Bab 1. Patah Hati
"Robby, kamu jahat! Kamu sengaja dekatin aku biar bisa sama Tania, kan?" Tangan Lana terkepal, tapi tak ada satu kata pun yang terucap. Semua hanya sampai sebatas kerongkongan.
"So sweet banget 'kan, Robby." Tania, wanita cantik berambut panjang yang merupakan sahabat sekaligus teman kantornya tengah mengagumi cincin yang melingkar di jari manisnya. Ia tengah memamerkannya pada Lana. "Ini cincin dia ngelamar aku tadi malam. Udah ketemu orang tuaku dan katanya, orang tuanya mau datang."
"Lawan, Lana, lawan! Masa kamu membiarkan mereka seperti ini? Di mana harga dirimu? Di mana yang namanya sahabat? Mereka menari di atas penderitaanmu. Tapi ... Tania tak salah ...." Pikiran Lana bercabang. Sekeras apa pun ia ingin marah, ia tak tega. Tania teman terbaiknya dan wanita itu tak tahu kalau Robby awalnya mendekati Lana. Lanalah yang mengenalkan Robby pada Tania. Kalau mereka saling jatuh cinta, itu bukan salah Tania, 'kan? TAPI SALAH ROBBY! Orang itu memanfaatkan Lana!
Ingin rasanya menangis. Sejak awal Robby memang baik padanya, tapi pria itu tidak pernah menjanjikan apa-apa. Mereka hanya dekat tapi tak lebih dari itu.
"Mana ada yang mau sama aku. Walau posisiku manajer tapi wajahku tidak cantik. Mana banyak jerawatnya lagi ...." Lana menyentuh kedua pipinya.
"Lana, kamu denger, gak?" sahut Tania lagi. Kini ia cemberut karena sahabatnya diajak bicara malah tak mendengarkan.
"Eh, iya, denger." Untung saja, melamun Lana cuma sebentar.
Dengan manja, Tania melirik temannya. "Makasih ya, Lana. Kamu kenalin aku sama Robby. Kalo bukan karena kamu, aku mana mungkin dilamar Robby kemarin."
"Iya, gak papa. Itu jodoh namanya. Aku seneng kok. Kalo teman bahagia, aku ikut bahagia." "Ucapan boddoh apalagi ini!? Kenapa kamu membiarkan dirimu disakiti orang-orang di sekelilingmu!? Apa kamu sudah gilla!? Kamu dimanfaatkan mereka, Lana, kamu dimanfaatkan mereka!"
Tiba-tiba seorang pria mendatangi mereka. Rupanya Robby. "Eh, aku udah selesai, ya," ucapnya pada Tania sambil memperlihatkan berkas di tangan. "Aku balik dulu." Ia melirik Lana, wanita muda berjilbab segitiga berwarna biru. "Yuk!"
"Eh, iya." Lana memberi senyuman. Sambil memandangi pria itu pergi, ia mengutuk dirinya sendiri karena tak berani memarahi keduanya. Bahkan pelan-pelan ia juga mulai memaklumi Robby. "Robby, dia gak salah, iya 'kan? Dia 'kan gak pernah janji apa-apa ke aku. Akunya aja yang kege-eran karena Robby baik sama semua orang. Kalo aku patah hati, ya salah aku sendiri mengganggap kebaikan Robby sebagai something special. Padahal enggak sama sekali. Robby gak tertarik sama aku, malah mungkin merinding kalo tau aku suka sama dia. Hh ...."
"Heh!"
Lana terkejut dan hampir melompat ketika Tania menepuk bahunya tiba-tiba. "Astaga, Tania ...." Ia mengusap dadda.
"Itu calon suami orang, jangan mandangin kayak gitu, ah!"
"Yang nyuri siapa? Hh ...." Pahit rasanya untuk Lana menerima kenyataan. Lebih baik dirinya mencari udara segar di luar saja. "Aku keluar dulu ya." Ia buru-buru keluar ruangan.
Di luar, ponselnya malah berbunyi. Lana melirik layar ponsel dan seketika menghela napas. "Iya, halo." Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan dibahas adiknya, Atala.
"Kak, aku udah di depan pintu kost-kostan Kakak. Kakak pulang jam berapa?"
Kedua bola mata Lana melebar. "Lho, ngapain ke kost-kostan kakak?"
"Aku kabur dari rumah Tante, Kak. Aku gak tahan. Tante suruh aku kerja terus. Sekarang dia mau daftarin aku jadi TKI, aku gak mau, Kak. Katanya mau dikirim ke Thailand. Aku bilang bohong, dia malah gak percaya. Jadi aku kabur aja."
Kepala Lana terasa berdenyut. Kost-kostannya hanya untuk satu orang, gak mungkin adiknya tinggal di situ. Pasti ketahuan. Namun, bila harus menyewa satu lagi kost-kostan, ia takkan sanggup. Bagaimana ini?
"Lana, dipanggil bos!" sahut Lia, sekretaris presdir.
Cepat-cepat Lana mengangguk dan menyelesaikan pembicaraannya dengan adiknya. "Tala, aku dipanggil bos. Kamu nongkrong di warung mang Ujang aja ya, yang diseberang. Nanti, kamu makan apa, kakak bayarin. Mang Ujang ngerti, kok."
"Ya udah," keluh Atala lemas. "Jangan lama-lama ya, Kak."
"Iya." Lana mematikan ponselnya. "Kenapa hari ini begitu berat, ya Allah ...." Ia pergi bersama Lia menghadap presdir. Lia hanya mengantar ke dalam, lalu pergi.
Lana menatap ke arah kursi sofa panjang yang berada di tengah ruangan. Di sana duduk presdir Hawari dan istrinya yang sudah paruh baya tengah bercakap-cakap. Mereka berhenti bicara ketika melihat Lana datang.
"Bapak panggil Saya?" tanya Lana dengan sopan.
"Eh, iya. Bisa duduk sebentar," sahut Hawari.
Lana menurut dan duduk di hadapan mereka. Baginya, ia sangat menghormati kedua orang ini karena sangat sopan bicara pada siapa saja.
Hawari menoleh pada istrinya. Wanita itu mengangguk. Pria itu kemudian mulai bicara. "Lana, apa kamu punya pacar?"
"Apa?" Lana seketika terkejut. Apa yang ingin dibicarakan kedua orang ini sebenarnya?
"Kamu tidak punya pacar 'kan?"
"Eh, Bapak mau bicarakan apa ya." Lana berusaha bicara sesopan mungkin, walau ada rasa aneh dan tidak nyaman saat atasannya membicarakan ini.
"Eh, tidak ...." Pria itu nampak ragu-ragu, tapi kemudian ia bicara lagi. "Aku dengar kamu membiayai adikmu kuliah."
"Eh, kami yatim piatu," ucap Lana pelan. Walau ia tak mau dikasihani tapi tetap saja rasanya air mata ini ingin mengalir.
"Ya, aku tau. Orang tuamu meninggal setahun yang lalu. Pasti sulit membayar kuliah adikmu."
"Eh, tidak apa-apa."
"Apa kamu tidak ingin mencari dana lain untuk adikmu?"
"Apa?" Namun, Lana menahan ucapannya karena terdengar sangat tidak sopan. "Saya ...."
"Aku bisa memberimu satu milyar."
"Apa?" Kali ini Lana tak bisa menahan kata-katanya karena benar-benar terkejut. Bosnya ingin memberinya satu milyar? Apa maksudnya ini?
"Eh, kalau kamu mau menikah dengan Fian."
Bola mata Lana melebar. "A ... pa?" Ia berusaha menahan lajunya kata-kata yang tidak sopan itu, tapi ini benar-benar aneh dan buat ia terkejut. Alfian adalah anak satu-satunya Hawari yang sempat bekerja di perusahaan itu sebelum kecelakaan itu terjadi. Pria itu jadi lumpuh dan kini kabarnya tengah dalam pengobatan. Namun setahu Lana, pria itu telah menikah dengan seorang model terkenal. Kenapa tiba-tiba ia ditawari menikah dengan anak presdirnya? Apa Alfian bercerai dari istrinya?
Namun tanpa itu pun Lana akan pikir-pikir karena Alfian sangat galak. Ia perfeksionis dan otoriter. Siapa pun takkan sanggup lama-lama dekat dengannya walaupun pria itu sangat tampan. "Bu-bukankah Pak Fian sudah menikah, Pak?"
Hawari menghela napas panjang sambil memegang keningnya. "Istrinya sangat sibuk dan baru saja dapat kontrak yang mengharuskannya pergi terbang ke luar negeri secepatnya. Fian butuh orang yang bisa menemaninya pengobatan dan istrinya tidak bisa. Ada suster laki-laki yang membantunya tapi ia juga butuh perempuan. Suster perempuan semua ditolaknya karena katanya bukan muhrim. Kalau kamu menikah dengannya, mungkin dia lebih leluasa."
Lana menyipitkan mata memikirkan bagaimana menolaknya. "Kenapa harus aku sih, ya Allah ... apa gak cukup penderitaanku selama ini?"
Pria itu selalu membawa musibah bagi siapa pun karyawan yang bekerja dengannya. Termasuk Lana yang bekerja cukup lama dengannya, setahun. Setelah mendengar pria itu kecelakaan dan lumpuh separuh tubuhnya, Lana merasa penderitaannya berakhir. Namun, ternyata belum. "Kenapa Saya ya, Pak?" Lana berusaha bicara sesopan mungkin agar bosnya yang baik itu tidak tersinggung.
"Karena aku lihat, kamulah yang paling sabar menghadapi Fian dibanding karyawan yang lainnya."
Lana meremmas ujung bajunya karena menahan emosi.
Bersambung ....