Bab 15

1910 Kata
Juan meringis kecil merasakan kapas yang sudah ditetesi alkohol itu ditekankan ke bagian tubuhnya yang terdapat luka sayatan. Ia tak ingin terlihat lemah, hanya saja orang yang mengobatinya terus menekan kuat luka-lukanya. "Lo gila ya?" bentak Juan tak tahan akan rasa perih akibat keisengan orang itu. Bahkan Jeane yang berada sedikit jauh darinya, ikut tersentak kaget akibat suara keras milik Juan. 'Biasa kan cuma ha hn ha hn mulu dia. Ternyata Juan bisa ngebentak juga ya kalo udah marah?' Jeane melirik sesekali ke arah Juan yang terus melototkan matanya gusar. "Ih, lo kok gak sopan sih?" ketus Dokter itu dengan nada main-main, melanjutkan pengobatannya dengan lebih lembut. "Lo kenapa bisa luka sampe kayak gini sih, Ju?" tanyanya penasaran. "Bukan urus — Aw!" Juan mendelik sebal kala wanita itu kembali menekan kuat lukanya. "Jawab yang benar," katanya santai, seolah apa yang dilakukannya pantas untuk Juan rasakan. "Kelahi. Puas lo?" Si wanita menggelengkan kepalanya pelan sembari mengangkat bahunya sedikit. "Jawab yang benar, Juan Ervandra Vian!" Kata per kata yang keluar dari mulut wanita itu penuh dengan penekanan makna. Sesekali, wanita itu menampilkan seringai jahil untuk Juan. Jeane mendelik bingung pada Juan yang sudah memasang wajah datar, namun penuh gurat kekesalan yang disamarkan. Berbeda dengan wanita yang duduk di samping Juan, wajahnya tak tampak bersalah sedikitpun, wanita itu malah terkekeh geli menikmati kemarahan Juan. "Oh ya...." Wanita itu menolehkan kepalanya, menghadap ke arah Jeane, "nama gue Jivka. Gue—" "Lo udah selesai kan ngobatin gue? Keluar sana," usir Juan membaringkan tubuhnya membelakangi kedua gadis yang menatapnya dengan ekspresi yang berbeda. Kekehan yang kembali dikeluarkan Jivka membuat Jeane mengalihkan pandangannya dari Juan. "Okay! Pasien gue perlu istirahat. Gue ngerti dan gue pamit dulu ya, uhm...." Jivka memandang wajah Jeane. Walaupun tadi ia yang mengobati luka Jeane, ia lupa menanyakan nama pasiennya itu. "Jeane," jawab Jeane cepat, bahkan terdengar sangat tergesa-gesa. "Ya, Jeane. Lo bisa pakai ranjang di sebelah Juan untuk beristirahat. Gak ada orang di sana," ucap Jivka ramah, senyuman manisnya pun tak luput dari pandangan mata Jeane. Memang tersedia dua kasur di dalam ruangan inap Juan, salah satunya sudah diisi oleh cowok itu sendiri. Dan masing-masing kasur itu hanya dibatasi dengan gorden yang berwarna biru laut. "Terima kasih, Dok," balas Jeane sedikit kikuk, yang dibalas dengan senyuman simpul. Jivka segera bergegas keluar dari ruangan inap Juan, meninggalkan suasana senyap di dalam ruangan itu. Sebenarnya, ia masih ingin mengganggu cowok yang sangat sulit ditemuinya tersebut. Namun, Jivka merasa jika situasinya sekarang tak memungkinkan untuknya melakukan kejahilan. Juan jelas lebih membutuhkan istirahat dibandingkan dengan godaan darinya. Di dalam ruangan inap, Juan merasa tak mendapati pergerakan dari Jeane, sehingga ia kembali membalikkan tubuhnya menghadap gadis itu. "Lo gak mau istirahat?" tanya Juan seraya menduduki dirinya. "s****n si Jivka," umpatnya merasakan nyeri tak terkira di bagian tubuh yang ditekan Jivka tadi. Tap. Tap. Tap. Suara langkah seseorang semakin mengeras seiring terbukanya pintu yang baru beberapa menit ditutup oleh Jivka. Seorang wanita muda memasuki ruangan tersebut dengan langkah tergesa-gesa untuk menghampiri Juan yang menatapnya datar. "Dokter Jivka balik lagi?" tanya Jeane dengan polos menatap wanita muda yang mirip dengan Dokter muda tadi. Hanya saja, berbeda kostum pakaian. Jeane ingat, tadi Jivka mengobati Juan dengan pakaian yang berwarna hijau disertai jas putih khas seorang dokter, sedangkan wanita di depannya sekarang berpakaian casual namun tetap menampilkan sisi anggun. Wanita itu baru saja akan menyahut Jeane saat seorang wanita paruh baya ikut memasuki ruangan inap Juan. Wanita paruh baya tersebut memandang tajam ke arah Juan, mengabaikan sepenuhnya kehadiran Jeane. Juan membeku. Tak mengira orang yang paling ia hindari sebisa mungkin malah mendatanginya secepat ini. "Lo gak apa-apa kan, Ju? Gue kaget banget pas denger Jivka nelpon tadi," ucap si wanita yang mirip Dokter itu. "Juan...." Juan segera membalikkan tubuhnya lagi, menolak mendengar suara wanita paruh baya itu. "Apa maksudnya ini?" Bentakan wanita itu sukses membuat Jeane terperanjat kaget. "Dia siapa?" tanyanya lagi sambil melirik Jeane dari bawah hingga ke atas seakan sedang menilai gadis itu. Juan tak bergeming, ia memejamkan matanya seakan tak mendengar suara apapun. "Tak lebih baik," ketus wanita paruh baya itu menyindir penampilan Jeane. "Juan!" "Pergilah," kata Juan dengan nada dingin, seiring dengan membuka matanya dan menghadap ke wanita paruh baya tersebut. Sorot matanya menunjukkan ada banyak rasa marah dan kecewa yang sedang ditahannya. "Saya...." Juan melirik sebentar ke arah wanita paruh baya itu, "tidak mau melihat Anda ada di sini!" sambungnya dengan suara yang lebih keras dan terkandung banyak emosional yang tercampur aduk. "Juan?" Wanita paruh baya itu kesal, hingga ia menggertakkan giginya dengan kuat. "Ju—" "Jovka, bawa orang ini pergi dari sini! Gue gak mau liat dia lagi," potong Juan berbicara kepada kembaran Jivka, Jovka. "Kamu tahu apa yang baru saja kamu lakukan, Juan?" Bentakan itu tak berarti untuk Juan, ia tak peduli. Bahkan mungkin, Juan sudah terlalu kebal dengan segala jenis bentakan dan ancaman dari wanita paruh baya itu. "Saya selalu tahu dengan apa yang saya lakukan," jawab Juan tegas. "Pergilah! Jangan ganggu hidup saya lagi!" usirnya lagi. Hentakan kaki langkahan yang berjalan keluar dari ruangannya itu membuat Juan memejamkan matanya. Ia lelah, dan merasa sangat sakit. Ia ingin mundur, meminta Tuhan memberinya hidup yang sederhana saja. "Lo gak apa-apa, Ju?" Juan yang semula menundukkan kepalanya, kini mendongak. Ia bisa melihat Jeane berjalan pelan mendekati kasurnya. Gadis itu memang sedari tadi berdiri di pojokan ruangan, tak ingin ikut campur ke dalam masalah yang membingungkan untuknya. "Gue...." terdiam, "gak apa-apa." Jeane menghela napasnya sejenak. Ia tahu dan bisa merasakan jika cowok itu tidak berada di dalam kondisi baik-baik. Juan seperti memiliki banyak tekanan masalah yang menghimpitnya. Jeane mengulas senyuman tulus. "Eh Ju, lo tau nggak, dulu gue pernah manjatin pohon mangga tetangga gue sampe tuh pohon kayaknya dipindahin orangnya ke seberang sungai," cerita Jeane. "Dulu gue mikir tuh pohon bisa terbang tau ke sana, makanya bisa berpindah. Tapi sekarang gue malah bingung, gimana caranya mindahin pohon besar gitu ke seberang sungai." Juan mendengarnya tanpa menyela sedikitpun, matanya memandang datar sosok Jeane yang terlihat riang dan ekspresif walaupun ada beberapa bagian tubuhnya yang diperban sehingga membuatnya sulit bergerak lincah. "Masa nih ya, gue tercebur ke dalam sungai, temen-temen gue cuma ngetawain. Padahal kan gue gak bisa berenang waktu itu. Eh? Sekarang juga masih gak bisa sih." Juan tersenyum samar sebagai respons. Gadis itu berusaha mengalihkan perhatiannya dan membuat suasana hatinya lebih baik. "Lalu nih gue pernah dilempar pake kecoak hidup. Somplak banget kan?" Juan kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur seraya memejamkan matanya, membiarkan suara Jeane membelai gendang telinganya layaknya lagu pengantar tidur. Toh, Jeane pun tak mempermasalahkannya. Ia malah semakin bersemangat bercerita ini itu, seolah tak terganggu jika Juan malah tertidur tak mendengarnya.   "ABANG!" Panggilan Cia membuat Jeane terperanjat, terjaga dari tidurnya. Padahal, semalam ia baru bisa tertidur pukul tiga pagi setelah memastikan Juan telah terlelap pulas. Dan sekarang jarum jam dinding baru menunjukkan pukul enam pagi. "Kak Jeane?" panggilnya dengan senyuman matahari. "Cia? Sebentar. Gue cuci muka dulu," ucap Jeane bergegas cepat memasuki kamar mandi. Sedangkan Juan memang sudah terbangun dari tadi. "Lo masih sakit? Mau makan apa, Bang? Gue beliin deh, sekalian beliin buat Kak Jeane juga," cerocos Cia seraya duduk di atas kasur Juan. Matanya memicing tajam, "lo mirip mummy, Bang. Diperban sana-sini. Cuma kepala lo doang yang gak keperban," kata Cia sedikit lemas. "Lo gak apa-apa kan, Bang?" "Gue gak apa-apa," jawab Juan santai agar Cia tidak terus mencecarnya dengan kalimat-kalimat lain yang memusingkan. "Bagian mana yang masih sakit, Bang?" "Bagian di dalam hatinya yang terdalam." Berkat jawaban itu, Juan dan Cia menoleh ke arah pintu kamar. Aldo berjalan dengan cengengesan di wajahnya, sedangkan Riko dan Ken hanya menampilkan wajah datar. "Benar gak, Ju?" tukas Aldo sembari bersidekap. "Lo tau, semalam kita hampir ditangkep polisi gara-gara lo," tuduhnya jengkel. "Dan lo liat ini, untung kami jago dalam urusan bantai-membantai. Kalo nggak, kami mungkin tinggal nama doang," lanjutnya memamerkan bagian tubuhnya yang terluka. "Gara-gara Juan apa? Lo sendiri yang nafsuan ngasih bogem. Untung anak orang gak langsung ketemu Tuhan semalem," sahut Riko memutar matanya, jengah dengan tingkah laku Aldo. Jika semalam ada Jeane yang berusaha membuat suasana hatinya membaik, maka sekarang ada Aldo yang siap dengan kekonyolannya. Dan sebentar lagi, Juan sangat yakin kedua orang itu akan berkolaborasi memecahkan pagi yang damai dan tenang. "Dia yang minta, gue cuma ngasih. Kan gue baik tuh, mau beramal bogem mentah," cetus Aldo membela diri, membuat Juan menggelengkan kepalanya heran. "Beramal apanya kalo bogem?" sahut Cia dongkol. "Nambah dosa noh, yang bener." "Si perusuh dateng," sindir Jeane berjalan santai ke arah Cia. "Astaga naga imlek yang baru mau buka mata besok—" "Kepanjangan, nyet," tutur Ken terkekeh. "Gue panjangin khusus buat Jeane," balas Aldo. "Baik kan gue, Jeane?" "Gak jelas lo!" sungut Jeane mendeliknya. "Gue? Lo ajalah, Jeane. Jangan gue mulu yang dikatain gak jelas," tukas Aldo cengir. "Do, lo harusnya ngalah," timpal Juan tiba-tiba. "Juan! Lo kok suka belain Jeane sih? Dia yang mulai duluan! Aku cemburu, Akang!" kata Aldo sengit, wajahnya dibuat sememelas mungkin yang justru membuat mereka semua tertawa. "Drama si upik abal-abalan dimulai," komentar Ken sarkastis. "Seriusan! Lo ke sini buat ribut doang? Bentar lagi si pemilik rumah sakit pasti dateng buat nendang lo keluar, Bang Aldo," kata Cia sebal. Aldo memutar matanya, memikirkan kata-kata yang pantas dikeluarkan. "Doi mana berani nendangin cogan kayak gue. Yang ada dia tercengang liat muka bersinar gue," sahutnya tertawa terbahak-bahak. "Dia bakal lari terbirit-b***t pas liat muka lo, Do," timpal Jeane. "Btw, ada yang bawa makanan nggak? Laper nih gue," sambungnya memelas. "Muka lo asli mirip kucing kecebur di got, Jeane. Nunjukin lagi sini, gue fotoin. Ngasih caption 'anak kucingku yang malang,'" balas Aldo cengir sembari mengarahkan kamera ponselnya ke arah wajah Jeane. "Bangkai lo, dodol ikan!" sungut Jeane menyingkirkan arahan ponsel itu di wajahnyaz "Jeaneee!" Panggilan itu mewarnai ruangan yang sudah cukup ribut akibat ulah Aldo dan Jeane. "Meiva, Kanta, Ginta?" sebut Jeane cengo. "Lo lagi ngabsenin kita ya?" tutur Kanta sembari menyodorkan satu plastik putih yang berisi nasi bungkus. "Makan, Jeane." Ginta pun menyodorkan satu plastik lainnya untuk Juan. Mereka memang sengaja membawa dua bungkus nasi, mengingat Jeane dan Juan masuk ke rumah sakit bersama-sama. "Punya gue mana, Kan?" ujar Aldo. "Tunggu lo masuk ke rumah duka deh, baru gue kasihin," balas Kanta sengit. "Lho? Ke rumah masa depan kita aja, Kan," goda Aldo dihadiahi geplakan dari Ginta. "Gue gak sudi punya saudara ipar kayak lo!" ketus Ginta mengganti saudara kembarnya untuk menjawab. "Gue juga gak mau kali sama nih alien," timpal Kanta tak kalah dongkol. "Gila! Lo langsung ditolak dua cewek sekaligus, Do," kata Riko tertawa geli. "Awas aja lo pada ngemis-ngemis ke gue nantinya! Gue jitak jidat lo sampe muncul tanduk," ancam Aldo main-main. "Tanduk kayak lo?" tanya Jeane menunjuk ke arah rambut Aldo yang sengaja disisir ke atas menantang gaya gravitasi. "Lo abis diterjang badai pas ke sini?" lanjutnya polos. "Ya kali, badai cinta," jawab Aldo gusar. "Btw, Juan...." Aldo menatap ke arah Juan dengan serius, "kita semua...." Ia sengaja menggantungkan kalimatnya, yang membuat semua orang di sana memandangnya tak sabar meminta dilanjutkan. "Apa sih? Lo ngomong kebanyakan dapet lampu merah," gerutu Kanta yang sudah sangat penasaran. "Belum dikasih lampu hijaunya sih dari bonyok lo," kata Aldo dengan tenang. "Gila ya lo! Baperan mulu! Makan gih biar gak baper," ujar Jeane memutar matanya sebal. "Bahas apa sih ini? Cepet lanjutin kata-kata lo tadi, Do," ucap Ken. "Tadi gue udah sampe mana ngomongnya?" tanya Aldo sok polos. "Gue injek-injek juga lo kayak keset kamar mandi," geram Riko menyesal membawa ucapan Aldo terlalu serius. "Apa, Rik? Lo ngajakin gue ke kamar mandi? Ngapain?" tanya Aldo berpura-pura kaget dan gugup. "Eh kadal, tuh kuping minta dibesarin kayak kuping gajah deh kayaknya! Biar congek lo gak keterlaluan parahnya," ketus Riko menarik keras telinga Aldo. "Gue udah kasih nih kuping minum s**u tiga kali sehari, plus ngasih minum vitamin ABCD sekompleks. Masih gak bisa besar nih telinga mermaid," ucap Aldo yang membuat Riko memanas. "Kalo ini bukan lagi di rumah sakit, udah gue buang lo ke lubang buaya," cetus Riko mengepalkan kedua tangannya. "Kamu baik deh." "Sumpah Do! Alayers gak separah lo, tau gak?" timpal Ken. "Lah? Masa? Padahal gue baru minta diajarin mereka loh. Berarti level gue udah lebih tinggi dari mereka dong?" "Serah lo, tapir. Lelah hayati gue!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN