Pisau dan garpu beradu pelan di atas piring, menghasilkan dentingan halus yang lebih terdengar karena tidak ada satu pun dari mereka yang bicara. Ivy menunduk, menyendok potongan steak panggangnya tanpa benar-benar lapar. Di seberangnya, Ryan sibuk menusuk-nusuk kentang, sementara Gatha menatap ke luar jendela, entah memperhatikan lalu lintas atau sedang mencari alasan untuk tidak menatap siapa pun.
“Makanannya enak,” ucap Ivy akhirnya, Senyumnya menggantung, berharap ada yang menjawab agar suasana bisa keluar dari suasana canggung.
Ryan mengangguk cepat. “Iya… enak.” jawab Ryan terkekeh.
Gatha hanya bergumam. “Hm.”
Lalu hening lagi. Hening yang tidak nyaman. Hening yang tahu-tahu memanjang dan membuat Ivy memutuskan untuk ke toilet.
Ivy berdeham. “Saya ke toilet sebentar,”
Gatha menoleh ke arah wanita yang sudah berdiri dari duduknya itu.
Ivy pergi meninggalkan kedua laki-laki itu.
"Saya juga mau ke toilet Pak Ryan," ujar Gatha.
Ryan mengangguk "I-iya Pak, silahkan."
Gatha berjalan lebih cepat, ia memang ingin menyusul Ivy.
Saat tubuh Ivy hampir menghilang karena ingin masuk ke toilet, tangannya di cegat dan ia di tarik oleh Gatha.
Ivy mendelik "Lepas! apa yang anda lakukan!" pekiknya.
Suasana di sekitar toilet cukup sepi.
"Aku ingin bicara denganmu Vy," ujar Gatha.
"Bicara apa lagi sih!" bentak Ivy kembali kesal.
"Aku mau minta maaf-"
"Aku kan sudah bilang, aku sudah memaafkan," potong Ivy.
"Vy, Jenna-"
"Stop! berhenti menyebut nama itu!" bentak Ivy.
Hanya nama Jenna yang baru disebut, tapi dunia Ivy sudah mulai bergeser.
Seperti nada tinggi yang mengiris gendang telinga, nama itu menusuk langsung ke pusat dadanya. Wajahnya kaku. Suara-suara di sekitarnya mengabur, hanya menyisakan satu kata—Jenna—bergema berkali-kali di kepalanya, seperti palu yang menghantam tanpa henti.
Nafasnya tercekat.
Tangannya refleks naik ke telinga. Ia menutupnya rapat-rapat, jari-jarinya mencengkeram keras sisi kepalanya. “Hentikan…” bisiknya nyaris tak terdengar, tapi itu satu-satunya kata yang bisa keluar.
Kilasan wajah Jenna muncul di benaknya. senyuman manis itu, yang dulu ia percayai sejak mereka umur 7 tahun.
Dada Ivy menegang. Nafasnya mulai tak teratur, pendek, nyaris seperti tersedak. Suara jantungnya mengalahkan segalanya. DUG-DUG-DUG, keras dan panik.
Dia mencoba berdiri tegak, tapi lututnya goyah. Tangannya masih di telinga, seolah bisa menghapus nama itu dari memorinya kalau cukup menekannya. “Hentikan,” gumamnya lagi, lebih keras. “Jangan sebut nama itu…”
“Ivy? Kamu kenapa?” tanya Gatha panik. Ia tak percaya Ivy serapuh ini. Wanita yang selalu terlihat kuat dan tegas.
Ivy tidak menjawab. Matanya memicing, napasnya semakin kacau. Dunia jadi terlalu terang, tapi juga gelap di saat yang sama. Tubuhnya dingin, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Suara-suara kembali masuk, tapi semuanya berbaur, seperti gema dalam ruang kosong.
Ia terlempar ke momen itu, hari dimana ia dan Gatha janji temu untuk merayakan ulang tahun Jenna, namun malah ia harus mendengar pengakuan Jenna yang mengatakan kalau ia hamil anak Gatha.
Sejak saat itu, nama Jenna bukan lagi nama. Tapi luka yang mendalam bagi Ivy.
“Ivy—hei, lihat aku!” Gatha mengguncang bahunya.
Dan akhirnya, air mata Ivy jatuh. Perlahan, tanpa suara. Ivy hanya menutup matanya rapat-rapat, masih menekan telinganya, tubuhnya gemetar.
"Aku... tidak bisa memaafkan kalian berdua!" lirih Ivy.
Melihat kondisi Ivy membuat hati Gatha hancur "Apa kau sehancur ini Vy?" batinnya, ia ingin memeluk Ivy namun ia takut semakin menyakiti wanita itu. Hanya menyebut nama Jenna saya membuat Ivy seperti ini.
“Ivy—hei, lihat aku!” pekik Gatha berusaha menenangkan hati Jenna.
Tapi Ivy tidak mendengar. Suaranya tercekat, matanya masih terpejam, kedua telinganya tertutup rapat. Tubuhnya gemetar, seolah dunia benar-benar runtuh di dalam dirinya. Gatha hanya bisa menatap mantan kekasihnya itu yang ternyata sangat terpuruk, hancur, rapuh dan rasa bersalahnya semakin besar.
Tubuh Ivy semakin bergetar hebat karena menahan tangis.
Tanpa pikir panjang, Gatha langsung meraih Ivy ke dalam pelukannya. Tangannya melingkari tubuh Ivy yang menciut, memeluk erat seperti ingin menahan setiap kepingan yang hendak jatuh berserakan.
“Ivy, maaf... " Air mata Gatha pun tak tertahan, ia menangis.
Ivy tidak merespons. Tapi pelukannya diterima. Tubuhnya tetap bergetar, tapi perlahan,tangan Ivy tak lagi menekan telinganya. Ia hanya bersandar di bahu Gatha, napasnya terputus-putus, seperti anak kecil yang baru saja tersesat terlalu lama.
Gatha mengusap punggungnya pelan, berulang-ulang, seperti menenangkan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Air mata Ivy menetes di bahunya, hangat dan diam-diam menghancurkan dinding antara mereka. Gatha menggigit bibir bawahnya, menahan isak.
"Vy, maafkan aku dan Jenna,"
Saat mendengar nama itu untuk kedua kalinya, barulah Ivy sadar kalau ia sekarang berada di dalam pelukan Gatha.
Ivy mendorong tubuh Gatha dengan keras.
"Dasar b******n! berani sekali kau menyentuhku! b******k!" teriak Ivy. Ia tak lagi peduli apapun jabatan Gatha.
Ivy berlari keluar sambil mengusap air matanya yang terus memaksa mengalir.
"Vy!" panggil Gatha. Ia tak sanggup untuk mengejar Ivy. Sekarang ia tahu seperti apa hancurnya Ivy dan jujur ia pun sama. Ia hancur berkeping-keping setelah di tinggalkan oleh Ivy.
Namun tubuhnya seperti patung, tak bisa bergerak, hanya bisa menatap Ivy yang terus menjauh darinya.
Gatha menutup wajahnya, ia menangis terisak.
Sedangkan Ryan, pria itu kaget setengah mati saat melihat Ivy berlari sambil menangis.
"Ivy?" gumamnya.
Ryan bangkit dari duduknya dan berlari mengejar Ivy. Ia tak peduli lagi pada Gatha.
Syukurnya Ryan bisa menyusul Ivy.
"Vy!" panggilnya menangkup lengan Ivy.
Ivy yang kaget dan mengira kalau itu adalah Gatha menghempaskan tangan Ryan.
Namun saat melihat wajah Ryan, barulah Ivy sadar kalau ia salah orang "Ma-af Pak Ryan," gumamnya.
Ryan masih bisa melihat jelas air mata Ivy yang masih terus mengalir. Wajah dan hidung wanita itu merah.
"Kamu kenapa Vy?" tanya Ryan panik.
"Pak Ryan, tolong antar saya pulang, rasanya saya tidak bisa lanjut ke kantor, nanti saya akan ijin pada Buk Merry," lirih Ivy.
"Ya... ya Vy ayo kita pulang," ucap Ryan merangkul pundak wanita itu. Ryan bahkan masih bisa merasakan getaran tubuh Ivy karena wanita itu sesekali terisak walaupun air matanya sudah mulai berhenti mengalir.
Di dalam mobil, Ryan mengambilkan tisu lalu memberikannya pada Ivy.
"Makasih Pak Ryan," ucap Ivy.
"Sebenarnya apa yang terjadi Vy?" tanya Ryan masih panik.
"Sa-saya dan Pak Gatha adalah mantan kekasih Pak," jawab Ivy.
Ryan mendelik "A-apa?"
"Ya, tapi itu sudah 5 tahun yang lalu, seharusnya saya tidak perlu seperti ini, saya sendiri masih bingung kenapa saya masih seperti ini," gumam Ivy.