Part 13

2548 Kata
Sampailah Ria di tempat yang kata Nertaja bernama Bajang Ratu. Letaknya berada di area paling belakang Istana. Dan benar dugaan Nertaja. Kakandanya itu memang berada di Bajang Ratu. Sedang duduk menikmati semilir angin. Ria celingak-celinguk ke segala arah, "Aduuhh, Nertaja udah pergi lagi. Ini gimane cara ngomongnya sama Hayam Wuruk yak? Mendadak lupa cara ngomong gue," Masih setia berdiri di sana Ria, memandangi saja Hayam Wuruk dari jauh. Ia tak berani mendekat. Hendak mendekat, namun tak jadi. Dekat, tak jadi. Dekat, tak jadi. Dekat, udah sayang, saling perhatian, namun tak jadian. Itulah yang namanya lingkaran setan. "Kalo diliat-liat begini, Hayam Wuruk persis kek ABG galau. Awokawok!" tawa Ria, yang masih saja sempat bercanda padahal nyawanya sudah di ujung tanduk. Teringat tujuannya kemari, barulah Ria mencoba serius. "Eh, ngapa jadi bahas itu dah!" Ria memukul pelan kepalanya agar serius sedikit. "Duh, otaakk! Bisa serius sehari dikit ngapa?" jeda sejenak, Ria memfokuskan diri. "Oke, oke! Pertama, ngomong baik-baik ke Hayam Wuruk. Kedua, baru dah, gue bujuk tuh Raja supaya gak penggal kepala gue." Semua rencananya sudah tersusun rapih. Lantas, Ria pun mulai bergerak. Hendak menghampiri Hayam Wuruk. Namun, saat ia menatap ke arah tempat di mana tadinya ada Hayam Wuruk, tempat itu malah kosong. Tidak ada tanda-tanda orang. Ria dibuat bingung. Karena bingung, Ria putuskan mendekat. Memerika secara dekat area Bajang Ratu. Bangunan kokoh berbentuk gapura itu, Ria tatap dari atas hingga ke bawah. Ria menghela napas lelah. Matanya menatap kebingungan setiap sudut tempat itu. "Loh? Hayam Wuruknya ke mana? Cepet banget ngilang." Drastis raut wajah Ria berubah ngeri. "Hih, bener kan kata gue. Harusnya tadi itu bawa sesajen dulu kemari. Dan, Hayam Wuruk... Bener! Dia itu Fakboi! Buktinya dia cepet banget ngilang. Persis kan, kek tingkah fakboi. Pas kita udah sayang banget sama dia, eh dianya malah ngilang." Sibuk berbicara pada diri sendiri. Mendadak Ria merasakan tengkuk belakangnya merinding. Ria mengusap tengkuk belakangnya. Perasaannya tidak enak. Menandakan ada bahaya yang mendekat. "Kok, bulu kuduk gue mendadak merinding gini yak? Bulu ketek gue pun ikutan juga berdiri." Lambat laun Ria menghadap ke belakang. Coba ia memberanikan diri. "Astaghfirullah, hantu cogan!" pekik Ria spontan mundur ke belakang. Sosok tegap Hayam Wuruk lah yang berada di belakangnya. Menatap Ria dengan salah satu alis terangkat. "Mau apa kau kemari?" tanya penguasa Majapahit itu tak ada kesan bersahabat. "Gu... Gue, itu. Gue mau min—" Ucapan Ria terpotong, karena lengannya di genggam Hayam Wuruk secara tiba-tiba. "Eh, ini kenapa?! Lepas!" panik Ria, menyentak-nyentak lengannya agar terlepas dari genggaman Hayam Wuruk yang erat. Namun, hasilnya nihil. Alih-alih terlepas, genggaman Hayam Wuruk semakin mengetat. Dan rasanya itu menyakitkan. "Hayam Wuruk, lepas!" bentak Ria, meringis kesakitan. Spontan dari bentakan Ria, genggaman Hayam Wuruk terlepas. Wajah pria itu tampak terkejut. "Apa yang ku dengar tadi?" Ria menggeleng kecil. Matanya membulat. Ia tahu, barusan dirinya berbuat kesalahan. "Kau berani memanggil namaku?! Nama seorang Raja?!" Ria menggeleng panik, "Sumpah, Hayam—eh, Baginda Mulia Sri Rajasanagara yang ganteng, budi daya, adil dan makmur! Gue gak sengaja, gak maksud! Suer!" dua jarinya kemudian Ria angkat ke udara. Kini Hayam Wuruk bukan lagi mencengkram lengan Ria. Melainkan lengan atas wanita itu. Hayam Wuruk menatap Ria tajam, "Bahkan Nertaja saja yang Adikku, tidak berani mengucapkan nama itu kecuali Ibundaku! Sementara kau, penipu asing yang datang ke Majapahit, malah dengan mudahnya memanggil namaku tanpa embel-embel Raja?! Berani sekali kau!" "Tap... Tapi, kan, gue udah minta maaf!" "Minta maaf katamu? Setelah kau membohongi semua orang, kau berani minta maaf? Lalu, kau malah berbuat kesalahan lagi? Di mana rasa malumu hah?!" Lantas, dengan penuh paksaan Hayam Wuruk menarik tubuh Ria, "Kau, ikut denganku! Biar aku sendiri yang akan menjebloskanmu ke penjara!" "Please, Baginda! Jangan! Kasihanilah gue, gue masih muda! Malah masih jomblo lagi, belom kawin!" Ria terus berteriak dan membrontak supaya cengkraman Hayam Wuruk lepas. "Baginda Hayam Wuruk, Baginda Sri Rajasanagara yang ganteng pakek banget! Gue mohoonn, jangaann! Toloongg! Jangan masukin gue ke penjara! Gue minta maaafff, pleaseee!" bujuk Ria habis-habisan. Rasanya ia ingin guling-guling di tanah, agar Hayam Wuruk kesulitan menariknya. "Tidak akan ku maafkan! Keputusanku sudah bulat untuk memenjarakanmu!" tekan Hayam Wuruk. "Tolong, jangan masukin gue penjara, hiks, hiks. Gue mohon... Hiks. Gue gak mau mati. Hiks, gue udah minta maaf, apalagi yang lo mau?" Begitu mendengar tangisan Ria yang segugukan, Hayam Wuruk berhenti di tempat. Ia tak lagi menarik tubuh Ria, namun tangannya masih mencengkram masih berada di tempat semula. Hayam Wuruk menatap datar Ria yang menunduk. Wanita itu benar-benar menangis hebat. Bahkan ia sudah menjatuhkan diri ke lantai. Matanya menunduk menatap rumput, tak berani mendongak. "Padahal gue udah minta maaf, hiks... Tulus... Sama... Elo, hiks! Tap... Tapi, elonya malah... Ma... Marahh, huwaaa!" tangisan Ria bertambah. Baiklah, wajah Hayam Wuruk tak sedatar tadi. Drastis wajah Hayam Wuruk panik, melihat Ria yang sudah menangis hebat. "Hei, hei, Ria! Berdiri! Jangan menangis!" pinta Hayam Wuruk sangat panik. Ia berupaya menarik tubuh Ria untuk berdiri tegap, namun sulit. Tubuh wanita seakan sudah tertancap di tanah. "Gak mau!" tolak Ria, masih dalam keadaan menangis. "Sebelum lo nerima permintaan maaf gue, gue gak bakal mau berdiri! Hiks, biarin aja sampe prank kiamat 2012 sama 2020 gue tetap di mari. Hiks, hiks, hiks, Mama... Ria dijahatin sama Nenek moyang ganteng, Ma..." Situasi berbalik. Kini Hayam Wuruk yang dibuat uring-uringan. Ia bingung, bagaimana membujuk Ria agar mau berdiri dan berhenti menangis. Ia mana tahu cara menenangkan hati wanita yang tengah bersedih. Kan, dia jomblo. Tidak bucin seperti Ria, jadi mana paham. "Mamaaa, Ria mau pulang aja, Maa! Di sini gak enak, masa Ria mau di penggal kepalanya, Ma! Jahat banget, hiks! Apaan, hiks, katanya Raja keempat Majapahit baik! Jahat begini! Pak Handoko, Anda nyebar hoax!" celoteh Ria disela-sela tangisannya. Sempat-sempatnya pula ia menyalahkan Guru bidang studi sejarahnya semasa SMA. Hayam Wuruk menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Aseli, ia bingung sendiri akan sikap Ria. Wanita itu suasana hatinya bagai cuaca. Mudah berubah-berubah. "Ya, Dewa! Unik sekali wanita ini!" batin Hayam Wuruk berteriak gemas. "Baiklah, baiklah, aku maafkan! Kesalahanmu aku maafkan!" pasrah Hayam Wuruk pada akhirnya. Sudah tak tahan ia mendengar celotehan Ria. "Beneran?! Bener ini?! Serius?!" tanya Ria beruntun. Kedua mata wanita itu berbinar cerah. "Benar," satu kali kepala Hayam Wuruk mengangguk. "Yes! Alhamdulillah, ya Allah!" Ria senang bukan main. Ia menadahkan kedua tangannya ke atas, lantas mengusapkan kedua tangannya itu ke wajah. Sungguh, saat melihat mata Ria yang berbinar, disertai senyuman lebar wanita itu, Hayam Wuruk berusaha mati-matian untuk tak ikut tersenyum juga. Akan tetapi, usahanya gagal menyuruh agar jantungnya tidak berdetak dua kali lebih cepat.  "Nah, bisakah kau berdiri? Lihatlah, bajumu habis kotor!" sambung Hayam Wuruk, memberi uluran tangan. Tangan kanan Ria menyambut uluran Hayam Wuruk untuk berdiri. Sementara tangan yang satu lagi, membersihkan belakang bajunya yang kotor dipenuhi tanah. "So... Gimana?" Ria bersuara. Ia mengulum senyuman, membuat Hayam Wuruk jadi salah mengartikan. "Lo, beneran kan, udah maafin gue?" Hayam Wuruk menghela napas lelah, "Sudah ku katakan tadi, bukan? Aku bersungguh-sungguh sudah memaafkanmu." "Syukurlah," legah Ria. "Tapi, aku masih meminta penjelasanmu." Alis Ria saling beradu, "Penjelasan apanya, nih?" "Penjelasan awal mula bagaimana kau bisa terjebak di sini." "Belum gue jelasin yah, tadi?" "Belum!" jawab Hayam Wuruk, terdengar ketus. "Ya, santai dong." gumam Ria, memutar bola matanya. Ria menoleh ke sana ke mari. Tingkah menganehkan Ria, diperhatikan Hayam Wuruk penuh benaknya oleh tanda tanya. "Sedang mencari apa kau?" akhirnya Hayam Wuruk bertanya, lantaran penasaran sekali. "Gue mau cari tempat ngerumpi yang enak, di mana ya? Yang recommended banget lah, buat cerita." Hayam Wuruk pun mengedarkan pandangannya. "Bagaimana kalau di sana?" Jari telunjuk Hayam Wuruk, Ria ikuti ke mana mengarah. "Di candi itu?" tanya Ria memastikan. "Iya, di Bajang Ratu." "Gak papa nih, kita cerita di sana?" "Tak apa." "Oke, deh. Kuy, lah!" ajak Ria, lalu ia berjalan terlebih dahulu. Meninggalkan seorang Raja di belakang. "Wanita itu, memang Anak Cucu tak ada sopan santun." oceh Hayam Wuruk, geleng kepala tak habis pikir. "Tapi... Dia menggemaskan." lantas setelah berkata demikian, Raja keempat Majapahit itu tertawa sendiri atas ucapannya. Hayam Wuruk berjalan menyusul Ria. Ria sudah sampai terlebih dulu. Wanita itu mengambil posisi duduk di anak tangga bangunan Bajang Ratu berdiri. Hayam Wuruk duduk disebelah Ria dengan gagah dan berwibawa. "Baik, berceritalah." "Oke... Jadi, tuuhh..." Satu detik, Dua detik, Tiga detik, Bahkan sepuluh detik berlalu, Ria tak kunjung bersuara. Hayam Wuruk memiringkan kepalanya bingung. Ia dipenuhi tanda-tanya, mengapa Ria diam saja. "Jadi, apa?" ... "Nungguin, ya? Dungdungdungtrak tres! Cintaku bukan di atas kertas. Cintaku getaran yang sama. Tak perlu di paksa. Tak perlu di cari. Kerna ku yakin ada jawabnya... ohhh." setelah itu, entah mengapa Ria berjoget. "Ya Dewa, Riaaa! Mengapa kau malah bernyanyiii! Padahal aku sudah serius mendengarkan tadii!" geram Hayam Wuruk. Giginya beradu menahan amarah. Kalau tak ingat dosa, sudah Hayam Wuruk cekik mati Ria. Ria tertawa puas, "Anggap pemanasan, Baginda. Jangan tegang amat!" Hayam Wuruk hanya membalas ucapan Ria dengan lirikan sinis. "Oke, oke, kali ini serius! Sungguhan, gue bakal ceritain! Jangan maraahh," kata Ria bernada manja seraya menarik turunkan alisnya. "Gadis ini benar-benar..." batin Hayam Wuruk berdecak takjub oleh tingkah ajaib Ria. Ria berdehem sebelum bercerita. "Jadiii, awal mulanya gue bisa ke siniii tuhhh..." Ria pun menceritakan kronologis bagaimana ia bisa sampai kemari secara rinci. Dari mulai ia yang bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya karena perjodohan, sampai pada suatu tragedi ia masuk ke dalam lingkaran aneh berwarna hitam di tengah hutan. "Mengapa kau tak terima perjodohan yang ditawarkan oleh kedua orang tuamu? Bukankah itu bagus?" "Mata lo kayang!" sembur Ria, menyentak Hayam Wuruk. Aneh menurut Ria. Dari sekian banyak tragedi yang ia ceritakan, malah pasal perjodohan yang Hayam Wuruk bahas. "Bagus dari mana?! Gila kaliii, gue nikah muda! Ya, emang sih, nikah muda itu dianjurkan dalam Agama yang gue anut. Tapi, tuh, ya, terkesan cepet banget gitu loh! Maksud gue tuh, gue mau kerja dulu. Seneng-seneng dulu, nikmatin masa muda. Kalo udah nikah nih, ye, susah kalo mau happy-happy sama diri sendiri." sambungnya. Kepala Hayam Wuruk mengangguk paham, seolah mengerti. Padahal nyatanya, banyak kata-kata Ria yang tak ia pahami. Seperti happy-happy. Sanubarinya bertanya-tanya, apa makna dari Happy-happy yang Ria maksud. Namun, Hayam Wuruk memilih bungkam. Sepanjang Ria bercerita, Hayam Wuruk lebih fokus pada ekspresi wanita itu yang beragam. "Lalu, setelah masuk ke lubang hitam tersebut, kau tiba saja di sini? Begitu kah?" "Iyaps!" Ria mengangguk semangat. "Begitu saja? Aneh sekali," gumam Hayam Wuruk kebingungan. Tangannya menopang dagu, memikirkan betapa anehnya kejadian yang Ria alami. "Nah, that's whole point! Pikiran kita sama!" Ria menjentikkan jari. Hebohnya Ria, sedikit mengagetkan Hayam Wuruk dari lamunan. "Itu juga yang gue bingungin. Kejadian gue tuh, aneh banget sumpah! Unik! Kek, di film-film super hero gitu gak sih?" tanya Ria bersemangat. Namun, respons Hayam Wuruk, "Ha?" "Ho!" balas Ria kesal. "Udahlah, lupain! Gue jelasin pun, lo kagak akan paham." Diam beberapa saat, Ria menoleh ke Hayam Wuruk. Wanita itu kemudian bersuara. "Jadi, ada lagi gak, yang mau lo tanyain? Mumpung gue lagi free nih. Ceilah, macam sibuk bener gue. Aslinya mah, pengacara. Pengangguran banyak acara!" Hayam Wuruk tersenyum tipis menanggapi. "Ada," katanya. "Tapi, aku rasa, kau tak mau membahasnya." "Eh, apaan?! Belom lagi nanya, udah ambil kesimpulan duluan! Pesimis amat nih, Raja Majapahit!" Ria memberi pukulan kecil di lengan atas Hayam Wuruk. Lagi-lagi perlakuan Ria itu, menimbulkan desiran aneh di hati Hayam Wuruk. "Tanya aja kali, gak papa. Sebisa mungkin gue jawab." lanjut Ria santai mempersilahkan. "Ini tentang Majapahit." sela Hayam Wuruk. Seketika wajah Ria yang semula santai, berubah serius. "Kau bilang tadi, Majapahit akan runtuh lalu digantikan oleh kerajaan lain. Apakah itu sungguhan? Satu pun tak ada puing yang tersisa?" Raut wajah Hayam Wuruk terlihat begitu sedih ketika berkata pasal runtuhnya Majapahit. Ria dibuat serba salah. Ingin jujur, tapi takut melukai hati Raja keempat Majapahit itu. "Ng... Ada sih." "Sungguh?" seketika saja wajah Hayam Wuruk berubah semangat, layaknya anak kecil diberi hadiah. "Iya." Ria mengangguk meyakinkan. "Dan, lo mau tau gak, salah satu bangunan yang tersisa itu apa?" "Apa?" "Ini." telapak tangan Ria menyentuh relief bangunan Bajang Ratu. Bangunan menjulang tinggi itu, Ria tatap penuh kagum. "Bangunan ini salah satu bukti keberadaan Majapahit. Di zaman gue, bangunan ini jadi tempat pariwisata bersejarah. Jujur, gue gak tau awalnya pas Nertaja bilang nama bangunan ini. Bajang Ratu lah, soalnya pas pelajaran sejarah gue milih molor mojok di bangku belakang." Ria tertawa renyah di sela ia bercerita. "Tapi, pas gue udah dateng di lokasi, gue baru tau bangunan yang namanya Bajang Ratu tuh ini. Gambar Bajang Ratu ada di buku LKS Sejarah gue di sekolah." Bibir Hayam Wuruk tertarik ke atas, membentuk senyuman tipis selepas Ria bercerita. Sorot mata Hayam Wuruk mengarah ke atas. Menatap langit-langit Bajang Ratu. "Jika bangunan ini kelaknya akan menjadi sejarah yang dapat dilihat di masa depan, berarti kau sudah tau mengenai Bajang Ratu?" "Kagak," jawab Ria, singkat, padat, jelas buat emosi orang. Alis Hayam Wuruk mengertnyit heran. "Mengapa? Kau dari masa depan, tentu kau tahu. Dan kau bilang, kau juga mempelajari tentang Majapahit di tempat yang namanya se... Se..." "Sekolah!" celetuk Ria cepat, lantaran Hayam Wuruk kesusahan mengeja. "Haelah, zaman ini belom ada yang namanya sekolah apa?" "Ya, maksudku itu!" "Di sekolah sih, di ajarin. Sampe ke akar-akarnya lagi. Cuma ya, emang dasar guenya aja yang males. Kan udah gue bilang tadi. Gue disekolah kerjaannya tidur pas pelajaran sejarah." Mendengar kesaksian Ria yang terlalu jujur, membuat Hayam Wuruk hanya bisa geleng-geleng kepala tak habis pikir. Saking tak habis pikirnya, Raja itu bingung harus merespons bagaimana. "Tapi, yang benar saja kau tidak tahu Prabu Jayanegara?" "Kalo itu mah gue tauu! Raja yang terkenal banyak istrinya itu, kan?!" Mata Hayam Wuruk melotot lebar seketika. "Hei, jaga bicaramu!" Ria langsung membekap mulutnya, karena terkejut oleh bentakan Hayam Wuruk yang tiba-tiba. "Jaga tata krama mu Ria. Dia adalah seorang Raja. Dan apa kau tau, kita ini sedang berada di bangunan suci." bisik Hayam Wuruk, terkesan misterius bagi Ria. Ditambah ekspresi pria itu. "Bangunan suci?" "Begini, tempat ini merupakan bangunan suci untuk memperingati wafatnya Prabu Jayanegara, Pamanku. Beliau didharmakan di Kapopongan dan juga dikukuhkan di Antawulan. Sebelumnya tempat ini adalah pintu masuk belakang istana. Bangunan ini memang dipersembahkan untuk Pamanku ketika ia dinobatkan menjadi raja, Karena pada saat dinobatkan usia Prabu Jayanegara masih sangat muda, maka dinamakanlah bangunan suci ini Bajang Ratu. Yang artinya Raja Kecil." Perjelas Hayam Wuruk panjang lebar, agar Ria paham. Namun, topik pembicaraan malah melenceng tatkala Ria berteriak ketakutan. "Allahukabar, jadi tempat ini angker ya?! Ada hantunya?!" Ria merapatkan tubuh lebih dekat ke Hayam Wuruk. "Hantu? Maksudmu, Pamanku jadi hantu?!" tanya Hayam Wuruk tak bersahabat. Menyadari tatapan Hayam Wuruk yang sepertinya tersinggung, Ria tersenyum kikuk. "Bukan, bukan gitu. Duh, maaf yaa." Hayam Wuruk menghela napas, tanda memaafkan. "Sudahlah, lupakan." Ria menatap mata Hayam Wuruk lekat. "Baginda, lo gak marah kan? Jangan marah...," lirih Ria. Sebuah senyuman Hayam Wuruk tunjukkan. Meyakinkan Ria. "Tidak, Ria." "Alhamdulillah, Nenek Moyang gue gak marah." Ria mengusap dadanya naik turun. "Apakah kau ingin kembali, Ria?" Ria agak tersentak, mendapati pertanyaan Hayam Wuruk yang tak diduga-duga. "Mau dong, pasti. Cuma, apa bisa? Sementara gue aja gak tau bisa balik atau nggak." jawab Ria, tersirat perasaan sedih di wajahnya. "Andaikan pada suatu masa, Dewa memberimu petunjuk jalan keluar untuk pulang, apakah kau akan pergi meninggalkanku?" Dahi Ria mengernyit, "Meninggalkanmu? Maksudnya?" Tiba-tiba, Hayam Wuruk menggenggam lembut kedua telapak tangan Ria. Mata Raja itu menatap Ria tak kalah penuh kelembutan. "Tolong jangan pergi. Tetaplah di sini bersamaku." lirih Raja termahsyur Majapahit itu, penuh permohonan. °°° Bersambung... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN