Prolog

228 Kata
"Bagaimana bisa aku begitu percaya dan menjatuhkan hati terlalu dalam!" Devasya Wirawan sudah lelah menangis, mata sayu itu menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, terlihat mengenaskan dengan perut buncit, kelopak mata bengkak, sklera memerah, dan rambut yang tak lagi tertata rapi. Setelah dua hari lalu dengan sangat tega suaminya sendiri–Maxel Adinata, menolak mengakuinya dan bayi kembar mereka yang masih berusia 4 bulan dalam kandungan. "Kamu akan menyesal, Maxel!" pekiknya sambil mengelus perut, bayinya baru saja bergerak-gerak lembut. Harusnya ini jadi momen yang paling membahagiakan, sayangnya tidak. Maxel, menghancurkan kebahagiaan itu seketika. Selama ini, Devasya tumbuh sebagai perempuan yang kuat, tidak mudah menyerah, mandiri, dan apa adanya. Baru kali ini dia merasakan jatuh sejatuh-jatuhnya, bahkan lebih menyedihkan dari saat dia kehilangan kedua orang tua. Maxel, seolah membuang serta menghempas keras perasaannya, setelah sebelumnya memberi cinta, kasih sayang, perhatian, juga kehangatan yang seperti membawanya melayang ke nirwana. "Kita akan berjuang, Sayang. Mama nggak mau kayak gini terus, apalagi harus menyiksa diri dengan berlarut-larut dalam kesedihan." Devasya menyusut air matanya. "Kalian berhak bahagia dan tumbuh dengan baik," katanya lagi. "Bahkan jika itu tanpa kehadiran … Papa." Lagi, air mata itu menetes. Devasya yakin, tanpa bantuan Maxel bahkan keluarga, dia bisa merawat juga membesarkan kedua bayi kembarnya, dan dia berjanji, akan membuat Maxel menyesal dengan keputusannya. Itu artinya Devasya juga akan menyiksa dirinya sendiri, karena harus berjuang melawan, rindu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN