Bab. 6 Kado untuk Bunda

1027 Kata
Senja berjalan menuruni anak tangga. Dilihatnya bunda yang tengah memasak di dapur. Gadis dengan rambut yang diikat seperti ekor kuda itu berlari kecil menghampiri bunda. Senja memeluk bunda dari belakang membuat bunda harus menghentikan pekerjaannya. "Lepas, Senja." Titah bunda dengan nada dingin. Senja pun menurut karena tidak ingin membuat bunda marah. Gadis itu perlahan menurunkan kedua tangannya. Masih dengan senyuman yang terus mengembang meskipun bunda tidak berbalik badan untuk melihatnya. Senja pun menilik apa yang di masak oleh bunda. Mata gadis itu berbinar cerah. Sup ayam kesukaannya. Apa bunda sedang berbaik hati sampai dia memasakkan sup itu untuknya? Ah, tidak. Bunda selalu baik padanya. "Wahh... Bunda kok tau kalo Senja lagi pengen sup ayam?" ujarnya senang. Bunda mengernyitkan keningnya tak suka. "Ini buat Tara bukan buat kamu," ketusnya. Senja melipat bibirnya ke dalam menelan pil kecewa. Ternyata sup itu untuk adiknya. Namun sedetik kemudian, ia kembali mengulas senyum. "Kalau Senja minta sedikit boleh?" tanyanya dengan penuh harap. "Kamu denger nggak sih tadi bunda bilang apa?!" bentak bunda membuat Senja tersentak kaget. Gadis itu langsung menundukkan kepalanya dalam. Tak berani menatap bunda sedikitpun. "Maaf, Bun." lirihnya. "Minggir," ujar bunda sembari mendorong bahu Senja keras. Terlihat bunda sedang mengambil mangkuk untuk sup itu. Senja yang melihat itu hanya bisa menelan salivanya. Padahal ia juga sangat lapar. Tapi tidak apa-apa. "Bunda, gimana sama kado yang Senja kasih?" tanya Senja ketika teringat dengan kado yang kemarin ia berikan untuk bunda. "Tuh," kata bunda dengan tangan menunjuk ke arah kotak sampah. Kemudian melenggang pergi menuju kamar Tara. Senja segera berlari menuju kotak sampah dan mengambil kado yang kemarin ia berikan untuk bunda. Bahkan kado itu masih terlihat rapi. Bunda belum melihatnya sama sekali. Rasa sesak mulai mendominasi. Air mata mulai turun tanpa Senja sadari. Namun dengan cepat gadis itu mengusapnya kemudian mengulas senyum lagi. "Mungkin bunda belum mau buka sekarang. Mending aku simpen dulu kado ini," ujarnya kemudian berlari menuju ke kamarnya. Senja membuka lemari dengan perasaan sedih. Menatap beberapa kado yang dulu sempat di buang oleh bunda. Ia sengaja menyimpan kado-kado itu karena ia yakin suatu saat, bunda pasti mau menerimanya. Senja meletakkan kado yang ada di tangannya bersama kado yang lainnya kemudian menutup lemari kembali. Pandangannya terarah pada jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul tujuh pagi. Ia harus segera berangkat sekolah. Ia pun berniat menghampiri bunda yang berada di kamar Tara. Sesampainya di depan kamar Tara, gadis itu sempat tertegun melihat bagaimana sayangnya bunda terhadap Tara. Bahkan Senja saja belum pernah diperlakukan seperti itu oleh bunda. Rasa iri kembali menyeruak namun dengan cepat Senja menghilangkannya. Ia tidak boleh iri dengan adiknya sendiri. "Bunda," panggilnya mendekati bunda yang tengah menyuapi Tara. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk salim ke arah bunda. "Senja mau berangkat," ujarnya sembari tersenyum. "Kamu nggak lihat bunda lagi ngapain?" tanya bunda dengan nada yang cukup tinggi. Senja dengan terpaksa menarik tangannya kembali. Ia pun tersenyum lalu mengecup singkat pipi bunda. "Senja sayang Bunda." Kemudian gadis itu langsung keluar dari kamar Tara. Saat di ujung tangga, ia bertemu ayah. Sepertinya akan berangkat ke kantor. Tak lupa gadis itu menyalimi ayah. "Senja berangkat, Yah." "Hati-hati," ujar ayah membuat Senja tersenyum senang. Kemudian ia pun mengecup singkat pipi ayahnya. "Senja juga sayang Ayah," ujarnya lalu pergi dengan perasaan bahagia. *** "Pagi, Senja!" Senyum yang sejak tadi menghiasi wajah Senja langsung luntur saat melihat penampakan wajah Raga di depan gadis itu. Wajahnya berubah menjadi ketus. "Awas, Senja mau lewat," usirnya pada Raga yang menghalangi jalan Senja. Namun bukannya menyingkir, Raga malah semakin mendekatkan diri pada Senja. "Masih pagi jangan galak-galak, Ja. Makin cantik nanti," godanya sembari mengerlingkan sebelah matanya. Senja memutar kedua bola matanya malas mendengar ocehan Raga yang tidak penting itu. Bisa-bisanya ia dulu menyukai Raga yang playboy seperti itu. "Minggir, Ga. Denger nggak, sih?" ujar Senja kesal karena Raga terus mengusiknya. "Gimana kalo senyum dulu? Gue pengen lihat senyum manisnya Senja Aluna," kata Raga memberi penawaran. "Senja aduin ke Dilan, ya?" ancam Senja membawa nama Dilan. Karena ia tahu, untuk melawan Raga hanyalah dengan nama Dilan. Raga tampak mendecak kesal mendengar nama Dilan. "Nggak asik, ah. Ngapain sih bawa-bawa nama Dilan? Sekali-kali bawa nama gue kek." "Males. Nama Raga itu terlalu bagus buat playboy kaya Raga!" Kemudian setelah mengucapkan itu, Senja berlalu pergi meninggalkan Raga yang masih mematung. Tatapan lelaki itu tak lepas dari punggung Senja yang semakin menjauh. Gadis semanis dan sebaik itu, bagaimana bisa dulu Raga malah mengkhianati cintanya? Kalau saja waktu bisa di ulang, Raga tidak akan pernah menyia-nyiakan gadis sebaik Senja. Lihatlah sekarang, bahkan untuk sekedar melihat pun rasanya Senja enggan. Memang itu pantas ia dapatkan. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya agar Senja mau memaafkan dirinya. Ia juga ingin Senja kembali ke pelukannya. Meskipun harus berurusan dengan Dilan. Dilan. Satu nama yang mengubah seluruh kehidupan Raga. Orang yang sangat ia benci di muka bumi ini. Dilan adalah penyebab kehancuran dirinya. Membuat rasa dendam semakin memenuhi isi hatinya. Sementara itu di kelas Senja, gadis itu baru saja meletakkan tas ranselnya di atas kursi. Dilihatnya Dilan yang tengah mengobrol dengan beberapa teman sekelasnya di bangku pojok belakang. Tampaknya lelaki itu tidak menyadari kedatangan Senja. "Senja, tuh." Yogi tampak menggendikkan dagunya ke arah Senja. Dilan pun langsung mengalihkan pandangannya dan bergegas menyusul gadis itu. "Kenapa lama?" tanyanya sembari duduk di bangku. Senja yang tengah membaca buku langsung mengalihkan pandangannya sebentar. "Kesiangan," kilahnya. Dilan mengernyitkan dahinya. Kesiangan? Tidak biasanya Senja kesiangan. Biasanya gadis itu akan berangkat lebih pagi dari dirinya. "Kenapa kesiangan? Biasanya juga Lo berangkat pagi?" "Tadi bunda masakin Senja, jadinya Senja sarapan dulu. Makanya kesiangan. Masakan bunda enak tau. Senja sampe makan berkali-kali," katanya dengan wajah yang bahagia. Sedikit sulit untuk dipercaya oleh Dilan. Sesuatu yang tidak mungkin kalau bundanya Senja sebaik itu membiarkan Senja makan berkali-kali. Bukannya apa, beberapa kali Dilan memergoki Senja yang tidak diperbolehkan makan oleh bundanya. "Bunda baik ya, Ja?" tanya Dilan. Senja mengangguk dengan semangat. "Jelas dong. Bunda memang baik. Dilan tau kado yang kemarin Senja kasih ke bunda? Sekarang kadonya di simpen sama bunda. Senja seneng deh," lagi, gadis itu kembali menjelaskan tentang bundanya dengan raut wajah yang bahagia. Membuat Dilan merasa tersentuh. Senja seperti tidak mau membuat bunda di cap buruk oleh orang-orang kalau tahu bagaimana perlakuannya terhadap Senja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN