Bab 8

1658 Kata
Jeane berdiri menghadap langit yang sudah menggelap. Sepertinya, sebentar lagi hujan akan turun deras. Jika diperhatikan lebih seksama, rintikan gerimis memang sudah turun. "Lagi liatin apa lo, Jeane? Liatin gebetan ya atau galau liatin hujan kenangan?" tanya Kanta berdiri di sampingnya. Disampirnya tas selempang yang tergeletak di atas meja. "Galauin apa? Gebetan apa? Kalo lo bilang gue lagi nungguin hujan duit, baru bener," jawab Jeane memeriksa isi tasnya mencari ponsel. "Lho? Kok mati? Elah, nih handphone pas dibutuhin malah tewas. Gak bertanggung jawab amat jadi handphone," omelnya sebal sambil menekan kuat tombol kunci di layar ponselnya. “Gak mau hidup lagi.” “Kalo yang namanya mati ya jelas gak mau hiduplah, Jeane. Lo gimana sih,” sahut Ginta gemas dengan tingkah Jeane yang mengasari ponselnya. "Gak lama lagi jebol tuh tombol," "Tinggal ditambal kali kalo jebol. Bener gak, Jeane?" timpal Kanta cengengesan. "Ditambalnya harus pake cinta, kalo pake daun auto makin parah," sahut Meiva dari arah belakang mereka. "Dipikir ban kali ya, pake nambal-nambal," sahut Jeane melemas. Padahal ia ingin segera meminta Lily menjemputnya sebelum hujan turun semakin deras. Jangan salah. Biar pun adik perempuannya itu baru menduduki SMP kelas tiga, kemampuannya dalam mengendarai mobil cukup setara dengan Juan Manuel Fangi si pembalap mobil terkenal. Tunggu?! Juan? Ditolehkan kepalanya ke meja yang sudah kosong entah sejak kapan. 'Udah pergi,' pikir Jeane semakin lesu. "So? Jeane! Bumi kepada Jeane? Atau Jeane udah naik ke Mars?" Teriakan Kanta sontak mengagetkan Jeane yang sempat termenung sesaat. "Mikir apa sih sampe kita ngomong gak didengerin?" timpal Meiva. Hari ini ia tidak pulang bersama Ken, karena cowok itu sibuk bermain bola dengan teman-temannya di lapangan indoor. "Tsk," decak Jeane sesekali mencoba menghidupkan layar ponselnya yang walaupun sebenarnya percuma. "Gak bisa pulang nih gue," ujarnya dengan suara lemah seraya menduduki bangku kosong di sampingnya. "Eh? Kenapa?" Suara petir menggelegar menghentikan pembicaraan mereka sejenak. Tak lama setelahnya, hujan turun sedikit demi sedikit dan membesar seiring dengan angin yang bertiup kencang, mengibas dedaunan yang terlepas dari dahan pohon. "Mampus kan gue! Bakal camping nih gue di sekolah," sungut Jeane meratapi nasibnya yang tak pernah benar ketika hujan. “Gue gak bisa balik,” rutuknya sedih. "Ikut gue aja deh, Jeane," ucap Meiva mencoba membangkitkan semangat Jeane. "Gue bawa mobil kok. Mobilku rodanya ada empat," lanjutnya terkekeh. "Ya elah! Gue juga tau kali. Lagian kalo rodanya tiga, namanya becak! Kalo nggak, bajaj!" ketus Ginta mengotak-atik ponselnya. "Gue padahal mau minta si Lily yang jemput, nih handphone pake acara ngambek segala. Uselessness banget." Jeane memasukkan lagi ponselnya yang tak bisa ia gunakan ke dalam tas. Matanya melebar kala melihat bayangan seseorang, tidak! Ada beberapa orang di sana. Dengan cepat, ia berdiri di samping Kanta yang duduk di belakangnya. "Apaan sih, Jeane? Kagetin orang aja." Kanta meringis kecil saat tangannya diremas kuat oleh Jeane. "Itu siapa?" lirih Jeane menyembunyikan tubuh kecilnya di belakang Kanta. Sifatnya yang paranoid dan penakut kembali timbul. Ditambah lagi, suara hujan yang bergerumuh serta suasana kelas yang sudah sangat sepi menambah kesan horor. Bayangan-bayangan itu membesar. Beberapa orang pemilik bayangan itu pasti sedang berjalan mendekati mereka. Kanta, Ginta dan Meiva menyipitkan mata guna mempertajam penglihatan mereka. "Mata kalian pada kelilipan masal ya? Nyipit-nyipit gitu," tanya Aldo tiba-tiba berdiri di depan mereka. Di belakang cowok itu, ada Ken dan juga Riko. Ginta menoyor kepala Aldo dengan suka cita. "Kita mikirnya hantu, tau gak? Rupanya setan," ucapnya sambil membenahi posisi duduknya. "Setan gak ada yang seganteng gue kali, Gin. Jangan malu kalo mau muji gue deh," ujar Aldo dengan pedenya menyisir rambutnya ke belakang. “Gue orangnya gak pernah nolak pujian kok.” "Eh, tiang khatulistiwa, gak usah sok kegantengan ya! Muka mirip comberan kok dibanggain mulu," cetus Ginta mengeplak kepala Aldo. "a***y! Geplak hati gue aja, biar keisi sama lo. Jangan kepala gue, soalnya otak gue udah penuh sama lo," ucap Aldo mengedipkan sebelah matanya menggoda Ginta yang cemberut. “Lagian nih muka limit edition tau. Cuma ada satu-satunya di sekolah ini. Gak tau kalo di luar sana, gue ada berapa kembaran.” "Gombalan lo gak bermutu!" "Gak bermutu juga bisa buat lo blushing," sahut Aldo tak mau kalah. "Btw, si Juan tumben banget gak bareng kalian? Biasa nempel kayak prangko," kata Meiva memutuskan perdebatan Ginta dan Aldo. "Lem prangkonya terlepas, jadi gak tau lagi terhanyut ke mana tuh si Juan," balas Riko santai. Aldo dan Ken tertawa terbahak-bahak seketika Riko merasakan nyeri di belakang kepalanya. "Lo kayak jelangkung, tau gak? Dateng gak diundang, jam pulang malah dateng lagi," gerutu Riko mengusap kepalanya. “Pulang sana. Anak Mama gak boleh pulang telat.” "Hn," gumam Juan tak peduli. "Kalian gak pulang? Mau nginep di sini? Emang berani?" cerocos Aldo menduduki bangku di samping Jeane. "Hai, Jeane. Kangen gue gak? Kalo gue sih, gak kangen sama lo," godanya pada Jeane yang masih terdiam, shock dan masih mengumpulkan kesadarannya yang sempat terpecah tadi. Jeane melotot kesal saat Aldo melambaikan tangannya di depan wajah Jeane. "Kapan lo mau waras, Do?" tanyanya sebal, menampik tangan yang mengganggu itu. "Kapan lo mau nerima gue, Jeane?" Aldo bertanya balik sembari menyatukan kedua alisnya. “Gue udah nungguin lo lama nih.” Jeane mendengus kesal seraya bersidekap, malas untuk menjawab pertanyaan ‘bodoh’ Aldo. "Pulang yuk, Va," ajak Ken pada Meiva yang masih terdiam. "Tunggu, Ken. Hari ini gue bawa mobil," ucap Meiva seketika merasakan aura suram dari Ken. Merasa dirinya memperkeruh suasana hati Ken, Meiva hanya memberikan cengiran tak berdosanya. "Lo ikut Meiva aja, Jeane. Lumayan, dapet supir cewek gratisan," ujar Kanta terkekeh kembali mengungkit masalah Jeane barusan. Kanta meringis kecil ketika dihadiahi cubitan di lengannya. "Gue bukan supir ya," sahut Meiva cemberut. “Cantik-cantik gini masa nyupirin modelan kayak Jeane gini.” "Ya udah deh, gue ikut lo aja, Va," kata Jeane mengabaikan ocehan Meiva kali ini karena ia benar-benar membutuhkan tumpangan dari gadis itu. Jika saja ia sedang tak membutuhkan bantuan dari Meiva, ia pasti sudah melakban mulut petasan Meiva. "Kalian belum mau pulang?" lanjutnya pada Kanta dan Ginta. "Lagi nunggu jemputan," jawab Ginta mengangkat bahunya. "Lo gak nanyain kita juga, Jeane?" celetuk Aldo sambil memasang wajah polos khas anak kecil. “Gue lagi nungguin perhatian dari lo.” "Lo gak penting," balas Jeane memutar matanya sebal. "Kalo Ken?" tanya Aldo lagi. "Ada Meiva yang nanyain." "Riko?" "Urusannya si Bella." Aldo terkekeh kala Jeane menjawabnya dengan cepat, tanpa perlu berpikir. "Kalo Juan?" tanyanya lagi yang semakin memperlebar cengirannya saat Jeane menatapnya gusar. "Kan... ada adiknya," jawab Jeane sedikit linglung. "Adiknya kan bareng Samudra, Jeane," sambung Riko yang juga ingin menggoda Jeane. "Ada si Vena juga kok," jawab Jeane dengan mantap, tak memedulikan tatapan tajam dari Juan. Cowok itu pasti tak terima dengan jawabannya, tapi toh Jeane tak peduli. Ken dan Aldo tergelak mendengar jawaban dari Jeane yang membuat wajah Juan mengeras. Cewek itu seperti mengungkapkan apa yang ada di otaknya tanpa berpikir terlebih dahulu. "Juan!" Panggilan itu sontak membuat Ken dan yang lainnya menoleh ke arah pintu, kecuali Juan yang menghela napasnya kasar karena sudah mengetahui pemilik suara yang memanggilnya itu. "Bella? Vena?" ucap Riko cengo. Padahal niatnya hari ini ia menghindari Bella, dengan alasan bermain bola bersama teman-temannya. Tapi kenyataannya, bola itu justru dihilangkan Aldo yang entah bagaimana caranya menyangkutkan bola itu di atas pohon, terjatuh dan berguling di antara semak-semak. Sehingga mereka memilih pulang, namun malah bertemu dengan Jeane dan teman-temannya. "Juan, anterin gue pulang ya. Gue gak bawa mobil hari ini. Di luar juga lagi hujan deras," ucap Vena dengan nada manja yang terdengar menjengkelkan di telinga Juan. "Gak bisa," jawab Juan sembari memikirkan alasan yang tepat untuk menolak Vena. "Jeane ikut gue pulang. Arahnya mutar." Bukan hanya Jeane yang terkaget-kaget mendengar untaian kalimatnya, bahkan seluruh teman-temannya pun ikut kaget tak mengira Juan akan berkata seperti itu. "Eh?" Jeane akhirnya tersadar dengan kekagetannya, ia segera melempar tatapan bertanya pada Juan. "Lo sendiri yang ngirim chat ke gue semalam," jawab Juan acuh tak acuh. Seingat dan setahu Jeane, Jeane tidak pernah menyimpan nomor ponsel milik Juan, apalagi sampai mengiriminya sebuah pesan. Jeane bahkan tak pernah meminta nomor ponsel si the most wanted itu. "Tung—" ucapan Jeane terpotong akibat tarikan tangan dari Juan. "Kami duluan," ucap Juan menarik Jeane keluar kelas sebelum gadis itu menghancurkan rencananya untuk menjauhi sosok Vena. "Tunggu...” Akhirnya Jeane bisa melepaskan lengannya yang dicengkram oleh Juan. “Juan, Ini maksudnya apa sih? Kapan gue minta lo jemput? Gue bahkan gak ada nomor lo," semprot Jeane mengelus lengannya yang memerah akibat dicengkram kasar oleh Juan. "Ayo," tukas Juan tak menjawab cerocosan Jeane. Kaki-kakinya kembali melangkah menyisakan Jeane yang termangu. "Tungguin, elah. Lo kayak gak niat banget nganterin gue pulang, main tinggal-tinggal aja. Padahal bukan gue yang minta lo anterin," cerocos Jeane yang tentu saja tak diacuhkan cowok di depannya. "Dasar triplek kepala batu!" sungutnya yang berhasil membuat Juan menoleh ke arahnya. "Apa?" tanya Juan memicingkan matanya. "Triplek kepala batu," ucap Jeane dengan berani. Mana peduli ia dengan tatapan mata membunuh dari Juan. "Lo pulang sendiri," sahutnya meninggalkan Jeane yang membulatkan matanya tak percaya. "Apa?! Woi! Juan, lo sendiri yang bilang ma— aduh!" Jeane berusaha mengejar langkah lebar Juan tak menyadari jika tali sepatunya terlepas, sehingga menyebabkannya jatuh tersungkur karena tak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri. "Bodoh!" rutuknya pada dirinya sendiri. Juan kembali memutarkan langkahnya ketika mendengar suara rintihan dari Jeane. "Ceroboh," ujarnya melihat kedua lutut gadis itu berdarah. "Ish! Lo kok nyebelin banget sih? Kesel gue kalo udah ngomong sama lo," ucap Jeane sesekali mengusap darah yang keluar dari lututnya dengan sapu tangan yang selalu disimpan di sakunya. "Naik," ucap Juan berjongkok dengan punggung menghadap Jeane. Jeane membelalakkan matanya kaget, ia pikir cowok yang baru saja diejeknya itu akan pergi meninggalkannya. "Cepetan!" ujar Juan menarik tangan Jeane untuk dilingkarkan di sekitar leher dan bahunya, yang malah ditepis Jeane. "Tapi—" Jeane tersentak kala Juan mengangkatnya ala bridal style. "Gak usah banyak gerak. Atau gue jatuhin lo sekarang," kata Juan dingin ketika Jeane terus-menerus menggeliat ingin diturunkan. Melihat wajah cemberut dan merasakan tegangnya tubuh Jeane, Juan hanya menghela napasnya tak menyangka mendapat penolakan telak dari Jeane saat menggendong gadis itu. "Gue turun sekarang, makasih udah anterin," ujar Jeane dengan cepat membuka pintu mobil Juan ketika mobil Juan berhenti tepat di depan rumahnya. "Hn," gumam Juan seadanya, tak tertarik dengan sikap kikuk yang ditunjukkan Jeane. Bahkan saat cewek itu berlari tertatih-tatih memasuki rumahnya, menahan rasa nyeri di lututnya. Pokoknya, Jeane harus bisa menghindari Juan sekarang. Tak lama setelahnya, Jeane mendengar suara deruman mobil milik Juan dari dalam rumahnya. Cowok itu sudah pergi. Entah disadari olehnya atau tidak, Jeane melepaskan napas yang ditahannya dari tadi. "Dia bikin gue salting aja," gumamnya menggelengkan kepalanya cepat. "Siapa Kak?" tanya Lily yang mendengar gumaman Jeane. "Bukan siapa-siapa. Kepo aja lo," tukas Jeane segera menaiki tangga yang terhubung ke kamarnya. "Cogan ya, Kak?" teriak Lily yang tak direspons oleh Jeane.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN