Untuk yang ke sekian kalinya ia menghela napas. Sakit sebenarnya melihat Senja yang begitu dekat dengan Dilan, tetapi ia bisa apa? Raga hanya sebatas mantan yang tidak lagi mungkin untuk kembali dengan Senja. Rasanya, peluang itu sangatlah kecil.
Setidak ingin itu kini Senja menatapnya. Iya, Raga tahu, Raga paham sekecewa apa Senja pada dirinya dulu. Raga tahu sesakit apa Senja dulu. Raga mengerti setidak bisa itu kesalahannya dimaafkan. Kesalahannya memang fatal. Raga tahu. Namun, ia ingin kembali pada Senja. Ia masih mencintai gadis itu.
Egois memang. Bagaimana bisa ia dengan mudah menyakiti lantas meminta paksa ingin kembali pada Senja? Juga bagaimana mungkin akan semudah itu Senja menerima lelaki yang benar-benar telah menyakiti hatinya? Raga berpikir segampang itu ia ingin memenuhi egonya sendiri.
Rasa itu semakin menguat kala dirinya menyadari apa yang ia perbuat benar-benar salah dan pastinya menghancurkan hidup Senja, kala ingatan-ingatan dirinya yang begitu jahat pada Senja terus merasuki pikiran. Ada keinginan untuk memperbaiki. Ada penyesalan di hati.
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Kala itu Raga sadar betul dengan apa yang ia perbuat. Kekanak-kanakan memang, Raga akui. Hanya untuk bersenang-senang ia menyakiti pujaan hati. Padahal Raga jelas mengerti dengan rasa yang ada di hatinya sendiri. Namun, ego benar-benar mengalahkan semuanya.
Raga berbelok arah. Raga dengan sengaja menyakiti Senja. Mengubur hidup-hidup bahagia yang kala itu selalu tercurah kala Senja bersama Raga. Bahagia yang Senja kira akan terus berlanjut, yang Senja kira tidak akan pernah berakhir, yang Senja kira akan selamanya.
Terlintas sekelebat bayangan senyum manis Senja saat itu. Senyum yang mengembang lebar untuk dirinya. Tawanya, ah ... sungguh manis. Raga rindu Senja. Senyumnya ikut merekah mengingat itu. Namun, ia sudah tak lagi bisa menikmati keindahan makhluk Tuhan yang satu itu, kala Senja saja sudah benar-benar tidak ingin melihatnya.
Dengan tatapan yang menatap tajam ke arah game di ponselnya, pikirannya berjalan ke arah lain. Bagaimana ia bisa menarik kembali perhatian yang telah lama teralihkan? Argh ... mobil yang ia kendarai tak bisa dikendalikan. Raut muka Raga berubah tegang mencoba kembali fokus pada jalanan berkelok nan terjal di depan. Raga membanting setir hingga akhirnya mobilnya itu menerobos pembatas jalan dan masuk ke jurang.
Game over!
Raga kesal, ia melempar ponselnya, menelungkupkan kepala pada bantal dengan posisi tubuhnya seperti sedang bersujud.
Menggeram kesal. Menghela napas kasar. Ingin sekali ia menjerit. Namun, apa yang Raga rasa seserius itu?
“Kenapa, si, lo Senja, enggak mau balik sama gue!” teriaknya dalam bantal. “Gue kangen sama lo, Senja! Gue mau balik sama lo! Gue cinta sama lo, Senja!”
Jelas saja ocehan itu tidak ada arti. Tidak ada yang mendengar. Hanya diri yang semakin lara mengingat Senja yang kini sangat dekat dengan Dilan.
Lagi-lagi ia teringat kedekatan Senja dengan Dilan. Mereka terlampau dekat untuk ukuran hubungan yang “katanya” hanya sebatas teman. Jelas ia paham, mana ada persahabatan lelaki perempuan yang murni hanya berteman tanpa melibatkan perasaan?
Ah ... sungguh mengganggu pikiran.
Di lain tempat di waktu yang sama, Senja menyeberang jalan menuju toko aksesoris di hadapannya itu. Masuk, lantas mulai melihat-lihat seisi toko. Tak perlu berlama-lama, karena ia sudah tahu apa yang harus ia cari. Senja menemukan sebuah kalung dengan liontin berbentuk bunga anyelir.
“Pas banget sama peringatan hari ini,” gumamnya yang teringat makna dari liontin bunga itu dan kaitannya dengan hari ini.
Senja mengambil kalung dengan tanpa berpikir langsung saja menuju kasir untuk membayarnya.
Sesampainya di rumah, ia langsung menemui bunda yang sedang menyisir lembut rambut Tara, adiknya. Duduk di bangku taman belakang rumahnya.
Senja tersenyum senang menatap kotak kecil yang ia bawa. Ia berdiri dari kejauhan.
Bunda tersenyum ramah, menerima apa yang Senja berikan tetapi kemudian melempar keras hingga isi dari kotak itu berceceran di lantai. Kotak putih tulang dengan pita merah muda menghiasi tutup itu berisi tas cantik yang Senja beli di pasar. Hanya di pasar memang, tetapi ia membeli dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri.
“Buat apa kamu beli kaya gitu? Enggak penting!” Bunda berlalu tanpa sedikit pun memikirkan perasaan Senja yang tentunya sakit saat apa yang ia berikan pada bunda begitu saja tidak dihargai.
Senja memungut tas itu lantas memasukkannya kembali pada kotak. Sedikit air matanya mengalir, tetapi cepat-cepat ia hapus tak ingin ada orang yang melihatnya.
“Enggak apa-apa. Bunda sayang Senja, kok,” ujarnya menenangkan diri.
Tersentak Senja tersadar, bahwa apa yang ia lihat adalah bayangan di tahun lalu, tepat hari ibu setahun lalu. Ia tidak ingin berpikiran buruk. Apa yang terjadi di tahun lalu tidak mungkin akan terulang kembali.
Senja mendekat. “Bunda,” panggilnya lirih berharap sang bunda menyambutnya senang. Namun, hanya tatapan sinis yang ia dapat.
Lirikan sinis dari bunda sangat menyayat hati sebenarnya. Bagaimana tidak jika selama ia hidup belum pernah sekalipun mendapat sambutan hangat dari sang bunda? Tentu saja ia inginkan hal itu.
Senja tidak mengerti, mengapa bunda tidak menyukainya? Bukankah Senja juga anak bunda? Senja lahir dari rahim bunda, ‘kan? Akan tetapi, mengapa sikap bunda padanya berbeda dengan sikap bunda pada Tara?
Ia iri. Senja iri dengan adiknya sendiri. Bahkan bukan hanya bunda, tetapi juga ayah. Mereka selalu saja memanjakan Tara dan melupakan dirinya. Aneh. Akan tetapi memang itu yang terjadi. Ia selalu saja mendapat perlakuan tidak adil dari kedua orang tuanya.
Senja mengeluarkan kotak sederhana berisi kalung yang ia beli tadi. “Selamat hari ibu, Bunda!” serunya antusias.
Tanggal 22 Desember, hari ibu. Rutin Senja membawakan hadiah setiap tahunnya untuk sang bunda. Berharap dengan begitu hati bunda akan mencair. Namun, respons bunda selalu seperti itu. Selalu sama setiap tahunnya. Tak acuh.
Jika tahun kemarin lusa ia mendapat amarah, tahun kemarin kado yang ia berikan di lempar, maka tahun ini ia benar-benar tidak dihiraukan.
Bunda tidak meliriknya sedikit pun, tidak menjawab, dan terus saja menyisir rambut Tara yang sebenarnya sudah sangat rapi.
Ingin Senja memberontak. Bertanya, mengapa bunda tidak pernah meliriknya? Mengapa bunda selalu saja memberinya perlakuan berbeda? Namun, ia hanya terus meyakinkan diri bahwa bunda menyayanginya. Entah di bagian mana Senja bisa berpikir seperti itu. Senja terus menahan diri, menyadarkan diri bahwa adiknya lebih butuh perhatian dari bunda.
“Ini buat Bunda,” ujarnya pelan. Kali ini Senja meletakkan kotak kecil yang digenggamnya sedari tadi ke sebelah bunda duduk. Lantas ia berjalan menjauh, tidak ingin lebih menyakiti hatinya sendiri dengan terus berada di situ.