3

1674 Kata
3. Nina baru saja selesai pentas sebagai Srikandi. Malam itu ia mendapat saweran lebih dari lima juta, cukup untuk makan dan kebutuhan bersama adiknya, Mila. Namun di parkiran, ia menemukan motornya dirantai. Bimo muncul bersama anak buahnya, merampas motor, tas, bahkan uang Nina. Di depan satpam dan rekan kerjanya, Bimo mempermalukannya dengan menuduh Nina pencuri dan perempuan mata duitan. Manager Dani datang, tak tega memecat Nina, tapi tetap menonaktifkannya sementara. Dalam keputusasaan, Nina hanya bisa menangis saat Bimo merendahkannya, menawarkan jalan keluar: menjadi simpanan pria kaya untuk melunasi utangnya. Nina menolak dengan tegas. Malam itu ia pulang dengan hati hancur. Namun sesampainya di rumah, ia mendapati poster besar bertuliskan “Rumah Dalam Sengketa” terpasang di pagar. Mila menyambutnya sambil menangis, memeluknya erat. “Kita sudah tidak punya tempat tinggal, Mbak…” Air mata Nina pecah. Hidupnya benar-benar di ujung jurang. *** Dar… Petir menggelegar, membelah dinginnya langit malam yang basah. Hujan deras menghunjam bumi, menumpahkan air tanpa ampun, menyapu genteng-genteng berdebu, mengalir deras di jalanan, hingga genangan perlahan naik ke teras sebuah toko. Di sanalah seorang gadis duduk meringkuk, tubuhnya gemetar, memeluk erat kedua kakinya, dengan tubuh nya mengahalu derasnya air agar tak mengenai sosok yang terlelap di balik punggungnya. “Mbak, kamu nggak tidur?” suara serak dari belakang tubuh Nina membuatnya menoleh pelan. “Aku belum ngantuk, Mil. Tidurlah dulu,” bisiknya lembut. Jemari dinginnya membelai dahi Mila, berusaha menenangkan di tengah riuhnya hujan. Namun dalam hati, Nina menjerit pilu. Ya Allah… apa malam ini aku tak akan tidur? Tubuh, rambut, hingga sepatunya basah kuyup, tapi ia rela. Asal adiknya bisa terlelap tanpa terkena derasnya hujan. Teras toko itu terlalu sempit, hampir tak layak untuk berteduh. Tapi mereka tak punya pilihan. Hari itu, malapetaka seolah datang bertubi-tubi dalam hidup Nina: setelah motornya dirampas paksa oleh Bimo, rumahnya disita bank, bahkan ia diusir paksa hingga tak boleh sekadar duduk di teras rumah sendiri. Malam itu, Nina resmi menjadi tunawisma. Lebih menyakitkan lagi ketika Mila bercerita bahwa tak seorang pun tetangga atau kerabat bersedia menampung mereka, walau hanya sementara. Mereka takut dengan para preman yang kerap mendatangi rumah Nina seminggu sekali, menagih hutang dengan makian, memaksa mengambil uang, bahkan merampas barang-barang di rumah. Tidak ada yang berani berbagi nasib dengan Nina. Maka, satu-satunya jalan adalah pergi. Menjauh sejauh mungkin, agar para preman itu tak lagi menemukan mereka. Dengan langkah gontai, Nina dan Mila menyusuri malam. Tanpa tujuan, tanpa bekal, hanya dua koper, tas di punggung, dan pakaian yang melekat di tubuh. Tepat pukul satu dini hari, langit tiba tiba runtuh, hujan deras mengguyur. Nina dan Mila akhirnya berteduh di teras toko terdekat. Teras itu tak lebar, sebuah lampu redup terpaksa menerangi teras itu, bergoyang pelan tiap kali di hembus angin. Derasnya air yang terbawa angin membasuh wajah dan tubuh Nina. Dar… Petir kembali menggelegar, memekakkan telinga. Cahaya silau membuat dua gadis itu saling merapat, takut. “Mbak, aku takut…,” rengek Mila. “Jangan takut. Itu cuma cahaya, nggak akan mengenai kita. Kita sudah berteduh,” Nina mencoba menenangkan, meski ia tahu atap reyot itu tak menjamin keselamatan. Nina melirik jam digital anti-air di pergelangan tangannya, satu-satunya barang berharga yang tersisa. Pukul dua dini hari. “Mbak, aku ngantuk…,” Mila kembali merengek. “Tidurlah, Mila.” Nina membuka koper, menggelar selimut tipis di lantai, lalu menutupi tubuh adiknya. Ia sendiri duduk di depan, menjadi perisai agar Mila tak terkena percikan air. Hujan kian menggila, petir menyambar, angin membuat Nina menggigil hebat. Namun ia tetap bertahan. Ia harus kuat agar adiknya merasa aman. Rasa cemas kian menggema saat hujan masih turun dengan lebat hingga jam tiga, air yang menerpa tubuhnya ternyata tak sebanding saat air perlahan mulai naik. Nina menggigit bibirnya, menahan rasa khawatir saat perlahan genangan air menyentuh sepatu nya, menyentuh kaki nya, tepat saat air mulai menyentuh bibir teras, intensitas hujan mulai mereda. Syukurlah… pikir Nina dalam hati. Senang air akhirnya tak lagi naik. Tak peduli tubuhnya yang kini bergetar menahan dingin. Tak butuh waktu lama hingga hujan menjadi rintikan gerimis, hingga seorang pria tua berjalan pelan dalam remang malam, tubuhnya kecil karena membungkuk, langkahnya pelan menyaruk aspal dingin, dan sebuah payung warna hijau melindungi tubuhnya dari air hujan. Ia berhenti di depan Nina, menatap dengan tatapan iba. “Nak, ngapain kamu di sini? Nggak pulang?” Tanya pria itu tenang. Andaikan Nina masih punya kakek, apakah kakeknya juga punya suara seperti ini? Bergetar lemah namun lembut penuh perhatian. “Rumah kami di sita bank, saya dan adikku di usir.” jelas Nina pelan, menahan tangis, akhirnya ada juga yang merasa iba melihatnya. “Tidak ada tetangga yang menolongmu?” tanya pria itu lagi. Nina menggeleng, terlalu malu menjelaskan mengapa mereka menolak nya. “Di depan ada masjid. Berteduhlah di sana.” Nina ragu. “Boleh…? Saya… jarang ke masjid.” Suaranya penuh malu. Pria tua itu tersenyum, tawa kecilnya hangat. “Masjid itu milik semua umat. Jangan malu, Nak. Ayo, berdirilah. Kamu sudah gemetaran.” Akhirnya, Nina membangunkan Mila, sambil menyeret koper, Nina dan Mila berjalan mengikuti pria tua itu menuju masjid. Di sana, masjid itu masih gelap, sepi karena belum ada jamaah, setelah kakek itu menyalakan lampu, lalu menyuruh Nina istirahat di serambi, menyuruhnya mencari tempat ternyaman untuk istirahat. Setelah berganti pakaian kering, ia dan Mila meringkuk di atas karpet hangat, menyelimuti tubuh mereka dengan selimut yang tadi di buat alas Mila, hingga akhirnya terlelap. *** Srak… srak… srak… Suara sapu lidi yang menyapu halaman di salah satu rumah warga membangunkan Nina. Matanya berat, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia kira, saat subuh tiba kakek itu akan membangunkannya untuk sholat subuh. Tapi nyatanya ia tidak di bangunkan. Membiarkannya tidur hingga matahari muncul di ufuk timur. Apakah dirinya harus sholat subuh? Mengingat Allah telah menerimanya di rumahnya, bukankah sebaiknya ia sholat untuk berterima kasih? Ah, tapi waktu sholat subuh sudah berlalu. Nina akhirnya tak jadi melaksanakan sholat subuh. “Bangun, Mil.” Nina menggoyang tubuh Mila. Tak butuh waktu lama bagi Nina membangunkan adiknya, gadis itu kini sudah duduk dengan mata sayup, rasa kantuk belum sepenuh nya pergi dari pelupuk matanya. Nina juga sebenarnya masih mengantuk, namun ia harus segera bersiap pergi kerja, harus berangkat lebih awal karena berjalan kaki. Sebelum mandi, Nina menjemur baju yang semalam sudah ia cuci, menjemur baju baju lain yang terkena hujan, beberapa buku Mila yang basah juga ia jemur di halaman samping masjid. Sadar, tak ingin membuat pemandangan masjid menjadi jelek dengan barang barang nya. Setelah itu segera mandi. Selesai mandi, Nina mengambil cermin kecil dari dalam tas make up nya. Tak banyak make up yang tersisa, hanya botol botol hampa terisi angin, menyisakan sebuah bedak tabur sachet dan sebuah lipstik yang tinggal sedikit. Nina lalu mengoleskan bedak tabur di wajahnya. Lalu mengoleskan lipstik di bibirnya. Tak ada parfum, tak ada baju halus tersetrika rapi. Kecantikannya bagai perhiasan plastik, bukan dari emas. Saat melihat bibirnya yang merah lembab, pikirannya Nina tiba tiba melayang ke malam beberapa minggu lalu, di malam yang sunyi, saat baru pulang kerja. Bimo tiba tiba menyerangnya, tapi seorang pria asing yang tampan menyelamatkan nya, namun pria justru mencuri ciuman pertamanya, ciuman itu kuat, mendominasi, dan menguasainya hingga membuatnya tak berdaya. Pikiran gila tiba tiba muncul di otak Nina, haruskan aku mengambil keuntungan dari kejadian itu? Bagaimana kalau…, aku menuntut ganti rugi atas ciuman itu? Ciuman itu termasuk pelecehan kan? Nina belum pernah pacaran, belum pernah bersentuhan dengan pria. Ayahnya mendidik keras agar ia menjaga diri hingga kuliah. Namun, saat ia dewasa dan siap membuka hati, ayahnya meninggal, meninggalkan hutang milyaran. Kini, siapa lelaki yang sudi menerima gadis dengan beban delapan milyar? Pagi itu, tak ada sarapan, tak makanan yang bisa Nina berikan, ia bahkan hanya meneguk air mineral sebelum berangkat kerja, berharap air itu bisa mengisi sedikit energinya. Mila yang duduk di sampingnya juga melakukan hal yang sama. Anggap saja minuman itu sebagai teh hangat yang nikmat. “Maafkan aku, Mil. Aku tidak bisa membeli sarapan,” ucap Nina pelan. “Uangku sudah habis diambil penagih.” ungkap Nina dengan wajah menunduk sedih. Seandainya uang malam tadi tak di ambil Bimo, tentu pagi ini ia masih bisa beli sarapan. “Nggak papa, Mbak. Aku sudah terbiasa kok.” ucap Nina berusaha mengerti keadaan. “Mbak, gimana kalau aku ikut kamu kerja di restoran? Aku nggak mungkin lanjut sekolah kan? Kita nggak punya uang. Lagian sekeras apapun kita kerja, uang kita pasti diambil penagih, kita nggak akan punya uang untuk membayar sekolah ku.” “Nggak usah, Mil. Kamu fokus aja sekolah, mbak yang urus biayamu.” pelan suara Nina menanggung perih, dunia ini tak adil untuk Mila, padahal ia dulu bisa sekolah sampai kuliah tanpa khawatir biaya, tapi adiknya? Baru masuk SMA sudah terancam tak bisa melanjutkan. “Nggak usah mikirin sekolahku, Mbak. Aku ikut kerja kamu aja.” Mila menggeleng yakin. “Aku nggak bisa lagi melihatmu banting tulang sendirian. Kalau aku kerja pasti bisa meringankan bebanmu,” Ucapnya. Nina menunduk, menahan air mata yang bergejolak di pelupuk matanya. “Aku…, tanya dulu sama bos ku,” ucap Nina sambil mengangkat wajahnya. “Karena sekarang kamu tidak mungkin sekolah.” Mata Nina basah menatap tas dan buku Mila yang teronggok di bawah terik matahari, “ sekarang, mending kamu nyapu nyapu masjid dan halaman, setelah itu terserah kamu mau ngapain. Kita makan setelah aku pulang kerja.” “Iya, Mbak.” jawab Mila tegar, menganggukkan kepalanya. Memaksakan senyumnya yang lemah. “Ku usahakan, malam ini kita bisa tidur di kosan yang layak.” Nina membelai rambut adiknya. “Aku berangkat,” ucap Nina sambil berpaling. Menyusut air matanya cepat, maafkan aku Mila, kamu baru sarapan di siang hari. Hati Nina menjerit menangis. Di luar, Nina berjalan cepat meninggalkan masjid. Bergegas pergi ke tempat kerja dengan berjalan kaki. Meski hati teriris. Ia memilih bersyukur, berjalan kaki ke tempat kerja adalah nikmat tersendiri, menyehatkan tubuh. Sepulang kerja, ia akan menemui pria kaya yang tinggal di perumahan elit itu. Siapa dulu nama nya? Nina berusaha mengingat ingat nama pria itu. Bara!! Ya nama pria itu adalah Bara. Wajah Nina bercahaya penuh harap. Satu juta saja, pasti bukan masalah bagi pria itu. Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN