Bab 13

1875 Kata
Pagi yang cerah, angin bertiup pelan mengembuskan daun-daun kering yang sudah terjatuh di atas tanah yang lembab. Burung-burung pun tak kalah bersemangat berkicau riang seolah-olah sedang berlomba, membuat suasana terasa sangat baik dan hidup. Namun, hal itu dilewatkan begitu saja oleh seorang gadis yang masih meringkuk nyaman di bawah selimutnya yang tebal. Cuaca yang dingin dan angin yang membelai lembut wajahnya, membuatnya enggan membuka mata barang sedetikpun. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada guling dan menenggelamkan kepalanya di dalam selimut. Tapi semuanya harus buyar kala dirinya mendengar suara ribut di depan kamarnya. Tak mampu menghalangi suara berisik yang justru semakin membesar, Jeane membuka matanya setengah mengantuk. Mengerjapnya beberapa kali agar terbiasa dengan terangnya sinar matahari yang menyelinap masuk ke dalam kamarnya. "JEANE!!!" Teriakan itu sukses membuat Jeane menolehkan kepalanya ke arah pintu kamar dengan bingung. "Emang di hotel boleh teriak kayak gini ya?" tanyanya pada diri sendiri sembari membuka pintu kamar. Ia baru menyadari tidak ada sosok Cia di kamar yang mereka tempati bersama. "Apa sih?" sungutnya menatap tajam ke arah Kanta yang sejak tadi berteriak di depan pintu kamarnya. Tunggu? Kanta, Meiva dan Ginta? Bagaimana mereka bisa ada di sini? Jeane memberikan tatapan bertanya pada ketiga gadis yang sudah seenaknya memasuki ruang kamarnya. "Kalian kenapa ada di sini? Main nyelonong lagi," tanyanya menghentikan gerak tangan Kanta yang sedang memeriksa lemari pakaian. "Kita nyusul," jawab Kanta tenang, seolah tak ada masalah apapun dalam kalimatnya. "Ngapain?" tanya Jeane yang masih tak mengerti. "Lo baru bangun, Jeane?" tanya Ginta mengalihkan pertanyaan Jeane. Jeane menganggukkan kepalanya polos. "Iya." "Mandi sana! Belum gosok gigi sama cuci muka kan lo? Napas lo bau pete, elah," ujar Ginta mendorong tubuh Jeane hingga terjerembab di dalam kamar mandi. Dengan cepat Meiva menutup pintu itu dari luar, menolak membiarkan Jeane mencecar mereka dengan pertanyaan. "Lo mandi aja dulu, jorok lo!" teriaknya di depan pintu kamar mandi. "Kalian kenapa sih?" cetus Jeane tak terima dikurung di kamar mandi. "Seenggaknya ngurung gue di tempat yang lebih bagus dari ini kek," protesnya sebal. "Gue diperlakukan kayak anak tiri atau selingkuhan aja. Disekap di dalam toilet gini." Tak mendapat jawaban dari ketiga temannya, Jeane mengunci pintu kamar mandi dari dalam. Menghindari masalah jikalau teman-temannya membuka pintu itu saat ia sedang mandi. Dua puluh menit setelahnya, Jeane selesai mandi. Ia baru saja teringat tidak membawa pakaian ganti tadi. "Va!" panggilnya di depan pintu kamar mandi yang masih ia kunci. "Kan! Gin!" Hening. Tak ada yang merespons panggilannya. Jeane membuka sedikit pintu kamar mandinya, mengintip dari sela-sela pintu itu. Tak ada orang. "Ke mana lagi sih tuh trio kwek-kwek?" gumamnya sembari membuka lebar pintu tersebut. Kakinya melangkah cepat menuju lemari pakaian, takut jika mereka kembali memasuki ruang kamarnya. Namun, ketiganya hilang bak ditelan bumi. Teman-temannya tak kembali ke kamarnya. "Aneh," rutuknya jengkel. Kruyukk... Jeane meletakkan tangan di atas perutnya, ia kelaparan. Merasa tak seorang pun yang dapat menemani sarapan, Jeane bergegas menyambar tas yang diisi dengan dompet dan ponselnya. "Ini di mana ya?" tanyanya pada dirinya sendiri sembari celingak-celinguk mencari arah jalan yang benar. Jeane sedang tidak berada di jalan raya. Ia terjebak di lorong hotel yang banyak jalurnya dan panjang. "Nih otak selain suka lemot, suka pikun ya. Pelupa banget," rutuknya sebal sendiri. "Ada orang yang bisa dimintai tolong gak ya?" lanjutnya bergegas mencari seseorang yang dikiranya bisa membantunya. "Lo ngapain di sini?" Suara itu, suara yang dikenali Jeane. Juan. "Eh... oh... itu... gue tersesat," jawabnya tergagap karena malu dan merutuki kebodohannya. "Tersesat? Di koridor?" tanya Juan heran. "Gue... gimana jelasinnya ya..." Jeane memikirkan kata-kata yang akan diucapkannya, "lo bisa kasih tau gue pintu keluarnya di mana gak ya?" Ada nada memohon yang terselip di dalam suara Jeane. "Lo mau ke mana?" tanya Juan datar. "Cari makan," jawab Jeane cengengesan agar Juan segera menunjukkan arah jalan menuju pintu keluar dan ia bisa dengan cepat menuntaskan konser drumband di dalam perutnya. Sayangnya, Juan justru bergeming. Sesaat kemudian, cowok itu melangkah pergi meninggalkan Jeane yang melongo bingung. Satu detik. Jeane masih melongo. Dua detik. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai terkumpul. Tiga detik. Jeane mulai menata ulang kesadarannya yang sempat berpencar. Empat detik. Jeane mulai bisa menyadari apa yang terjadi. Lima detik. Matanya membulat kaget dan segala kesadaran mulai memukul otaknya, meminta digunakan kembali. "Juannn! Tungguin! Pintunya ada di mana?" Jeane mengejar langkah Juan yang sudah menghilang di tikungan ujung koridor. Juan membawa Jeane menuju ke parkiran mobil, alih-alih pintu keluar yang lebih dekat dari tempatnya berada sekarang. "Masuk," pinta Juan dari dalam mobilnya. "Mau ke mana?" tanya Jeane cengo. Ia tak mengerti ucapan sepotong-sepotong dari Juan. "Makan," jawab Juan cuek. "Mau masuk sekarang atau gue tinggal?" Ternyata kesabaran Juan pagi ini hanya sedikit. "Lo mesti tambahin stok kesabaran lo," ucap Jeane memasuki mobil Juan. "Hn." Juan menjalankan mobilnya membelah jalan yang agak ramai. "Hn itu apa sih? Bahasa baru ya?" tanya Jeane mencari bahasan. "Hn." Yang nyatanya hanya dibalas seadanya dari Juan. "Lo lagi sariawan atau males ngomong? Atau lagi belajar ngomong?" cetus Jeane agak kesal. "Hn." Respons Juan tetap sama. "Au ah." Jeane menyerah mengajak Juan berbicara, matanya bergerak liar memandangi pemandangan di balik kaca. Jalanan yang penuh dengan warna hijau, karena banyak pohon-pohon yang berdiri tegak di sana. Mobil Juan berhenti di salah satu tempat makan di tepi danau. Setelah memarkirkan mobilnya, Juan dan Jeane berjalan masuk ke dalam restoran yang tampak asri. Restoran yang mengandalkan tanaman-tanaman hidup sebagai pemandangan dan penarik perhatian. Dan itu berhasil membuat Jeane terpukau. Ia menyukai tempat ini selayaknya tempat yang semalam dikunjunginya dengan cowok ini. Jika dipikir-pikir, Juan sepertinya tahu seluk-beluk daerah ini. Tempat yang ditujunya selalu sukses menarik perhatian Jeane. "Lo pernah ke sini?" tanya Jeane akhirnya, mereka memilih duduk di tepi air mancur. "Dulu sering," jawab Juan mengangkat bahu. "Bareng Ken mereka?" tanya Jeane lagi. "Nggak." "Lalu bareng siapa?" tanya Jeane penasaran. "Seseorang." "Siapa?" Jeane menatap mata Juan yang juga menatapnya tajam. "Mantan lo?" sambung Jeane sejenak teringat pada perkataan Cia. "Tunggu. Kata Cia, lo gak ada mantan," gumamnya seolah memikirkan sesuatu. Juan mengangkat bahunya, menolak menjawab pertanyaan yang diajukan Jeane. Biarpun sangat penasaran, Jeane tetap menghargai sikap Juan yang menjaga privasinya sendiri. Lagipula mereka tak terlalu dekat untuk terlibat dalam pembicaraan yang seperti rahasia tadi.   Meiva, Kanta dan Ginta kembali muncul di hadapan Jeane saat siang hari. Ketiganya memutuskan mengunjungi pantai di pagi hari tadi. "Sorry deh, Jeane. Abis lo lelet banget," ucap Meiva tak enak hati. "Udah ninggalin gue, pake nyalahin gue lagi," rajuk Jeane tak terima. "Iya deh, kita yang salah. Kita yang berdosa," sahut Kanta dengan nada malas. "Kasih tau gue, kok kalian bisa ada di sini?" tanya Jeane yang masih melontarkan pertanyaan yang belum dijawab ketiga temannya tadi pagi. "Itu..." Meiva memikirkan kalimat yang akan dikeluarkannya. "Kita kan mau nyusulin lo ke sini," ucap Kanta santai. "Huh?" Jeane tercengang. "Iya, Jeane. Kita sampe minta nomor Cia sama Aldo, tau gak? Susah banget. Tuh anak ngeselin banget!" cetus Ginta menambahkan kalimat Kanta. "Ngomong-ngomong soal Cia, dia ke mana ya?" Sulit untuk menjelaskan suatu masalah pada Jeane, namun cewek itu mudah dialihkan perhatiannya. "Jalan sama Samudra lah. Dia mana mau jagain lo tidur yang mirip kebo," sindir Meiva mendelik dongkol. Jeane hanya menyengir. "Gue kan gak tau. Jawabnya biasa aja elah," tuturnya. "Terus lo tadi ke mana? Kita balik ke sini, lo-nya gak ada," tanya Ginta duduk di atas ranjang. "Tersesat di koridor, lalu ketemu Juan—" "Apa?! Lo ketemu Juan? Jodoh banget deh kalian," komentar Ginta memotong penjelasan Jeane. "Jodoh apa? Ujung-ujung dia ninggalin gue lagi! Gue tersesat lagi tau. Untung tadi ketemu orang yang bisa nuntun gue balik ke kamar," cerocos Jeane membuat ketiga temannya terperangah. "Lo tersesat? Di sini? Maksud gue, di koridor hotel ini?" tanya Meiva tak percaya. Jeane menganggukkan kepalanya ringan. Kanta menjitak dahi Jeane dengan geram. "Lo kok begonya dijaga kayak emas terus sih, Jeane? Bolak-balik gak tau berapa kali di koridor, masih aja kesasar." "Gue kan emang susah ngafalin jalan. Apalagi nih koridor bercabang kayak ujung rambut lo," ketus Jeane mengelus dahinya yang nyeri. "Ih, capek gue ngomong sama lo. Lebih baik lo kemas barang-barang lo," kata Ginta membuat Jeane teringat akan kembali ke rumah hari ini. "Lo mau balik sama siapa? Kita atau Samudra atau Juan?" tanya Kanta disela-sela membantu Jeane berkemas. Tangan Jeane berhenti bergerak. "Ikut kalian aja deh. Gue lebih bisa bertingkah," cengirnya. "Lo di mana aja juga bertingkah," ketus Meiva sekenanya. "Kak Jeane?" Panggilan itu mewakili pintu yang terbuka lebar akibat Cia. "Oh? Ada temen-temen Kak Jeane juga? Gue kira kalian gak bakal ke sini," lanjutnya lagi. Samudra dan Juan hanya menunggu di depan pintu kamar yang terisi para perempuan itu. Mereka merasa sungkan untuk ikut bergabung di dalamnya. "Gue ikut mereka ya, Sam, Cia?" kata Jeane memandang keduanya bergantian. Kini, di depannya ada tiga mobil terparkir berderet. "Eh? Gak ikut kita?" tanya Cia dengan ekspresi sedih. "Kakak ikut Bang Juan aja." Mendadak satu ide bermain di otaknya. "Eh?" Jeane melotot kaget, apalagi Juan yang sudah menatap Cia untuk menuntut penjelasan. "Kan Bang Juan sendirian tuh, Kak Jeane temenin aja. Takutnya Bang Juan ngantuk kalo sendirian, gak ada yang ajak ngomong," ujarnya merampas barang bawaan Jeane dan diberikan pada Juan. "Nih Bang. Bawa mobilnya hati-hati," pesannya tak memedulikan delikan sinis dari Juan. Merasa percuma melawan Cia yang kelewat iseng, Juan menghela napasnya kasar seraya mengambil barang yang disodorkan Cia. "Ayo," ajaknya malas pada sosok Jeane yang masih terdiam mendefinisikan keadaan. "Lo mau balik atau nggak?" tanyanya dongkol. "Eh iya. Gue duluan ya, guys," kata Jeane mengejar Juan yang sudah berada di dalam mobil. “Telepon gue... eh gue bakal telepon kalian nanti kalo udah sampe rumah.” Mobil itu melesat laju, meninggalkan teman-teman mereka. "Kita juga udah harus balik sekarang kalo gak mau kemalaman nyampe rumahnya," kata Samudra tiba-tiba. "Bener juga. Sampai jumpa besok di sekolah kalo gitu," ucap Ginta kikuk. "Hati-hati ya," kata Cia. "Kalian juga," balas Meiva. Empat Sebangkaiii! (4) Kanta : mana Jeane? Jeaneee! Ginta : husss! Dia lagi berduaan sama Juan. Kanta : eitts! Cie Jeane! Di lain tempat, Jeane membaca pesan grupnya dalam diam. Ia melirik ke arah Juan yang terlalu serius mengendarai mobilnya, membuat Jeane sedikit banyak merasa bosan. Empat Sebangkaiii! (4) Jeane : apa sih kembar upil ipil? Ginta : gimana sama Juan? Kanta : iya, Jeane. Pena to the saran! Jeane : gimana apanya? Gak ada apa-apa kali!! Kanta : gak usah malu-malu deh, Jeanot! Jeane menatap kesal ke layar ponselnya. Ejekan nama yang diberikan Kanta padanya memang selalu membuatnya sebal dan kesal. "Lo kenapa?" Juan memerhatikan tingkah anehnya. "Gak... gak apa-apa," cengir Jeane, memburamkan sikap gelagapannya. "Aneh," sahut Juan cuek. Jeane mengabaikan celetukan Juan, seraya memainkan ponselnya. "Mampus!" serunya tiba-tiba. Juan mendeliknya sebal, matanya berkilat marah. Berkat pekikan keras Jeane, ia hampir mendadak menginjak rem. Untung saja jalanan sedang lenggang, sehingga tak akan terdengar suara klakson yang memekakkan telinga. "Handphone gue is dead," ucap Jeane lesu. Ia akan melewati sepanjang jalan dengan merenung. Tanpa ponsel. Jaman sekarang tanpa ponsel dan internet? Jeane meringis mengetahui ia akan melalui harinya di mobil tanpa kedua hal itu. "Ju, puterin lagu dong! Gue bosen tingkat cabe-cabean elah," ujar Jeane bosan. "Tidur," kata Juan singkat. Jeane menggelengkan kepalanya. Sadar jika Juan tak melihat gelengannya, Jeane membuka suaranya. "Nggak mau! Gue gak mau entar gue kebangun, gak taunya malah udah di surga," celetuknya polos. "Orang kayak lo bakal masuk surga?" balas Juan tak merasa tersindir. "Ya dong, kalo lo sih nggak mungkin," jawab Jeane. "Lo suka bikin orang naik darah," tambahnya terkekeh. "Hn," respons Juan. "Ju, nyari makan dulu kuy," ajak Jeane memelas. "Gue laper nih." Hari memang sudah sore, malah hampir memasuki malam hari. Wajar jika perut mereka sudah meminta diberi asupan. Juan menghentikan mobilnya di warung terdekat yang dikiranya warung makan. "Di sini aja udah," kata Jeane seraya keluar dari dalam mobil dan melangkahkan kakinya, tanpa menunggu Juan yang sedang mengunci pintu mobilnya. Sebuah insiden terjadi. Ada sekelompok laki-laki mengepung mobil mereka. Salah satu di antara mereka, mencekal lengan Jeane. Dan beberapanya, menyerang Juan yang baru akan berjalan memasuki warung. "Berikan apa yang kalian punya!" pinta salah seorang yang menjadi ketua di kelompok itu. Juan mendecih kesal, ia sedang malas berkelahi dan sama sekali tak memiliki hobi yang memakan banyak tenaga tersebut. Namun, jika diundang oleh lawan, ia pun tak akan menolak. Apalagi, seseorang di pihaknya menjadi tawanan. Juan bukan seorang pecundang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN