Kelopak mata Ria terbuka. Begitu matanya terbuka, cahaya merambat masuk melalui sela-sela jendela kamar membuat Ria menyipitkan mata. Ria bangkit dari posisi rebahan, seraya mengusap mata.
Setelah pandangannya normal, Ria menghela napas panjang.
"Yaelah, masih di mari. Gue pikir udah di tahun 2020 tadi."
Sekali lagi Ria menghela napas. Pagi-pagi ia sudah dibuat kesal.
Ria menggaruk kepalanya yang gatal, entah sebab apa. Kutu mungkin.
"Yaudah, lah, mau gimane lagi? Terima nasib. Cuma bisa nunggu aja gue, entah-entah ada rahmatan lil'alamin." kata Ria pasrah. Ia juga berusaha berpikir jernih.
Ria yang terdiam di atas kasur, diintruksi oleh suara bising orang-orang. Ramai sekali. Ria dibuat penasaran.
"Suara apaan rame-rame?"
Ria menoleh ke arah jendela yang tertutup.
"Dih, jangan-jangan kebakaran lagi! Gila ajaaa! Di buku sejarah, kagak ada tuh disebutin Majapahit pernah kebakaran!" panik Ria, spontan melompat ke arah jendela.
Dengan gerakan tak santai, Ria mendorong jendela yang terbuat dari kayu itu. Kebetulan saja, ada beberapa dayang yang melintas bertepatan saat jendela Ria terbuka.
Sontak para dayang itu terkejut.
"Ya Dewa, nyawaku hampir copot!" kaget salah satu Dayang. Ia memegang dadanya yang berdetak tak karuan, tapi bukan karena getaran cinta.
"Eh, maaf-maaf! Kagak sengaja!" Ria tersenyum kikuk. Ia merasa bersalah telah mengagetkan.
Lalu, pikiran Ria teralihkan oleh keramaian sekitar. Banyak pelayan istana yang sedari tadi hilir mudik. Masing-masing orang tampak sibuk membawa sesuatu. Termasuk para dayang dihadapannya.
"Eh, Mbak! Mau nanya, dong. Ini ngapa pada rame-rame begini? Gue ketinggalan berita apa, yak?" tanya Ria beruntun, persis seperti wartawan. Anggap Ria sedang cosplay jadi wartawan sekarang.
"Nyisanak, tiga hari lagi akan terselenggara pesta rakyat di Majapahit. Maka dari itu, seluruh abdi dalem Istana tengah sibuk." sahut salah seorang dayang menjelaskan.
Berkat informasi dari dayang itu, barulah Ria tahu mengapa istana tampak sibuk. Juga, ia teringat sesuatu.
Ria menepuk pelan keningnya, "Oh, iyaa! Lupa gue, kalo bakalan ada pesta rakyat!" seru wanita itu.
"Oke, oke! Makasih ya Mbak-mbak semua, atas info nya!"
"Sama-sama," jawab mereka serentak. Sebelum pergi, para dayang itu menundukkan tubuh disertai senyuman ramah sebagai tata krama.
"Hmm, pesta rakyat... Pasti bakalan rame," gumam Ria, sembari otaknya memikirkan sesuatu.
"Banyak orang yang bakal dateng, terus penjuru istana dikerumuni orang, dan..."
Ucapan Ria terhenti seketika. Bola mata wanita itu membulat dengan mulut yang turut menganga.
"MOBIL GUE!"
Ria dibuat uring-uringan kembali.
"Mobil gue gimanaaaa?!" teriak Ria cemas. Ia menjambak rambutnya.
"Oke, oke, tenang!" Ria coba menangkan diri sendiri. Ia menarik napas sangat panjang, lalu kemudian ia hembuskan perlahan. "Calm down, jangan panik! Seorang Ria harus main cantik! Gue harus cari tempat yang aman untuk sembunyiin mobil gue, supaya pas orang rame nanti gak nemuin letak mobil gue! Tapi gimana caranya?!"
Otak Ria terus berpikir keras. Mencari ide bagaimana cara menyembunyikan mobilnya. Dalam situasi begini, ia harus mendapatkan bantuan.
"Yang tau letak mobil gue di sendang istana ini kan, cuma Hayam Wuruk." gumam Ria masih berkutat dengan pikiran.
"OOHH! BERARTI GUE MINTA TOLONGNYA KE HAYAM WURUUKK!" seru Ria setelah otaknya mendapatkan pencerahan.
Ria berdiri, "Oke, temui Hayam Wuruk, terus minta tolong deh!"
"Eh, tapi!" hendak Ria melangkah, namun tak jadi. Ria berhenti di tempat. Sekujur tubuhnya ia cium.
