Ivy Harus MoveOn

1959 Kata
Tiga hari telah berlalu setelah kejadian di Restoran. Dan selama itu pula Ivy tak bekerja dengan alasan sakit. Ia masih tidak sanggup untuk bertemu Gatha. Ting... tong... ting... tong... Suara bel menyadarkan Ivy yang masih berbaring di ranjangnya, padahal jam sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. "Ryan... "gumamnya. Sudah seminggu Ryan bolak-balik ke apartemennya setiap pukul 12.00 siang. Pria itu selalu menyempatkan diri mengantar makanan untuk Ivy saat jam istirahat kantor. Setelah Ivy menceritakan kisahnya dan Gatha, Ryan tak berkomentar apapun dan dia hanya mengantarkan Ivy pulang dengan selamat. Tapi berkat hal itu dia jadi tahu tempat tinggal Ivy yang ternyata tidak terlalu jauh dari kantor. Dengan pakaian piamanya dan rambut di cepol asal Ivy bangkit dari ranjang hendak membukakan pintu untuk Ryan. Ceklek... Pintu terbuka dan menunjukkan sosok Ryan yang tersenyum lebar sambil mengangkat plastik berisi makanan seperti biasa. "Pak eh maksudku Ryan, kenapa repot-repot sih, kan aku udah bilang gak usah anterin aku makanan," ucap Ivy. Suaranya terdengar lebih parau dari semalam. Ryan tahu kalau wanita itu pasti menangis seharian atau bahkan semalaman. Ryan mulai kesal melihat keterpurukan Ivy. "Boleh aku masuk Vy?" tanya Ryan sembari menyerahkan bungkusan plastik berisi nasi padang itu pada Ivy. Ivy menerima bungkusan plastik itu namun ia tak langsung menjawab permintaan Ryan. Karena selama tiga hari, Ryan hanya sebatas mengantar makanan dan Ivy tidak pernah mengajaknya masuk. Awalnya Ivy tampak ragu, namun ia merasa tak enak apalagi Ryan sudah baik padanya selama ini. Ivy membuka pintu kamar apartemennya lebih lebar "Ya, silahkan." ucapnya. Kamar apartemen itu tak luas, namun cukup untuk seorang diri yang pulang hanya untuk beristirahat dari riuhnya dunia luar. Dindingnya berwarna krem pucat, sedikit pudar di sudut-sudut, namun bersih. Sebuah tempat tidur single dengan seprai biru polos menempel ke sisi kanan ruangan, tak sepenuhnya rapi—selimut tergulung setengah, bantal tergeletak miring, seolah ditinggalkan dalam terburu-buru tadi. Di sebelah tempat tidur, sebuah meja kerja mungil berdiri di bawah jendela yang menghadap gedung-gedung tinggi. Di atasnya, laptop yang masih terbuka menyala redup, dikelilingi catatan tempel berwarna-warni, pulpen yang berserakan, dan mug kopi setengah kosong yang sudah mendingin. Tirai tipis dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya matahari menembus masuk, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang agak kusam. Lemari pakaian di pojok ruangan tampak sesak—pintu salah satu sisi tak bisa menutup rapat, memperlihatkan deretan blazer dan kemeja kerja yang tergantung rapi, kontras dengan tumpukan pakaian santai yang dilipat seadanya di rak bawah. Di sudut lain, rak kecil menampung beberapa buku bacaan, botol parfum, dan lilin aromaterapi yang belum sempat dinyalakan. Dan sofa berukuran sedang menghadap ke arah televisi tak jauh dari ranjang. Meski sederhana, kamar itu menyimpan ketenangan untuk Ivy. Sebuah tempat peristirahatan setelah hari-hari penuh laporan, deadline, dan rapat tanpa jeda. Sebuah dunia kecil yang tenang dalam keruwetan kota besar. Di sanalah Ivy biasanya melepas sepatu hak tinggi, mengganti kemeja dengan kaus longgar, dan menghela napas panjang. "Tempat tinggal mu lumayan bagus Vy," ucap Ryan, pria itu sudah duduk di sofa sebelum Ivy menawarkan. "Kau mengejek ku ya!" kekeh Ivy yang masih nyaman untuk berdiri. Setelah mengantar Ivy pulang, Ryan memintanya agar memanggil nama saja tanpa iming-iming 'Pak ' seperti selama ini. Apalagi kalau mereka sedang tidak di kantor, karena usia mereka hanya terpaut 2 tahun. "Tidak! apartemen mu jauh lebih luas dibanding aku," kekeh Ryan. "Mana mungkin! gajimu kan besar, kau sudah Manager loh, kalau aku kan cuma wakil Manager," kekeh Ivy. Ryan menggaruk kepalanya yang tak gatal "Ya, sebenarnya aku memang sudah membeli sebuah rumah walaupun bukan di pinggir kota, tapi rumah itu cukup nyaman untuk aku dan istriku tempati nanti, kalau kau bersedia menjadi istriku kita bisa pindah kesana," kekeh Ryan. Wajah pria itu memerah. Ivy hanya tersenyum tipis "Aku tidak cocok jadi istrimu, kau terlalu baik untukku," kekeh Ivy. Sengaja memberi alasan klise pada Ryan agar mereka tidak semakin canggung. Ryan hanya tertawa. Ia mengerti maksud Ivy. Ryan juga tak ingin terlalu cepat memaksa wanita itu menyukainya apalagi setelah mendengar kisah masa lalunya yang cukup menyayat hati. "Vy, sepertinya mulai besok kau harus masuk kerja deh, sudah cukup galaunya, lagipula besok malam akan di adakan acara makan malam oleh CEO kita di Hotel Kavolix untuk merayakan Grand opening kantor cabang baru kita , dan semua Staff diundang," jelas Ryan. Ivy mengangguk. Ia tahu karena Bu Merry selaku atasannya di divisi terkait sudah memberi tahu dirinya tadi malam lewat pesan. "Ya, aku akan masuk kerja mulai besok," jawab Ivy singkat. Ryan tersenyum lebar, ia langsung bangkit dari duduknya yang baru satu menit. "Begitu dong! itu baru Ivy yang aku kenal," ucapnya sambil menunjukkan ibu jarinya. "Makasih Ryan, makasih sudah menyemangati aku, padahal kita baru dekat beberapa hari ini," ucap Ivy. "Ya gak masalah Vy, kalau gitu aku balik ya takut telat ke kantor," ucapnya sambil cengegesan. "Ya... ya... si paling on time," kekeh Ivy. Ivy pun menutup pintu setelah Ryan keluar. Ivy melangkah ke arah ranjangnya, ia menjatuhkan tubuh. "Besok semua orang pasti membawa pasangan ke acara itu, artinya Jenna dan anak mereka mungkin saja hadir apalagi jabatan Gatha adalah Wakil Direktur, sepertinya aku harus kuat dan bisa menghadapi kenyataan, aku harus bangkit dan melupakan semuanya seperti nasehat Ryan, atau apa aku harus membuka hati untuk Ryan?" ucap Ivy dalam hati. Ivy menatap langit-langit kamarnya "Ya, aku harus kuat dan aku harus bisa!" tegasnya. *** Hari yang dinantikan oleh semua orang tiba. Malam dimana Hotel Kavolix di rias sedemikian rupa hanya untuk menyambut kedatangan para tamu penting seperti Klien dan Relasi, staff kantor, dan terutama para Petinggi perusahaan yang bahkan banyak tak dikenal oleh Staff kantor yang jabatannya di bawah Manager, salah satunya adalah Ivy yang masih menjabat sebagai Wakil Manager. Meskipun sudah bekerja selama 4 tahun, Ivy belum pernah melihat CEO ataupun Pemilik perusahaan yang merupakan generasi pertama yang mendirikan perusahaan tempat dia bekerja sekarang. Banyak rumor yang mengatakan kalau semua orang yang memiliki jabatan tertinggi itu akan datang malam ini, itu sebabnya hampir semua tamu tampak excited bahkan semua orang mempersiapkan pakaian terbaik mereka. Suara gelas beradu dan tawa formal memenuhi aula Hotel yang disulap menjadi ruang pesta malam itu. Musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan, mengiringi langkah-langkah ragu dan percakapan yang dibungkus sopan santun korporat. Namun di tengah segala hiruk-pikuk yang dibalut formalitas itu, kehadiran Ivy memecah tatanan tanpa satu kata pun. Ivy berdiri di dekat dinding marmer, memegang gelas anggur setengah penuh. Ivy mengenakan gaun putih gading yang jatuh lembut di tubuhnya, mengikuti lekuk punggung yang terbuka tanpa cela, memperlihatkan kulit sehalus porselen. Bahan gaunnya terbuat dari bahan satin. Rambut cokelat tuanya disanggul rendah dengan sentuhan yang terkesan tak disengaja, namun justru itulah letak keanggunannya, beberapa helaian tergerai lembut membingkai wajahnya. Tatapannya tajam namun sayu, dari balik bulu mata yang lentik dan bayangan eyeliner hitam yang halus. Di pipinya, rona lembut membentuk gradasi merah muda yang nyaris tak terlihat, seperti semburat senja. Dan bibirnya merah alami, sedikit mengilat. Di telinganya, sepasang anting mungil menggantung bagai cahaya kecil yang menyempurnakan seluruh penampilannya. Ia bukan sekadar cantik. Beberapa rekan kerja mencuri pandang, sebagian lain berani melirik lebih lama, namun tak seorang pun benar-benar mendekat karena Ivy memang bukan sosok yang terbuka di Kantor. Namun tiba-tiba sosok yang baru-baru ini dekat dengan Ivy menyapa dirinya dengan menepuk punggung Ivy yang terbuka, dia adalah Ryan. "Vy," sapanya. Mata Ryan membola, ia kagum dengan kecantikan wanita yang sudah lama ia taksir itu. "Kamu cantik Vy," gumamnya. Ivy tersenyum "Makasih ya," jawabnya singkat. Hari ini Ivy dan Ryan memang tak sempat bertemu di kantor, karena Ryan ada pertemuan dengan Klien diluar kantor, Ivy juga tak bertemu dengan Gatha membuat ia merasa lebih tenang. Tapi malam ini Ivy sudah mempersiapkan dirinya untuk bertemu Gatha bahkan ia juga sudah siap bertemu Jenna yang setaunya adalah istri Gatha. "Kamu baik-baik aja kan Vy?" tanya Ryan memastikan. Ia sudah melihat langsung bagaimana rapuhnya Ivy hari itu. Dan dia tahu sebagai Wakil Direktur, Gatha pasti juga hadir dengan pasangannya yang merupakan Sahabat Ivy sejak kecil. Ivy mengangguk "Ya, aku sudah siap menghadapi apapun," ujar Ivy penuh semangat, ia bahkan mengambilkan segelas anggur merah lalu ia berikan pada Ryan. Suara musik mengecil perlahan, lalu berhenti. Seorang MC naik ke panggung kecil dan berbicara lewat mikrofon. “Bapak dan Ibu, mari kita beri sambutan hangat untuk para pimpinan kita malam ini yaitu CEO, Direktur Utama, dan Wakil Direktur baru kita.” Tepuk tangan langsung pecah. Ramai tapi tetap tertib. Beberapa orang berdiri, sebagian menoleh ke arah pintu utama. Seperti yang lainnya, Ivy dan Ryan juga ikut bertepuk tangan. Gatha berdiri dengan tubuh tegap dan rahang tegas yang membuatnya terlihat lebih dari sekadar tampan, ia juga terlihat berkuasa. Setelan jas biru tua yang dikenakannya jatuh rapi, membingkai bahunya dengan sempurna. Kemeja putih bersih dan dasi hitam polos menyempurnakan penampilannya yang formal, profesional, tapi tetap menyimpan sesuatu yang pribadi. Rambutnya hitam dan sedikit bergelombang, disisir ke samping dengan gaya yang nyaris berantakan namun