Part 15

2230 Kata
"Pantangan masuk ke dalam istana timur agak jauh dan pintu pertama. Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana, permaisuri, putra dan putrinya. Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana. Ketiganya bagai kahyangan semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni Cakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan." Syair nan indah dari seorang pria, menyambut pendengaran Ria. Terdengar pula suara sinden gemulai seorang wanita, bercampur tembang jawa. Menambah keindahan tersebut, menjadi tiada tara. Setelah sampai ke tempat perkara, Ria akhirnya mengetahui asal suara indah tadi. Rupanya berasal dari Hayam Wuruk beserta Adik, Dyah Nertaja. Sang Kakak yang wajahnya ditutupi topeng berwarna hijau, tengah bergolek lentur mengikuti alunan sinden Nertaja. "Om, Baginda kenapa nari-nari begitu? Lagi simulasi kerasukan Nyi Ronggeng?" bisik Ria, merapatkan tubuhnya ke Gajah Mada. Kini mereka tengah diam mengamati Hayam Wuruk, Nertaja, dan anggota lainnya yang berada di Pendopo Agung. Sengaja Gajah Mada berhenti dahulu di sini. Tak berani ia menghampiri Hayam Wuruk, karena itu dinilai tak sopan. Haruslah Raja selesai melakukan aktivitasnya dahulu, baru kemudian abdi dalem berani mendekat. "Mereka tengah berlatih tari topeng, untuk persembahan pesta rakyat tiga hari kedepan." perjelas Gajah Mada, supaya Ria tak salah paham. Gajah Mada melirik Ria yang jaraknya dekat sekali dengannya. Gajah Mada pun bergeser sangat jauh. Ria lantas langsung menoleh, "Dih, di sini berlaku juga PSBB yak? Gak di masa depan, gak di sini. Social Distancing teroosss!" cerocos wanita itu kesal. Lalu, keadaan hening. Cuma untuk beberapa saat. Kita sama-sama tahu, seorang Ria paling anti keheningan. "Sampe kapan kita nunggu di sini, Om? Capek tau!" tanya Ria, memecah keheningan. "Sampai mereka selesai." "Berapa lama?" "Sebentar lagi." "Sebentar laginya itu kapan?" "Kau ini banyak tanya sekali!" bentak Gajah Mada, melemparkan tatapan membunuh ke Ria. Detik itu juga bibir Ria mengatup. Ia tak berani berbicara. Baiklah, kali ini ia menurut. Sesuai kata Gajah Mada tadi. Menunggu saja sampai Hayam Wuruk dan Nertaja selesai. Satu jam berlalu. Akhirnya tari topeng Hayam Wuruk berakhir. Ria bernapas legah. Ia kemudian mulai beranjak pergi menghampiri Hayam Wuruk. Situasi berbalik. Sekarang Ria yang meninggalkan Gajah Mada. "Hei, mau ke mana kau?! Tunggu dulu!" "Yang Mulia Baginda Sri Rajasanagaraaa! I'm cooming, babyyy!" Teriakan Ria dari kejauhan, mengintruksi semua orang di Pendopo Agung. "Ria?" Hayam Wuruk mengamati Ria yang tengah berlari menuju ke arahnya. Baiklah, adegan ini persis seperti film India. Tiba-tiba mata Hayam Wuruk melotot, karena ia melihat ada batu di depan. Jika Ria melangkah lebih dekat sedikit lagi, bisa dipastikan Ria akan tersandung. "Ria, berhenti! Awas!" dengan gesit, Hayam Wuruk coba menyelamatkan Ria. Benar saja. Ria tersandung batu itu. Dan... Bruk! Tubuh Ria tak menyentuh tanah. Hayam Wuruk tepat waktu menyelamatkan Ria. Penguasa Majapahit itu, tengah membekap tubuh Ria dalam pelukannya. Ria mendongak. Tatapan mereka berdua bertemu. Sedang dalam keadaan begini, Ria merasa bagai ada sebuah lagu yang mengiringi. Lagu itu menggema di kepalanya. Dari matamu... Matamu... Ku mulai, jatuh cinta... Ku melihat, melihat, ada bayangan... Dari mata, ku jatuh terus, jatuh ke hati... "MasyaAllah, cakep banget jodoh gua. Sip, cerah nih masa depan gua, kalo bentukan jodohnya begini. Asyahadu anla, illaha illallah... Yok, Hayam Wuruk, yok! Lo pasti bisa! Gua tuntun nih lo, biar mualaf, terus kita bisa ke KUA bareng!" batin Ria bergejolak. "Ekhem!" Berkat deheman Gajah Mada, pandangan Ria dan Hayam Wuruk pun terputus. Mereka saling mengikis jarak. Gajah Mada membukukkan sedikit badan. Hormat santun Gajah Mada diterima Hayam Wuruk dengan perasaan canggung. Penguasa Majapahit itu masih melirik Ria secara diam-diam. "Ada apa gerangan, Ricis?" tanya Nertaja, mewakili Kakaknya yang sedari tadi belum bersuara. Nertaja tahu, bahwa Kakandanya itu tengah salah tingkah. "Oh, iya! Gini!" Ria mengarahkan tatapannya ke Hayam Wuruk. "Baginda, lo tau kan, mobil gue yang ada di sendang? Itu loh, kendaraan gue! Ingat gak?" "Kotak anehmu yang ada di sendang sagaran?" Kepala Ria mengangguk, mengiyakan kata Hayam Wuruk. "Ingat. Lalu, mengapa?" "Kan, bakal ada pesta rakyat nih? Otomatis nanti kerajaan rame! Akan banyak orang! Gue gak mau, orang-orang pada tau keberadaan mobil gue! Gue mau minta tolong ke elo, buat mindahin mobil gue itu!" "Kau benar, Ria. Mobil itu haruslah dipindahkan, karena sebelum puncak pesta rakyat nanti, akan diadakan dahulu pemujaan di Sendang Sagaran. Aku akan menghanyutkan barang-barang beharga Majapahit, sebagai bentuk rasa syukurku terhadap Dewa Brahma." kata Hayam Wuruk membenarkan. "Kalau begitu, tunggu apalagi? Mari kita ke sana." ajak Hayam Wuruk. Akan tetapi, niat mereka berdua terurung sebab sahutan Nertaja. "Tunggu, kalian mau ke mana? Ini kita sedang membahas perkara apa? Aku tidak mengerti." sorot mata Nertaja lantas beralih ke Ria, minta diberi penjelasan. "Beri tahu aku, Ricis. Kalian hendak melakukan apa? Aku ingin tahu juga!" "Duh, kepo lo Ner!" batin Ria gemas. Tentu saja Ria gemas. Karena rasa ingin tahu Putri Majapahit itu, waktu mereka jadi terkuras. "Begini, Nertaja. Gue dan Kakak lo, mau memindahkan mobil gue—eh, i mean, kendaran gue di masa depan. Kalau sampai ada orang yang tau keberadaan mobil gue, hmm..." bibir Ria tertarik membentuk senyuman paksa. "Lo pasti tau kan, apa yang akan terjadi ke depan?" Mata Nertaja membulat. Tampaknya ia telah mengerti. "Oh, astaga, Kakanda! Kita memang harus bergerak cepat memindahkan kendaraan Ricis, sebab sebelum matahari terbenam, Ayahanda, Ibunda, beserta rombongan datang kemari! Kau ingat itu bukan, Kakanda?!" Kini bukan hanya Nertaja yang matanya melotot. Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun juga. "Eh, anjir! Kok baru bilang sekarang?! Huweeee, mobil cantik gueee!" teriak Ria frustasi memikirkan nasib mobilnya. "Baginda, ayo bergerak sekarang." celetuk Gajah Mada. Dua kali kepala Hayam Wuruk mengangguk sigap. Mereka berempat pun bergerak cepat menuju Sendang Sagaran. °°° Sampailah mereka di Sendang Sagaran. Ria memekik girang. Melompat bahagia bak anak kecil. Setelah sekian lama tak bertemu dengan mobil kesayangan hasil jerih payahnya sendiri. Tentu Ria sangat senang sekali. "My car, how are you, babe?! Are you fine? You know what? I miss youuu!" Ria merentangkan tangannya lebar. Ia memeluk mobilnya itu erat. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" sahut Gajah Mada, memecahkan suasana haru antara Ria dan mobilnya. Ria berdecak. Kesal karena Gajah Mada menghancurkan atmosfer romantis antara ia dan mobilnya. Ria mengeluarkan kunci mobilnya di dalam saku baju. Ia pun menekan tombol yang ada di kunci mobilnya. Sesaat setelah tombol itu di tekan, keluarlah bunyi yang mengangetkan tiga orang abad 12 tersebut. Tin! Tin! "Ricis! Suara apa itu!" kaget Nertaja, spontan menggenggam erat lengan Hayam Wuruk. Ria tidak menjawab pertanyaan Nertaja. Ia membuka satu persatu pintu. "Yok, masuk!" "Masuk? Ke sana?" tanya Nertaja bingung. Satu pun dari ketiga orang itu, tak ada yang bergerak. "Iya! Gue mau mindahin mobil. Masuk dulu gih, ke dalam. Sekalian jalan-jalan." ajak Ria. Ria hendak melangkah masuk, namun tak jadi. Ia menoleh, menatap Hayam Wuruk. "Baginda, nanti lo ya, yang nunjukin jalan ke mana gue bisa markirkan mobil gue di tempat aman." Ria menatap semua orang. Masih juga tiga orang itu bergerak. Ria menghembuskan napas panjang. "Kok gak masuk! Buruaann! Bentar lagi Matahari terbenam nih!" Karena tidak ada satu pun yang berani bergerak, akhirnya Ria bertindak. Pertama Ria menarik paksa Nertaja. Menyuruh putri Majapahit itu duduk di depan, di sebelahnya. Setelah itu, Ria menarik dua orang sekaligus. Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Dua orang pria itu duduk di jok belakang. "Oke, uda siap?" tanya Ria pada semua orang. Ia melihat mereka melalui kaca spion depan. "Siap apa?" tanya Hayam Wuruk polos. "Siap sunmori." ucap Ria berbisik penuh misteri. Tiba-tiba kepala Ria menoleh ke belakang, membuat Hayam Wuruk dan Gajah Mada pacu jantung. "Mau minum?! Makan?!" "Ha?" beo kedua pria itu. Ria berbalik ke arah depan kembali. Ia menekan tomol audio, dan seluruh mobil yang awalnya sunyi mendadak dihiasi suara musik. Lalu, Ria menunduk, mengambil tiga buah minuman dingin dari lemari es mini yang tersedia di mobilnya. "s**u milo untuk Nertaja," Ria memberikan kotak s**u dingin ke tangan Nertaja. "Apa ini Ricis?! Ini..." "Dingin?" sela Ria. "Gak papa, minum aja. Gak bahaya kok. Enak itu rasanya, di coba dong." "Dan..." Ria menoleh antusias ke belakang. "Niu greentea honey untuk Baginda, dan teh kotak untuk Om Gajah Mada." satu persatu minuman dingin itu, Ria berikan kepada mereka dengan cara paksaan. Kalau tidak begitu, mereka berdua pasti akan menolak. "Ayo, di minum!" suruh Ria. Bibirnya mengembangkan senyuman lebar. Menunggu ketiga orang itu mencicipi minuman di masa depan. Ria penasaran, bagaimana ekspresi orang zaman dulu, ketika mencicipi minuman di masanya. "Apakah ini aman?" tanya Gajah Mada ragu. Ia menatap khawatir minuman yang berada di gengamannya. Pasalnya ada benda aneh yang terbenam di dalam benda kotak itu. "Itu sedotan, Om. Minumnya kayak gini. Nertaja, liat gue." Ria mempraktekan cara meminum menggunakan sedotan. Dengan ragu, Nertaja dan Gajah Mada mengikuti cara Ria menyedot minuman itu. "Kalo elo Baginda, tinggal di teguk aja. Mudah, kok." Tiga orang itu telah mencicipi masing-masing minuman miliknya. "Gimana rasanya? Enak, gak?" "Enak sekali, Ria! Sangat enak! Rasa minuman ini tak pernah aku rasakan sebelumnya! Minuman apa ini?" tanya Nertaja bersemangat. Awalnya saja wanita itu takut-takut meminum milo. Setelah mencicip sekali, malah ketagihan. "Namanya s**u milo." "s**u?" kata Nertaja merasa tak asing. "Aku selalu meminum s**u dari sapi perah setiap pagi, tapi mengapa rasanya begitu berbeda dari yang ini?" Ria menggaruk hijabnya. Bingung mau bagaimana menjelaskan mengapa rasa milo bisa berbeda dengan s**u murni. "Itu karena di campur dengan cokelat, Nertaja." "Cokelat? Cokelat itu apa?" "Aduuhh!" keluh Ria. "Lalu, yang aku minum ini apa pula namanya?" celetuk Gajah Mada, menunjukkan teh kotak yang bentuk kotaknya sudah penyok. "Sama kok. Punya Om sama Baginda sama. Sama-sama teh." "Teh?" ucap dua pria itu bersamaan. "Apa itu—" "Nanya lagi, gue gampar!" potong Ria. Iw tahu, bahwa dua pria itu akan membuat otaknya panas sama seperti Nertaja. Ria menghadap ke depan. Sebelum hendak kakinya menginjak pedal gas di bawah, Ria mengambil kerupuk. Ia memakan kerupuk yang sempat ia makan sebelum terjebak di zaman ini. "Oke. Ey, yo! Sunmori ready check!" seru Ria, bersamaan dari itu kaki menginjak pedal gas. Mobil mundur ke belakang. Mobil yang bergerak, membuat ketiga orang dari abad 12 itu panik. Kepanikan mereka persis seperti orang gempa. "KAKANDA, APA-APAAN INI?! BENDA INI BERGERAK! KITA AKAN MATI!" "Sang Hyang Widi, ampuni dosa hamba..." "Jangan cabut nyawaku, ya Dewa, sebelum Amukti Palapa ku tercapai..." "YA ALLAH, GENGS! KEEP CALM!" Ria jadi ikut berteriak. Suasana ricuh di dalam mobil, membuat suara musik terpendam. "BAGINDAAA! JANGAN PANIK! TUNJUKIN DULU, MOBIL GUE HARUS BERHENTI DI MANAAA!" "DI SANA!" jawab Hayam Wuruk, menunjuk ke arah pepohonan rimbun. "OKE!" Ria membelokan setir sesuai arah yang Gajah Mada tunjuk. Setelah pas mobil terparkir di sana, mesin mobil langsung Ria matikan. "OKE! UDAH! UDAH, GENGS!" napas Ria naik turun. Punggungnya menyender di jok mobil. Teriakan ketiga orang itu heboh sekali. Kepala Ria dibuat pusing, ingin muntah. "Huwek!" "RIA!" °°° Ria berjalan di gotong Hayam Wuruk dan Nertaja kembali ke Istana. Pandangan Ria kabur dan berputar-putar. "Prabu, bukankah itu rombongan Kahuripan?" beri tahu Gajah Mada. Walau dari kejauhan, mereka bisa melihat jelas ada tiga kereta kuda, satunya kencana terparkir di halaman Keraton. "Kakanda, itu Ayahanda dan Ibunda telah datang!" seru Nertaja, matanya penuh binar. Saking kelewat bahagianya, Nertaja melepaskan Ria yang saat itu tengah ia gotong berjalan. Sontak tubuh Ria menabrak d**a bidang Hayam Wuruk. "Aduh!" "Hei, kau tak apa?" panik Hayam Wuruk, spontan memeriksa keadaan Ria. "Anjir! Ini udah yang keberapa kali, gue nabrak d**a roti sobek punya Hayam Wuruk. Bisa-bisa ayan gue," "Em, gak papa, kok. Santai," jawab Ria gagu. "Maafkan Adikku. Dia memang begitu, jikalau sedang merasa bahagia. Seisi alam semesta bahkan dunia ia lupakan." ujar Hayam Wuruk merasa bersalah. Sorot matanya mengarah ke Nertaja yang berlari menyusul rombongan Kahuripan. "Ibunda," sapa Hayam Wuruk setelah sampai di dekat rombongan Kahuripan. "Anakku, Hayam Wuruk!" Tribhuwana langsung memeluk Hayam Wuruk erat. Melepas rindu antara anak dan ibu. Berganti pula Hayam Wuruk memeluk Ayahandanya. "Bagaimana keadaanmu, Ananda?" tanya Cakradhara Kertawardhana, Ayahanda Hayam Wuruk. "Baik, dan bertambah baik setelah melihat kehadiran kalian berdua di sini." balas Hayam Wuruk tersenyum tulus. "Ibunda, mengapa kau datang lebih cepat dari janji yang telah kalian sepakati?" celetuk Nertaja. "Entahlah, Anakku. Mungkin Dewa telah menimpakan rahmat-Nya untuk kami, agar lebih cepat menawarkan rindu kami pada kalian." jawab Tribhuwana, berhasil membuat kedua anaknya terharu. Meski fokus bercerita pada kedua anaknya, kehadiran Ria tetap Trwibhuwana ketahui. Ada anggota asing yang bertambah di lingkup Majapahit. Dan ini kali pertamanya, Tribhuwana bertemu dengan Ria. "Hayam Wuruk, Anakku. Siapa gerangan gadis jelita ini?" "Ah, maafkan aku Ibunda. Aku lupa memperkenalkan beliau pada kalian. Dia ini, Ria." "Hormat saya, Yang Mulia..." Ria memaksakan dirinya untuk menunduk, dan sekali saja bertindak normal. Pasalnya aura Tribhuwana berbeda. Tatapan Tribhuwana kepada dirinya sangat mengintimidasi. "Ria? Dari manakah asalmu, wahai Anakku?" Ria terdiam. Ia melirik ke arah Hayam Wuruk. Dari lirikannya, Ria minta pertolongan harus menjawab apa. Ria takut salah menjawab. "Ria berasal dari Kerajaan Indonesia, Ibunda. Dia adalah seorang Putri dari Kerajaan tersebut." Hayam Wuruk memberi alibi cepat. Ria legah. Nyawanya sudah Hayam Wuruk selamatkan. Alis Tribhuwana mengernyit. Nama Kerajaan itu, terdengar asing ditelinganya. Belum pernah ia mendengar nama kerajaan itu. Baik di pulau jawa, ataupun di luar pulau jawa. "Indonesia? Kerajaan apakah itu?" "It... Itu..." gagap Ria. "Itu kerajaan... E... Em..." Makin lama, tatapan Tribhuwana membuat Ria gugup. Lekat sekali sepasang mata wanita itu menatap dirinya. "Kau seorang Putri dari sana, Anakku?" "Eh? I... Iya!" mata Ria melirik ke sana ke mari. Sempat ia melirik ke Gajah Mada. Tatapan pria itu seolah berkata, modar lu! Hayoloohh! "Seorang putri dari mana pun asalnya, pastilah mempunyai gelar sebagai bukti kebangswanan. Dan, apa gelarmu?" "MATI GUE!" °°° Bersambung... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN