"Juan?" tanya Bu Ami dengan raut heran yang tercetak jelas, pasalnya baru sekali ini Juan mengajukan diri untuk maju ke depan mengerjakan soal. Siswanya itu termasuk sosok yang sangat tertutup dan tak pernah mau merepotkan diri hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru.
Juan berjalan pelan ke arah Jeane, lalu merebut paksa spidol yang ada di genggaman cewek itu. Ia sengaja mengabaikan tatapan menusuk penuh kejengkelan dari Jeane.
"Bodoh," gumamnya yang hanya bisa didengar Jeane.
Jeane membulatkan matanya dongkol, seraya mengigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Lo kalo gak niat bantuin, ya kagak usah bantuin," ketusnya mengambil paksa spidol yang sedang digunakan Juan. “Gak usah pake ngatain juga! Emang lo pinter banget ya? Lo juga masih kalah jauh dari Terence Tao!”
Coretan panjang menghias di papan tulis saat Jeane merebut spidol itu. Wajahnya menoleh takut-takut pada Bu Ami yang sudah sangat marah.
"JEANE, KELUAR!" bentak Bu Ami.
"Anu, Bu... itu... gue eh aku... eh maksudnya saya..." Jeane gelagapan sembari memutar matanya panik ketika mendapati kemarahan Bu Ami yang tampak sudah memuncak.
"KELUAR!" Jeane mematung sambil menundukkan kepalanya malu dan kesal karena dibentak dua kali oleh guru yang ia juluki monster berdarah tinggi.
"Lo diselamatin malah bikin makin runyam aja," sahut Meiva dengan nada suara kecil. Ia tak ingin ikut disemprot seperti Jeane.
"Jangan disuruh keluar, Bu." Suara itu mengundang semua mata memandang sosok Juan. "Entar dia malah enak-enakan makan di kantin," lanjutnya lagi menghapus coretan karya dirinya dan Jeane. Hanya Jeane yang berdiri di sebelahnya dapat melihat cowok itu menipiskan bibirnya, mengejek Jeane.
Bak gunung meletus, Jeane mendelik marah. "Apa lo bilang?" gerutunya lalu menginjak kaki Juan dengan keras. "Biar retak tuh kaki lo," tambahnya tak memedulikan tatapan membunuh dari Juan. “Rasain.” Jeane tak mengubris raut sinis cowok itu.
"Jeane!" Entah sudah yang keberapa kali Bu Ami harus memanggil nama siswi langganan nilai merah itu. "Kamu itu suka sekali membuat masalah. Kamu berdiri di pojokan sana, angkat satu kaki dan dua tangan dijewerkan ke telinga."
"Tapi, Bu. Juan—" Jeane tak terima jika hanya ia mendapat hukuman memalukan itu. Menurutnya, Juan juga ikut dihukum mengingat cowok itu membuatnya naik pitam tadi.
"Tidak ada tapi-tapian. Lakukan sekarang atau saya beri kamu tugas lima puluh soal dan harus diselesaikan sebelum bel berbunyi?" ancam Bu Ami sangar.
Jeane memutar matanya jengkel, sedangkan Juan hanya berdiri tenang di sebelahnya. "Jeane?"
"Iya, Bu." Jeane melangkah lunglai ke pojokan pintu seraya melakukan apa yang disuruh guru monster-nya itu. Ia sangat amat membenci Juan.
‘Bakal gue balas lo, Ju. Liat aja nanti,’ rutuk Jeane penuh dendam.
"Bu, biar saya yang ngegantiin Jeane," tukas Thunder berjalan ke arah Jeane yang masih sibuk menyumpah Juan dalam hati.
"Apa? Tidak perlu, Thunder," tolak Bu Ami. “Biar Jeane bisa belajar bersikap sopan,” lanjutnya dibalas cibiran kecil dari Jeane, cibiran yang tentu tak diketahui oleh gurunya tersebut.
"Tapi, Bu. Kasian Jeane-nya malu diliatin anak-anak," ucap Thunder memelas. "Biar saya yang gantikan dia, Bu," lanjutnya mendorong pelan lengan Jeane.
"Kalo begitu..." Jeane menatap penuh harap ke arah Bu Ami, siapa yang tahu jika guru ini sudah bosan menjabat status killer? "Jeane, kamu kerjakan dua puluh soal. Ambil kertasnya di meja saya di kantor guru."
Gubrak!
Jeane melotot kaget, wajahnya semakin kusut. "Kalo gini sih, mau Juan atau pun lo itu sama aja. Bikin gue makin berat dihukum Bu Ami," geram Jeane menatap tajam ke arah Thunder yang malah menyengir polos.
"Nanti gue bantuin deh," balas Thunder cuek.
"Emang lo bisa matematika?" tanya Jeane tak percaya. Juan dan Meiva yang menatap Thunder dengan wajah bertanya-tanya, bahkan Bu Ami pun ikut penasaran.
Thunder, bergaya badboy tak mungkin cerdas di bidang mata pelajaran. Bukan ingin meremehkan, hanya saja— "ya, nggak bisa," jawabnya lugu.
"Gue lempar juga lo ke planet pluto," decak Jeane dongkol, sedangkan Thunder hanya tersenyum miring.
"Kalian semua boleh kembali duduk di bangku. Dan kamu Jeane, kamu pergi ke kantor guru sekarang," ucap Bu Ami membuyarkan pembicaraan Jeane dan Thunder.
Jeane menghela napasnya kasar. Dengan cepat, ia melangkah keluar kelas, sebelum seseorang kembali memberatkan hukuman yang harus diterimanya.
"Bu Ami gak adil banget. Yang bikin coretan kan Juan, bukan gue! Siapa suruh dia pake ngejekin gue segala. Terus kan si anak baru itu yang mau ngegantiin gue, kenapa jadi gue yang kena?" dumelnya sebal.
Wajahnya semakin ditekuk kala melihat ruangan guru tepat di depannya. "Mentang-mentang mereka berdua punya muka yang laku dilelang harga tinggi, gue yang dianiaya sama si nenek. Dasar guru gak keperiwanitaan," cetusnya membuka pintu ruangan guru tersebut.
Untungnya, tak ada seorang guru pun di dalam ruangan tersebut. Ini berarti tidak akan yang bertanya macam-macam padanya, mengenai kehadirannya yang ajaib di ruangan laknat itu.
"Yang mana sih meja guru moncong ikan itu?" sungutnya memeriksa nama yang terpampang di setiap sudut meja.
AMI AFIKA.
"Nah itu dia," ujarnya senang. "Afika? Rasanya pengen gue tendang tuh guru ke Afrika juga sekarang, biar bisa main kejar-kejaran sama burung unta! So sweet-in dikit biar banyak senyum, supaya tuh keriput di muka berkurang pesat."
Jeane segera mengambil selembar kertas yang diyakini kertas soal yang bisa membuat otaknya menjerit minta tolong. Dengan kasar, Jeane melengos keluar dan kembali menutup kasar pintu ruangan itu.
"Ada, Jeane?" kata Bu Ami menjawab ketukan pintu Jeane.
"Yang ini, Bu?" tanya Jeane malas.
Bu Ami melihat kertas yang disodorkan Jeane tanpa menerimanya. Hal itu membuat Jeane ingin mengumpat kesal karena harus lebih bersabar menjulurkan tangannya yang terasa kram.
"Iya yang ini." Jeane merasakan nyeri kram di lengannya kala Bu Ami memeriksa kertas itu hampir sepuluh menit. "Kerjakan sekarang, dan berikan pada saya sepulang sekolah," lanjutnya yang hampir disambut semburan u*****n dari Jeane.
'Guru terlaknat! Guru gila! Gue gantungin juga lo di pohon cabe. Dasar guru cabe-cabean!' batin Jeane berteriak.
Dengan lemas Jeane menduduki bangkunya, matanya menatap lelah pada kertas yang paling berdosa menurutnya. "Gue kerjain pake iman, pasti bisa kok," ucapnya pada Meiva yang sedari tadi memandangnya sendu. Ingin membantu, tapi matematika sama sekali bukan teman baik otaknya.
Teng. Teng. Teng.
Bunyi pergantian jam pelajaran terdengar merdu. Senyum sumringah terpampang di wajah sebagian orang di kelas Jeane. Kecuali Jeane, ia mendengkus kesal saat menyadari Bu Ami menyempatkan diri sebelum keluar kelas hanya untuk memandangnya tajam.
"Jangan lupa berikan pada saya sepulang sekolah nanti, Jeane," ucap Bu Ami kemudian melangkah pergi.
Jeane menjatuhkan kepalanya dengan keras di atas meja. "Aduh," keluhnya mengangkat wajahnya. Sifat cerobohnya ini benar-benar tak mengerti kondisinya sekarang.
Keningnya yang memerah membuat Aldo dan Bintang tertawa terbahak-bahak. "Otak lo juga gak bakal berfungsi, Jeane biarpun lo getok sampe nih meja terbelah jadi dua," ucap Bintang disela-sela tawanya.
Tawanya semakin meledak saat Jeane melemparkan pulpen ke arahnya. "Ngomong aja terus! Gue robek mulut lo entar," ancam Jeane disertai tatapan menusuk.
"Ya ampun deh, Jeane. Gue bantuin lo kerjain deh," ledek Aldo, "pake doa tapi," tuturnya santai.
"Sini kertas lo," kata Juan tiba-tiba, menghentikan laju tawa Bintang dan Aldo.
"Gue gak butuh bantuan lo," tukas Jeane mengambil pulpen dan buku matematikanya. Tak lupa juga si kertas pembawa masalah baginya.
"Mau ke mana, Jeane?" tanya Kanta heran melihat Jeane mengemasi barang-barangnya seperti hendak pulang ke rumah.
"Perpus. Biar bisa jalan nih otak gue. Konslet mulu gara-gara ada dua curut di sini," tukas Jeane mendelik ke arah Bintang dan Aldo yang kembali tertawa bahak.
"Mulai sinting ya lo pada? Ketawa mulu," tutur Jeane sebal. "Gue cabut," tambahnya melesat pergi.
"Menurut gue, mau di mana pun tuh anak pergi. Otaknya gak bakalan ikut," komentar Ginta disambut kekehan mentah dari Kanta dan Meiva.
"Ini gimana ya?" celetuk Jeane gusar. "Pake rumus yang mana coba? Rumus aku jatuh cinta padamu?" ucapnya asal sembari membolak-balikan buku paket matematikanya.
"Nih matematika buatan manusia apa dewa sih? Rumit banget," tambahnya.
Jeane menyerah. Disingkirkannya buku paket itu ke sebelahnya, sebal dan jengkel mengerogoti dirinya. "Gue bakar, terus gue minum airnya mungkin bisa bikin gue pinter matematika kali ya?" decaknya lagi.
"Mana bisa." Jawaban itu membuat Jeane terperanjat kaget, hampir saja dirinya terjungkal ke belakang jika tak mampu menahan diri.
"Lo—"
"Gue bilang siniin. Lo malah pergi," ucap Juan merebut kertas itu.
Juan berdecak kecil tanda heran. "Soal kayak gini lo gak bisa?" tanyanya sedikit terperangah.
Jeane memutar matanya sebal. "Gue tau, lo mau bilang gue bloon kan? Sorry nih ya, sebodoh apapun gue, gue gak bakal minta bantuan dari lo." Jeane berdecih kagum dengan untaian kata yang ia keluarkan.
'Bagus, Jeane! Harga diri lo setinggi langit. Nih manusia setengah mummy emang harus diginiin,' batinnya senang.
"Bentar? Lalu gue mesti jawab nih soal pake apa?" gumamnya menepuk dahinya yang masih sakit akibat berciuman dengan meja tadi.
Juan menggelengkan kepalanya takjub dengan kegigihan aneh Jeane. "Menurut lo?" Ternyata Juan mendengar gumaman pelan Jeane.
"Lo mau gue ajarin atau nggak?" tanya Juan pada akhirnya karena cewek itu tak bergeming.
"Sorry nih ya, otak gue terlalu berharga buat dimasukin rumus pencuci otak," tutur Jeane sinis. "Sini! Gue bisa kerjakan sendiri," katanya mengambil kembali kertas yang agak ronyok itu.
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Lima belas menit.
Jeane mengembuskan napasnya lelah, otaknya benar-benar tak bisa diajak berkompromi. Diliriknya Juan yang juga memandangnya datar.
"Bisa?" tanya Juan cuek.
"Ini gara-gara lo di sini, gue gak bisa mikir jadinya," sangkal Jeane kembali memusatkan pandangannya pada kertas yang penuh angka itu. “Pergi sana!”
Juan mendecih kecil seraya mengambil kertas itu, dan dengan cepat menuliskan jawaban yang sebenarnya sangat mudah untuknya. Tak butuh waktu lama, cowok itu bisa menyelesaikan dua puluh soal tersebut.
"Nih." Juan menyodorkan kertas itu pada Jeane.
Merasa tak mendapatkan respons, Juan menolehkan kepalanya.
"Ck, malah tidur," ucapnya berdecak heran.
Juan memainkan ponselnya seraya menunggu Jeane terbangun sendiri.
Welcome to the Mobile Legends!
"Welcome ke hati gue aja deh," ucap Jeane setengah tertidur.
"Ngigau lo?" tanya Juan yang tentu tak digubris Jeane.
Five Seconds 'til the enemy reach the battlefiled, smash them. All Troops deployed.
"Hajar aja tuh Bu Ami! Kesel gue sama dia! Suka banget doi nyiksa gue." Lagi-lagi Jeane mengeluarkan suaranya disela-sela tidur nyenyaknya. Sepertinya, suara di game yang dimainkan Juan terngiang di telinganya.
First Blood!
"Mei, gue yang lawan Miya dong, dia kayaknya AFK deh."
Juan terbelalak kaget. 'Dia main game ginian juga?' batinnya tak percaya.
Juan kembali memainkan game-nya, tak peduli dengan suara yang dikeluarkan Jeane.
Double Kill!
"Hebat lo, Gin! Bisa ngebunuh dua orang sekaligus."
Triple Kill!
"Yang lo pake itu namanya siapa, Gin? Gue mau beli juga hero-nya!"
An ally has been slained!
"Mampus lo, Kan! Mampus! Seneng gue kalo udah liat lo mati! Tapi berhubung kita satu team, jangan keseringan mati. Entar gue yang repot mau makamin lo di mana."
You have slain an enemy!
"Jago kan gue? Gue dilawan!"
Juan gerah, ia merasa Jeane benar-benar aneh bahkan saat gadis itu tertidur.
"Nih anak kena demam ML atau emang rada kurang sih?" sungutnya.
Dua jam dan itu artinya sekarang memasuki jam istirahat pertama. Jeane terbangun dari tidur posisi duduknya. Rasa pegal tak terkira di bagian leher dan pinggangnya saat ia terbangun membuatnya mengeluh.
"Ukh, sakit," ucapnya sesekali meregangkan ototnya yang kaku.
"Udah bangun?" tanya Juan menyodorkan sebungkus roti dan sebotol air mineral.
"Eh? Lo ngapain di sini, Ju?" tanya Jeane terkejut.
"Makan," ucap Juan singkat, tak menjawab pertanyaan Jeane.
"Ish!" Jeane membuka bungkusan roti yang diberikan Juan. "Bentar? Mampus gue! Matema—"
"Tuh di depan muka lo," potong Juan dengan nada dingin.
Jeane segera menggerakkan matanya liar, memeriksa kertas yang digenggamnya erat. "Kok udah selesai? Kapan gue ngerjain? Perasaan satu pun belom gue kerjakan."
Juan mengangkat bahunya cuek. "Kelas," tukasnya singkat.
Jeane mengekori Juan dari belakang, sesekali matanya melirik kertas yang membuatnya bingung.
"Siapa yang ngerjain ya?" gumamnya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Jangan-jangan..."
Matanya mendelik ke arah Juan yang sudah memasuki kelas. "Juan? Ya kali si Meiva, bisa botak tuh kepalanya kalo kerjain soal ginian," ucapnya polos.
"Jeaneee! Lo udah ngerjain matematika lo kan?" tanya Meiva saat melihat Jeane berjalan santai ke bangkunya.
"Udah nih, tinggal dikasihin ke nenek peyot," kata Jeane sebal. 'Nah kan? Bukan si ubur-ubur ini. Pasti Juan yang kerjain!'
"Tumben lo bisa kerjain soal matematika, Jeane?" tanya Kanta bingung.
"Kerjain apa? Dia tidur sampe ngigau gak jelas," ujar Juan mendelik sebal.
"Lo tidur?" tanya Ginta terperangah. "Enak ya lo! Kita belajar menjiwai isi buku yang gak tau apaan intinya, lo malah enak-enakan tidur di perpus!" dumelnya membuat Jeane cengengesan.
"Ya gitu," kata Jeane sedikit kikuk. "Juan, makasih ya," ucapnya sembari tersenyum manis.
"Tadi nolaknya setengah mampus, sekarang makasih pake senyum lagi," gerutu Juan dengan nada datar.
"Ya tadi kan gue test lo, ikhlas apa nggak," jawab Jeane santai.
Meiva menoyor kepala Jeane kesal. "Lo ditolongin suka ngelunjak ya! Heran gue," ucapnya jengkel.
"Ih! Sakit, Va! Lo gak tau sih, si Juan ngatain gue bodoh tadi pas di depan papan tulis. Gimana gak es teler coba guenya?" kata Jeane membela dirinya.
"Emosi kali! Es teler, es teler! Jadi pengin minum es teler nih gue gara-gara denger lo sebut es teler.” Ginta menggeplak kecil lengan Jeane. “Lagian kan emang kenyataannya lo bodoh di matematika," jelasnya menolak pembelaan diri Jeane.
"Setahu gue nih ya, Jeane mah b**o di semua pelajaran. Ya kecuali di pelajaran mengeja dan berbicara!" ujar Kanta sambil menyengir.
"Kalian kok gitu sama gue? Gak ada perasaan! Solidaritas kalian sebagai temen gue rendah banget," tukas Jeane cemberut.
"Terima fakta deh, Jeane! Minta disangkal mulu," tutur Bintang terkekeh.
"Diam lo, duyung sesajen! Gue gak mau ngomong sama lo!" decak Jeane.
"Ih, ngambek lo mirip bebek. Bibir lo kurang manyun, Jeane," ejek Bintang lagi.
Plak.
Dan satu buku tebal dengan tulisan Bahasa Inggris disampulnya menyapa mesra jidat Bintang.