Jeane memejamkan matanya seerat mungkin, mengabaikan rasa sakit yang menjalar tanpa ampun di lengannya. Cengkraman tangan laki-laki yang menahannya itu sangat kuat. Ia yakin, lengannya akan segera membiru begitu dilepaskan.
BUKK!
Suara pukulan itu pun tak lekas membuat keadaannya membaik dan tenang, justru tubuhnya semakin menggigil ketakutan. Mata Jeane bergerak liar, mengikuti ke mana arah Juan berada. Cowok itu terkepung lima orang pria dengan s*****a tajam di tangan mereka.
"Juan..." lirihnya lemah.
Jeane merutuki dirinya sendiri yang dulu menolak tegas mengikuti ekskul karate di sekolahnya. Jika saja waktu itu ia mempelajari seni bela diri tersebut, mungkin ia bisa membantu Juan dalam melayangkan baku hantam sekarang.
"Apa lo bilang tadi? Lo manggil cowok lo itu?" tangkas laki-laki yang menahannya.
Seketika, Jeane merasa tubuhnya terhuyung ke depan. Cowok itu mendorongnya dengan keras, menyebabkan dirinya terjerembab ke depan.
Sakit dan nyeri dirasakannya di bagian lutut yang lecet dan benturan di dagunya tak kuasa membuatnya berhenti mengawasi gelagat Juan, ia takut terjadi sesuatu pada cowok yang bersamanya jika ia melepaskan pandangannya. Namun, cowok yang menahannya itu terus memaksa menekankan kepalanya ke bawah, hampir bersentuhan dengan aspal yang dipijaknya.
Tetesan-tetesan air mata meluncur bebas membasahi aspal itu, hanya ada sedikit jejak air mata yang tertempel di pipinya. Jeane berusaha keras menahan tubuhnya dengan kedua lengannya yang bergetar hebat, melawan kekuatan cowok itu yang terus menekan tubuhnya agar menempel lekat dengan aspal.
"Lo berani ngelawan gue?" Jeane bisa merasakan rambutnya ditarik kasar ke atas, membuat wajahnya terdongak paksa.
"Lepasin dia!" Suara dingin itu menghentikan aktivitas laki-laki yang terus menarik rambut Jeane.
"Juan?" Mata Jeane melebar, mendapati Juan berdiri beberapa meter di depannya. Rasa lega dan takut menyerangnya bersamaan.
Juan tidak dalam keadaan baik seperti sebelumnya. Di sudut bibirnya ada goresan luka mengoyak, di kening cowok itu pun mengalir darah yang membuat Juan harus sedikit meringis merasakan nyeri karena campuran luka dan keringatnya.
Juan berjalan sempoyongan mendekati Jeane yang sudah ditarik berdiri, tak memedulikan rasa nyeri akibat luka di sekujur tubuhnya saat ia merangsek maju. Ia dengan tangan kosong, melawan lima orang bersenjata tajam.
Pukulan demi pukulan dilayangkan pada tubuh lawannya, mencoba menghindari pukulan yang terarah padanya, walaupun itu percuma. Ada banyak sayatan s*****a yang menghiasi kulit terbukanya. Tetesan darah pun mewarnai aspal yang dipijaki Juan.
Juan meludahkan darah yang ada di dalam mulutnya di depan cowok yang memandangnya sangar itu. "Lo cuma berani bersembunyi di belakang seorang cewek?" tukasnya meremehkan cowok itu seiring menajamkan tatapannya, mengetahui keadaan Jeane tak lebih baik darinya.
Tangan laki-laki itu terkepal erat, seolah semua emosi dipusatkan pada tangannya. Didorongnya dengan kuat dan kasar tubuh Jeane hingga tubuh bagian depan gadis itu menghantam keras di atas aspal jalan. Hidung yang berdarah dan bibir yang ikut dihiasi cairan merah kental menjadi pemandangan pertama Juan pada keadaan Jeane.
"Ini buruk!" gumam Juan terus meneliti tubuh Jeane. Gadis itu terluka, walaupun tak separah dirinya. Namun, sifat kelelakiannya terus menyalahkan dirinya yang tak mampu menjaga Jeane.
"Jeane?" panggilnya meminta kesadaran Jeane yang sudah berada di ambang-ambang. Gadis itu shock, getaran tak berhenti di tubuhnyalah bukti spekulasi Juan. Kakinya gemetaran hebat kala cowok itu kembali menariknya untuk berdiri.
"Lo mau cewek lo baik-baik aja?" Cowok itu menyeringai, mengeluarkan pisau yang diarahkan pada leher Jeane.
Juan berhenti mendekat, matanya menatap nanar pada sosok Jeane yang membulatkan matanya panik.
"Juan..." Satu goresan kecil diberikan cowok itu pada leher Jeane, membuat darah gadis itu sedikit demi sedikit merembes keluar.
"Lo..." Juan melototkan matanya, tak dapat menahan emosinya. "Banci," katanya datar. Berusaha setenang mungkin dalam mengatasi situasi yang tak menguntungkan dirinya, cukup Jeane saja yang merasa panik. Ia harus bisa membuat laki-laki itu menerjangnya, meninggalkan sosok Jeane yang sudah melemas di tempat.
"Katakan sekali lagi, dan kepala cewek ini bakal terlepas dari tubuhnya di depan lo," tukas laki-laki itu.
Juan mendecih kesal, rencananya tak berhasil bahkan sangat jauh dari eskpetasinya. Matanya memandang lekat pada Jeane yang juga menatapnya gusar. Mereka seolah bertukar pikiran dengan tatapan mata.
Jeane melirik takut pada pisau yang berjarak dekat dengan lehernya, ia harus melakukan sesuatu. Juan tak mungkin bisa mendekatinya, mengingat ada ancaman yang tak terdengar main-main itu.
Dukk.
Kakinya dengan cepat menendang betis cowok itu. Tak kuat, namun mampu membuat laki-laki itu lengah. Jeane melesat cepat ke arah Juan.
"Kita harus cepat pergi dari sini," kata Juan menarik pergelangan tangan Jeane, mengajaknya melarikan diri kala melihat beberapa di antara mereka kembali bangkit berdiri setelah melawannya tadi.
Juan membawa Jeane ke arah hutan. "Cuma di sini kita bisa bersembunyi," ucap Juan merasakan kebekuan Jeane. "Lo takut?"
Tak perlu jawaban, Juan tahu sifat penakut Jeane yang sudah melebihi kadar akut. Cewek itu mematung, matanya menatap kosong ke hamparan pohon-pohon yang menjulang tinggi seakan melambai-lambai menakutinya.
"Ada gue di sini," kata Juan menggenggam tangan yang mendingin itu. "Lo gak perlu takut. Ada gue di samping lo," sambungnya menarik Jeane dengan pelan. "Gue malah lebih takut sama manusia bertabiat iblis, dibanding makhluk astral," candanya terkekeh.
"Tapi—"
"Lo mau kita ditemukan mereka lagi?" potong Juan cepat. "Kita harus cepat, Jeane," lanjutnya gusar, sekilas terlihat mimik panik di wajahnya.
Jeane membalas genggaman Juan di tangan kirinya, membiarkan cowok itu menuntun dirinya yang akan dibawa entah ke mana.
"Kita bisa beristirahat di sini sebentar," tutur Juan celingak-celinguk memastikan sekelompok laki-laki itu tak mengejar mereka hingga ke tengah hutan ini.
Jeane merosotkan tubuhnya di pohon besar, menyandarkan berat tubuhnya pada batang pohon kokoh itu. Rasa sakit menyergapnya tanpa ampun. Sejenak ia tersadar, keadaan Juan lebih mengkhawatirkan dibanding dirinya.
"Lo gak apa-apa, Ju?" tanya Jeane lemah. Tenaganya terasa terkuras habis tak tersisa.
Juan menatapnya datar, tak ada guratan kesakitan apapun di wajahnya. "Gue gak apa-apa," balasnya setelah terdiam cukup lama, ia harus berbohong agar gadis itu tak kembali merasa panik dan khawatir. "Tapi—" terhenti sebentar, "kita perlu obatin luka lo," tukas Juan berjongkok di depan Jeane.
Tangannya menyentuh lembut luka di leher gadis yang sudah memejamkan matanya. "Pasti sakit," desisnya mencari sesuatu di dekatnya yang bisa membersihkan noda darah di tubuh Jeane.
"Gue gak mungkin ninggalin dia sendirian di sini." Walaupun Jeane telah jatuh terlelap, tak ada jaminan gadis itu tak akan terbangun nantinya. Lagipula, Juan takut mereka berhasil ditemukan orang-orang itu saat dirinya dan Jeane terpisah.
Tak mendapatkan apapun yang bisa membersihkan luka yang sudah mengering itu, Juan mendudukkan dirinya di samping gadis itu. Membiarkan kepala Jeane terjatuh di pundaknya. Ia menghela napas beratnya, sembari memikirkan nasib mereka berdua setelah ini.
"Handphone," ucapnya merogoh saku celananya. Matanya bergulir cepat, memeriksa keadaan handphone di genggamannya. "Gue butuh sinyal," rutuknya kesal mendapati batang sinyal di ponselnya sama sekali tak ada.
Tengah malam, Juan mengguncang tubuh Jeane. Memintanya untuk segera bangun.
"Kenapa, Ju?" Kepalanya masih sakit, semuanya terasa penat dan berputar-putar. Jeane mengumpulkan kesadarannya saat merasa cowok di sebelahnya bergerak tergesa-gesa.
"Kita balik ke jalan. Gue butuh sinyal," ucap Juan menjawab pertanyaan yang tergambar di mata Jeane.
"Sinyal?" tanyanya linglung.
Juan menganggukkan kepalanya. "Kita gak mungkin balik ke mobil. Kuncinya memang ada sama gue, tapi gue yakin, mereka masih di sana. Nungguin kita balik ke sana," jelas Juan. "Gue bisa telepon Ken atau siapapun buat nyelamatin kita sekarang."
Jeane berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang terasa kaku, nyeri tak tertahan yang dirasakannya membuatnya terjatuh duduk di atas tanah.
"Lo kenapa?" Jeane bisa menangkap nada khawatir yang dilantunkan Juan.
"Kaki gue—"
"Naik ke punggung gue," potong Juan berjongkok di depannya.
Untuk kedua kalinya, Jeane berada di dalam gendongan Juan. "Gue berat nggak?" tanyanya merasa Juan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat mereka beristirahat.
"Lumayan," ucapnya singkat. "Tapi gue kuat," lanjutnya membungkam protesan yang akan dikeluarkan Jeane.
"Juan..." menghela napas, "maaf dan makasih," sambungnya lirih. "Maaf udah sering ngerepotin lo dan makasih karna lo selalu nolongin gue," ucapnya pelan, namun ia yakin Juan bisa mendengarnya dengan jelas.
Juan mendengus pelan. "Simpan makasih sama maaf lo buat nanti," katanya datar. "Kita harus fokus sama keselamatan kita sekarang," tambah Juan.
Jeane menganggukkan kepalanya seraya mengeratkan genggaman tangannya di depan leher Juan.
Tut... tut... tut...
Juan tetap menghubungi temannya satu per satu, mengabaikan jari dan lengannya yang sudah kelelahan akibat terus menggenggam ponsel di depan telinganya sejak dua puluh menit yang lalu. Sinyal yang terus hilang-muncul membuat sambungan ponsel itu terus terputus.
"Hallo?" Akhirnya panggilan itu tersambung.
Tak ingin membuang banyak waktu, Juan segera memberikan intruksi. "Lacak GPS gue secepatnya," ucapnya keras.
"Emangnya ada apa?" tanya Aldo bingung.
Juan meneleponnya tengah malam hanya meminta dilacak keberadaannya? Apa Juan terantuk pintu hingga aneh seperti ini?
"Jemput gue sama Jeane sekarang," titahnya terburu-buru, takut jika sinyal itu tiba-tiba menghilang.
"Gue baru ketemu kasur gue, Ju. Masa lo minta gue—"
"Gue sama Jeane terjebak di dalam hutan. Lo dateng cepat," tukasnya mematikan panggilan itu, tak memberi kesempatan Aldo untuk berbicara lebih banyak.
"Aldo bakal dateng secepatnya," katanya pada Jeane yang tak bergeming, mencoba membuat gadis itu tenang. Walaupun kelihatannya sia-sia, Jeane tetap terlihat ketakutan.
"Kita ketemu lagi." Untaian kata itu membuat Juan membalikkan tubuhnya, menghadap ke sekelompok laki-laki yang menyeringai jahat padanya.
"Jeane, lo tetap di sini," katanya mengepalkan tangan. Tubuhnya terbungkuk sedikit saat mengambil sebatang kayu di dekat kakinya sembari memberikannya pada Jeane. "Lindungi diri lo kalo salah satu dari mereka datengin lo," tuturnya tenang.
"Gue sebisa mungkin lindungi lo, jadi lo tenang aja. Jangan panik." Perkataan Juan membuatnya menatap cowok itu tak percaya, namun situasi genting menarik kesadarannya kembali. Ia tak boleh membawa urusan perasaan hangat yang mengalir di hatinya sekarang.
Juan maju beberapa langkah di depan Jeane, menghalau keberadaan Jeane yang sudah disadari orang-orang di depannya.
"Lo yakin..." ada senyuman mengejek yang bermain di bibir itu, "dengan tubuh itu, lo bisa menang dari kami?" ucap salah satu dari mereka seraya terkekeh sinis. Memainkan bola matanya di sekujur tubuh penuh luka milik Juan. “Lo mungkin mati di sini.”
Juan mengangkat bahunya ringan, dalam hatinya terus berdoa agar Aldo segera tiba di tempatnya berada sekarang. Setidaknya, untuk membawa Jeane pergi dari sini. Urusan ia bisa selamat atau tidak, ia tak mau memedulikannya.
"Gue paling suka ngebunuh orang yang sok kayak lo," sahut seorang yang lainnya.
Juan berdecih lalu terkekeh meremehkan. "Coba saja." Ia harus memastikan semua orang itu mengeroyoki tubuhnya tanpa ada yang mendekati Jeane.
Berkorban demi Jeane? Juan mendengkus pelan, tak menyangka dirinya bisa melakukan suatu hal sampai sejauh ini. Terutama demi makhluk yang bernama perempuan. Ia membenci perempuan, namun apa yang ia lakukan sekarang berbanding balik dengan yang ia benci.
"Lo berani nantangin kami? Lo itu cuma sendiri," gertak orang yang menahan tubuh Jeane tadi.
Baru saja Juan ingin menyahut, sebuah suara menghentikan laju lidahnya berucap. "Kata siapa dia cuma sendiri?" Ada Aldo, Riko dan Ken yang berjalan santai mendekati posisi Juan berdiri.
"Ya ampun, Ju. Lo kok kayak gembel gini?" pekik Aldo membuat Juan memutar matanya kesal karena Aldo sempat-sempatnya mengejek dirinya. "Untung kita ikutan bolos sekolah buat ke daerah ini juga."
Aldo terkekeh pelan lalu memasang seringai kecil. "Moving, Ju. Lo masih mampu bawa mobil kan?" tukasnya melempar sebuah kunci pada Juan. "Makhluk ginian serahin ke kita aja," lanjutnya memperlebar seringai di bibirnya.
Juan menyambut kunci itu dengan malas, langkahnya mendekati Jeane yang mematung. Direbutnya kayu itu dan membuangnya sembarangan. "Kita pergi," bisiknya menarik tangan Jeane yang terkulai bebas.
"Lo pergi?" Suara itu menghentikan gerakan Juan. "Pecundang!" tuding salah satu orang yang paling berisi, membuat kelompok mereka menyeringai puas mendengar ejekan yang dilontarkannya.
Tak disangka, justru Aldo-lah yang tertawa paling kencang. Mengabaikan pandangan tersinggung dari kelompok orang di depannya. "Lo mau ngelawan orang yang udah sekarat..." tunjuknya pada Juan yang memicingkan matanya tak terima dikatai sekarat, "dan seorang gadis?" tanyanya meremehkan. Baik dirinya dan Juan memang suka meremehkan lawan.
"Harusnya lo sadar, siapa yang pecundang dan pengecut di sini," kata Riko tersenyum miring. "Enam lawan tiga?" katanya dengan nada bertanya. "Menarik."
Kekesalan merambati sekumpulan laki-laki itu. Tanpa berpikir panjang, keenam laki-laki itu menerjang ke arah Riko, Ken dan Aldo. Sedangkan Juan menggunakan kesempatan itu untuk kabur bersama Jeane. Bukan tak setia kawan karena meninggalkan teman-teman yang sudah datang untuk membantunya. Juan sadar dan tahu, tubuh mereka berdua sudah menjerit meminta untuk diobati.
"Ju, kita mau ke mana?" tanya Jeane menyandarkan diri dengan nyaman di dalam mobil yang dikendarai dengan cepat oleh Juan. Cowok itu mengebut.
"Rumah sakit," sahutnya singkat.
"Ngapain?" tanya Jeane dengan bodohnya. Ia merasa akan lebih baik jika mereka kembali ke rumah masing-masing, tanpa singgah sana-sini lagi.
"Nyari angin," jawab Juan jengkel.
"Huh?" Juan membiarkan Jeane berkeliling dengan pikirannya sendiri. Ia sudah terlalu lelah, bahkan untuk menjelaskan hal yang tak perlu dijelaskan lagi.