Part 16

1366 Kata
"Gelar ku... Ge... Lar..." Terbata-bata Ria berucap. Antara otak dan mulut Ria sulit melaraskan untuk bekerja. Pertanyaan dari Tribhuwana menempatkan Ria pada ambang kematian. "Mampus gue, mampus! Gelar gue apaan, cuk? Woi, gue gak bisa nyontek google apa? Huweee, rasanya mau meninggal!" Dahi Tribhuwana mengernyit bingung melihat reaksi Ria. "Ada apa dengamu? Mengapa kau tampak gelisah?" tanya Tribhuwana, menambah rasa gugup Ria. "Ini maknya Hayam Wuruk ngapa pakek acara dateng kemari sih? Gue usir juga nih!" batin Ria tak tahu diri. Bagaimana dia bisa mengusir Tribhuawana? Wong itu Kerajaan punya dia. "Tidak!" kepala Ria menggeleng ke sana ke mari. Keringat sudah membanjiri pelipisnya, tanpa ia sadari. "Tidak apa?" Tribhuawana makin dibuat bingung. "Tidak itu... Gelarku. Maksudnya gelarku adalah... Emmhh..." Satu detik, dua detik. Ria curi-curi pandangan ke arah Hayam Wuruk, Nertaja, bahkan Gajah Mada. Sialnya, mereka malah membuang muka seakan tidak mau tahu. "Njay, gak di zaman dulu sama masa depan, tetap aja ada yang namanya friendshit! Awas aja kelen! Tunggu pembalasan gue! Bakal gue sedot ubun-ubun kalian atu-atu! Terutama Hayam Wuruk tuh. Pengen dah, gue congkel jakunnya, biar gak bisa ngomong lagi!" oceh Ria panjang lebar di batin. "Ya, lantas, apa gelarmu? Sedari tadi, kau belum mengatakannya." Suara Tribhuwana menyentak Ria. Ria kembali dibuat gugup. "Bodo amat dah! Sabodo teing! Apa aja, lah, gaskeun!" acuh Ria tak peduli. Lelah dirinya berkutat pada pikiran. Sama sekali pikirannya tidak membantu. "Ricis! Gelarku adalah Ricis!" celetuk Ria, dengan senyuman bangga. Entah apa yang ia banggakan dari ucapan bodohnya itu. Bersamaan pula dengan ucapan Ria barusan, Hayam Wuruk, Nertaja, dan Gajah Mada memejamkan mata malu. Mereka bertiga mengutuk ucapan bodoh Ria. Benar bukan? Itu perbuatan bodoh, malah dibanggakan. "Ricis?" lagi-lagi Tribuwana dibuat bingung. "Beri tahu aku, apa makna yang terkandung dalam gelarmu itu? Tiap gelar, selalu ada makna yang disisipkan sebagai doa." "Allahu kareem, gak anak gak emak, sama aja! Sama-sama kepo melebihi kekepoan intelejen tetangga!" Menarik napas panjang. Terpaksa Ria harus menjelaskan makna dari gelar RICIS. Lumayan juga setelah dipikir-pikir. Ia bisa promosi akun Youtube nya di zaman ini. "Ricis. Ria, Cantik, Imut, maniS. Itulah makna dari Gelarku. Ria Ricis." jelas Ria setenang mungkin. Berharap setelah ini, Tribhuwana tak bertanya macam-macam lagi. "Nanya lagi, gue piting juga nih buibu!" "Gelar yang an—" "Sendhiko dawuh, Ibunda." Hayam Wuruk sengaja menyela ucapan Tribhuwana yang berniat bertanya lagi. "Ibunda baru saja datang. Ada baiknya, Ayahanda, Ibunda, beserta rombongan kahuripan mengistirahatkan diri. Nanti, aku akan memanggil kalian setiba jamuan malam tiba." Kepala Ayahanda Hayam Wuruk menggangguk setuju. "Kau benar, Anakku. Baiklah, kami akan beristirahat sejenak. Sudah lama tidak merehatkan tubuh di sini. Benar, Istriku?" "Benar sekali, Kakanda." balas Tribhuwana. Rombongan Kahuripan pun beranjak pergi duluan. Para prajurit Majapahit membantu membawaka barang-barang. Merasa rombongan Kahuripan sudah agak menghilang dari pandangan mata, barulah keempat orang tadi bisa bernapas legah. "Aku menahan napas sedari tadi!" celetuk Nertaja hiperbola. Ia memegang dadanya yang berdegup kencang. Hayam Wuruk menoleh ke arah Ria. Penasaran dengan ekspresi wanita itu. Karena memang yang menjadi sasaran utama kecemasan tadi adalah Ria. "Ria, bagaimana keadaanmu?" "Gak usah sok basa basi!" ketus Ria menjawab cepat. Hayam Wuruk tersentak. Dalam hatinya dipenuhi rasa bingung. Dia ada salah, kah? "Ria, kau kenap—" Tangan Hayam Wuruk yang hendak menyentuh Ria, wanita itu tepis. Kedua kalinya Hayam Wuruk dibuat tersentak atas perlakuan Ria. Perbuatan yang diartikan berani sekaligus lancang, bagi seorang kasta rendahan seperti Ria, kepada Raja. "Dahla, gue mau ke kamar! Capek! Bye!" setelah berkata demikian, Ria berlalu pergi. Meninggalkan tiga orang yang menatapnya bingung. "Gusti Prabu, wanita itu mengapa lagi?" tanya Gajah Mada, yang kepekaannya minus. Lebih parah dari Hayam Wuruk. Bibir Hayam Wuruk terukir senyum tipis. Sorot matanya memandang ke arah di mana Ria melangkah. "Suasana hatinya sedang buruk, Mahapatih. Biarkan seperti itu. Nanti akan membaik dengan sendirinya." "Benar perkataan Kakanda." sahut Nertaja. "Sebagai sesama wanita, aku tahu apa yang tengah Ria alami. Dia memang butuh waktu untuk menyendiri. Aku pun sering begitu, kalau suasana hatiku sedang tidak bagus." Gajah Mada mengangguk, sebagai tanggapan. Tak ada jawaban yang mesti ia lontarkan. Namun, ada sesuatu yang dipikirkan oleh Mahapatih itu. Dan kini, pikirannya tersebut ia salaurkan ke batin. "Tak ku sangka, Gusti Prabu bisa memahami perasaan wanita. Biasanya dia tak terlalu peduli perasaan wanita lain, kecuali Ibundanya. Kanjeng Putri Nertaja saja yang Adiknya, sulit ia ketahui perasaannya. Mengapa perasaan wanita asing itu, bisa Gusti Prabu ketahui? Tapi, itu sebuah kemajuan untuk beliau. Mungkin saja Gusti Prabu akan menjadi lebih perasa untuk memahami perasaan semua wanita, termasuk perasaan Kanjeng Putri Dyah Pitaloka untuknya." °°° Hening menyelimuti ruang makan Kerajan Majapahit. Semuanya makan dengan tenang, termasuk Ria. Dari kejauhan, Hayam Wuruk mengamati gerak gerik Ria. Tidak ada yang aneh dari tingkah wanita itu. Tidak seperti biasanya setiap jamuan berlangsung. Biasanya jika sudah semua orang berkumpul, Ria akan bertingkah gila. Bergerak ke sana ke mari. Tak berhenti mengoceh. Namun sekarang, Ria bungkam seribu bahasa. Malah Hayam Wuruk yang tak tenang dari tadi, melihat Ria diam saja. Aneh, bukan? "Ck, ada apa dengan dirinya? Kenapa diam saja? Apa dia sedang menjaga tata krama, karena ada Ibunda di sini?" batin Hayam Wuruk, sembari meneguk air putih. Sama sekali pandangannya tak terlepas dari Ria dihadapan. "Demi Dewa! Aku tak suka kau berdiam diri saja, Ria! Bicaralah, melompat, berteriak, atau apapun yang kau sukai!" teriak Hayam Wuruk geram di batin. Terus menatap gerak gerik Ria, tanpa sadar gelas yang ia genggam, berubah jadi cengkraman. Beberapa detik berlalu, Ria mulai bertingkah aneh. Ria mencium makanan yang ia ambil. Perubahan ekspresi Ria yang tengah mengendus itu, merubah ekspresi Hayam Wuruk jadi berbinar. "Ap... Apa suasana hatinya sudah membaik?" Hayam Wuruk mengamati Ria yang sedang memandangi makanan bernama lepet itu, dengan alis berkerut. Kemudian, wanita itu tampak berbisik dengan Nertaja. Pembicaraan antara Ria dan Adiknya, jujur membuat Hayam Wuruk sedikit penasaran. Kepala Nertaja naik turun, mengangguki setiap ucapan Ria. Di seberang, setelah selesai berbicara Ria mengangkat ibu jari. "Kakanda!" Suara Nertaja, sontak menegapkan tubuh Hayam Wuruk. Dengan sigap, Hayam Wuruk menjawab, "Ada apa, Adikku? Ada yang kau inginkan?" "Tidak Kakanda. Bukan aku, tapi Ria." sekilas Nertaja melirik Ria disebelahnya. "Ria ingin kembali ke kamarnya. Ia berkata, mengalami sakit yang hebat di perut. Jadi, dia meminta izin darimu." Spontan Hayam Wuruk berdiri dari kursi. Pergerakan Hayam Wuruk yang tiba-tiba itu, membuat semua mata mengarah padanya. "Ada apa denganmu, Ria? Kau sakit? Akan aku panggilkan tabib untukkmu!" "Hayam Wuruk, kenapa kau ini?" tanya Tribhuwana. Tersisip nada tak suka di pertanyaan wanita itu. "Duduk!" titahnya tegas. Lalu, sorot mata Tribhuwana beralih ke Ria. "Kau mengapa? Apa sesakit itu perutmu, sampai harus kembali ke kamar?" "Eh, beleguk sia! Kok gitu amat pertanyaannya?! Jelas sakitlah perut gue, ibuukk! Ya, kaliii perut gue bercanda, lagi ngelawak!" batin Ria kesal. Pertanyaan Tribhuwana menyinggungnya. Akan tetapi, Ria tetap menjaga image. Kalau bukan karena wanita ini adalah orang tua yang patut dihormati, sudah Ria tarik ke ring smackdown. "Ya, perutku memang sakit sekali." jawab Ria formal. Raut wajah menahan sakit juga Ria tampilkan. "Tak apa. Kau beristirahatlah." celetuk seseorang, tak lain tak bukan Ayah Hayam Wuruk. Pria itu mengambil alih pemberian izin. Terlihat Tribhuwana hendak protes. Tetapi, keburu Ria berjalan pergi. Ria tahu, kalau berlama-lama di sana, pasti akan banyam pertanyaan yang ia terima. °°° Di dalam kamar, Ria menggerutu tak henti-hentinya seraya mengunyah sari roti. Makanan dari abad 21 itu, ia bawa dan berada di dalam beberapa kopernya. Beruntung sekali makanan abad 21 itu ada. Jadi, perutnya bisa menerima makanan layak dikonsumsi.  "Mau mampus aja lah gue! Serasa di awasi CCTV gue, karena Mak Hayam Wuruk ada!" Ria mengunyah penuh emosi potongan terakhir roti yang ia tengah makan. "Entahla, ya. Gue ngerasa, Maknya Hayam Wuruk itu curiga sama gue. Keliatan banget loh, dari tatapan dia." monolog Ria, menatap langit-langit kamar. "Duh, bahaya banget kalo Mak Hayam Wuruk tau rahasia gue! Cukup tiga orang aja yang tau, jangan ada orang baru lagi yang join! Pokoknya Mak Hayam Wuruk gak boleh tau gue manusia dari masa—" "Harap perhatiaann! Ndoro Agung Tribhuwana Tungga Dewi memasuki bilik saudari Riaaa!" Pengumuman keras dari prajurit yang menjaga pintu kamarnya di luar, menyentak Ria. Sontak Ria menoleh ke arah pintu. Pintu sudah terbuka. Dari ambang pintu, masuk seorang wanita yang sedari tadi tengah Ria bicarakan. °°° Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN