Dunia Nina runtuh dalam sekelebat. Deru motor yang seharusnya membawanya pulang, kini berubah jadi raungan ketakutan. Cengkeraman tangan-tangan kasar dari tiga pria membuatnya jatuh tersungkur. Dan saat mereka melayangkan geganggaman tangannya mata Nina terpejam erat.
Bug bug bug…
Pukulan demi pukulan menggema di udara. Pukulan itu bukan di tubuh Nina namun untuk orang lain. Suara mengaduh, merintih dan menangis terdengar dari para debt collector yang sejak tadi merundungnya membuat Nina membuka mata. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Sebuah bayangan kokoh terlihat merobek tirai kegelapan. Suara pukulan demi pukulan memecah ketegangan. Bayangan tinggi nan kekar itu memukul tanpa ampun debt collector secara bergantian, tubuh nya yang kokoh tak bisa di sentuh tiga pria, bergerak lincah menghajar para pengecut hingga mereka naik ke mobil dan meninggalkan tubuh Nina yang tergeletak, kakinya lemas tak bertenaga, air mata mengalir deras membasahi pipi.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya pria itu ketika berada di dekat Nina. Duduk berjongkok, berusaha melihat gadis di depannya yang sedang duduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Nina tak menjawab, hanya Isak yang keluar dari bibir nya, bahunya bergetar hebat. Para penagih hutang itu terlalu besar mengguncang jiwanya yang rapuh.
“Mana yang sakit? Mau ku antar pulang?” Tanya pria itu, hendak menyentuh tubuh Nina tapi tak berani.
“Terima kasih.” Rintih Nina yang sejak tadi menunduk ketakutan. Perlahan ia bangkit, kakinya yang gemetar refleks membuat tubuh gadis itu limbung.
Pria bertubuh kekar dan tegap itu dengan sigap menangkap tubuh Nina, jatuh di pelukannya.
Perlahan Nina mengangkat wajahnya, menatap pria yang tengah menopang tubuhnya. Sejenak gadis itu terpesona, pria itu punya tubuh yang kokoh, bahunya kekar, dadanya lebar, rahangnya yang tegas seolah berkata katakan semua ketakutanmu, aku siap melindungimu, hati Nina bergetar.
Bara, nama pria itu tertulis jelas id card yang masih tersemat rapi di luar jas hitamnya, ada keterangan ‘Exclusive auction night’. Rupanya pria itu baru pulang dari acara lelang untuk para eksekutif. Yah dari setelan bajunya yang mewah, siapa pun pasti tahu pria itu dari kalangan eksklusif.
“Hilda?” Bisik Bara dengan dahi berkerut.
“Hah?” Gadis berusia dua puluh lima tahun itu merasa salah dengar, benarkah pria itu mengucap kata Hilda? Siapa itu Hilda? Nina tak ingin terus bersandar, ia berusaha bangkit, namun tubuhnya tak mendukung, kakinya yang gemetar belum mampu menopang, ia pun kembali ambruk.
Srak…
Bara meraih tubuh Nina, membopongnya, membawanya ke rumah yang tepat berada di depan tempat kejadian. Membuka pintu gerbang, lalu mendudukkan Nina di sofa panjang yang ada di teras. Tangan Bara lalu mengambil air kemasan gelas yang ada di bawah meja, memberikannya pada Nina.
“Minumlah.” ucap Bara, “kalau sudah baikan kamu bisa langsung pulang.” Lanjutnya. Pria itu lalu membuka pintu rumah yang masih terkunci.
“Ka-kamu mau kemana?” Tanya Nina, entah mengapa ia merasa para penagih hutang itu akan kembali.
Bara menghela nafasnya, tubuhnya lalu berbalik menatap Nina. “Aku mau mandi.” jawabnya. Melihat wajah Nina yang masih syok, ia menurunkan nada suaranya. “Ini rumahku, kamu aman di sini.”
Bara lalu berjalan menuju pintu gerbang, memasukkan motor Nina ke dalam teras, berdampingan dengan mobil dan motor nya. Setelah itu menutup pintu gerbang. “Aku tidak menguncinya, kalau sudah baikan kamu bisa langsung pulang.”
Nina mengangguk sambil memaksakan senyumnya yang lemah. “Terima kasih,” ucap nya singkat.
Nina duduk termangu di rumah pria yang belum pernah ia kenal. Walau itu hanya teras, tapi tempat itu lebih tepat di sebut ruangan mewah.
Rumah tipe tujuh puluh itu mewah, walau punya gaya minimalis perabotnya yang mahal jelas menerangkan jika teras itu berkelas. Indah dan nyaman dengan gaya minimalis, cocok untuk pria single yang sibuk, tapi benarkah Bara masih single?
Teras yang berbentuk ruang tamu itu tak banyak perabot, hanya kursi berbahan batu bata yang di lapisi busa lembut dan empuk agar nyaman ketika di duduki, bantal bantal persegi berjumlah empat buah menghiasi tempat duduk, dan sebuah meja persegi putih berada di tepi. Ruangan serba hitam itu terasa maskulin dan juga misterius.
Nina lalu meneguk air mineralnya. Menarik nafasnya dalam dalam. Rasa lega menenangkan hatinya. Ingin segera beranjak dari tempat itu namun belum siap.
Sudah tiga bulan orang tuanya meninggal dalam tragedi kecelakaan, mobil yang di tumpangi mereka ketika berada di pegunungan di seruduk dari belakang truk pasir yang tak kuat menanjak, mendorongnya mundur hingga terjatuh di jurang, mereka pun menghembuskan nafas disana.
Dan Nina baru tahu jika semua fasilitas yang dimiliki orang tuanya masih dalam status hutang. Mulai dari rumah, mobil, motor, ponsel iPhone adiknya, dan hampir seluruh perabot di rumahnya di beli dengan kredit. Usaha jual-beli kelapa orang tuanya yang semula lancar dan menghasilkan banyak uang, setelah mereka meninggal otomatis berhenti total, dan hutang keluarga seketika menggunung. Teror demi teror pun kini kerap menghantui Nina. Yang membuat nya semakin frustasi, rumah itu tak kunjung terjual walau sudah ia jual, dan kalaupun di sita bank pada akhirnya, tak bisa melunasi sisa pembayaran rumah dan hutang hutang yang lain.
“Permisi…!!” sebuah teriakan wanita seketika memecah lamunan Nina.
“Permisi…, Mas Bara!!! Kamu sudah pulang kan?” Teriak suara itu lagi, terdengar manja dan genit.
Nina bingung, harus menjawab atau diam saja? Atau memanggil pemilik rumah? Atau langsung membukakan pintu?
Nina yang bingung akhirnya masuk ke dalam rumah, sebaiknya ia memanggil Bara saja.
Pintu rumah tak tertutup, jadi ia leluasa masuk. Bibir gadis yang hendak memanggil Bara seketika berubah jadi melongo tatkala melihat pria di dalam kamar dengan pintu terbuka sedang mengenakan celana, otot kekar pria itu terlihat jelas, dan dadanya yang kekar membuat perempuan manapun ingin bermanja manja di sana, wajah Nina seketika merah padam, Bara tak mengenakan apapun.
Nina jadi salah tingkah tatkala Bara sadar sedang di pandangi, gila, pria yang sedang tertegun itu justru menghentikan kegiatan nya memakai celana, semua semakin jelas di mata Nina.
Refleks Nina berteriak, “a..!! hmph…”
Bara tiba tiba membekap mulut Nina dengan tangannya.
“Ssstt…!” Bisik Bara.
Alis Nina terpaut, dadanya berkecamuk, malu, bingung, bertanya tanya, dan tak berdaya bercampur aduk jadi satu. Tubuh besar pria itu bergerak gerak membenahi celananya, dan Nina yang berusaha mundur untuk menjauh justru membuat Bara maju, satu tangannya menutup mulut Nina, dan yang lainnya refleks menahan kepala gadis itu, dan bruk…,
Tubuh Nina terjatuh di lantai, kepalanya aman karena tangan Bara sigap melindunginya, seolah sudah bisa memperkirakan apa yang akan terjadi pada Nina jika gadis itu jatuh. Tapi tubuhnya berada di bawah Bara, tubuh besar itu menghimpitnya di lantai.
“Maaf.” Lirih Bara seraya mengangkat tubuhnya dengan kedua tangan. Rupanya pria itu tahu ada seseorang yang sedang mencarinya, tapi dia pura pura tak mendengar.
“Mas Bara…!!?” Terdengar lagi suara wanita yang sejak tadi memanggil Bara. Tapi suara itu kini kian mendekat, berada di depan pintu rumah. “Mas Bara…? Kamu di rumah kan? Aku masuk ya?”
“Sial!” umpat Bara dengan wajah kesal.
Nina meneguk ludahnya tatkala Mata tajam itu tiba-tiba menatap dalam mata nya, semakin was was saat melihat jakun Bara bergerak gerak ketika menatap bibir nya yang merah muda.
Srak srak…
Suara sandal berserak di atas lantai rumah.
“Maaf,” suara Bara serak.
Belum sempat Nina mencerna mengapa pria itu meminta maaf, Bara tiba tiba kembali menindih nya. Dan mata Nina membelalak tak percaya tatkala bibir pria itu menyentuh bibirnya, menciumnya.
“Mas Bara!!!” Pekik suara yang sejak tadi memanggil Bara. Wanita yang memakai daster warna pink itu berdiri di depan pintu kamar yang terbuka, rambutnya yang sebahu bergerak tatkala gadis itu menghentak hentakkan kakinya di lantai, marah melihat Bara menindih seorang gadis, menciumnya membabi buta, dan suaranya yang tinggi tak menarik perhatian pria itu sama sekali.
“Kamu menjijikkan!!! Tega kamu ngelakuin ini sama aku!” Pekik nya lagi.
Tapi Bara seolah tak mendengar suara itu. Ia justru memperdalam ciumannya. Sedang Nina tak bisa memberontak, ia tau mengapa pria itu menciumnya.
“Aku benci kamu, Mas Bara!!!” Teriak gadis itu, seraya berlari keluar rumah.
Nina mencoba bergerak, tapi tak bisa. Tubuh kecilnya terkunci di bawah tubuh kekar Bara. Dan saat tangannya mendorong tubuh di atasnya, tangan Bara justru mengunci kedua tangannya. Dengan sebelah tangan nya, Leon memegangi kepala Nina, mencium bibir itu semakin dalam.
Waktu seolah berhenti. Dalam kecupan yang dalam dan tak terduga itu, Nina merasa jiwanya terenggut. Ia pasrah, tak berdaya, bagai boneka yang dimainkan takdir. Lima menit berlalu, terasa seperti keabadian.
Gyut…
Nina menggigit bibir Bara. Pria itu pun seketika melepas ciumannya, mengerang pelan sembari memegangi bibirnya yang berdarah. Buru buru gadis itu menarik tubuhnya.
Plak…!!!
Nina menampar pipi Bara keras. “Kurang ajar!!!” pekiknya dengan dengan suara bergetar. Kakinya lalu berlari keluar rumah, dengan tergesa mengeluarkan motornya, meninggalkan rumah Bara dengan perasaan benci.
“Sial! Aku lepas kendali,” umpat Bara sembari meninju lantai. Ia lalu bangkit, berjalan menuju pintu gerbang, memperhatikan gadis yang satu menit lalu kehangatan nya berada dalam dekapannya, dingin mencabik hatinya tatkala gadis yang sudah singgah di hatinya selama bertahun tahun itu tiba-tiba menampar mukanya.
Bara menutup pintu gerbangnya, tapi tidak dengan hatinya. Gadis itu telah membuka hatinya yang telah lama tertutup.
****
“Mila? Kamu di mana?” Suara lembut Nina memecah kesunyian rumah yang masih terang benderang, memanggil manggil nama adiknya ketika baru saja masuk ke dalam rumah. Aneh, harusnya ketika pukul sebelas malam sebagian lampu mulai dimatikan,
Mata gadis itu melotot tiap kali melihat isi dalam rumah yang berantakan. Sofa kulit di ruang keluarga warna coklat terbalik, meja terpental di dekat dinding, foto foto di dinding pecah berserak di lantai, dan tv yang harusnya di atas meja sudah raib. Nina tahu ini perbuatan siapa.
Rupanya para debt collector itu setelah tak puas menganiaya dirinya, mereka pergi ke rumahnya, gerbang dan pintu depan yang terbuka ketika dirinya datang, jelas memberitahunya jika debt collector itu habis memasuki rumahnya, dan sepatu adiknya yang berada didepan pintu memberitahu jika adiknya yang baru saja masuk SMA sudah ada di rumah.
“Mila!!?” Teriak Nina sembari menghambur pada sosok tubuh yang meringkuk di sudut ruangan. “Maaf, aku pulang terlambat.” Suara Nina bergetar menahan tangis, tangannya melepas ikatan ikatan di tangan, kaki, dan mulut adiknya.
“Maaf kan aku.” ucap Nina sembari memeluk tubuh adiknya yang sudah terbebas, air mata tak bisa lagi terbendung, menangis penuh penyesalan, menyesal mengapa ia enak enakan di rumah pria asing, sedang adiknya sendirian melawan penagih hutang.
Tanpa suara Mila menangis dalam pelukan kakaknya.
Bersambung…