Bab 1
Kakiku menginjak gulungan New York Times di teras saat aku keluar rumah. Aku memungut koran itu kemudian membukanya. Kulirik gambar besar di halaman utama. Masih dengan topik yang sama. Fotonya yang diambil awal tahun lalu. Dengan judul besar ‘Pengadilan Terakhir,’ disusul potret Si Api, pria beralis tebal yang nyaris menyambung menyebalkan dengan raut wajah menyeringai penuh kemenangan. Potret itu dibubuhi dengan judul, ‘Jake Mirlan Bebas Tanpa Bukti Sabotase.’
Omong kosong! seruku dalam hati.
Di bawah dua kolom besar itu terpampang wajahku dengan ukuran agak kecil. ‘Emily Green Masih Bungkam.’ Menjadi judul artikelnya. Aku muak, bahkan melihat fotoku sendiri yang terlihat sangat tidak menyenangkan. Kuremas koran itu lalu kulempar ke tong sampah.
Sesaat rasanya ingin kembali ke dalam rumah, tapi itu justru pilihan yang buruk. Aku melangkah ke garasi. Kuambil motorku yang akhir-akhir ini kupakai alih-alih mobilku.
Terakhir kali aku memakai mobilku, beberapa wartawan mengikutiku. Hal itu jelas sangat menggangguku. Aku meninggalkan apartemenku di Park Avenue dan Seventy-third dan sudah sebulan ini mengungsi di rumah Grandma di Muray Hills untuk menghindari mereka. Rumah ini kosong sejak beliau meninggal lima tahun yang lalu.
Motor hitam gelap yang sedang kukendarai ini adalah milikku. Ducati Streetfighter yang bodinya dipreteli dan dimodifikasi Dad supaya terlihat lebih langsing. Kubeli tiga tahun lalu atas nama Dad dan kusembunyikan di bengkelnya.
Motor menyenangkan ini bernama The Black. Menggelikan memang menamai benda mati, karena membuatku tampak sentimentil di depan orang lain. Tapi karena di bengkel Dad terlalu banyak motor, dan terlalu lama jika menyebut spesifikasinya satu-satu dan malah membuat bingung, aku dan dia sepakat memberinya nama The Black untuk mempermudah komunikasi.
Aku bisa mengendarai motor sejak umur lima tahun. Dad seorang mantan pembalap motor, sebelum memutuskan pensiun dan membuka bengkel. Memang bukan pembalap yang cemerlang tapi cukup diperhitungkan di arena. Dad sejak dulu terobsesi menjadikanku seorang pembalap, walaupun aku seorang wanita.
“Tak peduli kau seorang pria atau wanita, yang akan dipedulikan banyak orang adalah saat kau menggilas para raja Herion Championship di arena!” ujarnya sering kali saat melatihku di jalanan beraspal yang sepi di dekat rumah.
Aku sebenarnya menyukai dunia Dad, aku suka mengendarai motor dan aku sering turun di kejuaraan motor junior. Tapi setelah kecelakaan kecil yang membuat tulang kakiku patah dan gegar otak ringan, Mum melarang Dad dan menghentikan obsesinya untuk menjadikanku penerusnya.
“Sekali lagi aku melihat Emily meletakkan tubuhnya di atas kumpulan mesin sialan itu, itulah terakhir kalinya kau akan melihatku dan Emily, aku tak segan-segan untuk meninggalkanmu Billy!” jeritnya dengan wajah merah meledak menghebohkan seluruh isi rumah sakit.
Setelah peristiwa itu, akhirnya kami berdua mengalah. Mengalah dalam arti tidak benar-benar berlatih motor di depan Mum. Kami tetap berlatih di tiap kesempatan yang sempit dan sering mengikuti pertandingan diam-diam tanpa sepengetahuannya, walaupun aku sudah dijebloskan dengan kejam ke sekolah akting oleh Mum.
Untungnya Mum bukan tipe wanita tega yang senang melihat harapan suaminya pupus. Untuk itu, Mum melahirkan adik laki-lakiku Marvel, dengan beda usia dua belas tahun denganku. Sayangnya, Marvel lebih suka menipiskan piringan DJ daripada menipiskan ban di aspal. Tapi Dad tak pantang menyerah untuk membujuknya sampai saat ini. Dia berhasil membuat Marvel turun beberapa kali dikejuaraan motor kapasitas kecil. Walaupun Marvel menjalaninya dengan setengah-setengah. Dad merasa cukup puas.
Cuaca begitu dingin, hembusan angin terasa sangat tidak nyaman saat aku mulai menyusuri Lexington Avenue walaupun aku sudah membungkus leherku dengan tumpukan syal. Hari ini jadwalku masih sama membosankannya seperti kemarin, pengambilan gambar untuk filmku yang akan dirilis tahun depan. Gerimis tak henti sejak tadi malam, jaket kulit dan helmku dengan cepat menjadi basah akan titik-titik air hujan.
Lokasi pengambilan gambar kali ini di studio di kawasan West Village, memakan lumayan waktu dari Muray Hills untuk sampai ke sana apalagi dengan kondisi udara dingin dan basah seperti ini. Untung saja jalanan lancar, kugas The Black dengan kecepatan hampir seratus kilometer per jam dan membelah udara pagi yang terasa beku.
***
“Sialan!” umpatku sepagi ini. Kupelankan The Black memasuki halaman studio. Melewati kerumunan wartawan di koridor luar gedung. Tampak basah dan kedinginan. Beberapa memakai payung untuk melindungi mikrofonnya dari tetesan hujan. Aku tahu apa yang mereka tunggu, mereka melihatku tapi tak mempedulikanku. Aku senang mengendarai The Black hari ini.
Basement adalah tempat terbaik untuk persembunyian. Menyusupkan The Black begitu saja di celah antara dua mobil karyawan yang sempit kemudian merayap masuk ke dalam gedung lewat tangga darurat yang sangat kukenal. Aku selalu mencari tahu di mana letak tangga darurat ditiap gedung yang mungkin akan sering kukunjungi. Tampak sangat konyol ketika harus selalu bertanya-tanya kepada petugas pembersih gedung yang memandangku curiga tentang tangga darurat. Rupanya wajahku masih dalam kategori kriminal yang akan menyelundupkan bom dan meledakkan gedung.
Bukan karena aku wanita aneh yang suka datang mengendap-endap lewat pintu yang tidak seharusnya, tapi aku memang lebih suka datang tanpa melewati jalur kehebohan. Salah satunya melewati kerumunan kuli berita di depan koridor pintu depan tadi. Mereka sedang sangat tertarik padaku saat ini untuk melengkapi kehebohan beritanya.
Jessy sudah menungguku di lobi dalam studio. Dia menunjuk jam tangannya dengan wajah yang kesal kepadaku. Aku tahu aku memang terlambat, hanya dua menit kukira, bukan masalah besar. Tapi menurut Jessy, satu menit terlambat, baginya sepuluh menit, dan karena aku terlambat dua menit berarti aku terlambat dua puluh menit dan itu fatal.
Kadang aku mengintip ke arloji yang dipakainya untuk menyamakan waktunya dengan milikku, tapi tak kulihat adanya perbedaan mencolok, hanya beda satu sampai dua menit. Aku tak tahu kenapa dia begitu sensitif dengan waktu.
Jessy adalah manajer priaku yang kecil, berparas cantik, mata biru lebar, hidung proporsional dan rahang tajam lancip. Lebih menyukai bergaya feminim daripada maskulin dan bersuara centil yang nyaring, menyukai pria tampan tapi dia jelas bukan seorang gay. Tapi entahlah, aku tidak yakin.
“Selalu saja terlambat!” semburnya dengan suara nyaring. Wajahnya yang cantik berkilat seperti peri yang murka.
“Selamat pagi Jason, cuaca cerah ya!” sapaku datar. Jessy berdecak sebal.
“Jessy Emily, Jessy!” tukasnya tak sabar sambil membenarkan rambutnya dengan jari-jarinya yang lentik.
“Sorry,” jawabku nyengir. “Sudah terbiasa sih!”
Nama asli Jessy adalah Jason, dia lebih suka dipanggil Jessy karena menurutnya itu seksi. Sejak kecil dia sudah terlihat cantik dan aku sering mendandaninya saat bermain bersama menggunakan peralatan rias Mum. Dia sangat senang ketika aku memujinya cantik. Kadang aku merasa bersalah karena ikut membantunya menemukan jati dirinya yang berhasil dia tunjukkan sampai saat ini.
“Apa yang kau bawa-bawa itu?” tanyanya sambil melirik tak suka dengan apa yang menggantung ditanganku, jaket basah menutupi helmku yang basah. Sedikit air menetes ke lantai.
“Hanya helm dan jaketku seperti biasa,” jawabku sambil menahan tetesan air dengan menadahkan tanganku di bawahnya. Dan Jessy tampak sangat gemas melihatnya. Dia memang tak suka dengan ideku yang berani mengendarai motor alih-alih mobil, yang sekarang dua-duanya berada di garasi rumah Grandma, berdebu tak tersentuh.
“Cepat masukkan ke dalam sini sebelum kita berdua kena damprat karyawan studio karena mengotori karpetnya yang mahal!” perintahnya sambil mengeluarkan tas lipat berukuran besar dari dalam tas jinjingnya.
“Hanya setetes, mereka tak akan protes.” Sanggahku sambil memasukkan barangku ke dalam tas besarnya.
“Kenapa sih, bawa barang-barang seperti ini ke dalam studio? Kau masih memakai motor konyolmu itu?” Protesnya sambil membantuku merapikan barangku yang ada di dalam tas.
“Hei, jangan membencinya, dia menyelamatkanku akhir-akhir ini. Ya, kecuali kemarin,” imbuhku kesal. “Sekedar info, mereka sedang berada di bawah sekarang.”
The Black memang menyelamatkanku. Wartawan-wartawan itu tidak mengenaliku saat aku menungganginya. Aku lolos beberapa kali bahkan ketika melintas tepat di depan hidung mereka. Kecuali kemarin saat aku di bandara setelah pulang dari London untuk keperluan film. Dan hasilnya sudah kulihat di koran tadi pagi yang kurasa saat ini sudah leleh terkena air hujan di dalam tong sampah.
“Aku tahu. Mereka sudah tiba ketika aku sampai di sini,” jawab Jessy tak sabar sambil mencangklong tas besarnya, dan kami mulai berjalan menyusuri lorong.
“Aku bertemu Paulo lagi saat di bandara,” gumamku.
“Paulo? Wartawan sinting itu?” Jessy mencibir tak senang.
“Ya, dia masih menanyakan tentang hal yang sama.”
“Bertanya tentang bagaimana perasaanmu setelah kejadian itu?” lanjutnya. Aku mengangkat alisku untuk mengiyakannya. “Sungguh orang yang ulet. Dunia sedang membicarakan putusan pengadilan dan dia masih bertanya tentang perasaanmu.” Jessy mendecak tak percaya.
“Entahlah, dia sangat ingin tahu. Rasanya seperti dikejar-kejar jawaban oleh seseorang yang telah menyatakan cintanya padamu.” Gurauku. Jessy terbahak.
“Ngomong-ngomong soal itu, keputusan pengadilan sudah keluar, kan?” tanyanya kembali saat kami berdua berada dalam lift. “Sepertinya tak ada bukti sabotase ya, benar-benar hebat Jake Mirlan dan tim Fire-nya.”
“Entahlah,” jawabku selalu lesu jika membicarakan hal itu. “Jangan bahas itu, masih terlalu pagi. Cepat selesaikan saja jadwal hari ini.”