Part 17

1590 Kata
Pengumuman keras dari prajurit yang menjaga pintu kamarnya di luar, menyentak Ria. Sontak Ria menoleh ke arah pintu. Pintu sudah terbuka. Dari ambang pintu, masuk seorang wanita yang sedari tadi tengah Ria bicarakan. "Panjang umur banget Mak Hayam Wuruk. Bakal lama hidup, nih mantan Ratu." batin Ria, meneguk ludah melihat kedatangan Tribhuwana yang penuh wibawa. "Maaf, aku datang dengan tiba-tiba. Kau tampak terkejut." Tribhuwana tersenyum singkat. Jenis senyuman yang dipaksa. Itu yang Ria tangkap. "Aku datang berniat menjengukmu. Apa perutmu sudah membaik?" sambung Tribhuwana. "Su—sudah, Kanjeng Ratu." jawab Ria, kentara sekali gugup. Suaranya terdengar gemetar. Tribhuwana tiba-tiba saja tertawa, padahal tidak ada yang lucu. Telapak tangannya mengibas, "Hilangkan embel-embel Ratu itu. Aku sudah tak lagi memimpin tanah Majapahit ini." "Jadi panggil apa, Ibuukk?! Panggil Tante? Tante-tante culik aku dong! Icikiwirrr!" batin Ria, berujung bernyanyi. Karena batinnya sendiri yang melenceng, Ria tertawa dalam hati. Mati-matian ia tahan tawanya agar tak meledak. "Menurutku... Baiknya kau panggil aku Ibunda. Sama seperti kedua Anakku. Bagaimana?" Sekilas Ria tak sengaja melihat Tribhuwana meliriknya sinis. Senyuman wanita itu juga tampak memiliki arti lain. Beda dari senyum sebelumnya. "Ter—terserah Anda saja. Tapi, apakah itu tak terasa lancang?" "Tidak, tentu tidak." Tribhuwana menggeleng cepat. "Aku justru akan sangat senang mendapat panggilan Ibunda dari keturunan darah biru Kerajaan Indonesia." "Vampire dong gue, darah biru. Awokawok." batin Ria, sempat-sempatnya di situasi genting seperti itu. "Ini ngomong-ngomong, ngapa aura nya jadi rada beda ya? Macam lagi penelusuran dunia lain." "Sampai kapan kau menetap di sini?" celetuk Tribhuwana. Matanya lekat menatap gerak-gerik Ria. Tatapan wanita itu seolah ingin menelan Ria bulat-bulat. Itu yang Ria rasakan. "Maksudnya apa nih? Dia ngusir gue? Nyindir atau gimana nih?" "A... Aku juga tidak tahu, I... Ibun... Da..." jawab Ria gagu. Terlebih dikata bagian Ibunda. "Sungguh aneh anggota kerajaan tidak mencari Putri mereka yang pergi entah ke mana." ucap Tribhuwana, disertai lirikan ke arah Ria. Wanita itu mulai bergerak. Mengelilingi kamar Ria. Bola matanya memasati setiap inci sudut kamar yang Ria tempati. Tribhuwana yang berdiri di sebelah kasur, menoleh ke arah Ria. "Siapa yang memilih bilik ini untuk kau tempati?" "Gusti Prabu Sri Rajasanagara, Ibunda." lengkap Ria menyebutkan nama beserta gelar Hayam Wuruk. Hal tersebut ia lakukan, agar dinilai sopan. Ria takut berbuat aneh dihadapan mantan penguasaha Majapahit ini. Ria memilih menghindar dari masalah. "Sudah kuduga," gumam Tribhuwana, dengan ujung sudut bibir terangkat membentuk senyum masam. Kemudian Tribhuwana mendekat ke arah Ria. "Ah, sebenarnya kedatanganku bukan sekedar menjengukmu saja. Tetapi, ada suatu hal yang ingin ku beri untukmu." Salah seorang Dayang yang menemani kedatangan Tribhuwana, mendekat. Tampak Dayang itu membawa sesuatu. Seperti beberapa lipatan kain, beserta perhiasan. Kilau perhiasan itulah yang lebih mencolok di penglihatan Ria. "Widiihh, gue mau dikasih oleh-oleh! Mantap Ibu calon mertua!" "Kain dan jarik ini adalah yang terbaik dari kepunyaan tanah Majapahit." ujar Tribhuwana. Telapak tangannya menyentuh permukaan kain serat tersebut. "Aku berikan untukmu. Aku berharap, kau mengenakannya saat pesta rakyat diselenggarakan lusa." Mata Ria penuh binar menatap pemberian Tribhuwana. Ria mengambil pemberian tersebut, dengan rasa bangga. "Apa ini pertanda Mak Hayam Wuruk restuin gue jadi calon mantu? Wkwk!" "Terima kasih, Ibunda!" "Apa kau menyukainya?" tanya Tribhuwana, yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Basa basi saja. "Suka sekaliii!" jujur Ria menjawab. Tentu Ria suka. Apalagi ini gratis. "Jikalau engkau suka, berarti kau akan lebih semangat menjadi Wadi Mangidung saat pesta rakyat terselenggara." Sontak alis Ria berubah mengerut. "Wadi Mangidung?" "Kau tak tahu?" Tribhuwana menunjukkan wajah terkejut. "Memangnya kerajaanmu itu berada di pulau mana? Kata Wadi Mangidung terdapat di Prasasti Waharu satu." Tiba-tiba mata Tribhuwana menyipit. Tatapan curiga Tribhuwana mulai menghujam Ria. Membuat Ria mati kutu. "Ada satu yang belum terlewat, saat aku bertanya padamu tadi. Tentang kerajaanmu berada di mana? Terlihat dari ketidaktahuanmu mengenai kata Wadi Mangidung, sepertinya kerajaanmu bukan berada di pulau jawa." "Skak mat lagi gue, a***y!"  batin Ria berteriak. Rasanya Ria ingin menghilang saja dari bumi. Sebuah pertolongan Tuhan, menyelamatkan Ria dari pertanyaan kematian. Ria teringat suku Ayahnya, yaitu melayu. Ya, Ayah Ria adalah seorang berdarah melayu, yaitu Jambi. Sedangkan Ibunya adalah seorang berdarah sunda. Senyuman Ria langsung mengembang, tatkala mendapatkan ide cemerlang tersebut. "Memang bukan. Letak kerajaanku kan, berada di tanah melayu. Maafkan aku yang lupa mengatakannya padamu, Ibunda." bertepatan dengan kata Ibunda, semunya Ria semakin mengembang. "Oh, tanah melayu. Seketika aku teringat Dara Petak, ibu tiriku." "Dara Petak saha Ibuukk! Jelasin kek, udah tau aing teh g****k pasal sejaraahh!" gemas Ria dibatin. Tribhuwana lantas menghela napas. "Baiklah, waktumu hanya dua hari untuk berlatih menjadi seorang Wadi Mangidung bersama Dyah Pitaloka." "Eh, Ibunda!" Ria mencegah kepergian Tribhuwana. Teriakan Ria membuat langkah Tribhuwana terhenti di ambang pintu. Tribhuwana membalikkan badan. "Apa ada lagi yang ingin kau tanyakan?" Kepala Ria mengangguk. "Iya. Kau belum menjelaskan apa makna dari Wadi Mangidung." "Oh, haha. Maaf, maafkan aku." Tribhuwana tertawa kecil. Ia menutup mulutnya. "Wadi Mangidung sebutan bagi seorang pesinden." "Oalahh, kang sinden... Itu mah gue tau! Ngapa gak dari tadi kek, nyebut pesinden doang elahh, Ibuukk! Sok-sok wadi mangidung," Sibuk membatin, otak Ria teringat satu kata yang terlupa. "Apa? Pesinden?! Berarti nanti aku akan menyinden di pesta rakyat?!" Tribhuwana mengangguk tanpa dosa sebagai jawaban. Melihat respons Ria yang heboh, membuat diri Tribhuwana senang. Berarti ia berhasil membuat cemas gadis itu. Jahat memang ibu Hayam Wuruk ini. "Seperti kataku tadi. Berlatihlah! Karena kau akan menyelaraskan suaramu dengn suara Dyah Pitaloka." setelah berkata demikian, Tribhuwana berlalu pergi diikuti dua abdi dalemnya dari belakang. Sedangkan Ria, masih berdiri mematung dengan mulut cengo. Menatap hampa pintu kamarnya yang terbuka lebar. "Gue. Jadi. Pesinden. Tooloong..." lirih Ria, menekan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Tetapi, sedetik kemudian alis Ria bertaut. Ria teringat satu nama yang mencolok. Dua kali Tribhuwana sebutkan. "Wait... By the way, who is Dyah Pitaloka? Ha?" °°° Langit sudah menggelap. Binatang malam mulai terdengar, sahut-sahutan. Berlomba-lomba memberi tahu pada manusia, bahwasanya waktu beristirahat dari penat akan dunia sudah tiba. Hayam Wuruk meletakkan mahkota pertanda kepemilikannya atas kuasa tanah Majapahit, di atas sebuah meja. Meja itu bersebelahan dengan kasur yang tengah ia duduki. Setelah semua perhiasan mewahnya ia lepaskan. Termasuk sekarang rambutnya telah tergerai, ia siap tidur. Masuk ke alam mimpi. Baru hitungan detik Hayam Wuruk merebahkan badan. Terdengar suara ketukan dari arah jendela. Sontak tubuh Hayam Wuruk terangkat. Posisi Raja itu berubah menjadi duduk. Menatap ke arah jendela dengan alis beradu. "Siapa gerangan yang mengetuk jendela kamarku di malam hari begini?" gumam Hayam Wuruk. Otaknya mulai bermunculan pemikiran buruk. "Apakah itu Bandit yang memiliki niatan buruk untuk Majapahit?" Namun, di satu sisi Hayam Wuruk merasa pikirannya sangat tak masuk akal. Mana mungkin Bandit dengan bodohnya mengetuk jendela kamar seorang Raja. Bandit itu bisa saja dengan mudah langsung menerobos masuk. Karena bingung sendiri dengan pemikiran buruknya, Hayam Wuruk memutuskan untuk memeriksa langsung siapa gerangan yang mengetuk. Hayam Wuruk membuka jendela kamarnya, dan... "Akhh, astaga!" "Allahuakbar!" Hayam Wuruk dan seseorang di luar jendela sama-sama terkejut. Hayam Wuruk menyentuh dadanya yang berdebar hebat. Ia masih menatap seseorang di luar jendela ini dengan ekspresi syock. "Lama banget Baginda, buka jendelanya. Keburu kiamat monyet!" Rupanya yang mengetuk jendela sedari tadi adalah Ria. Wanita itu memanjat jendela, lalu melompat masuk. Persis seperti maling. Setelah merasa jantungnya tenang, Hayam Wuruk mendekati Ria. Raja Majapahit itu melontarkan pertanyaan yang ada di pikirannya. "Ada apa gerangan kau ke kamarku, Ria, malam buta seperti ini? Terlebih kedatanganmu dengan cara mengetuk jendela. Mengapa tidak lewat melalui pintu saja?" Ria menatap wajah Hayam Wuruk. Wajah Ria yang begitu dekat dengannya, membuat Hayam Wuruk merasa tak nyaman. "Hei, hei, hello! Anda amnesia, kalo naruh prajurit di depan pintu udah kayak mau ngajak baku hantam satu kecamatan?!" celoteh Ria disertai jentikan jari. "Kalau itu yang jadi penghambat kau datang kemari, kau bisa bicara baik-baik niatmu pada mereka. Nanti, mereka datang dan memberitahuku bahwa kau menunggu di depan." jelas Hayam Wuruk panjang lebar. Namun, malah mendapatkan respons enteng dari Ria. "Ah, ribet!" Ria mengibaskan telapak tangannya. "Definisi cewek. Kalau ada yang ribet, kenapa harus yang mudah?" lantas Ria tertawa sendiri. Mata Ria tak sengaja tertarik pada suatu hal yang ia lihat, sehingga tawanya terhenti. "Widiihh, rambut lo panjang amat Baginda, kayak Duta Shampoo lain!" heboh Ria, menatap takjub rambut panjang hitam legam milik Hayam Wuruk. "Beritahu aku, apa niatanmu kemari, Ria?" tanya Hayam Wuruk, mengalihkan pembicaraan. Pasalnya ia risih rambutnya di tatap sebegitu intensnya oleh Ria. "Itu, Ibunda lo!" spontan intonasi suara Ria meninggi. Hayam Wuruk tersentak kaget dibuatnya. "Ibundaku kenapa?! Apa dia terkena musibah?!" Hayam Wuruk balik bertanya. Ikut panik. "Bukan, zeyeenkk!" Ria menepuk pelan jidatnya. "Lalu?" "Ibunda lo nyuruh gue jadi pesinden pesta rakyat lusa nanti!" jawab Ria cepat, dalam satu tarikan napas. "Benarkah?" Alis Ria seketika mengerut bingung. "Kok lo gak ikut terkejut kayak gue?" heran Ria. "Untuk apa aku terkejut?" lagi-lagi Hayam Wuruk balik bertanya. Kali ini disertai senyuman simpul. "Justru itu bagus." sambung Hayam Wuruk yang jauh sekali dari ekspetasi Ria. "Kok bagus?!" Hayam Wuruk melangkah lebih dekat. Saking dekatnya, Ria bisa merasakan deru napas pria itu mengenai permukaan kulit wajahnya. "Karena aku bisa mendengar suara indahmu." kata Hayam Wuruk terdengar serak. "Mengapa ide itu sebelumnya tidak terpikirkan olehku, ya?" Tersadar jaraknya antara Hayam Wuruk sangat dekat, refleks Ria mendorong Raja Majapahit itu. "Suara gue kayak toa masjid jebol, g****k sia!" teriak Ria emosi. Ria menatap Hayam Wuruk lama, dengan napas memburu. Namun, Hayam Wuruk bisa melihat sembrutan merah di kedua pipi gadis itu. "Dahla, lo gak bisa di andelin!" cerca Ria, lantas pergi menuju jendela, kemudian melompat keluar seperti tadi. Hayam Wuruk membanting tubuhnya di kasur. Raja Majapahit itu senyam-senyum sendiri menatap langit-langit kamar. Hayam Wuruk mengusap wajahnya. "Ibundaaa, kedatanganmu sungguh membawa berkah bagiku!" °°° Bersambung... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN