"Kok bawa- bawa Zara, sih." Aryan berucap dengan sedikit gugup.
"Ya, Zara kan cantik." Sera mengedikkan bahunya. "Siapa tahu kamu tergoda?"
Aryan menggenggam tangan Sera lalu mengecupnya. "Aku sudah bilang, aku tidak membutuhkan hal lainnya. Aku sudah punya kamu."
Sera mengangguk. "Oh ya, Mas. Beberapa hari lalu aku ketemu tante Gina. Kamu inget kan cowok yang waktu itu aku tanya kamu siapanya Zara? Kamu bilang dia Dito pacarnya Zara."
"Ya, kenapa?" Aryan berdehem dengan melepaskan jasnya, dan meletakkannya di sofa.
"Tante Gina udah berharap mereka nikah masa dia bilang Zara-nya yang gak mau."
Aryan tersenyum dengan menggengam tangan Sera. "Ngapain ngomongin dia terus sih, gak penting banget. Aku lebih suka ngomongin kita. Dan aku kangen banget sama kamu."
Sera berdecak kesal. "Mas nih, dia sahabatku loh, Pokoknya aku gak mau tahu, besok kita makan malam sama Zara. Suruh dia ajak Dito. Aku mau tanya keseriusannya sama Zara."
Aryan mengangguk tersenyum. "Oke." Aryan mendorong bahu Sera untuk memasuki kamar mereka.
....
Aryan membuka matanya dan menoleh pada Sera yang terlelap, lalu melihat pada layar ponselnya yang menyala di tengah cahaya remang- remang kamar mereka. Aryan segera beranjak dengan pelan untuk menerima panggilan di ponselnya.
Berjalan menjauh dari ranjang dengan menempelkan ponsel ke telinganya agar Sera tak mendengar percakapannya dengan Zara.
Aryan berjalan ke arah pintu lalu menutupnya pelan.
Saat pintu benar-benar tertutup Sera membuka matanya perlahan lalu melangkah menyusul Aryan.
"Gimana Sera, Mas?" Aryan menghela nafasnya saat mendengar Zara langsung menembaknya dengan pertanyaan.
"Sepertinya Sera gak tahu apa- apa tentang kita. Reaksinya gak ada yang aneh."
Terdengar helaan nafas Zara, sepertinya dia juga merasa lega.
"Sera meminta kamu dan Dito datang untuk makan malam bersama kami besok malam," ucap Aryan dengan menolehkan kepalanya ke arah kamar sebab takut tiba-tiba Sera terbangun
"Harus sama Dito? Aku gak mau terus berpura-pura sama Dito."
"Kalau kamu gak mau ini terbongkar, kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar pacaran. Lagi pula kamu yang emang gak mau mengakhiri hubungan ini." Aryan berkata acuh tak acuh.
"Aku gak bisa, Mas. Kalau sampai aku kehilangan kamu. Apa semua yang kita lewati gak membuat kamu mencintai aku? Tinggalkan Sera, Mas. Kita bisa bersama."
"Kamu gila? Sudah aku bilang berapa kali kalau aku gak akan tinggalin Sera! Terserah kamu. Kalau kamu mau ini berlanjut bawa Dito besok malam. Kalau enggak jangan harap kita bertemu lagi!" Peringatan Aryan jelas bukan sesuatu yang Zara remehkan. Apalagi pria itu terang- terangan akan memilih Sera dibandingkan dengannya. Jadi Zara tak punya cara lain selain mengiyakan.
"Aku tahu."
"Kalau gitu sudah dulu. Jangan telepon aku kalau lagi di rumah!" Aryan mematikan teleponnya dan kembali ke dalam kamar.
Saat Aryan masuk dia masih melihat Sera di posisi tidur yang sama, jadi dengan langkah pelan Aryan kembali membaringkan tubuhnya di sebelah Sera.
Setelah Aryan kembali berbaring Sera membuka matanya dengan bibir yang mendengus. 'Kamu benar-benar b******k sejati, Mas,' ucapnya dalam hati.
'Menginginkan Zara tapi tidak melepaskan aku? Kamu bermimpi?'
Sera mengapalkan tangannya erat meremas selimut di tubuhnya.
.....
Sera berdiri menyambut kedatangan Zara dan Dito yang nampak romantis dengan saling bergandengan.
Bagus sekali, pengorbanan cinta terlarang yang terniat, hingga memainkan sebuah drama yang membuat orang tidak akan curiga dengan kebusukan mereka.
Sera penasaran apa yang mereka janjikan pada Dito hingga dia rela menjadi kambing hitam.
"Hai, Ra." Zara langsung melepas genggaman tangan Dito dan memeluk Sera.
"Hai." Sera balas memeluk Zara.
"Oh, iya ... kenalin ini Dito." Zara melepaskan pelukan Sera lalu menarik Dito mendekat.
"Hai, Dito."
"Aku Sera." Keduanya berjabat tangan.
"Zara sering ceritain tentang kamu," kata Dito dengan tersenyum ramah.
"Oh, ya? Asal jangan yang jelek- jelek aja." Sera terkekeh dengan menutup mulutnya malu- malu.
"Apa sih yang jelek dari kamu, Ra." Zara mendudukan dirinya di sofa. Dia memang sering datang hingga sudah merasa berada di rumahnya sendiri.
Tiba-tiba terlintas di benak Sera. Apakah mereka juga pernah melakukan hal b***t itu di rumah ini?
"Kejelekan aku cuma satu." Sera mendudukan dirinya di susul Dito. "Aku terlalu polos dan naif."
"Ya, kamu benar." Zara tertawa. "Kamu tahu itu yang membuat kamu banyak di tipu teman- teman kita dulu."
'Termasuk kamu.' ucap Sera dalam hati.
Tentu saja karena kejelekannya itulah dia tertipu oleh sikap baik Zara dan Aryan.
Langkah kaki terdengar membuat ketiga orang disana menoleh dan mendapati Aryan menuruni tangga dengan menggulung lengan kemejanya hingga siku.
Pria itu nampak tampan dan segar sebab baru saja mandi. Sera menolehkan pandangannya pada Zara yang nampak terpaku beberapa saat membuatnya mendengus sinis.
'Begitu tak bisa menahan diri melihat suamiku?' batin Sera mengejek.
"Kalian sudah datang?" Aryan menghampiri dan langsung mengecup pipi Sera.
Mata Sera menatap Dito yang mengangguk sementara Zara yang memalingkan wajahnya.
Cemburu?
Andai dia tidak tahu dengan kebusukan keduanya dia tidak akan memperhatikan dan ternyata bias itu nampak nyata.
"Mas, malu ada orang." Sera memperingati Aryan yang hanya terkekeh.
Sera kembali menatap Zara dan Dito. "Jadi, ceritakan tentang kalian, gimana awalnya bisa pacaran?" tanya Sera dengan wajah penasaran.
"Aku sama Zara teman di kantor," ucap Dito.
Sera mengangguk. "Itu kenapa kamu kenal Dito, Mas?" Sera menoleh pada Aryan.
"Ya, dia juga temanku soalnya."
Sera menampakan wajah terkejut. "Oh, ya?" Sera benar-benar tidak menyangka jika ada pertemanan seperti mereka. Menutupi kebusukan satu sama lain.
"Aku jadi tenang kalau gitu. Dito mohon jagain Zara, ya," ucap Sera dengan terkekeh.
"Pasti."
"Apanya yang mesti di jagain, sih Ra. Emangnya aku anak kecil." Zara mencebik.
"Bukan apa- apa. Zara kadang selalu melakukan hal gak terduga." Sera melihat pada Aryan yang selalu menghindari menatap Zara.
"Sayang, aku sudah lapar." Aryan menyentuh tangan Sera.
"Oh, iya, hampir lupa. Ayo Zara, Dito, aku udah masak banyak buat kita." Sera berdiri dari duduknya disusul Aryan yang langsung menggandeng pingganya.
Diikuti Zara dan Dito di belakang mereka menuju ruang makan.
Aryan menarik kursi untuk Sera membuat Sera tersenyum. "Makasih."
Aryan mengusap rambut Sera penuh sayang. Tentu saja pemandangan itu di saksikan Zara dan Dito.
"Silakan Dito jangan sungkan, ya."
Dito mengangguk. "Iya, Mbak."
"Kalau Zara gak perlu di persilakan lagi, dia udah terbiasa. Kalau mau apa- apa tinggal ambil, ya kan, Mas?" Sera tertawa kecil.
"Iya."
'Ya saking tidak sungkannya dia juga tak segan mengambil kamu, Mas?'
"Sera!" Zara menatapnya dengan sedikit kesal.
"Iya, deh. Yang ada pacarnya jadi gengsi."
"Ih, aku malu tahu."
Dito menggenggam tangan Zara. "Gak papa, aku suka kok. Aku jadi lebih tahu tentang kamu." Sera menopang dagunya melihat keromantisan Zara dan Dito.
"Romantis banget sih. Kenapa kalian gak cepet nikah aja, sih. Tante Gina udah kebelet punya mantu loh ..."
"Uhuk!" tiba-tiba Aryan tersedak air minum yang di teguknya hingga membasahi kemejanya..
"Hati-hati dong, Mas." Sera mengusap punggung Aryan.
"Maaf, Sayang. Aku ganti baju dulu." Aryan mengibaskan kemejanya yang basah.
Melihat Aryan pergi Zara bangkit dari duduknya dan pergi ke arah toilet. "Aku ke toilet dulu."
Sera menatap kepergian keduanya. Kini tersisa dia dan Dito saja. Pria itu masih nampak tenang meski sedikit canggung.
"Jadi, kamu temen Mas Aryan?" tanya Sera memecah keheningan.
Dito mengangguk. "Iy, teman kuliah dulu."
"Tapi, aku kok gak kenal kamu ya? Aneh deh."
"Mungkin karena aku juga baru pulang beberapa bulan terakhir. Aku juga baru tahu kalau Aryan bos di kantorku waktu aku melamar kerja." Sera mengangguk.
"Jadi, teman lama, ya. Aku cuma heran, kenapa kamu begitu baik sampai rela menjadi kambing hitam dalam kesalahan mereka." Sera masih tersenyum sementara wajah Dito terdiam dengan tubuh yang tertegun kaku.