Part 18

1548 Kata
Kepala Ria hampir terjatuh. Beberapa kali matanya juga tertangkap hampir terpejam. Sungguh, Ria dibuat terkantuk-kantuk mendengar senandung tembang Jawa yang dinyanyikan Nertaja. Kebetulan sekali Ria duduk di sebelah Nertaja. Tambah membuatnya kantuk dikarenakan posisi yang dekat untuk mendengar suara halus Nertaja. Di depan, tepatnya di tengah-tengah pendopo. Ada Hayam Wuruk yang menari lincah menggunakan topeng. Sesekali ia melirik ke Ria. Wanita itu selalu tertangkap basah olehnya, mengantuk. Dan, Gajah Mada pun juga menyadari tingkah aneh gadis unik itu. Melihat tingkah Ria, bola mata Gajah Mada berputar malas. Sudah biasa, pikirnya. Di suatu detik, suara Nertaja secara tiba-tiba meninggi nyaring. Membuat Ria yang terkantuk-kantuk jadi tersentak bangun. "Anjim!" Plak! Karena terkejut, spontan tanpa sadar Ria memukul lengan Nertaja. Kejadian Ria yang lancang telah memukul seorang Putri Majapahit, membuat semua orang yang hadir terdiam. Suasana mendadak hening. "Ricis, mengapa kau memukulku?!" cerca Nertaja. Wanita itu meringis, melihat lengannya sedikit memerah akibat pukulan Ria. "Ya, elo, sih! Kaget gue, woi! Lo nyanyi nya drastis ninggi gitu. Nyeremin!" balas Ria. Malah dia yang protes. Nertaja masih meringis. "Pedih sekali rasanya. Pukulanmu kuat sekali." "Masih bagus rasanya pedih. Dari pada rasanya seperti Anda menjadi Ironmen. Hah, malah lebih kaget gue, lo jadi Odading Mang Oleh." cerocos Ria membingungkan otak Nertaja. Ria melihat Hayam Wuruk mendekat. Memeriksa tangan Adiknya yang memerah. Ekor mata Ria melirik kesal ke arah dua orang itu. Akan tetapi, batin Ria berkata lain. "Bakal kena hukuman pidana gak ya, gue, karena mukul Putri Majapahit?" Menoleh ke segala arah. Ria memperhatikan sekitarnya. "Aman. Emak mereka gak ada. Tapi, Nertaja tipikal anak pengadu gak ya." "Hei, kau ini!" Ria terkisap. Di hadapannya, sosok Gajah Mada menatapnya tak bersahabat. "Selalu saja berbuat onar, tapi tak ada rasa bersalah. Yang kau pukul barusan itu seorang Putri!" oceh Gajah Mada. Namun, ekspresi Ria terpasang tenang. Malah Ria menyahut. "Lah, mana saya tau. Saya kan ikan." Sebenarnya Ria cemas. Takut dimarahi Hayam Wuruk. Lebih parahnya, ibu Hayam Wuruk. Ria memasang sikap biasa saja, hanya karena tidak ingin terlihat lemah oleh orang. Itu yang membuat Ria stay cool depan camera. "Ria," Untuk kedua kalinya, Ria terkisap. Jantungnya berdegup kencang, lantaran yang memanggil barusan adalah Hayam Wuruk. Beda urusan. Kalau tadi Gajah Mada, Ria bisa bersikap biasa saja. Ini, yang memanggil Raja Majapahit. Abangnya Nertaja, orang yang barusan ia pukul. "Oke, sip. Bakalan di hukum rajam gue kayaknya." pikir Ria berlebihan. "Kemari. Mendekatlah." suruh Hayam Wuruk. Tangannya menepuk tempat kosong di sebelahnya. Ria menghela napas. Terpaksa Ria mendekat. Pikiran ia sudah menduga-duga pasti ia akan dimarahi. Secara Hayam Wuruk Kakaknya Nertaja. Tentu saja bela Adik. "Kenapa?" tanya Ria malas. Sorot matanya tak berani menatap Hayam Wuruk terang-terangan. "Belajarlah minta maaf. Aku tahu, kau itu merasa bersalah. Hanya saja, ego menelan perasaan bersalahmu itu." Entah mengapa, mendengar ucapan Hayam Wuruk, Ria dibuat terharu. Karena Ria diam saja tiada respons, Hayam Wuruk yang bergerak. Tangan pria itu mengambil tangan Ria. Pria itu mengarahkan tangan Ria itu, menuju tangan Nertaja. Ia satukan tangan kedua wanita itu. Perlakuan Hayam Wuruk yang tanpa permisi, mengejutkan Ria. Kejadiannya begitu tiba-tiba. Ria sulit menolak. "Minta maaf, Ria. Tak apa. Minta maaf, tidak membuatmu rendah." Ria menghela napas berat. Akhirnya Ria berani menatap semua orang. "Gini. Gue kalau temenan, gue yang selalu yang minta maaf duluan. Gue terus. Percaya, deh. Tapi, tadi itu gue kaget. Mau kok, gue minta maaf, Ner! Tapi tuh, gue lagi nyari waktu yang tepat. Terlebih kita kan, baru kenal. Istilahnya, belum ketemu celah buat minta maaf itu gimana. Kalau sama temen-temen gue di tahun 2020 kan, udah kenal lama. Begitu lah kira-kira." jelas Ria panjang lebar, supaya mereka paham. Seulas senyuman, terbit di bibir Nertaja, selepas mendengar penjelasan Ria. "Tak apa, Ria. Aku tau, kau tak bermaksud jahat padaku." maklum dari Putri Majapahit. "Woiya, jelas! Abang lo aja yang melebih-lebihkan!" sindir Ria terang-terangan. Bahkan Ria berani menatap Hayam Wuruk disebelah. Kurang terbuka apalagi sindirian Ria. Namun sayang, Hayam Wuruk yang kepekaannya dibawah rata-rata tidak mengerti maksud Ria. "Tapi, kita masih tetap bisa berteman kan?" "Masihlah! Kalo nggak, lo bakal kesepian. Lo kan, mana punya teman lagi selain gue dimari." jawab Ria percaya diri tingkat tinggi. Gajah Mada yang mendengar, sampai memutar bola mata malas. Nertaja tersenyum legah. Nasib pertemanannya dengan Ria masih berjalan baik. Deheman Hayam Wuruk, mengalihkan perhatian ketiga orang itu. Alhasil, sepasang mata mereka tertuju ke arah Hayam Wuruk. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh penguasa Majapahit itu. "Ria, aku dan Nertaja sudah berlatih." "Terus?" sela Ria cepat, belum lagi Hayam Wuruk selesai bicara. Soalnya Ria punya perasaan tidak enak. "Semua orang sudah, tinggal kau lagi yang belum. Bukankah kau bagian dari penghibur pesta rakyat? Kau lupa amanat dari Ibundaku?" "a***y, bener. Aishh, minus akhlak si Hayam Wuruk. Sengaja nih dia, ingatin amanat Ibundanya." gumam Ria. Ria melirik Hayam Wuruk yang tersenyum puas. Terlihat senang melihat wajah panik Ria. Benar dugaan Ria. Raja Majapahit itu sengaja. "Sekarang?" tanya Ria, yang wanita itu jelas mengetahui jawabannya. Tapi masih saja tetap bertanya. "Amanat dari annggota keraton mutlak, tidak bisa ditentang. Baik itu sesama anggota keraton tersendiri, keraton Negri tetangga, abdi dalem, ataupun rakyat. Semua sama di mata hukum." "Akhhh, iya, iya! Tau!" potong Ria kesal. Dengan wajah yang menekuk dan gerakan super malas. Ria beranjak berdiri. Ia menghadap ke arah banyak orang. Ria akan menunjukan sebuah persembahan yang nantinya ia tampilkan di pesta rakyat. "Keahlian apa yang akan kau perlihatkan kepada kami, Ria?" penuh wibawa, Hayam Wuruk bertanya. Senyuman ramah pria itu tak pernah pudar. Berbeda jauh dengan wajah Ria yang kusut. "Ibunda lo nyuruh gue nyinden!" jawab Ria ketus. "Kau bisa?" "Nggak!" jujur Ria. Memang kenyataannya seperti itu. Tidak mungkin Ria paksakan. Kalau ia paksakan, bisa lepas kuping semua orang. Tampak Hayam Wuruk berpikir. "Jadi, apa saja yang bisa kau tunjukkan? Keahlian yang kau miliki, Ria." Tiba-tiba saja Ria tersenyum lebar. Wajahnya berseri, karena menemukan keahlian apa yang ia miliki. "Gue bisa dance tik tok!" seru Ria bersemangat. "Hah, apa?" beo semua orang. Mulai terdengar bisik-bisik dari para abdi dalem yang hadir. Yang nantinya akan turut memperiah acara pesta rakyat. Ria berdecak, "Itu loh. Sama kayak menari jaipong, tapi ada bedanya lah." Penjelasan Ria kali ini tidak berhasil dicerna oleh mereka. Wajah Ria yang semula berseri, drastis berubah datar. Ria menghela napas panjang. Berusaha sabar. "Aduh, lo pada liat aja deh." seloroh Ria tidak mau ambil pusing. Lantas, Ria merogoh saku rok panjang yang ia kenakan. Ponsel canggih miliknya, Ria otak-atik. Lantunan musik mulai terdengar melalui benda pipih berbentuk persegi itu. Orang-orang sekitar yang tadi hanya bisik-bisik manja, berubah jadi riuh. Terheran-heran dengan sebuah benda punya Ria yang bisa mengeluarkan suara. "Gadis ini, selalu bisa membuat kericuhan di manapun." decak Gajah Mada yang sudah biasa. Sebelumnya dia telah mengetahui ponsel pintar kepunyaan Ria saat mengajak gadis itu bertarung pedang. "Sstt, gais! Semuanya, diam dulu!" titah Ria. Sedetik dari perintah Ria, keadaan langsung hening. Setelah kondisi aman terkendali, Ria menyetel musik yang telah ia pilih. Suara musik mengalun dan tubuh Ria mulai bergerak mengikuti dentuman musik. Musik yang Ria pilih adalah DJ Mama Muda. "AKU SUKA BODY GOYANG MAMA MUDA! MAMA MUDA DADADA, BODY MAMA MUDA!" Teriakan Ria yang mengikuti dentuman musik yang ia setel, membuat suasana kacau. Serentak semua orang menutup telinga masing-masing. "Sudah ku bilang, gadis ini tidak mempunyai keahlian apapun selain membuat onar." desis Gajah Mada. "Ria! Ria! Sudah! Sudah cukup!" Intruksi Hayam Wuruk, menghentikan nyanyian hancur Ria. Ingin Ria protes, mengapa Hayam Wuruk menghentikan dirinya. Lagi enak-enak bernyanyi. Padahal yang tadi menyuruhnya bernyanyi pria itu. "Latihanmu hari ini, ku rasa sudah cukup sampai di sini aja." "Kenapa? Gue kan, emang harus latihan. Pesta rakyatnya besok loh, Baginda. Gue harus tampil perfect, sempurna!" Hayam Wuruk tersenyum kikuk. "Bukan begitu, Ria, tapi—" "Hayam Wuruk, mengapa kau masih ada di sini?" Kedatangan Tribhuwana membuat kepala setiap orang menoleh ke sumber suara. Penuh wibawa, mantan Ratu Majapahit itu datang dengan di dampingi dua abdi dalem. "Maksud, Ibunda?" Tribhuwana terbelalak. "Hayam Wuruk, kau masih saja bertanya, padahal Dyah Pitaloka sudah menunggumu di pendopo utama?" Semula Hayam Wuruk yang sedang duduk, langsung berdiri tegap. Kaki Hayam Wuruk melangkah mendekati Tribhuwana. Kedua telapak tangannya menggenggam tangan Ibundanya. "Ya Dewa, maafkanlah aku, Ibunda. Karena sibuk berlatih, aku jadi melupakan kedatangan Dyah Pitaloka. Baiklah, mari kita ke sana." Kemudian Hayam Wuruk berjalan beriringan dengan Tribhuwana. Diikuti pula oleh Gajah Mada, lantas Nertaja mengajak Ria untuk mengikuti juga rombongan pergi. "Kita ini mau ke mana?" tanya Ria penasaran, seraya mereka ikut berjalan dari belakang. Sedari tadi, Ria tidak paham arah pembicaraan Hayam Wuruk dan Tribhuwana beberapa detik yang lalu. "Menyambut kedatangan, Yunda Dyah Pitaloka." Alis Ria menukik. Masih tidak mengerti. "Siapa, sih?" Tampak Nertaja terkejut. "Kau tidak tahu, Dyah Pitaloka?" "Ya, mana gue tau. Gue kan, bukan bagian dari zaman ini." balas Ria logis. "Benar juga." "Emang siape sih die? Selebgram?" ulang Ria bertanya. Agak tak masuk akal, mana ada selebgram di zaman ini. Terlebih Dyah Nertaja tidak memahami pertanyaan Ria. Cocok sekali. "Yunda Dyah Pitaloka itu, adalah Putri dari Prabu Lingga Buana. Raja dari Keraton kesepuhan Padjadjaran. Keraton itu merupakan satu-satunya Keraton yang sampai sekarang belum bisa Kakanda takhlukan di bawah kekuasan tanah Majapahit. Tanah Pasundan menjunjung tinggi harga diri mereka." ujar Nertaja, yang sebenarnya tak terlalu Ria dengar. Ria hanya mendengar sampai penjelasan siapa itu Dyah Pitaloka. Bagian penjelasan keraton, Ria mengambil sikap bodo amat. °°° Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN