Mobil Xpander putih itu terparkir tepat di depan minimarket, seorang pria dengan celana pendek bahan warna mocca dan kaos v neck warna hitam turun dari sana lalu berjalan santai memasuki toko.
Setelah memilih minuman yang dia mau, pria itu baru saja akan berbalik dari hadapan showcase saat tubuhnya langsung bertabrakan dengan seseorang. Ah, lebih tepatnya ditabrak.
"Maaf," ucap pria itu sambil mengambil beberapa mie instan milik sang gadis yang terjatuh lalu menyerahkannya, respon gadis itu hanya diam melirik sekilas lalu menuju kasir. Padahal kalau dilihat-lihat yang salah sebenarnya gadis itu.
Si pria hanya menatap heran, entah kenapa bibirnya malah tersenyum, lalu kembali dia memilih beberapa snack sebelum akhirnya menuju kasir.
***
Devasya menatap ngenes pada struk belanjaannya, walau harus mengeluarkan uang tak lebih dari seratus ribu tetap saja itu beban tersendiri.
Apa lagi ini?
Devasya mengelus dadanya, motor tak kunjung menyala setelah beberapa kali usaha. Devasya terus saja mengumpat dalam hati, karena kesialannya yang bertambah satu lagi.
Tiba-tiba seseorang menghampirinya.
"Mogok, Mbak?" tanya pria setengah tua yang berpakaian seperti seorang sopir.
Devasya mengangguk. "Sepertinya iya, Pak."
Bapak itu menawari bantuan, sebenarnya Devasya merasa tak enak jika merepotkan. Tapi, karena motornya tak kunjung bisa menyala, Devasya pasrah.
Karena tak banyak membantu, Devasya akhirnya pamit untuk membawa motor matic kesayangannya itu ke bengkel yang berada tak jauh dari minimarket.
Saat akan beranjak, seseorang menahannya. "Biar aku lihat," katanya sambil menyerahkan kantong plastik putih itu ke bapak sopir tadi.
"Nggak usah, makasih. Di sana ada bengkel." Devasya menolak bantuan pria itu dan berlalu setelah pamit lagi pada bapak tadi.
Devasya menuntun motornya menuju bengkel dengan perasaan kacau,
Uang udah ngepas banget, pake mogok segala, nasib ... nasib.
"Apanya yang rusak, Pak?" tanya Devasya setelah motornya dibongkar tukang bengkel.
Sambil terus mengamati, tukang itu berkata, "Aki sama busi, Mbak."
Devasya mendengus lirih. "Berapa kira-kira biayanya, Pak?"
Dahi pria yang Devasya tebak berusia sekitar lima puluh tahunan itu berkerut. "Kurang lebih 300 ribuan, Mbak."
Waduh, 300 ribu? Bisa buat makan dua minggu.
"Ya udah deh, Pak. Minta tolong, ya." Akhirnya Devasya pasrah, bagaimanapun dia memerlukan motor ini untuk berkeliling mencari pekerjaan. Ya, sudah dua minggu dia berhenti bekerja karena toko yang dia jaga tutup total karena pailit.
Devasya melirik lemas pada dompetnya, hanya ada empat lembar uang kertas warna merah dan empat lembar uang kertas warna biru, juga ada beberapa lembar uang abu-abu, ya ... seabu-abu perasaannya sekarang.
Sampai dirumah, Devasya langsung masuk kamar, tak lupa dia meletakkan asal belanjaannya yang hanya berupa keperluan mandi dan mie instan aneka rasa itu di meja dekat ranjangnya.
Ya Tuhan, semoga ada keajaiban, doanya dalam hati.
"Devasya, Sayang …. Bisa tolong bude, Nak?" Devasya tinggal bersama budenya, kakak tertua dari almarhum sang ibu yang juga hidup semata wayang. Mirna– Bude Devasya–pernah menikah, namun gagal karena orang ketiga tanpa mendapat keturunan.
"Ada apa, Bude?" Devasya menuju dapur, dimana sang bude terlihat sedang merapikan sesuatu.
Mirna tersenyum. "Tolong antarkan lontong sayur ini ke tetangga baru di pojok sana." Mirna menunjuk ke arah yang dimaksud.
Walau sebenarnya Devasya sangat lelah, tapi tetap dia laksanakan perintah budenya dengan tulus. "Oh, siap, Bude."
"Itu rantangnya nggak usah diminta, biarin aja," teriak Mirna sesaat sebelum Devasya mencapai pintu.
Devasya mengangguk. "Oke, Bude," jawabnya sambil berlalu.
Devasya melangkah riang, dia lupakan sejenak penatnya karena urusan motor dan sisa berapa lembar jumlah uang dalam dompet. Menatap rumah yang sering kali dia lewati namun tak pernah sekalipun dia lirik.
"Permisi," sapa Devasya dari pagar.
"Permisi …" ulangnya sekali lagi karena tak mendapat respon.
Tak lama, seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampiri, "Iya, sebentar," jawabnya sambil tersenyum, lalu membuka pagar dengan pelan.
"Maaf, saya sedang di kebun belakang, agak tidak terdengar," katanya dengan senyum ramah yang membuat Devasya tertegun beberapa saat.
Walau sudah tidak muda, tapi masih tetap terlihat cantik, batin Devasya.
Devasya menggeleng. "Nggak apa, Tante .… Maaf juga mengganggu, ini saya tinggal di sana, mau memberi ini dari Bude saya." Devasya menoleh ke arah rumahnya lalu menyerahkan rantang tersebut pada Dini–wanita paruh baya tadi.
Mata Dini berbinar, tak menyangka akan mendapat penyambutan ramah sebagai orang baru di sini. "Waaah, terima kasih. Ayo masuk, saya ganti dulu rantangnya."
Devasya lagi-lagi menggeleng. "Oh, nggak perlu, Tante, kata Bude rantangnya nggak perlu dikembalikan."
Tapi, Dini terus memaksa, dia raih lengan Devasya dan menuntunnya masuk. "Beneran? Waaah, makasih. Tapi, masuk dulu sebentar aja."
Akhirnya, Devasya menurut saja, mengikuti langkah Dini sambil memindai sekeliling. Rumah ini terlihat kecil dari luar, ternyata luas juga dalamnya, malah sepertinya lebih luas dari rumahnya.
"Nama kamu siapa?" tanya Dini saat mereka sudah sampai di meja bar dapur.
Devasya tersenyum, lantas menjawab, "Saya Devasya, Tante. Tante sendiri namanya siapa?" tanya balik Devasya.
"Saya–" Belum selesai menjawab, Dini harus memotong kalimatnya, karena dia mendengar bunyi klakson mobil.
Dini menoleh ke arah pintu lalu kembali menatap Devasya. "Sebentar, Sayang. Sepertinya itu anak saya baru datang." Dini beranjak, diikuti Devasya.
"Oiya, Tante, sekalian kalau gitu saya pamit pulang, ya." Devasya tersenyum canggung.
Dini mengangguk juga sambil membalas senyuman Devasya. "Sekali lagi, Makasih kirimannya, salam buat bude kamu, ya." Dini mengusap lembut pundak Devasya. Menyalurkan perasaan hangat dihatinya.
Devasya balas mengangguk dan berlalu.
"Mama," panggil seseorang dari luar.
Maxel dan Devasya berpapasan. Sesaat, mata mereka saling memandang, lalu Devasya menunduk tanda hormat, sambil terus berjalan keluar. Devasya tak mengingat Maxel, tapi Maxel sangat mengingat Devasya.
"Siapa, Ma?" tanya Maxel.
"Tetangga," jawab Dini singkat.
Maxel tersenyum. "Cantik," gumamnya.
"Apa?"
"Enggak, Ma."
Pertemuan yang terlihat wajar-wajar saja pada awalnya, tanpa konflik atau sesuatu yang meninggalkan kesan mendalam. Tapi, siapa yang tahu, jika awal yang baik-baik saja itu, membawa Devasya pada luka yang mungkin tidak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidupnya.
***
Devasya terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi itu terasa begitu nyata, Ah, itu bukan mimpi tapi memang pernah terjadi, tepatnya terjadi satu tahun lalu, saat semuanya masih terasa indah dan baik-baik saja.
Devasya kembali meraba perutnya yang tak lagi rata dan sudah berkali-kali dia merasakan gerakan kecil di sana.
"Maafkan, Mama, Sayang."
Devasya yang dulu dipenuhi oleh cinta, perhatian dan kasih sayang Maxel, seketika terpuruk dan kembali sendirian. Berjuang demi dua nyawa yang dititipkan Tuhan dalam rahimnya.
"Aku nggak akan pergi dari hadapan kamu, Maxel. Kamu yang udah milih buat berpaling dan aku pastikan kamu juga yang akan menyesal."
Devasya bangkit dari tidurnya, bersandar pada kepala ranjang yang tak senyaman miliknya di rumah. Rumah? Mungkin Devasya tak akan lagi menganggapnya rumah itu pernah ada. Ya, rumah Maxel.
"Aku akan buat kamu tersiksa dengan kehadiran kami." Lagi-lagi dia mengumpat.
Jauh didasar hatinya, dia berharap Maxel hanya bercanda atau ingin memberinya kejutan saja. Tapi, ini sudah dua minggu, Maxel tak terlihat batang hidungnya. Bahkan, ponsel Devasya pun tak pernah berdering selain dari Dini dan Mirna, yang sepertinya tak tahu bagaimana keadaannya sekarang, yang mereka tahu, dia sedang bahagia di sisi Maxel.
"Ingat itu, Maxel! Kamu bakalan nyesel udah main-main sama aku." Hanya kalimat itu yang berulang kali Devasya ucapkan sebagai penguat dirinya.
Devasya memejam, mengingat bagaimana ia dicampakkan begitu saja oleh Maxel, bahkan dia sama sekali tidak tahu alasan apa yang mendasari perubahan sikap Maxel padanya hari itu.
Saat itu ....
"Kita akan memberi kejutan pada Papa kalian di kota. Kalian sudah mulai bergerak dan mama mau Papa juga menjadi orang pertama setelah mama yang merasakan pergerakan lucu kalian." Devasya berceloteh riang sambil menatap cermin besar di kamarnya. Dia sudah tak sabar menemui Maxel yang sudah satu minggu ini belum pulang.
Ya, walau Maxel tak pernah telat memberi kabar, tetap saja Devasya merasa sangat merindukan pria itu.
Sesampainya di kota, Devasya berjalan santai menuju kantor suaminya, selama perkenalan bahkan sampai setelah pernikahan, Maxel memang tidak pernah membawanya ke kota, Devasya hanya mendengar apa saja pekerjaannya dari cerita Maxel, dan memang Maxel pun melarang keras Devasya yang selalu ingin ikut. Alasannya, selama di kota Maxel harus konsen bekerja agar segera menyelesaikan urusan untuk bisa cepat pulang dan kembali menemani Devasya.
"Kita sudah sampai, Sayang." Devasya mengelus lagi perutnya. Karena kelelahan dan lapar, maka sebelum menemui Maxel, dia memilih ke minimarket untuk membeli beberapa potong roti dan minuman s**u kotak dingin. Menikmatinya sejenak lalu kembali ke pelataran kantor yang tak besar tapi juga tidak bisa dibilang kecil.
X-Trans, nama bisnis travel yang sudah digeluti Maxel sedari muda, bisnis yang awalnya hanya memiliki satu mobil elf yang disewakan, sekarang bahkan sudah memiliki puluhan cabang dan ratusan elf yang tersebar di seluruh negeri.
Maxel adalah lulusan SI manajemen bisnis, prestasinya cukup gemilang di usia yang baru menginjak 27 tahun. Alih-alih melanjutkan kuliah S2, Maxel lebih memilih membesarkan usahanya.
"Permisi, Mbak. Mau ketemu siapa?" sapa seorang security pada Devasya yang masih tercengang di dekat pintu gerbang kantor X-Trans.
"Pak, saya mau bertemu suami saya," jawab Devasya dengan polosnya.
Security itu mengernyit. "Suami?"
"Ah, maaf. Maksud saya, Maxel." Devasya mengucapkannya dengan yakin.
Security itu kembali mengernyit. "Maaf, Anda lebih baik pulang, karena setahu saya, Pak Maxel belum menikah," katanya lantang.
Deg!
"Tapi, saya benar adalah istrinya, saya sedang mengandung anaknya." Devasya mengelus perutnya yang walau baru empat bulan tapi sudah terlihat besar karena hamil kembar.
"Banyak yang mengaku demikian, tapi ternyata mereka berbohong. Mbak, pasti sama seperti mereka. Lebih baik, Mbak pulang, atau saya akan panggil polisi."
Polisi?
Devasya tertegun, antara dia salah kantor atau memang Maxel tidak mengaku pada karyawannya jika memang sudah menikah?
Dua mobil tiba-tiba masuk dari arah jalanan, dan itu memaksa Devasya untuk menepi dan si security tadi terlihat berlari dan sibuk membantu membuka pintu mobil yang baru saja tiba.
Mata Devasya menangkap sosok Maxel di sana, terlihat tampan dengan memakai setelan jas hitam yang berkemeja putih di dalamnya.
Serta merta Devasya berlari. "Maxel!" panggilnya sekuat tenaga. "Tunggu!" teriaknya lagi.
Si pemilik nama menoleh ke arah suara, dia sangat terkejut.
Bagaimana bisa Devasya ada disini? gumam Maxel khawatir.
Sedang bersama Maxel ada beberapa kolega bisnis yang memang hari ini Maxel undang untuk makan siang bersama di kantor, sekalian membicarakan tentang kerjasama tentunya.
Ini nggak akan baik!
"Maxel!" Devasya mendekat, berhenti hanya beberapa langkah dari posisi Maxel berdiri, mengatur nafas lalu mengelus lagi perutnya yang terasa sedikit kencang.
"Maxel, aku–"
"Apa, Anda mengenalnya, Pak Maxel?" tanya security memotong.
Maxel menatap nanar pada mata Devasya. "Tidak! Aku tidak mengenalnya, suruh dia pergi." Maxel berlalu begitu saja.
"Maxel! Kamu benar Maxel 'kan? Aku Devasya, istrimu! Satu minggu kamu pergi dan kamu udah lupa sama kami?" kata Devasya hampir menangis.
Maxel berhenti, tapi pandangannya lurus, tak mampu menatap mata Devasya. "Maaf, Nona. Aku tidak mengenalmu," katanya tegas.
"Maxel!" Bentak Devasya. "Aku mengandung anakmu!" teriaknya.
Seisi kantor terlihat kasak kusuk, Maxel makin takut, takut jika ada yang mengetahui dirinya telah menikah dengan Devasya, itu tidak akan baik untuk keduanya.
"Anda jangan bermimpi, Nona. Aku belum menikah, dan sudah dipastikan dia bukan anakku!"
Bagai disambar petir, Devasya lemas, lututnya tak lagi mampu menopang tubuh berbadan duanya itu, ah, lebih tepatnya berbadan tiga.
Dia terduduk di lantai mengabaikan rasa malu dan harga dirinya, menatap punggung Maxel yang semakin menjauh, punggung yang selama ini begitu dia rindukan, juga mengabaikan panggilan security yang menyuruhnya pergi bak wanita hina yang meminta pertanggung jawaban laki-laki yang telah menidurinya.
Tidak! Aku bukan wanita seperti itu, aku istrinya, kami menikah secara sah.
Devasya ingin mengelak, tapi semua itu hanya mampu dia teriakkan dalam batinnya.
***
Di dalam ruangannya Maxel terlihat gelisah, dia harus melindungi Devasya dan kedua anak dalam kandungannya, yang mana sekarang bisa saja rekan bisnis yang bisa jadi mata-mata itu akan melaporkan kejadian ini pada seseorang itu, seseorang yang belum Maxel ketahui siapa pastinya, dan Maxel takut seseorang itu akan mencelakakan Devasya.
Dalam hati Maxel merutuki dirinya yang tadi begitu kasar pada Devasya. Dia harus menahan diri untuk meninggalkan kantor karena acara jamuan justru baru saja dimulai. Saat ini, dia harus berusaha setenang mungkin, dan menampakkan raut wajah datar, seperti tak terpengaruh akan kejadian tadi.
Maxel benar-benar tidak ingin sosok kejam itu mengetahui statusnya sekarang. Maxel juga merutuki kenekatan Devasya yang menemuinya langsung ke kota, tanpa mengabarinya terlebih dahulu.
Kenapa, Sya? Kenapa nggak nunggu aku datang aja? Kenapa kamu malah kesini? Aku tahu kamu terluka. Dimana kamu sekarang, Sayang?
Memang, tak lama dari pertemuan Maxel dengan Devasya tadi, Maxel sempat mengetikkan sebuah pesan pada salah satu orang kepercayaannya–Nendra, memberi perintah untuk segera mengikuti kemana pun Devasya pergi. Tapi, sampai saat ini belum ada kabar lagi dari Nendra.
Aku bisa gila, kapan pertemuan ini akan berakhir?
Tak sabaran, Maxel menyembunyikan gusar dengan tetap duduk tenang, tapi tak lama dia pamit sejenak untuk ke toilet. Dalam hati Maxel bimbang untuk menghubungi Devasya secara langsung, karena dalam pikirannya jika Devasya tahu dia hanya berpura-pura, maka Devasya pasti akan datang kembali kesini untuk meminta penjelasan. Maxel sangat tahu, Devasya bukan tipe perempuan yang mudah menyerah.
Maxel memilih menghubungi Nendra. "Bagaimana?" tanyanya dengan sedikit berbisik.
"Dia hanya duduk diam di halte, Bos," jawab Nendra tak kalah lirih.
"Dari tadi?"
"Iya, Bos. Sedari tadi, Nyonya hanya termenung."
"Ikuti dia terus. Jangan sampai kehilangan jejak, kamu ngerti?" perintah Maxel tegas.
"Baik, Bos."
Maafkan aku Devasya, maafkan papa, Nak.