"Bintanggg!"
Pagi hari di kelas yang seharusnya masih sepi dan hening itu harus terpecah oleh suara toa Jeane, ia bahkan mulai berlari mendekati sosok laki-laki yang sedang sibuk membaca komiknya.
"Anjrit, Jeane! Gue hampir kena serangan jantung, tau nggak? Untung nih ya, di riwayat keluarga gue gak ada yang punya penyakit jantungan, kalo nggak... udah ninggal gue di sini," cerocos Bintang sontak melempar komik yang ada di tangannya ke arah Jeane sembari mengelus dadanya sabar.
Mata Jeane berkilat kesal, ia menduduki bangkunya yang terasa dingin. "Lo apa-apaan sih?" tanyanya sebal karena hampir menjadi korban komik Bintang. Untung ia memiliki refleks yang baik untuk menghindar.
"Lo pagi-pagi udah teriak-teriak gak jelas. Tukeran orang lo sama Jane di film Tarzan?" sahut Bintang memungut komiknya yang tergeletak di lantai.
"Eh, badak bercula tiga! Gue secantik dewi kayangan lo bilang jadi bininya tarzan?" ketus Jeane mengeluarkan novel remajanya. “Gue tau si Jane cantik, tapi gue gak mau jadi bininya tarzan. Apa kabar anak gue nanti?” lanjutnya tak masuk akal.
"Secantik p****t bayi tuh muka lo," kata Bintang tertawa sinis seraya memungut komiknya, dan kembali memusatkan matanya pada komik di tangannya.
"Nih ya, Tang. Lo..." Jeane menoleh ke belakang dan berhenti berbicara. Ia merebut paksa komik yang tengah dibaca Bintang.
"Apa sih, Jeane? Caper lo sama gue?" ucapnya membuat Jeane mendengkus geli. “Jangan ganggu gue, ganggu Aldo aja sana. Bentar lagi juga datang dianya.”
"Ogah banget gue caper sama lo, juga ogah gue gangguin si Aldo," sungut Jeane. "Lo kenapa bawa ginian ke sekolah sih? Otak lo kotor banget," lanjutnya memperlihatkan label tulisan dewasa yang tercetak jelas di sampul komik Bintang. “Cuci dulu sana otak lo! Udah berulat kayaknya.”
"Elah, Jeane. Nama juga cowok, udah biasa kali baca ginian. Lo aja yang kurang pertemanan, makanya kaku banget," ujar Bintang meminta komiknya dikembalikan. Tetapi, Jeane malah melempar komik itu ke arah tempat sampah, di samping pintu kelas.
Duk.
"a***y! Buju buneng! Akika baru dateng udah ditimpuk mesra pake buku!" Seru seseorang di balik pintu itu. "Jeane! Lo punya dendam kesumat apa sama gue? Sampe gue belom ngapa-ngapain aja, lo udah ngajakin perang," lanjutnya melototkan matanya pada Jeane yang cengengesan.
"Sorry Do. Tuh komik katanya mau nyapa lo sekaligus nyiumin lo," jawab Jeane berpindah duduk di sebelah Bintang, mencari tameng.
"Gue gak ikutan, Jeane. Lo urus sendiri aja sama korban k*******n lo di sini. Gue pergi," tutur Bintang dengan santainya melenggang keluar kelas.
"Elah, Tang! Bintang kejora di laut! Gue tenggelamin juga lo ke Sungai sss biar dilahap sama anak ikan. Mau balik sini nggak lo? Sebelum lo, gue bakar hidup-hidup?" teriak Jeane memasrahkan diri ketika Aldo berjalan mendekatinya.
"Ngapain sih Do, lo masih berdiri di sini?" tanya Riko. Di belakangnya ada Juan dan Ken yang juga memandang bingung ke arah Aldo, hanya Ken yang menatap Aldo sedangkan Juan langsung melenggang ke kursinya.
"Lo liat nih hidung gue udah merahnya ngalahin hidung badut IT gara-gara si Jeane," decak Aldo kesal. "Tanggung jawab gak lo, Jeane?" lanjutnya lagi menyilangkan tangan di depan dadanya.
Jeane meringis kecil melihat hidung Aldo yang memerah akibat komik yang terlibat alamat palsu, "Do, lo aja ya yang tanggung, gue bagian jawabnya aja deh," ucapnya dengan cengiran kuda.
"Gue kan emang udah tanggung nih nyeri," tukas Aldo sebal. "Lagian lo mau jawab apaan coba?"
"Jawab pertanyaan lo tadi. Gue pergi, Do." Jeane segera melesat pergi mencari Bintang, si pembuat masalah komik Ayu Ting Ting itu. “Dadah, Do!”
"JEANE!!!" Jeane merinding ngeri mendengar teriakan ala Tarzan milik Aldo.
"Udah deh, Do. Terima aja morning kiss lo itu dari Jeane," tutur Ken terkekeh sinis. “Kan lo sama dia emang sering saling ngelempar bom. Anggap aja itu sapaan pagi dari Jeane,” lanjutnya tak memedulikan raut suram Aldo.
Plak.
"Enak ya lo kalo ngomong, nih hidung Pinochio gue udah ilang memesek setengah gara-gara Jeane. Tuh cewek kenapa coba pagi-pagi udah main pesawat terbang di kelas," ujar Aldo sebal sembari mengeplak kepala Ken. “Kurang kerjaan banget elah.”
"Lagian lo main nyelonong masuk juga sih. Udah tau di dalemnya ada Jeane," tukas Riko tertawa renyah. “Temen rusuh lo yang sama gak jelasnya.”
"Kena s*****a Jeane kan lo," sambung Ken yang memilih duduk di bangkunya.
"Tuh cewek berbakat banget buat ngebunuh orang," ujar Aldo mendecih kesal, ikut menduduki bangkunya.
"Baru juga hidung lo yang dicium buku, Do," komentar Juan membuat teman-temannya memandangnya aneh.
"Lo ngebelain Jeane, Ju?" teriak Aldo sambil berdiri di depan Juan yang sedang duduk dengan buku matematika di tangannya. "Demi celana dalamnya nenek gue yang udah longgar! Sejak kapan lo belain tuh unta lumut? Perasaan dulu lo diem-diem aja, kagak peduli perang gue sama Jeane," lanjutnya dengan nada tinggi.
Untung saja kelas masih sepi dan hanya ada mereka di dalamnya, jadi suara Aldo yang dilebih-lebihkan oktaf itu tidak mengganggu pendengaran orang lain. Ya kecuali Ken, Juan dan Riko yang sudah menutup lubang telinga mereka dengan sumpalan earphone.
"Bisa gak sih lo gak usah dipaketin tuh lebay?" decak Riko menoyor Aldo yang sudah kembali duduk.
"Kamu itu gak mengerti, Mas. Gak mengerti! Aku tuh sakit hati karna si Juan lebih memilih membela Jeane Aerviely yang sudah menghantamku dengan buku bersayapnya," ucap Aldo memasang mimik wajah kecewa.
"Drama lo najong, nyet," tukas Riko dongkol.
"Najong-najong gini juga berperikemanusiaan!" ucap Aldo sembari menatap buku yang menghantam hidungnya dan mengambilnya. "Anjir! Si Jin dan Jun itu baca komik ginian di kelas?" tukasnya membolak-balikkan lembaran kertas komik itu. “Gue gak nyangka.”
"Lah? Konten dewasa? Pinjam sini," kata Ken merebut komik yang masih dipelototi Aldo.
"Aduh! Anak kecil di bawah umur gak boleh baca ginian. Bolehnya cuma baca buku Si Kancil dan Buaya," tutur Riko tertawa mentah. Aldo sendiri pun ikut tertawa dan Juan yang menyeringai samar.
"Si b*****t pake ngemeng gak jelas," umpat Ken yang justru membuat Riko dan Aldo tertawa semakin keras.
"Ih, bangcat," ledek Aldo melambaikan tangannya layaknya seorang wanita. “Jangan gitu dong bahasanya, Mas.”
"Ngomongin apaan sih?" Suara Meiva mengintrupsikan Ken yang hendak menjawab penuturan Aldo.
"Gak ngomong apa-apa kok, sayang," cengir Ken agar Meiva berhenti bertanya. 'Bisa berabe kalo Meiva tau.'
"Mei, pinjem PR lo dong. Si Jeane mana sih? Ada tasnya, gak ada wujudnya," cetus Kanta merogoh ponsel di dalam sakunya, bermaksud menelepon Jeane. “Tumben banget jam segini gak ada di kelas.”
"Jeane lo udah ditelen lantai. Udah di bawah sini," ujar Aldo menghentakkan kakinya dengan keras di lantai yang dipijaknya.
"Ya kali kalo tuh lantai ada mulutnya," sahut Ginta yang datang bersama Jeane di sampingnya.
Jeane memilih bersembunyi di balik tubuh Ginta ketika menangkap sosok Aldo di kelas, ia tetap memasang cengiran kuda agar Aldo tak lagi menaruh dendam padanya.
"Lo ngapain sih berdiri di belakang badan gue?" tanya Ginta merasa sedikit terusik dengan keberadaan Jeane yang mengikutinya. “Gue risih tau,” jengahnya menarik Jeane untuk berdiri di sampingnya.
"Tuh Aldo mau ngerujak gue, Gin," ucapnya masih tetap mencari perlindungan. “Lo jagain gue dong.”
"Aldo? Kok gitu?" tanya Ginta bingung, diikuti pandangan penasaran dari Kanta dan Meiva.
"Tau aja lo, kalo dari tadi gue udah mau mutilasi lo," sahut Aldo kesal.
"Mutilasi Bintang aja, Do. Gue pasti bantuin lo," kata Jeane menunjuk ke arah Bintang yang baru memasuki kelas dengan sebungkus roti di tangannya.
"Kenapa jadi kena gue lagi sih, Jeane?" tutur Bintang yang tak terima namanya kembali dibawa ke permukaan masalah komik tadi.
"Kan tuh komik punya lo," decak Jeane. "Lagian lo ngapain sih bawa komik yang bisa terbang? Bikin masalah aja," tambahnya lagi sembari melempar buku Kanta yang terletak di atas meja ke arah Bintang.
"Buku gue, Jeane!" seru Kanta menoyor kepala Jeane.
"Jadi nih komik bukan punya lo, Jeane?" tanya Ken menunjukkan komik yang sedang digenggamnya.
"Bukanlah. Gue anak baik-baik ya, gak baca gituan," ketus Jeane sebal.
"Anak baik-baik apanya? Lo dari tadi nyalahin gue, kucing utan," kata Bintang berjalan menuju bangkunya.
"Kucing utan apa orang utan?" tanya Jeane dengan tampang polosnya.
"Orang gila mah kalo lo," jawab Aldo mengundang tawa orang-orang yang ada di sana, ia sudah lupa akan kemarahannya pada Jeane.
Kelas sudah tak sesepi tadi, mengingat bel tanda pelajaran dimulai akan berdentang sebentar lagi. Sebagian orang sudah menduduki bangku mereka masing-masing.
"s****n lo, tikus tanah," maki Jeane memendam nada marahnya.
Teng. Teng. Teng.
Suasana ribut mendadak lenyap sejak seorang wanita paruh baya berjalan memasuki ruang kelas itu. Guru wanita itu termasuk salah satu guru terkiller, tak seperti Bu Siti yang selalu menjadi candaan Aldo dan Riko.
"Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru," ucap Bu Ami, guru Matematika mempersilakan seseorang di balik pintu segera masuk ke dalam kelas. "Perkenalkan diri kamu," tambahnya dengan senyuman ramah.
Suasana ricuh kembali tercipta ketika seorang anak laki-laki berjalan santai dan berdiri tepat di sebelah Bu Ami. Tepatnya suara decak kagum dari sebagian banyak anak-anak perempuan di dalam kelas itu.
"Nama saya Thunder Alexander," katanya tanpa nada bersahabat, yang anehnya direspons baik oleh anak-anak perempuan. Ya, kecuali Jeane dan Meiva yang sibuk berbisik-bisik membahas lagu Kokobop yang dirilis boyband Korea EXO.
"Ketinggalan zaman lo, Va. Tuh sekumpulan cogan limit edition udah publish nih lagu dari zaman film Dealova," celetuk Jeane pelan, takut terdengar oleh Bu Ami.
"Baik. Anak-anak, ada yang ingin bertanya kepada Thunder?" tanya Bu Ami menatap tajam ke seluruh ruangan.
Hening. Tak ada yang berani bertanya, bahkan Jeane dan Meiva pun ikut terdiam merasakan sekumpulan hawa tegang melingkupi ruang kelas. Guru yang sudah memasuki umur setengah abad itu memang bertanya dengan nada ramah, namun matanya seperti berkata lain. Bu Ami seperti menunjukkan aura yang melarang mereka bertanya lebih lanjut mengenai Thunder.
"Baiklah jika tak ada pertanyaan." Seluruh orang di sana tanpa sadar menghela napas yang sudah ditahan beberapa detik. "Thunder, kamu duduk di—"
"Saya duduk di sana aja, Bu," ucapnya santai menunjuk bangku kosong di samping Bintang.
"Baiklah. Kebetulan di sana memang tidak ditempati. Kamu boleh duduk di sana," kata Bu Ami membiarkan Thunder bergegas ke bangku yang dimaksudnya.
"Hai," sapa Meiva yang duduk di depannya.
"Hn," gumamnya. Matanya mengawasi gerak-gerik gadis yang duduk di sebelah Meiva, Jeane. Gadis yang tak menyapanya. Padahal dari arah kanan dan kiri Thunder sudah terdengar suara sapaan ramah untuknya, bahkan gadis yang duduk di sebelah Jeane barusan juga sudah menyapanya. Tapi, mengapa gadis itu membisu dan tak memedulikannya? Thunder tak terbiasa tidak diacuhkan oleh seorang gadis seperti ini.
"Satu lagi spesies manusia kayak Juan," gerutu Meiva pelan disambut cekikikan dari Jeane.
"Populasinya masih banyak kali," tukas Jeane semakin membuat Meiva misuh-misuh sendiri.
"Ya kali. Nih ya—"
"Jeane, Meiva! Apa yang dari tadi kalian bisikan?" tanya Bu Ami membuat semua orang memusatkan perhatian pada kedua gadis itu. “Kalian tidak memperhatikan penjelasan saya?” Ada kilatan marah di mata guru tersebut.
"Eh? Tentang pelajaran, Bu. Ada yang saya gak ngerti, jadi saya nanya ke Meiva," jawab Jeane seraya cengengesan, menutupi sikap tegangnya.
"Kamu bertanya pada Meiva?"
Jeane menganggukkan kepalanya pelan.
"Memangnya Meiva mengerti apa yang saya ajarkan?" tantang Bu Ami.
Jeane menoleh ke arah Meiva yang sudah memucat, kepalanya menggeleng ringan. "Gak mungkin dia bisa ngerti, Bu," jawabnya polos. Hal itu membuat Meiva bernafsu untuk membuang Jeane ke Bikini Bottom.
"Eh otak Patrick Star, lo bisa nggak sih gak usah jujurnya dalem banget?" bisik Meiva mencubit lengan Jeane. “Sekali-kali bantu gue jaga nih muka gue.”
Jeane meringis kecil seraya menjauhkan lengannya, "abis lo juga gak mungkin ngerti sih. Ya kali kalo gue jawab lo ngerti, kita berdua disuruh maju, buat ngerjain so—"
"Meiva, Jeane! Kerjakan soal yang ada di papan tulis!"
"Nah, disuruh itu...,” Jeane mendongakkan kepalanya, "apa, Bu?" tanyanya tak percaya. Bagaimana ia bisa mengerjakan soal matematika yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling bahkan sebelum ia melihat soalnya?
"Tapi, Bu. Saya kan gak ngerti. Tadi aja saya minta Meiva menjelaskan. Gimana kalo Meiva aja Bu, yang ngerjain soalnya?" tawar Jeane sembari memohon dengan nada suara yang dibuat memelas.
Jika dalam situasi genting yang tak menguntungkan seperti ini, Jeane pun bisa mengorbankan temannya demi keselamatan dirinya. Terutama dibidang matematika yang selalu bisa membuatnya mati kutu.
"Jea—" Suara Meiva terpotong oleh bentakan Bu Ami.
"Pokoknya Ibu minta kalian berdua yang mengerjakan!" ucapnya sebal dengan tingkah Jeane yang terus membantahnya.
Mau tak mau, dengan berat hati, Jeane dan Meiva maju ke depan papan tulis. Di tangan mereka, tergenggam sebuah spidol.
"Mau gue tulis apa nih di sini?" bisik Jeane pada Meiva yang juga sama bingungnya. "Masa iya gue gambarin muka smile, biar si Ibu tiri gak masam mulu kayak rasa cuka. Sekaligus bisa bikin dia berhenti nyiksa kita yang tak bersalah ini," tuturnya sebal.
"Gambar aja, Jeane. Nanti gue yang jelasin ke Bu Ami," kata Meiva tak kalah pelan.
"Saya menyuruh kalian mengerjakan soal, bukan ngerumpi di sana," kata Bu Ami dingin.
"Bu, Bapak Albert Einstein lupa nitipin otaknya buat saya tadi. Jadi saya sama sekali gak ngerti nih soal," cetus Jeane polos, memandang Bu Ami dengan puppy eyes andalannya.
"Memangnya otak kamu sendiri ke mana?" tanya Bu Ami kesal karena Jeane sempat-sempatnya menuturkan hal yang tak masuk akal.
"Dibawa sama Nobita, Bu. Gara-gara otaknya dicuri sama Doraemon tadi," celetuknya membuat teman-temannya tertawa.
"Bu, biar saya yang kerjain buat dia," ucap seseorang, sontak membuat Jeane dan Meiva terkaget.