justru terlihat alami. Matanya menatap ke depan, tajam, seperti seseorang yang terbiasa mengambil keputusan cepat. Gatha berdiri di antara dua pria hebat lainnya yang tak lain dan tak bukan adalah CEO dan Direktur Perusahaan tersebut. Lampu sorot bergeser perlahan ke arah panggung utama. Di atas sana, berdiri seorang pria paruh baya dengan bahu tegap dan sorot mata yang tenang. Rambutnya mulai memutih di pelipis, namun kehadirannya tetap memancarkan wibawa yang tak bisa disangka. Ia adalah CEO, sosok yang telah membangun perusahaan ini dari pondasi paling awal hingga mencapai kejayaan malam ini. Tepuk tangan pelan mengiringi langkahnya saat ia mendekat ke mikrofon. Ia tidak langsung berbicara. Ia menyapu pandangan ke seluruh aula, matanya berhenti sejenak pada wajah-wajah yang sudah lama ia kenal yaitu beberapa karyawan lama, para mitra, dan tentu saja kedua putranya yang berdiri tak jauh darinya. Dengan suara yang dalam dan berwibawa, ia mulai bicara. “Saudara-saudara sekalian, malam ini bukan hanya tentang perayaan keberhasilan perusahaan yang kita bangun bersama. Ini juga tentang transisi. Tentang waktu yang terus berjalan, dan tentang kepercayaan yang harus diteruskan.” Ruangan hening. Semua mata kini tertuju padanya. “Saya ingin memperkenalkan dua orang yang akan memimpin langkah perusahaan ini ke depan. Dua sosok yang tak hanya tumbuh bersama perusahaan ini, tapi juga memahami nilai-nilai yang mendasarinya.” Ia menoleh ke arah pria muda pertama yang terlihat tegap, berwibawa, dengan tatapan penuh tanggung jawab. “Putra sulung saya, Gathi Kusuma. seperti yang kalian tahu dia menjabat sebagai Direktur Utama. Ia tumbuh menyaksikan jatuh bangunnya perusahaan ini, dan kini saatnya ia memimpin dengan visinya sendiri.” Tepuk tangan kembali terdengar, lebih hangat, lebih pribadi. “Dan di sampingnya,” lanjut sang CEO sambil menoleh ke pria kedua—lebih santai, namun tak kalah tajam dari kakaknya, “Adalah putra kedua saya, Gatha Kusuma, yang kini menjabat sebagai Wakil Direktur. Ia memiliki pendekatan yang berbeda, tapi keyakinannya terhadap masa depan perusahaan ini sama besarnya.” Sorakan ringan dan senyum mulai muncul di antara para hadirin. Beberapa rekan kerja saling melirik, mengangguk kecil—bukan hanya karena hormat, tapi karena mereka tahu, perubahan ini akan membawa babak baru. Sang CEO menarik napas sejenak sebelum menutup. “Kini, saatnya saya berdiri sedikit lebih ke belakang... dan membiarkan mereka berdiri di garis depan. Saya percaya, perusahaan ini ada di tangan yang tepat.” Suara tepuk tangan membuncah, lebih meriah dari sebelumnya. Ivy terkejut, ia tak menyangka kalau Gatha adalah putra kedua pemilik Perusahaan ini. Ryan juga merasakan hal yang sama. Awalnya Ivy berpikir kalau jabatan yang di sandang Gatha adalah jabatan yang ia dapat dari hasil kerja keras, ternyata pria itu memang terlahir dari sendok emas, dan Ivy tidak tahu itu walaupun ia sempat berpacaran selama 3 tahun dengan Gatha. Ivy meremas dress yang ia pakai, ia mulai mencari-cari keberadaan Jenna. Sayangnya saat mata indah miliknya tengah mencari, ia malah bertatapan dengan Gatha. Pria itu tampak melihatnya dengan tatapan nyaris tajam. Ivy langsung memalingkan wajahnya ke arah lain, ia mengajak Ryan berbicara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN