Bab 12

1861 Kata
"Kenapa sih tuh orang pake nyuruh gue keluar kamar segala?" gumam Jeane mengeratkan jaket yang membungkus tubuhnya. Bukan dingin yang dirasakannya. Hanya saja, sendirian berada di lorong hotel membuatnya merasakan hawa ketakutan. "Kalo mbak kunti datengin gue gimana? Minta dicariin mas pocong. Mampus gue. Gue kan takut," gumamnya bergedik ngeri. "Hn," gumam Juan menandakan cowok itu berada di sampingnya. "Bodoh," ucapnya datar merespons gumaman Jeane. "Lo?! Sejak kapan lo di sini?" tanya Jeane hampir berteriak kaget. “Lo kayak hantu aja.” "Hn?" Juan segera menarik tangan Jeane, tak berniat memperpanjang percakapan mereka di lorong itu. "Lo mau bawa gue ke mana sih?" ketus Jeane menghentakkan lengannya di genggaman Juan saat menyadari cowok itu membawanya ke parkiran hotel. "Ketemu kunti," jawab Juan santai membuka pintu mobilnya. "Masuk," pintanya datar seakan tak ada satu emosi pun yang terkandung di dalam suaranya. Jeane mengerucutkan bibirnya sebal. "Gue gak mau ikut lo. Kalo mau ketemu tuh tante, ketemuan aja sendiri, gak usah ajak-ajak gue. Gue gak berminat jadi nyamuknya kunti," cetusnya jengkel sembari membalikkan tubuhnya, kembali memasuki hotel. "Gue tadi ketemu satu yang berdiri di samping lo," ucap Juan santai. "Kalo lo mau balik, silakan," tambahnya memasuki mobilnya. Kalimat Juan mampu membuat Jeane mematung seketika sebelum kembali menghadapnya. Jeane membulatkan matanya horor. "Lo jangan bercanda ya!" bentaknya panik. “Gak lucu tau.” "Ngapain gue bercanda sama lo. Jadi lo—" Ucapan Juan terpotong oleh Jeane yang tiba-tiba berlari mengisi kursi kosong di sebelahnya. "Gue ikut lo aja," kata Jeane lengkap dengan cengiran kuda di bibirnya. "Hn." Juan segera menjalankan mobilnya, meninggalkan hotel yang dicap horor oleh Jeane. "Btw, Juan..." Jeane menghela napasnya. "Lo beneran ada liat tadi?" tanyanya bercampur antara penasaran dan takut. "Menurut lo?" Juan membalasnya dengan pertanyaan lainnya. "Gue mana tau. Tapi nih ya, gue gak pernah dengar gosip kalo lo indigo," kata Jeane memainkan ponselnya sebagai pengalihan rasa canggung yang menyergapnya. "Hn," respons Juan sekenanya. "Lo beneran liat nggak?" tanya Jeane sekali lagi, berusaha untuk lebih sabar sebelum meluapkan kekesalannya pada Juan. "Nggak." Jawaban itu seperti angin sepoi-sepoi yang menerpa Jeane, ia berada di antara ingin tersenyum lega atau memaki-maki Juan yang tampak tenang. "Jadi lo boongin gue?" tanya Jeane membulatkan matanya tak percaya dan jengkel. "Menurut lo?" Penggulangan pertanyaan yang diajukan Juan membuat Jeane semakin ingin menggampar wajah ganteng cowok menyebalkan itu. "Seriusan! Gue pengen gampar lo dari tadi, tau gak? Tangan gue udah gatel melambai-lambai pengin nyakar lo hidup-hidup," sembur Jeane sebal. "Turun." Perkataan datar Juan membuat Jeane menatapnya tak percaya. "Udah sampe," tukasnya ringan sembari keluar dari dalam mobil. "Lo mau tetap di sini?" tanya Juan lagi karena Jeane tetap tak bergeming. "Ditemani kunti." "Nggaklah," cetus Jeane seolah mendapat paksa kesadarannya kembali. Kakinya melangkah cepat memasuki restoran di depannya, meninggalkan Juan yang hanya berjalan pelan di belakangnya. "Bagus banget tempatnya," komentar Jeane menduduki salah satu tempat yang dirasa bisa mencuci matanya dengan pemandangan yang disajikan tempat tersebut. "Permisi Kakak, ini menunya," kata seorang pelayan yang baru saja mendatangi meja yang dipilih Jeane. Juan melenggang santai menduduki kursi di depan Jeane, mengabaikan sepenuhnya senyuman penuh makna yang dilempar pelayan perempuan itu padanya. "Tolong menunya satu lagi," kata Juan sebal. Pelayan itu hanya menatapnya mematung, tak menyodorkan menu yang dimaksud Juan. "Eh... iya, Kak," ucap pelayan itu dengan kikuk dan malu. "Lo mau pesen apa, Jeane?" tanya Juan melirik ke arah Jeane yang memucat. Ada apa dengannya? "Lo makan sendiri aja deh, gue nggak," jawab Jeane menutup menu yang baru dibukanya. "Hn? Kenapa?" tanya Juan penasaran. "Gue—" Jeane menggaruk kepalanya yang tak gatal, "lupa bawa dompet," sambungnya dengan cengiran polos. "Abis lo gak bilang mau ngajakin makan. Gue kira lo cuma mau ngajak ngomong apa gitu," tukasnya menyalahkan Juan. Juan mendeliknya cuek. "Pesen aja. Gue yang bayarin," ucapnya kembali membaca lembaran kertas menu di tangannya. "Gak deh. Yang kemarin aja lo udah bayarin, masa sekarang juga gitu," tolak Jeane menyodorkan menu pada pelayan yang berdiri diam. "Tanya dia aja, Mbak. Dia sendiri aja yang mesen," ucapnya ramah menutupi rasa malu yang dirasakannya. "Ya sudah," jawab Juan singkat. "Mbak, dua paket gurame goreng sama satu gelas jus apel, dan satu botol air mineral," kata Juan sembari mengembalikan menu itu pada pelayan yang sedang mencatat pesanannya. "Baik, mohon ditunggu sebentar." Setelah pelayan itu pergi, Jeane mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru restoran. Rasa senang dan kagum mendatanginya, ia merasa cocok dengan tempat ini. "Sayang sekali, tempat ini jauh banget dari rumah gue," gumamnya pelan. “Kalo deket, auto tiap hari gue main ke sini.” Juan mendongakkan kepalanya, menatap tajam wajah berseri Jeane dan mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. kaCIAn is calling... Bukan Juan yang memberi nama kontak itu pada Cia, tetapi Aldo yang selalu berdebat dengan Cia. Karena Cia kerap kalah dalam beradu mulut dengannya, Aldo sengaja menggantikan nama kontak Cia di ponsel Juan menjadi kaCIAn. Ddrrrtt... drrrtt... Juan menghela napas bosannya, getaran itu tak juga berhenti. "Ha—" "Lo di mana, Bang? Kak Jeane ada di sana nggak bareng lo?" Cerocosan itu menyambut gendang telinga Juan. "Di restoran," jawabnya sebal. "Ada Kak Jeane gak di sana?" Juan melirik sedikit ke arah Jeane yang tak juga berhenti mengagumi interior restoran. "Ada," jawab Juan setelah jeda beberapa detik. "Kalian lagi di restoran mana?" "Kenapa?" tanya Juan jengah disodori pertanyaan terus-menerus. "Lo mesti pulangin Kak Jeane ke hotel lagi ya! Awas kalo nggak, gue sepak lo ke Belanda!" "Hn," gumam Juan tak peduli dengan ancaman yang dilontarkan adiknya. "Awas lo—" Tut... tut... tut... Juan segera menutup panggilan dari Cia. Ia sudah menangkap maksud Cia meneleponnya. "Siapa, Ju?" tanya Jeane penasaran karena desahan napas Juan seolah panggilan itu membuatnya lelah. "Cia," kata Juan cuek. Jeane baru saja akan membuka suaranya lagi jika tak diiintrupsi dengan datangnya pelayan yang membawa nampan berisi pesanan Juan. "Silakan dinikmati." Setelah itu, Juan menggeser sepiring nasi dan gurame itu ke depan Jeane. Tak lupa juga jus apel yang sengaja ia pesan untuk cewek itu. "Eh? Perasaan gue gak pesen apa-apa deh," kata Jeane sedikit kaget. "Buat lo," ucap Juan memulai acara makannya. Mengabaikan Jeane yang tercengang. "Makasih," kata Jeane kemudian memakan pesanan Juan untuknya. "Ah, kenyang!" tutur Jeane menyeruput jus apelnya. Matanya memicing ke arah Juan yang sedang meminum air mineralnya. "Beneran lo yang bayarin kan? Gue bener-bener gak bawa duit nih." tanyanya memastikan. "Hn," gumam Juan disela-sela meminum airnya. Jeane mengembuskan napas lega, ia bisa sedikit berhemat jika sering pergi bersama Juan. "Makasih ya, Juan," ujarnya tersenyum manis. "Hn," balas Juan. "Lo udah selesai?" tanyanya. "Udah kok. Udah mau balik?" tanya Jeane cepat. "Hn. Balik sekarang," ucap Juan berdiri dan mendahului Jeane meninggalkan meja tempat mereka makan tadi. Jeane hanya duduk sembari menunggu Juan selesai membayar makanan yang mereka pesan. "Lo balik ke kamar lo duluan," usir Juan yang masih harus memarkirkan mobilnya. Parkiran mendadak penuh akan kendaraan dibanding saat mereka keluar tadi. Sepertinya, beberapa orang baru kembali ke hotel. 23.00 p.m Jeane menguap kecil, ia tak terbiasa terjaga di saat tengah malam seperti sekarang. Walaupun sudah disuruh kembali ke kamarnya terlebih dahulu, Jeane tetap memilih menunggu Juan di depan pintu hotel. Mereka keluar bersama, maka harus kembali bersama. Itulah prinsipnya. "Kak Jeane." Suara Cia menggema dari arah sampingnya, dan benar saja. Cewek itu berlari menghampirinya. "Tunggu siapa?" Jeane menunjuk ke arah Juan yang baru saja menemukan space untuk mobilnya. "Bang Juan?" tanya Cia takjub. "Kalian kencan lama juga ya," godanya terkekeh. Jeane mengerutkan dahinya bingung, ia tak merasa yang barusan dilakukan Juan dan dirinya itu termasuk kategori kencan. "Siapa yang pergi kencan?" bantah Jeane. "Jangan malu-malu deh lo, Jeane," tukas Samudra yang mendatangi kedua gadis tersebut. "Bener tuh, Kak Jeane. Gak perlu malu-malu," sambung Cia. "Tapi kita benar-benar gak ken—" "Kalian ngapain di sini?" Suara dingin Juan terdengar dari belakang Jeane. "Iya deh. Kita gak bakal gangguin lo sama Jeane," cetus Cia terkekeh, menarik Samudra untuk pergi. "Lo juga kenapa masih di sini? Gue kan udah suruh lo duluan balik ke dalam," sembur Juan datar. "Gue kan nungguin lo," balas Jeane sebal. Cowok di depannya ini memang berbakat untuk membuatnya naik darah. "Gue kan udah nyuruh lo duluan," kata Juan cuek. Kesal karena Juan seperti menginginkannya cepat pergi, Jeane menghentakkan kakinya kuat meninggalkan cowok itu. "Sebel gue! Minta dirujak kali tuh orang," gerutunya membuka pintu kamarnya. "Gimana, Kak?" tanya Cia menyapa Jeane yang baru menutup pintunya. "Gimana apanya?" Jeane segera bergegas memasuki kamar mandinya. Ia perlu mandi untuk mendinginkan rasa panas di kepalanya. "Kenapa sih lo, Kak?" tanya Cia penasaran. Drrttt.. drtt.. Dari : Bang Juan Jeane udah ada di kamar? Cia mengernyitkan dahinya tak mengerti dengan pesan yang diterimanya. "Mereka bukannya tadi barengan masuk ya?" tanyanya pada diri sendiri. Drrttt... drrrtt... Bang Juan is calling... "Gila pake telpon lagi. Bang Juan misscall atau emang lagi banyak pulsa ya?" gumam Cia memilih mengangkat telepon dari Juan. "Hallo, Bang," sapanya pertama kali. "Bang?" panggilnya lagi karena merasa Juan hanya diam. Tut... tut... tut... "Lah? Apa sih maksudnya?" sungut Cia sebal, mengerucutkan bibirnya. "Lo kenapa, Cia?" tanya Jeane mengusap rambut basahnya. "Lo malam-malam keramas, Kak?" tanya Cia cengo. "Gerah, nih rambut lepek soalnya," jawab Jeane cengengesan yang dibalas gelengan heran dari Cia. "Kan bisa besok keramasnya," ujar Cia mengambil handuknya. Ia belum mandi, biar pun ia terlebih dulu sampai ke kamar. "Besok keramas lagi," ucap Jeane santai. Cia berjalan menuju kamar mandi. Namun, sebelum menapaki lantai marmer itu, ia menoleh ke arah Jeane. "Kak, tadi Bang Juan ngirim chat ke gue. Nanyain lo udah balik ke kamar atau belum," katanya lalu memasuki kamar mandi. "Huh?" Sesaat, Jeane termangu tak mengerti. "Buat apa dia nanyain gue?" katanya pelan sembari menyambar ponselnya. Tak ada pesan di sana. "Palingan Cia cuma godain gue," katanya tak peduli, meletakkan ponselnya kembali. Merasa rambutnya terlalu tebal dan masih sangat lembab, Jeane segera menggeledah laci-laci yang ada di kamarnya. "Cari apa, Kak?" tanya Cia bingung. Ia baru selesai mandi. "Hair dryer. Lo tau tuh barang ada di mana nggak?" kata Jeane menatap Cia penuh harap. "Gue ada bawa," kata Cia memunculkan satu senyum di bibir Jeane. "Tapi di tempat Samudra," cengir Cia. Jeane melemaskan tubuhnya. "Gak jadi pinjem deh kalo gitu," ujarnya membuka jendela kamar. "Kalo diangin-anginkan gini juga pasti kering," lanjut Jeane. "Angin malam gak bagus buat kesehatan, Kak," cetus Cia menyingkirkan tubuh Jeane dan segera menutup jendela. "Gue telepon Samudra deh. Suruh dia bawain ke sini," tambah Cia. "Eh? Gak usah, Cia. Ngerepotin Samudra aja," kata Jeane gelagapan. "Suruh Bang Juan kalo gitu," ucapnya santai, langsung menelepon Abangnya. "Lo kira sekarang jam berapa, Cia?" Gerutuan suara serak itu terdengar dari loud-speaker handphone Cia. "Masih awal kali, Bang. Kita berdua aja masih belum tidur," balas Cia membuat Jeane menggigit bibir bawahnya panik. "Hn." Suara Juan terdengar dingin. "Bang, lo bisa bawain hair dryer gue di tempat Samudra ke sini gak?" Jeane semakin cemas. "Suruh Samudra aja," jeda. "Gue tutup." "Ih, bentar Bang. Bawain bentar masa lo gak mau. Jangan pelit lo, Bang," Terdengar helaan napas berat di sana. "Siapa sih yang mau pake hair dryer malam-malam gini?" Jeane merasa bersalah. "Gak usah deh, Cia. Gue bisa angin-anginkan kok di jendela," katanya pelan, namun tetap mampu didengar Juan di seberang sana. "Lo yang mau pake, Jeane?" "Iya, Bang. Kak Jeane yang mau pake. Makanya bawain ke sini ya. Kalo dia angin-anginkan pake angin luar, entar malah sakit. Gak bisa jalan lagi sama lo besok," cerocos Cia kemudian mematikan sambungan teleponnya. Jeane gelagapan dan tak tahu harus berkata apa. Rasa panik dan cemasnya semakin membesar kala mendengar suara ketukan pintu. "Pasti Abang gue," kata Cia sumringah, berjalan membukakan pintu. "Nih, ngerepotin," cetus Juan menyodorkan hair dryer. "Makasih Bang," cengir Cia tak bersalah. Juan mendengkus sebal sembari kembali berjalan ke arah kamarnya berada. Sebelum pergi, ia sempat mendelik ke arah Jeane yang menunduk. Dan itu disadari Cia. Seusai menutup pintu, Cia melangkahkan kakinya mendekati Jeane yang mematung. "Lo masih mau pake hair dryer-nya gak, Kak?" tanyanya cengengesan, menikmati sikap kikuk Jeane. "Iya. Makasih Cia." Jeane segera mengambil hair dryer itu dari tangan Cia. "Bilang makasihnya sama Bang Juan, Kak," katanya membaringkan tubuhnya di atas kasur. "Gue tidur duluan ya." Jeane mengambil ponselnya, bermaksud mengirim pesan terima kasih pada Juan. Drtt... drrtt... Kenyataannya, cowok itu terlebih dahulu mengiriminya pesan. Dari : Juan Simpan makasih lo buat pagi nanti. Gue udah mau tidur. Jangan ganggu gue! Juan tetap menyebalkan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN