Part 19

1356 Kata
"Yunda Dyah Pitaloka itu, adalah Putri dari Prabu Lingga Buana. Raja dari Keraton kesepuhan Padjadjaran. Keraton itu merupakan satu-satunya Keraton yang sampai sekarang belum bisa Kakanda takhlukan di bawah kekuasan tanah Majapahit. Tanah Pasundan menjunjung tinggi harga diri mereka." ujar Nertaja, yang sebenarnya tak terlalu Ria dengar. Ria hanya mendengar sampai penjelasan siapa itu Dyah Pitaloka. Bagian penjelasan keraton, Ria mengambil sikap bodo amat. Sampailah mereka di tempat yang katanya sudah ada tamu keraton menunggu. Dan memang benar. Banyak rombongan di sana. Yang paling mencolok di pandangan Ria adalah seorang wanita cantik di depan rombongan. "Salam Rahayu." ucap Prabu Lingga Buana, istri beserta Anaknya. Salam pembuka mereka, dibalas pula oleh Hayam Wuruk. "Mugi rahayu sagung dumadi. Maafkan aku, karena terlalu sibuk mempersiapkan pesta rakyat, menyebabkan aku lupa menyambut kedatangan rombongan Padjadjaran." "Tidak mengapa, Gusti Prabu Sri Rajasanagara. Kami baru saja sampai. Tidak perlu berlebihan." ujar Lingga Buana, maklum. Wajah penguasa tanah Pasundan itu sangat teduh. "Mari, silahkan masuk." ajak Tribhuwana mempersilahkan. Rombongan yang berdiri di aula pun, memasuki lebih dalam keraton. "So, Dyah Pitaloka yang itu?" bisik Ria kepada Nertaja. Ria menunjuk sebentar seorang wanita muda yang berjalan anggun di rombongan Padjadjaran. Nertaja mengangguk mengiyakan. "Ia begitu cantik, bukan?" "Cantik, sih." jeda sejenak. Di detik selanjutnya, Ria berucap lagi dengan suara pelan. "Tapi masih cantikan gue dong ke mana-mana, dari Sabang sampai Merauke. Dari Timor sampai pulau Rote." °°° Malam menyapa. Sinar rembulan terang benderan menemani malam di Majapahit. Seakan menyambut kedatangan seseorang yang teramat istimewa. Ria tengah berjalan-jalan mengitari Keraton Majapahit. Setiap ruangan ia jelajahi. Sebenarnya Ria melakukan perjajalan ini karena bosan. Setres juga, sebab besok merupakan hari pesta rakyat dimulai. Dengan artian, hari di mana ia harus tampil menyanyikan tembang jawa. "Doain aja gue kagak kerasukan pas nyinden. Kan gak lucu semisal lagi orang fokus denger gue nyinden, tiba-tiba guenya kayang. Bisa-bisa dateng lagi, tuh, Kakek Dukun nyembur gue pula pakek aer kemenyan." gerutu Ria berbicara pada sendiri, sesuai dengan apa yang ada dipikirannya. "Ini merupakan kali pertamaku menginjak tanah Majapahit. Dan tak ku sangka, Majapahit seindah ini. Semua orang menyambut rombongan kami dengan baik. Bahkan bulan pun demikian." Suara seorang wanita, spontan menghentikan langkah Ria. Secepat kilat Ria mencari tempat persembunyian, namun kupingnya masih pasang pendengaran. Penasaran suara siapa itu. "Tanah Majapahit memanglah sungguh indah, Adinda." "Eh, ini kan suaranya Hayam Wuruk." gumam Ria pelan, dibalik persembunyiannya. Ia belum mengetahui pasti, benar atau tidak itu Hayam Wuruk. Pasalnya dia sama sekali tidak bergerak dari tempat persembunyian. "Apakah aku juga demikian, Kakanda?" "Keindahanmu melebihi Adicandra di langit yang tengah memancarkan Baswaranya, Adinda. Jadi, tak perlu kau tanyakan lagi padaku." "Anjir, bucinnya udah level dewa nih. Pakek segala kosa kata dibawa-bawa. Fix, nih orang lulusan S3 Harvard, Sastra Indonesia." takjub Ria ngaco. Tengah dalam persembunyian, Ria tidak menyadari bahwa kakinya sedang digerayangi oleh kecoa. "Apa nih, geli-geli?" Ria menyentak-nyentak telapak kakinya. Wanita itu menunduk, untuk melihat lebih dekat sebenarnya apa yang membuat kakinya bisa geli. Pencahayaan yang hanya menggunakan bari api, membuat Ria sulit melihat. "AKHHHH ANJIIIRRR KECOOAAAA!" Jemari kaki Ria menginjit geli. "IH, IH, IH, KECOAAAAA! GELI BANGET GUEEE! MATI AJA KELEN, WAHAI RAS KAUM KECOAAAA! AKAN KU BUNUH RAJA DAN RATUMU, WAHAI BANGSA KECOAAA YANG NGGAK ADE AKHLAK LU YE!" "Ria?" Sekejur tubuh Ria langsung membeku di tempat. Ria yang awalnya berteriak, mendadak diam. Bola mata Ria keduanya melotot, menatap dua sosok di depannya. Persembunyian Ria terbongkar. Dan kini, ia tertangkap basah sudah menguping. "Ah, jadi ini kecoanya?" celetuk seorang wanita di sebelah Hayam Wuruk, yang tak lain dan tak bukan adalah Dyah Pitaloka. Putri Padjadjaran itu memandang Ria remeh. "Apa-apaan tatapan ntuh, cewek? Belagu bener. Ngajak war, lo?" batin Ria, layaknya istri pertama menyumpahi madu-nya. "Ria, sedang apa kau di sini?" tanya Hayam Wuruk, mengalihkan tatapan Ria yang tertuju lekat ke arah Dyah Pitaloka. "Lagi jalan-jalan aja." jawab Ria, setenang mungkin. Di dalam hati, Ria berharap Hayam Wuruk tak mencurigainya. "Jalan-jalan?" Hayam Wuruk memasang wajah tidak percaya. Yang ia tahu, Ria paling malas yang namanya keluar. Selalu berada di kamar. Keluar pun, kalau dia yang memanggil. "Iya, kenapa? Gak boleh?" sewot Ria. "Tidak, tentu saja boleh." "Oh, yaudah." Tubuh Ria berbalik, hendak pergi. Tepatnya melarikan diri. Namun, Hayam Wuruk mencegah. "Ria, tunggu." "Ealah, anjir, ada apa lagi sih?" "Apa?" "Kemarilah." suruh Hayam Wuruk mendekat. Ria turuti, tapi tidak terlalu dekat. Hanya selangkah. Hayam Wuruk lalu menoleh kepada seseorang wanita disebelahnya. "Adinda, aku perkenalkan seseorang padamu. Dia adalah, Ria. Putri dari Kerajaan Indonesia, tanah melayu. Dan, Ria. Dia ini adalah, Dyah Pitaloka. Putri dari kerajaan Padjadjaran, tanah pasundan." "Oh, salken." sahut Ria sekedarnya. "Heh, seorang Putri? Yang benar saja," ujar Dyah Pitaloka. Wajah meremehkan wanita itu, masih terpasang. "Idih, si anjir, beneran ngajak war!" emosi Ria di batin. "Aku memperkenalkanmu secara resmi dengan Ria, supaya kau mengenalnya. Karena ku pikir, kau tidak mengetahui Ria, Adinda." "Memang tidak. Pasalnya dia tidak mencolok, maka dari itu aku terkejut. Ternyata dia seorang Putri. Penampilannya saja sama sekali tidak mencerminkan seorang Putri." Dyah Pitaloka tersenyum miring, menatap penampilan Ria secara keseluruhan. "Dia lebih mirip seorang babu keraton." "WOAHH, SEKATE-KATE ITU CONGOR MAEN JEPLAK! GAK BISA DI DIEMIN! NIH ORANG MINTA GUE RASENGAN!" "Aduh, yang mulia Dyah Pitaloka. Anda ini salah. Saya bukan babu keraton, tapi saya BABY-NYA GUSTI PRABU HAYAM WURUK, OTEWE JADI BINI!" ucap Ria yang diawali suara pelan, lemah lembut, manis. Di akhir kata, drastis meninggi dan ngegas. Dyah Pitaloka terlihat sedikit syock. Belum pernah dalam seumur hidup, ia melihat seorang wanita berteriak. Dalam adat istiadat keraton dan keluarga keraton, kaum wanita sangat dilarang bersuara keras. Adab wanita begitu keras diatur. Tapi beberapa detik berikutnya, Dyah Pitaloka tersenyum. Sorot matanya mengarah kepada Hayam Wuruk. "Benar bukan perkataanku, Gusti Prabu. Wanita ini, sangat tidak mencerminkan pribadi seorang Putri. Wajar, jika aku meragukan darah biru yang ada di dalam dirinya." "Lah, dari pada elu! Muka boleh aja cantik kayak boneka barbie! Tapi kelakuan kayak boneka santet!" tekan Ria, menunjuk wajah Dyah Pitaloka tajam. Kali ini bukan hanya Dyah Pitaloka yang dibuat syock. Hayam Wuruk pun ikut syock, mendengar ucapan kasar terlontar dari mulut Ria. Hayam Wuruk sudah maklum, dengan sikap Ria padanya. Yang suka seenaknya. Hayam Wuruk biarkan, tidak mempermasalahkan hal itu. Tetapi, Ria sudah kelewat batas. Berani berkata kasar pada putri keraton lain. Seseorang yang baru saja bertemu dengannya. Perlakuan itu sangat tidak sopan. Mata Dyah Pitaloka melotot. "Kau! Lancang kau menunjuk diriku seperti itu! Kau tidak tahu, aku siapa di sini!" "Siape lo? Selebgram? Artis? Influencer? Nagita Slavina? Rachel Venya? Tasya Farasya?" balas Ria acuh. "Gusti Prabu Rajasanagara! Lihat! Wanita ini meremehkanku! Ia telah merendahkan harga diriku, mengapa kau diam saja?!" adu Dyah Pitaloka, kepada Hayam Wuruk. "Ria, jaga tata kramamu! Bersikaplah yang baik! Kau tidak pantas berkata-k********r seperti itu lagi, Ria!" bentak Hayam Wuruk tegas. Namun, Ria tetaplah Ria. Wanita yang bersikap bodo amat terhadap apapun yang ia anggap tak penting. Ria adalah definisi squidward di darat. Ria menghela napas malas. "Ikan hiu makan tomat. Untuk Baginda, gue ucap i love you so much. Tapi untuk lo sih, gue mah bodo amat." Emosi Dyah Pitaloka bertambah. Wanita dihadapannya ini tak mempunyai rasa takut. "Dengar, wanita lancang! Kau baru saja telah menghinaku! Kau akan mendapat hukuman gantung, karena telah menghina calon ratu Majapahit." Raut wajah Ria yang semula datar, langsung menjunjukkan ekspresi kaget. Keterkejutan Ria, menimbulkan senyum kemenangan dibibir Dyah Pitaloka. "Ha? Calon Ratu? Maksudnya?" Ria menatap Hayam Wuruk. Ia tidak bertanya pada Dyah Pitaloka, melainkan meminta jawaban kepada Hayam Wuruk. Hayam Wuruk meraih telapak tangan Dyah Pitaloka, lantas menggenggamnya. Ditunjukkanlah genggaman tangannya itu, kepada Ria. "Itulah kenyataannya, Ria. Gadis di sebelahku ini, adalah calon permaisuriku." Mulut Ria menganga. Cengo menatap genggaman kedua insan di depannya. Sementara Dyah Pitaloka tersenyum lebar. Senang melihat ekspresi Ria yang seperti itu. "Maaf tidak memberitahumu sebelumnya." sambung Hayam Wuruk. Kentara sekali rasa bersalah tercetak di raut wajahnya. "Astaghfirullahal'adzim, Baginda, lo ini berdosa bangeett! Selama ini lo hanya solimi depan gue, aslinya elo fakboi cap kaki tiga!" cerca Ria. "Ngomong dong, kalo udah punya calon bini! Jadi, gue gak usah berharap kayak gini sebelumnya! Elo yang memulai, elo juga yang mengakhiri! Anjim!" Itulah ucapan terakhir Ria sebagai penutup, sebelum ia berlalu pergi. °°° Bersambung... 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN