"Aku cinta kamu, kamu cinta dia." Nyanyian Aldo dengan nada yang ia asal buat di lorong koridor membuat sebagian banyak orang menertawainya.
"Ngenes banget ya lo, Do?" tutur Riko menggelengkan kepalanya kasihan, Ken malah sudah menertawakan lagu karangan Aldo.
"Gue gak ngenes ya. Itu tuh namanya beramal. Gue lagi melakukan suatu kebaikan tau," ucap Aldo tenang.
"Beramal apanya? Bilang aja lo yang emang gak bisa dapetin hati doi," kata Ken masih terkekeh. “Pake ngasih alasan gak masuk akal lagi.”
"Ya beramal itu namanya. Sampe cewek aja gue amalin. Kurang baik apa coba gue di dunia ini?" ujar Aldo menyeleneh.
"Lo amalin ke mana emangnya?" tanya Riko sedikit penasaran. Hanya sedikit, karena ia tahu apapun yang keluar dari mulut Aldo, tak pernah ada yang benar-benar penting.
"Panti jompo." Nah kan Riko benar? Cowok tengil seperti Aldo tak akan pernah bisa berbicara serius.
"Tapi bener nih ya..." Aldo menggantungkan kalimatnya. "Tuh cewek di panti jompo ngapain ya?" tanyanya tak bermutu. Ken dan Riko selalu tergoda untuk membekap mulut Aldo dan dijahit permanen agar Aldo bisa diam seharian.
"Ngecengin cogan," jawab Riko asal.
"Astaga, bertobatlah manusia-manusia yang suka jelalatan," ucap Aldo menangkup kedua tangannya di depan d**a layaknya sedang berdoa.
"Lo sendiri juga suka jelalatan, t*i," cetus Ken kesal.
"Gue kan gak apa-apa. Gak ada larangan dari mama dan papa, nenek dan kakek, paman dan bi—"
"Gak jelas lo, anoa," sambar Riko memutuskan kalimat Aldo.
"Sohib gue kok gini amat ya? Pengertian kek, atau gimana gitu. Gue kan cuma mau menjelaskan yang sejelas-jelasnya bahwa—"
"Stop deh, Do. Lo udah masuk kategori rada abnormal," kata Ken sudah tak tahan dengan celetukan tak bermakna dari Aldo.
"Emang kapan sih nih Aldo pernah normal?" tanya Riko menyindir.
"Gak pernah," jawab Ken cuek, tak memedulikan tampang sedih memuakkan dari Aldo.
"Juan!" panggil Aldo pada cowok yang sedari tadi diam, tak menyimak apa pun yang mereka bahas.
"Hn?"
"Lo itu lagi bertanya atau bergumam? Atau iyain mereka? Atau gimana sih?" cerocosan Aldo tak berhenti biarpun sudah diledek kedua temannya.
"Gak tau."
Aldo menggertakkan giginya kesal. "Gue udah panjang-panjang ngomongnya kayak kereta bayi, lo cuma balas gak tau? Gak tau? Fix! Gak tau dah gue sama lo. Gak tau! Kesel gue."
"Gak jelas lo, Do," komentar Meiva berjalan di belakang keempat cowok itu. Tentu saja juga ada Kanta, Ginta dan Jeane di sampingnya.
"Yang gak jelas itu tuh," sungut Aldo sekenanya menunjuk ke arah Juan.
"Juannn!" Teriakan itu berhasil membungkam mulut Meiva yang baru akan menyela.
“Satu lagi manusia yang sama gak jelasnya.” Aldo terkekeh jahat. "Mampus lo, Ju! Si penggemar fanatik dateng! Deng-deng!" ucapnya lagi.
"Bodo," tukas Juan cuek melihat Vena dan Bella berlari pelan ke arah mereka.
"Riko, kok kamu gak nungguin aku di kelas sih? Gak jemput juga," ucap Bella cemberut. “Kamu udah lupa sama aku ya? Sampe aku gak dijemput-jemput padahal aku udah nungguin daritadi.”
"Tadi dia mesti parkirin helikopternya dulu di lapangan," sindir Aldo membuat Jeane dan yang lainnya tertawa, kecuali Juan yang tak peduli dan Riko yang gelagapan.
"Gue gak ngajak lo ngomong ya," gerutu Bella bersidekap.
"Gue juga gak ngomong sama lo kali," kata Aldo tak mau kalah. “Kan gue gak nyebut nama lo. Gue ngomongnya sama Jeane. Iya kan, Jeane?”
Jeane memanyunkan bibirnya tak terima namanya dibawa-bawa. “Gue gak mau ikutan. Nanti gue lagi yang disalahin.”
"Serah lo deh, Do. Gak selesai-selesai kalo debat sama lo," ujar Bella berpindah tempat, berdiri di sebelah Riko.
"Lah? Gue sama Jeane sering selesai debat kok. Sekarang udah episode keberapa Jeane debatan kita?" tutur Aldo menaikturunkan alisnya jenaka, sedangkan Jeane hanya menahan tawa yang siap meluncur dari bibirnya.
"Kak Jeane! Bang Juan!" Cia berlari mendekati sekumpulan orang yang dikenalnya, terutama Juan dan Jeane, dan tentu teman-teman Juan juga dikenalinya.
"Adek lo tuh, Ju," ucap Riko menunjuk ke arah Cia dan Samudra.
"Hai Cia," sapa Vena ramah.
"Hai juga, ng..." Cia mencoba mengingat nama perempuan yang menyapanya. Ia mengenal Vena, hanya saja ia lupa dengan nama cewek itu.
"Vena." Vena cemberut saat harus menyebut namanya sendiri.
"Ops. Sorry," cengir Cia sedikit merasa bersalah. "Btw, Kak Jeane hari ini ada bawa mobil atau apa gitu?" tanyanya memandang wajah bingung Jeane.
"Gak ada. Gue nanti dijemput adek gue mungkin," jawabnya jujur, diikuti ekspresi polos.
"Good! Suruh dia gak usah jemput, Kak. Ikut kita aja nanti pas pulang sekolah," tukas Cia senang, ia bahkan meloncat riang..
"Eh? Mau ke mana?" tanya Jeane tak mengerti senyum penuh misteri yang diumbar Cia dan Samudra.
"Elah Jeane, kita gak mungkin bawa lo ke tempat pembuangan manusia," jawab Samudra menggantikan Cia yang masih bertahan dengan senyuman misteriusnya. "Di situ juga gak bakal ada yang mau nerima lo," tambahnya terkekeh.
"Ih, lo kok gitu ngomongnya? Lo gak tau kan kalo gue itu selalu direbutin di kayangan sana?" sembur Jeane dongkol.
"Layangan kali ya. Direbutin anak-anak," sahut Aldo tiba-tiba.
"Diem lo, monyet anggora!"
"Kucing anggora kali, Jeng Kelin."
"Anoa bercula!"
"Kuda gila!"
"Alien Mars lo!"
"Bruno Mars kali mah kalo gue. And when you smile." Aldo menyanyikan sepenggal kalimat lagu Just The Way You Are milik Bruno Mars, sembari memainkan matanya pada Jeane.
"Mata lo minta dicolok ya?" ketus Jeane memutarkan matanya. “Sini gue colokin ke tiang listrik.”
"Udah deh kalian. Debat mulu," potong Kanta jengah. “Debat pintar kagak, memusingkan iya.”
"Lo mau debat sama gue juga, Kan? Ngaku hayo," tanya Aldo dengan nada menggoda.
"Gak tertarik!" cetus Kanta galak.
"Elah. Galak amat lo. Entar keriputnya Bu Ami mampir di muka lo," ucap Aldo polos.
Kanta diam. Jika dijawab, maka Aldo tak akan berhenti. Lagipula, hanya Jeane yang selalu rajin menjawab perkataan Aldo. Keduanya suka mendebatkan sesuatu yang sebenarnya tidak penting.
"Jadi Jeane? Ikut deh, kita gak bakal bawa lo ke tempat yang aneh-aneh kok," kata Samudra memalingkan wajahnya menatap Jeane.
"Lo kan orangnya suka rada aneh, Sam. Gue mesti selalu waspada sama lo. Lo orangnya mencurigakan," ucap Jeane sebal karena tak diberitahu.
"Temen macam apa sih lo ngatain temen sendiri aneh sama mencurigakan?" ketus Samudra berpura-pura kesal.
"Friend jaman now lah," jawab Jeane dengan gaya kekiniannya, yang justru jatuh ke gaya lebay di mata teman-temannya.
"Lo mau ikutan, Bang?" Cia menatap Juan penuh harap.
"Gak," jawab Juan singkat.
"Gue ikut boleh nggak, Cia?" tanya Vena menarik perhatian si calon adik ipar.
Cia menggelengkan kepalanya ringan. "Udah ada Kak Jeane yang ikut, Kak. Tempat yang kami pesen cuma cukup buat empat orang," ucapnya kelewat santai.
'Gak abangnya, gak adik! Sama aja ngeselin banget!' umpat Vena di dalam hati. Vena berusaha menampilkan senyuman manis yang tak dipedulikan Juan atau pun Cia.
"Ikutan dong, Bang. Kak Jeane udah setuju juga," kata Cia dengan nada memohon. “Lo gak usah sok jual mahal deh, Bang.”
"Nggak!" tolaknya kasar.
"Ish. Gue pecat juga lo dari status Abang gue," ketus Cia sebal.
"Pecat aja." jawab Juan santai.
"Gue gak bakal biarin Kak Jeane di dekat Abang lagi," ancam Cia menajamkan matanya.
"Silakan." Mana Juan peduli dengan yang satu itu.
"Lo nyebelin banget sih, Bang. Turunan siapa sih? Perasaan Mama Papa gak ada yang ngeselin kayak lo deh," kata Cia jengkel. "Atau lo sebenarnya anak pungut bonyok ya?"
Hening.
Tik... tik... tik...
Hanya terdengar bunyi dentang jam dinding yang entah di mana wujudnya.
"Hn."
Juan tetaplah Juan yang tak peduli dengan apapun yang keluar dari mulut orang, sekalipun dari adiknya. Cowok itu tak mudah tersinggung dan selalu cuek dengan sekitarnya. Ia membiarkan teman-temannya meledeknya puas dengan sebutan anak pungut akibat ucapan Cia.
"Kak Jeane, gak apa nih kalo besok Kakak bolos?" tanya Cia yang entah keberapa kalinya. Bahkan pertanyaan ini sudah dilontarkan dua kali saat mereka singgah membeli pakaian tadi.
Mereka sudah berada di dalam mobil selama tiga jam. Suasana di dalam mobil yang tenang, hanya ditemani lagu Surrender-Celine Dion membuat Jeane hampir menutup matanya mengantuk.
Jeane mengerjapkan matanya berkali-kali, menarik kembali kesadaran yang sempat kabur darinya. "Nggak apa kok. Cuma sehari doang. Kalo sebulan baru gak boleh. Auto kena tendang gue nanti dari sekolah," jawabnya berselang beberapa detik dari kalimat yang diucapkan Cia.
"Siapa juga yang mau ngajakin lo bolos sebulan," kata Samudra mengemudi mobil yang ditumpangi Cia dan Jeane.
Posisi Jeane di jok tengah sendirian membuatnya bisa berbaring santai. Ia tidak akan peduli dengan reaksi Samudra, si pemilik mobil itu. Cia juga tak mempermasalahkan sikapnya yang sesuka hati tersebut.
"Btw kita mau ke mana?" tanya Jeane setelah sadar jika ia tak tahu-menahu akan dibawa ke mana oleh dua sejoli yang duduk di depannya sekarang.
Jangan-jangan...
Jeane menatap horor kedua sejoli itu. "Kalian lagi nyari tempat buat ngebunuh gue ya?"
Jika saja Samudra tak sedang mengemudi, ia benar-benar ingin melakban mulut Jeane yang suka melantur tak jelas itu. Sementara, Cia melotot tak percaya pada Jeane yang malah duduk tenang.
"Gue bakal lawan kalian semampu gue." Sepertinya otak Jeane tercuci bersih oleh imajinasi liar yang kerap berkeliaran di kepalanya.
"Kita mau ke tempat yang bagus buat foto-foto, Kak Jeane. Jadi, kita mau ajakin Kakak ke bukit yang ada di ujung sana," tunjuk Cia sabar ke arah bukit-bukit indah di depan mereka.
"Lalu kenapa ngajakin Juan?" tanya Jeane memikirkan kaitan antara Juan dengan bukit.
"Biar lo ada temenlah. Emang lo mau jadi nyamuk kita apa?" sahut Samudra terkekeh pendek. Ia segera memarkirkan mobilnya di parkiran tempat mereka akan bermalam hari ini. "Keluar, udah sampe," bubuhnya lagi.
Jeane keluar dan sedikit kaget mendapati Juan yang juga sedang mengunci pintu mobilnya di sebelah mobil Samudra.
"Apa?" Juan menyadari jika Jeane tak melepaskan pandangan mata darinya sejak gadis itu tahu dirinya ikut dalam perjalanan tak jelas Cia dan Samudra.
"Lo kok bisa di sini? Tadi lo ngotot gak mau ikut," ucap Jeane sedikit panik karena Juan meliriknya tajam. “Kok lo sekarang malah udah sampe di sini?”
"Gue yang maksa, Kak," cengir Cia membawa turun barang-barangnya dari dalam bagasi mobil.
Jeane misuh-misuh sendiri saat Juan melengos pergi tanpa berkata apapun.
"Abang lo keselek mantan ya dulu? Sampe susah banget buat ngomong," sungut Jeane sembari membantu Cia membawa beberapa barang kecil dari tangan cewek itu. Cia dan Jeane memang hanya membawa barang-barang yang dirasa ringan, sisanya diberikan kepada Samudra.
"Anjir. Keselek mantan," tawa Cia. "Pacaran aja gak pernah tuh, gimana mau keselek mantan?" tambahnya diselingi ejekan.
"Kalo keselek calon gebetan mungkin kali ya," sambung Samudra terkekeh.
"Ya mungkin." Samudra dan Jeane tertawa mentah.
"Lo tidur sama Cia, gue sama Juan," kata Samudra menyodorkan sebuah kunci pada Jeane.
"Oke," jawabnya riang.
Jeane yang kegirangan, tapi Cia yang menyeretnya pergi dengan semangat. "Kayaknya mereka cocok ya, Ju?" tanya Samudra berdecak kagum.
Juan mengangkat bahunya tak peduli. "Mungkin..." tukasnya. "Kamar yang kalian pesan yang mana?" tambah Juan mengalihkan pembicaraan.
Samudra terkekeh pelan menyadari adanya perbedaan nada suara Juan. "Nomor 21," jawabnya singkat.
"Gue sebelah kiri, lo yang kanan aja," ucap Samudra menutup pintu kamar yang akan mereka tempati.
Dua single bed untuk Juan dan Samudra, berbeda dengan satu king size bed yang ada di kamar Jeane dan Cia.
"Hn," gumam Juan sebagai respons.
Juan segera menjatuhkan dirinya di atas kasur. Rasa lelah dan pegal sejak tadi menyerang tubuhnya tanpa ampun. Salahnya sendiri yang terlalu gengsi untuk menumpang mobil Samudra, sehingga malah yang terjadi dirinya ambruk sekarang.
"Lo gak pernah bawa mobil sejauh ini?" tukas Samudra tiba-tiba, membuat Juan membuka matanya yang sempat terpejam.
"Jarang," kata Juan mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. Tangannya merogoh saku celana yang ia pakai guna meraih ponselnya.
20.23 p.m
"Lo gak mau mandi?" tanya Samudra lagi. Sulit untuknya mengakrabkan diri dengan cowok yang berstatus abang Cia itu. Ia bukan Aldo yang bisa terus berbicara tanpa mengenal lelah.
Tak membalas pertanyaan Samudra, Juan menyambar handuk yang sudah disediakan dengan malas.
"Ju," panggilnya menghentikan langkah Juan yang sudah menapaki lantai kamar mandi. Lantai itu masih basah, karena beberapa menit yang lalu digunakan Samudra untuk mandi. "Lo tolong ajakin Jeane makan ya. Tuh anak belum makan dari balik sekolah tadi. Gue masih mau berduaan sama Cia sekarang," cengir Samudra.
Juan mengembuskan napas lelahnya. "Gak, malas," ucapnya kasar sembari membanting pelan pintu kamar mandi.
"Gue tinggalin nomor telepon Jeane di atas nakas ya," teriak Samudra tak peduli dengan penolakan kasar Juan.
Juan mendengkus kesal tak menjawab teriakan Samudra, ia membiarkan ribuan rintik air shower membasahi tubuhnya.
Drrttt.. drrttt..
Juan mengangkat kepalanya sedikit seraya mengambil ponsel di sebelahnya, untuk melihat nama pengirim pesan yang tertera di layar ponselnya.
Ia tak mengajak Jeane pergi ke suatu tempat yang bisa mengenyangkan perut, walaupun ia sudah selesai mandi sejak sepuluh menit yang lalu. Tak ada niat untuknya mendekati cewek ceroboh itu. Ya, kecuali beberapa kejadian lalu yang harus membuatnya terlibat dengan Jeane.
Dari : 08524XXXX
Juan, ini gue Jeane.
Gue minta maaf deh kalo tuh peluit satpam ngasih pesen yang aneh-aneh ke lo. Lo tidur aja, gue bisa nyari makan sendiri kok. Hehehe.
Juan merasa sedikit perasaan bersalah mencubit hatinya. Di kepalanya terus berputar satu pertanyaan yang mengganggu, apakah gadis itu sudah makan?
Kesal karena tak mendapatkan jawaban pasti, Juan mengetik sesuatu pada benda persegi di tangannya.
Dari : Juan
Lo tungguin gue di depan kamar lo.
Send
Juan menghela napasnya kasar, menyambar cepat kunci mobil yang tergeletak di atas nakas. Perasaan bersalah menuntunnya kembali melibatkan diri dengan Jeane.