untuk menyambung hidup, para pria satu persatu mundur, tak sanggup jika harus ikut menanggung hutang Karina yang setinggi gunung. Srikandi hanyalah topeng, kenyataan nya ia tak lebih dari gadis lemah dengan utang yang banyak, bukan hutang yang sengaja ia tumpuk, hutang itu peninggalan orang tuanya yang sudah meninggal tiga bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas, dia kini harus banting tulang untuk melunasi hutang-hutang itu. Dan juga harus mengurus adiknya yang masih SMA.
Mentari telah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan langit Jogja dalam gelapnya. Nina, telah berganti pakaian, blus putih bersih dan celana panjang cokelat telah melekat di tubuhnya, setelah memastikan dandanan di wajahnya rapi, tak ada rambut yang menjuntai dari ikatan rambutnya. Gadis itu lalu melingkarkan ransel hitam di punggungnya lalu menghidupkan n max nya, motor peninggalan orang tua nya tentu saja dengan kreditannya.
Perlahan nmax putih itu membelah langit malam kota Jogja, meninggalkan kompleks wisata. Nina bersenandung pelan, hanya untuk menikmati lampu lampu yang berpendar indah pada bangunan bangunan. Melupakan sejenak tunggakan hutang untuk bulan ini. Ia harus menikmati hidupnya, sepahit apapun itu.
Namun, firasat buruk menyerang Nina. Sebuah suv hitam terlihat mengikuti dari belakang, mobil itu mengikuti tiap pergerakan motornya, bahkan jaraknya kini semakin dekat. Nina tahu, itu para penagih hutang, tak ada yang lebih menginginkan hidupnya dari pada penagih hutang. Nina bahkan sempat mendapat tawaran jika dirinya mau jadi simpanan seorang pejabat, hutang nya akan lunas. Tapi Nina mempertahankan kehormatannya, ia tak ingin hidup dalam bayang bayang dusta.
Dengan cepat, Nina membelokkan motornya memasuki sebuah perumahan, apapun itu yang penting ia harus ke tempat yang terdapat orang nya, tapi apa ini? Ini perumahan elit? Batin Nina sembari menggigit bibirnya. Satpam tak menghentikannya, mengira dirinya penghuni perumahan, dan satpam itu percaya begitu saja jika mobil para debt collector itu sedang mengikutinya, mengira para debt collector sedang mendampinginya dari belakang. Alamak tamat lah aku…, teriak Nina dalam hati.
Nina berdoa, semoga tuhan melindunginya. Harapan terakhirnya, di lingkungan ini, semoga ada orang yang akan menolongnya. Namun, harapan ternyata tinggal harapan. Para penagih hutang itu tiba tiba menghentikan mobilnya tepat di depan motor Nina. Tiga penagih hutang berbadan kekar keluar, wajah masam mereka dipenuhi amarah.
"Turun, Mbak! Uangnya mana?!" teriak salah seorang penagih hutang, suaranya mengancam.
“A-apa maksud kalian?”
“Nggak usah ngeles. Cepat keluarin uang mu!” Teriak salah seorang pria menggunakan baju hitam. Tangannya meraih paksa ransel Nina.
“Jangan, aku nggak bawa uang.” Lirih Nina seraya menggerakkan punggungnya, menjauhkan ranselnya dari jangkauan para pria.
“Sini!” Bentak pria berkaos hitam, tangan besarnya menarik paksa tas Nina.
Srak…
Pria itu menumpahkan isi tas Nina di jalan, tak peduli teriakan histeris Nina yang memohon agar mengembalikan tasnya.
“Apa ini? Cuma pembalut sama make up?” Geram salah satu pria, tangannya tak sabar membuka dompet kecil. “Uang mu cuma dua puluh ribu?” Mata pria itu hampir keluar, melotot ke arah Nina.
Buru buru Nina mengais barang barangnya yang tak berharga. Rasa malu itu seolah menelanjanginya, membuatnya terisak sembilu sambil memunguti barangnya.
“Jual tubuhmu, jalang! Jangan sok jual mahal lagi.” Salah seorang pria menarik lengan Nina, memaksa gadis itu berdiri.
“Nggak mau, mending aku mati daripada jual diri.” Bantah Nina. Matanya yang sembab berapi api.
“Kalau nggak mau jual diri, beri kami uang sekarang juga!”
“Aku pasti bayar! Ini kan baru tanggal dua. Masih tiga hari lagi!” Nina membalas tanpa gentar.
“Aku gak percaya kamu bisa bayar langsung sepuluh juta, setidaknya bayar lima juta sekarang.”
“Se-sepuluh juta?” Suara Nina bergetar, dari mana ia bisa punya uang sebanyak itu? Gajinya saja hanya dua juta sebulan. “Hutang ku bulan ini enam juta. Kenapa jadi sepuluh juta?”
“Kamu sudah nggak nyicil selama tiga bulankan? Itu artinya dua juta kali tiga enam juta, dan bunga kamu empat juta.”
“Nggak masuk akal! Kenapa sebanyak itu? Jangan buat peraturan semena mena!”
Salah seorang pria tiba tiba meraih kerah baju Nina. Menariknya. “Kita ini sudah baik sama kamu! Untung kamu cantik jadi kita biarkan kamu nunggak kartu kredit sampai tiga bulan dan belum kami apa apain!”
“Lepasin aku! Tolong!!!” Teriak Nina berusaha menarik perhatian orang orang dari perumahan elit tersebut. Usaha Nina tidak sia sia, beberapa orang keluar, mendekat, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi sial, orang orang yang ada di perumahan itu ternyata individual dan kurang empati. Hanya karena dua debt collector mengatakan jika mereka menagih utang pada orang yang nunggak hutang orang orang di perumahan itu masuk lagi ke rumahnya. Bahkan mereka justru mengatakan Nina pantas menerima hukuman dari debt collector. Menganggap Nina gadis yang hedonis, hutang demi gaya hidupnya.
Nina menggeleng keras. "Saya sudah bilang, saya nggak punya uang sebanyak itu!" suaranya Nina menggema di beningnya malam, ketakutan mulai menguasainya.
"Bohong! Kita udah tau kamu artis terkenal! Kamu juga terkenal di internet! Duitmu pasti banyak!" penagih hutang lainnya menyela, nada bicaranya kasar dan penuh intimidasi.
"Gak ada alasan! Bayar sekarang atau motornya mu kita bawa!" ujar penagih hutang lainnya, tangannya sudah meraih stang motor Nina.
Perdebatan sengit terjadi. Para penagih hutang tak mengindahkan penjelasan Nina. Mereka bersikukuh pada tuntutannya, mengatakan Nina sebagai pihak yang bersalah, menghindari kewajibannya.
Saat salah seorang penagih hutang hendak melayangkan pukulan, sebuah bayangan menghalangi. Seorang pria tinggi dan gagah, mengenakan baju setelan jas rapi muncul dari kegelapan. Dengan cepat dan tepat, ia melayangkan pukulan yang menjatuhkan salah seorang penagih hutang.
"Jangan macam-macam sama perempuan!" suara pria itu berwibawa, membuat para penagih hutang tersentak. Ia berdiri di depan Nina, melindungi bagai benteng kokoh, menciptakan jarak aman antara Nina dan para penagih hutang yang kini tampak ciut. Mata Nina berbinar, terharu akan pertolongan yang tak terduga ini. Senja di Jogja, kini menyaksikan sebuah adegan penyelamatan yang tak kalah dramatis dari pertunjukan pewayangan.
Bersambung…