"Ya ahli kubuuurr! Bau badan gue melebihi bangke mantan! Baunya semerbak sekaleehh!"
Mencium tubuh sendiri yang bau luar biasa, Ria hampir pingsan. Ia sadari pula, karena sibuk memikirkan mobil kesayangannya itu, dirinya jadi lupa mandi. Mestinya setelah bangun tidur, orang normal itu mandi. Bukan malah teriak layaknya orang gila seperti Ria tadi.
"Mandi dulu, ah! Badan gue emang kudu wangi, bersih, penampilan harus perfecto kalo mau ketemu Hayam Wuruk! Perumpaan kalo semisal kita mau ketemu calon imam ya, kudu begitu! Betul kan yak?" monolog Ria tertawa-tawa sendiri.
Memang dasar kelakuan wanita itu aneh. Jadi, jangan dipusingkan lagi.
°°°
Ria menyusuri setiap penjuru istana. Berjalan tanpa arah mencari sosok Hayam Wuruk. Seraya kakinya melangkah, tak henti-hentinya wanita itu mengoceh.
"Allahuakbaarr! Hayam Wuruk di mana, sih?! Dari tadi gue keliling-keliling nyari tuh cogan, tapi kagak nemu!" oceh Ria frustasi.
Diam sejenak di tempat, Ria mendapat sebuah ide. Lobang hidungnya kempas-kempis, tengah mengendus sesuatu.
Ya! Tebakan gila kalian benar! Itu ide Ria untuk mencari keberadaan Hayam Wuruk.
"Biasanya nih, bau cogan langsung terendus di penciuman gue. Tapi, kok, ini belum kecium juga bau Hayam Wuruk." ujar Ria, terus mengendus-ngendus seraya kakinya melangkah. Mencari Hayam Wuruk menggunakan insting penciuman.
Ada-ada saja.
"Loh? Kok yang kecium malah bau tanah kuburan begini? Ada campuran bau keringat juga." bingung Ria. Tubuhnya tengah berposisi menunduk, dengan hidung masih mengendus.
Bau tanah yang ia maksud semakin tercium, tatkala dirinya terus melangkah maju. Semakin dekat, lebih dekat, dan mendadak langkahnya terhenti di tempat.
Tubuh tegap seseorang menghalangi jalannya. Ria yang semula menunduk, sontak mendongak untuk melihat siapa gerangan di depan.
"Om Gajah Mada!"
"Sedang apa kau?" tanya Mahapatih kebesaran Majapahit itu. Ia menatap aneh kelakuan Ria barusan.
"Oh, ini, gue lagi nyari Baginda Hayam Wuruk yang ganteng pakek banget. Tapi gak ketemu, Om!" jawab Ria.
Ria terdiam sejenak, sebab bau tanah kuburan beserta keringat tadi, sangat tercium semerbak. Hidung Ria mengecut. Tak tahan mencium aroma tak sedap yang begitu melekat ini.
Sorot mata Ria lalu mengarah ke Gajah Mada yang menatapnya heran.
Mata Ria membulat.
"Ih, anjir! Apa jangan-jangan bau tanah kuburan tadi asalnya dari Om Gajah Mada?! Woilah, berarti ini tanda-tanda! Tapi, maklum sih. Udah tua juga." kata Ria di batinnya.
"Aku tau keberadaan Prabu Hayam Wuruk. Dia sedang bersama Kanjeng Putri Dyah Nertaja." beri tahu Gajah Mada.
"Kalo gitu anterin gue dong, Om! Capek tau, keliling-keliling Istana segede gini! Untung kaki gue yang jenjang nan letik ini masih kuat berdiri! Tapi ini semua demi Baginda Hayam Wuruk yang ganteng pakek banget, lautan pun akan ku sebrangi!" ujar Ria berujung curhat.
Gajah Mada menatapnya malas. Selalu saja begini jadinya, jika ia mengajak gadis itu mengobrol. Tidak pernah lurus topik pembicaraannya.
Ria tersenyum kikuk menyadari tatapan malas Gajah Mada.
"Canda deh, Om! Lautan ada ombak gede! Bahaya! Gue masih sayang nyawa,"
Sepasang bola mata Gajah Mada berputar malas. Gajah Mada berbalik, membelakangi Ria. Kakinya melangkah pergi, mendahului Ria tanpa sepatah kata.
Ria menganga tak percaya dengan sikap Gajah Mada terhadapnya.
"Sumpah ya, tuh Om-om satu nyebelin banget!" geram Ria menahan amarah.
Kaki Ria menghentak-hentak kesal seraya berjalan. Gajah Mada menyadari itu. Namun, Mahapatih itu hanya diam. Ia tahu, bahwasanya Ria tengah kesal sekarang.
Untuk meredam amarahnya, Ria memilih bernyanyi saja. Selain bisa meredam amarahnya, Ria bernyanyi agar suasana antara ia dan Gajah Mada tidak terlalu canggung.
"Akang gendang. Kalo saya bilang gebukin, gebukin ya! Gebukin! Gebukin! Gebukin! Gebukiinnn, bukan dibantiingg!" kata Ria, nyatanya amarah dirinya masih ada.
Sepertinya Ria salah lagu. Amarahnya tidak hilang, malah makin menjadi.
Selanjutnya, Ria menyanyikan lagu yang lain.
"Ku temukan, dalam pencarian. Cinta sejati untuk hidupku. Kurang lebih yang seperti dia. Ku harap dalam cintaku..." Ria mulai bernyanyi dengan nada santai.
"Ku tak mau menjanjikannya. Pasti bahagia bila denganku. Biar dia rasakan sendiri, betapa gilanya cintakuuu!"
Di bagian lirik ini, intonasi nyanyian Ria meninggi. Ria tiba-tiba menambah kecepatan langkahnya menjadi berlari. Lalu, dia mencegah langkah Gajah Mada di depan. Tangan wanira itu merentang lebar.
Gajah Mada yang dicegat Ria, diam saja mengamati tanpa perlawanan. Ia sedikit penasaran, apa yang akan wanita itu lakukan. Ia tebak, pasti wanita itu akan bertingkah aneh lagi seperti biasa.
Ria melanjutkan nyanyiannya. Bahkan tubuhnya ikut bergerak. Mirip gerakannya seperti dance tik tok.
"Aku memang pencinta wanita, namun ku bukan buaya. Yang setia pada seribu gadis. Ku hanya mencintai dia..."
"Aku memang pencinta wanitaaa yang lembut seperti dia... Ini saat ku akhiri semua. Pencarian dalam hidup, dan cintaku ternyata, aku mau hanyalah diaaaaaa!" teriak Ria begitu menggelegar.
Kuping Gajah Mada dibuat berdengung, bahkan seisi istana mungkin. Sangat semangat sekali wanita itu bernyanyi.
Gajah Mada mengusap berkali-kali telinganya yang masih berdengung.
"Suaramu bagai gempa! Untung saja istana tidak sampai kau buat runtuh!" cerca Gajah Mada.
"Eh, sekate-kate! Suara gue itu merduuu! Tadi itu karena kurang di asah aja."
Kemudian bibir Ria mencebik.
"Lagian, Om Mada kacangin gue sih. Makanya ajak gue ngobrol Om, biar gue gak nyanyi karena bosen."
"Kau sungguh wanita aneh! Baru kali ini aku bertemu dengan wanita seaneh dirimu." kata Gajah Mada, melenceng dari topik pembicaraan.
Bola mata Gajah Mada melihat Ria dari atas ke bawah.
"Kau ini, tak pernah ku lihat sebagai wanita pada umumnya. Wanita yang sesungguhnya itu tenang, pendiam, ayu. Tidak seperti dirimu yang tak bisa diam. Kelakuan melebihi para bandit! Oh, astaga, apa jangan-jangan semua wanita di masa depan seperti dirimu?!"
Gajah Mada tampak syock.
Dan Ria pun, menjawab santai dengan tangan yang bersedekap d**a.
"Kalo iya, kenapa? Gak ada larangan buat wanita di masa depan untuk mengekspresikan dirinya!"
Mendapati jawaban Ria yang membantah, membuat Gajah Mada geram. Gajah Mada menunjuk Ria sangsi.
"Kau, jikalau tak bisa diam layaknya wanita normal di sini, lebih baik enyah saja dari bumi!"
"Lah, Om sendiri? Cowok kalo gak bisa benerin genteng bocor, perabotan rumah rusak, kendaraan mogok, listrik mati, dan gak bisa mengatasi banjir, gempa bumi, longsor, tsunami, korupsi, nepotisme, kemiskinan, penculikan, mending meninggal aja lah! Gak guna hidup, cuma bisa jadi hiasan dunia doang!" balas Ria pedas, berhasil membungkam Gajah Mada.
Karena dibuat kalah telak, Gajah Mada memilih diam dan melanjutkan langkahnya. Seperti semula, Ria ditinggalkan sendiri. Lagi-lagi Ria menatap cengo punggung Gajah Mada yang berjalan duluan.
"SUMPAH, YA, MASIH AJA NYEBELIINN!" pekik Ria gemas. Ia mencak-mencak di tempat.
°°°
Bersambung...