Terkadang kita terpaksa mengingat hal yang tidak ingin kita ingat.
Masih tentang masa indah itu.
"Sayang," panggil Mirna saat Devasya baru saja sampai rumah setelah setengah harian bekerja.
"Iya, Bude." Devasya mendekat, budenya itu sedang sibuk di dapur, entah mengerjakan apa, yang tentu saja itu terlihat aneh, mengingat sekarang sudah pukul delapan malam.
"Besok, mamanya Maxel mau main ke sini. Sebenarnya dia minta bude untuk nggak ngasih tahu kamu, tapi menurut bude kamu perlu tahu," jelas Mirna panjang lebar.
Devasya mengernyit. "Mau ngapain, Bude?"
Tentu saja Devasya merasa heran, mau main saja kenapa dia perlu tahu?
"Ya, cuma mau ketemu kamu aja katanya," jawab Mirna yang terkesan hanya asal, lalu dia tersenyum penuh makna.
Devasya mengangguk-angguk kecil. "Begitu? Oke, Bude. Besok Devasya libur, kok."
Mirna menatap Devasya yang kelihatan sedang termenung. "Kamu gimana sama, Maxel?" tanyanya yang seketika membuat mata Devasya membulat. Sepertinya, dia mulai mengerti arti 'main' yang tadi budenya itu katakan.
"Hah? Aku? Nggak gimana-gimana, Bude," kilah Devasya sambil tersenyum canggung. Devasya sendiri tidak tahu pasti bagaimana perasaannya saat ini.
Lagi-lagi Mirna tersenyum penuh arti, kemudian dia berlalu, setelah sebelumnya menepuk sekilas bahu Devasya.
Aku harus gimana sekarang? Kayaknya anak sama ibunya sama-sama mau PDKT.
***
Walau katanya mama Maxel hanya akan main dan ketemu Devasya saja, nyatanya wanita yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu malah membawa banyak barang.
Ini sih, lebih ke seserahan ketimbang bawaan berkunjung biasa, batin Devasya tak percaya dengan apa yang dia lihat di meja tamu.
Dan apa kabar Devasya yang hanya memakai pakaian santai yang lebih mirip daster bali ketimbang pakaian resmi yang lebih formal.
"Ya ampun, kenapa nggak bilang?" bisik Devasya dengan nada kesal pada Maxel, jangan lupakan mata Devasya yang melotot.
Maxel terkekeh, "Kalau bilang, nggak surprise, dong." Maxel malah menggoda Devasya dengan meninggikan suaranya.
Devasya mencubit lengan Maxel dengan susah payah, sayangnya dia tidak berhasil, lengan itu terlalu keras, Devasya memilih memukulnya, Maxel meringis.
Lumayan juga tenaganya, batin Maxel dengan masih menahan tawa.
"Tau gitu 'kan aku nggak pake daster kayak gini, Bude." Devasya melirik tajam ke arah Maxel.
Tentu saja tingkah mereka juga membuat Dini terkekeh. "Sudah, jangan bertengkar. Kayak gini aja kamu udah cantik, Kok." Mama Maxel itu ikut menimpali.
"Tante … maaf … saya beneran nggak siapin apa-apa," kata Devasya terjeda-jeda.
Benar saja, Devasya sama sekali tidak mempersiapkan apapun bahkan tidak mempersiapkan dirinya sendiri.
Duh lah, ini pasti Maxel yang minta, lagi-lagi Devasya menggerutu dalam hati.
"Tenang, semua udah disiapin sama, Jeng Mirna. Iya 'kan, Jeng?" tanya Dini ke arah Mirna yang dijawab dengan anggukan pasti.
Devasya hanya tersenyum kaku, dia membatin, sepertinya mereka memang sudah bekerja sama dari awal.
Keempatnya berbincang santai di ruang tengah, tapi ada yang sedikit aneh kali ini. Devasya merasa, dari tadi Maxel tidak seberapa antusias terlibat dalam obrolan dan malah terkesan murung, dia lebih banyak menunduk dan diam, membuat Devasya makin bertanya-tanya.
Tumbenan tuh cowok nggak bikin rusuh? Biasanya–
"Baby …." Maxel akhirnya bersuara.
Belum selesai Devasya membatin, Maxel sudah mulai membuat onar.
"Maxel!"
Dini dan Devasya, sama-sama memekik. Merasa Maxel terlalu berlebihan dalam memanggil 'mereka' kali ini.
Tunggu, memanggil siapa?
"Maaf ya, Devasya. Maxel biasa manggil mamanya dengan sebutan Baby. Jadi kebiasaan, deh," ucap Dini yang seketika membuat wajah Devasya memerah.
Jadi, dia tadi manggil mamanya bukan manggil aku? Sumpah! Awas kamu Maxel! Aku benci panggilan itu.
"Tapi maaf, Mama, kali ini aku nggak lagi manggil mama, aku manggil, Devasya." Maxel dengan entengnya berkata demikian.
Blush! Belum selesai angannya, Maxel kembali membuatnya merona. Kalau saja tidak ada orang, sudah dia pukul Maxel dengan sangat keras.
Maxel melirik Devasya lalu tersenyum jahil.
"Tante, Bude, Devasya ke belakang dulu, ya," pamit Devasya yang ternyata diikuti Maxel.
Devasya menoleh ke belakang, melihat heran pada Maxel yang malah tersenyum. "Ngapain ikut?"
"Mau bantu kamu."
Devasya menghentikan langkahnya, berbalik lalu sedikit mendekatkan diri pada Maxel. "Kamu tuh, bener-bener, ya? Apa-apaan semua ini? Kamu bilang satu bulan 'kan? Ini masih tiga minggu, lho." Devasya berucap sedikit lirih tapi penuh penekanan.
"Hei, Baby … santai, ini bukan lamaran. Kami hanya main." Maxel menjawab dengan santai dan berlalu meninggalkan Devasya untuk menuju dapur.
Devasya cepat-cepat menyusul Maxel. "Main aja kenapa bawa-bawa segitu banyak? Dihias-hias pula? Satu lagi, jangan panggil aku, Baby! Aku nggak suka," ucap Devasya tegas, tersirat kemarahan di wajahnya.
Bagaimanapun, Maxel tidak seharusnya diam seperti ini, Devasya merasa sungkan karena tidak melakukan sambutan yang pantas, terutama untuk mama Maxel.
Maxel terbahak. "Ouw...kalau itu bukan mauku, tapi maunya calon mertua kamu. Kalau manggil Baby, itu baru mauku."
"Haish, Maxel! Aku nggak lagi becanda. Mana aku cuma pake daster pulak." Bibir Devasya mengerucut, sudah kepalang tanggung untuk marah, mereka sudah datang dan sudah melihat keadaannya yang memang amat sangat apa adanya.
Maxel mendekat, menyibak anak rambut Devasya di kening lalu menyelipkannya di balik telinga. "Its enough, kamu cantik mau pake apa pun."
Bahkan mungkin kalau nggak pake apa pun, batin Maxel diikuti senyum jahil.
"Nggak usah gombal! Nggak mempan."
Setelah mengucapkan itu Devasya mulai menyiapkan cemilan untuk tamu istimewanya, sambil sesekali menimpali candaan Maxel yang terus menggoda Devasya hingga wajahnya merah padam.
Ekspresi Devasya memang memberengut, tapi siapa yang tahu, jika di dalam hati, Devasya malah tersipu dan berbunga-bunga. Ya, begitulah … kadang hati, otak dan bibir tidak berjalan kompak.
"Nak, Devasya. Tujuan Tante kesini cuma mau meyakinkan kamu sekali lagi, meyakinkan kalau Maxel benar-benar serius sama, Nak Devasya."
Devasya bergeming, menunduk dan memainkan jarinya. Sejauh ini Maxel memang tidak, ah, maksudnya belum membuatnya kecewa atau tidak nyaman. Hanya saja ego Devasya yang masih menahannya untuk menerima perasaan Maxel.
Devasya yang memang belum pernah dekat bahkan pacaran itu jelas saja meragu, sekalinya dekat dengan laki-laki, tapi langsung diajak nikah. Walau tak memungkiri, Devasya menyukai tipe laki-laki to the point seperti Maxel. Walau pada awalnya Devasya memang menilai Maxel sebagai pria tukang gombal.
Devasya terlalu lama diam, membuat Mirna jadi tak enak hati. "Mungkin, Devasya masih kaget dan bingung,” katanya lirih.
Devasya menegakkan posisi duduknya. "Devasya tidak menerima," ucapnya lantang.
Semua mata tertuju padanya. Devasya mengangkat pandangan, menatap Maxel dengan sorot penuh keyakinan, yang ditatap malah membalas tatapan dengan sendu karena mendengar kalimat penolakan. Devasya juga menangkap raut kecewa di mata mama Maxel. Semua masih diam. Devasya menarik nafas dalam lalu memejam sesaat.
"Devasya tidak menerima jika Maxel hanya main-main saja, tapi …." Kalimatnya terjeda. "Devasya menerima jika Maxel benar-benar serius."
Semua menghela nafas lega, tapi tidak dengan Maxel. Dia tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Kita menikah minggu depan," katanya dengan yakin dan mata penuh binar.
"Apa?" Semua terkejut.
Devasya menatap tajam pada Maxel. "Tapi, nggak secepat itu juga, Xel."
"Aku nggak mau menunda lagi, kita sudah sama-sama yakin 'kan?"
Maxel mendekat. "Aku serius, sangat serius. Please, jangan menolak."
Maxel menatap mata Devasya lekat lalu menggenggam tangannya, berusaha meyakinkan.
Devasya balik menatap Maxel, dan beberapa saat kemudian dia mengangguk.
"Ah, leganya. Mama sangat bahagia, terima kasih, Sayang."
Mama Maxel mendekat, lalu meraih tubuh Devasya yang sedikit bergetar, ternyata mata indah itu sudah berlinang karena haru.
"Terima kasih sudah menerima, Maxel," bisik Dini sambil mengelus punggung Devasya.
Devasya menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih karena sudah mau memilih gadis sepertiku."
Dini tiba-tiba mengurai pelukan. "Hei, gadis sepertimu bagaimana? Kamu istimewa. Kalau tidak, Maxel tidak akan tergila-gila sampai merengek minta mama cepat-cepat melamarmu,” ucap Dini sambil melirik pada Maxel.
***
Memori masa lalunya dengan Maxel datang setiap Devasya susah payah untuk menghiraukannya. Sebenarnya, Devasya sama sekali tidak ingin melupakan, hanya saja dia ingin sedikit beban sakit hatinya berkurang, hingga dia bisa menjalani hari-harinya dengan normal kembali.
“Aku tidak akan menyerah dan terus-terusan meratapi takdir. Aku harus mulai membuat Maxel menyesal.”
Seperti tekadnya, hari ini Devasya berniat menemui Maxel, setelah malam sebelumnya dia pergi ke dokter kandungan untuk memastikan kandungannya baik-baik saja.
Devasya berpikir, jika memang di depan orang banyak dia tidak diakui, apa saat mereka sedang berdua saja Maxel tetap akan mengelak?
Selama Devasya di kota dan di hari dia mengalami penolakan saat itu, mereka memang belum pernah berbicara lagi, Maxel terkesan selalu menghindar saat beberapa kali melihat Devasya yang menunggunya di depan kantor.
Seperti biasa, Devasya menunggu mobil Maxel tak jauh dari kantornya. Saat mobil itu terlihat, Devasya buru-buru menghadang, Devasya yakin dengan perhitungannya jika sopir Maxel tidak akan sampai menabraknya.
Bunyi rem berdenyit membuat Devasya memejam.
Kepala Maxel yang sedari tadi menunduk memperhatikan laptop otomatis terantuk kursi bagian depan mobilnya.
"Astaga ada apa, Pak?" pekik Maxel sambil memegang keningnya yang sedikit nyeri.
"I-itu, Mas ada orang di tengah jalan."
Maxel langsung menatap ke arah jalanan depan.
Devasya!
Sopir Maxel di kota memang tidak mengenali Devasya. Maxel cukup pintar dengan berganti sopir saat dia akan pulang.
“Anda, mau bunuh diri?” teriak Maxel dari arah tempat duduknya yang hanya membuka kaca jendela mobil, kemudian Maxel buru-buru keluar dari mobil dengan perasaan khawatir yang dia sembunyikan.
“Tentu saja enggak, tapi walaupun aku harus mati di hadapan kamu, aku nggak keberatan,” jawab Devasya mantap dan yakin, juga dengan ekspresi yang sangat datar.
"Kamu ngomong apa, hah?” Maxel melotot ke arah Devasya, seandainya bisa, Maxel sangat ingin memeluk Devasya detik ini juga.
Ekspresi datar Devasya berubah sendu. “Benar kamu udah nggak nganggap kami ada?” tanyanya dengan nada yang terdengar begitu menyayat di telinga Maxel.
Maxel diam kemudian memejam, menahan dirinya.
"Mas? Ada masalah?" tanya sopir Maxel yang sudah hampir mendekat ke arahnya.
"Ah, nggak. seperti biasa. Mending kamu tunggu aja di dalam mobil." Sopir itu mengangguk, kemudian masuk kembali ke mobil, mengikuti perintah Maxel.
"Saya benar-benar tidak mengenal, Anda," ucap Maxel lirih.
"Bohong! setelah manggil aku pakai sebutan Anda, kamu manggil aku dengan sebutan kamu dan sekarang kembali manggil, Anda lagi? Jangan konyol! Aku tahu kamu Maxel!"
Maxel memejam sesaat, dia tahu dengan sangat pasti jika Devasya ini keras kepala. "Saya mohon, pergilah, pulang ke rumahmu."
"Rumah?" tanya Devasya yang dijawab anggukan oleh Maxel. "Rumah mana yang kamu maksud?" tanyanya lagi.
Sebuah pertanyaan ambigu yang menyakitkan.
"Kamu boleh nggak mengakui aku sebagai istrimu, setidaknya kamu harus mengakui mereka, aku tidak akan meminta uangmu sepeser pun. Aku hanya mau kamu tahu satu hal." Devasya maju beberapa langkah lebih dekat menuju Maxel.
"Kamu kira aku bakalan lemah saat kamu tinggalkan dalam keadaan kayak gini?" Mata elang Devasya menyipit, seolah siap menusuk Maxel hanya dengan tatapannya saja. "No, kami baik-baik aja."
Devasya merogoh tasnya, mencari sesuatu yang sudah dia siapkan sejak tadi.
"Ini buat kamu. Semoga harimu menyenangkan, Tuan Maxel yang terhormat."
Kemudian Devasya cepat-cepat berlalu setelah menyerahkan sebuah amplop, di dalamnya berisi dua lembar hasil foto USG yang beberapa saat lalu Devasya lakukan.
Maxel menghela nafas berat, sejenak menatap pemberian Devasya tadi, lalu matanya memindai sekeliling, meyakinkan diri jika tidak ada yang melihat pertemuannya dengan Devasya kali ini.
Maafkan aku, maafkan aku sayang. Sunggung aku sangat merindukanmu juga anak-anak kita. Aku cukup lega saat kamu bilang, kalau kalian akan baik-baik aja.
Kemudian terburu-buru Maxel mengambil ponsel di sakunya lalu menghubungi Nendra.
“Gimana?” tanyanya sebelum kembali masuk ke mobil.
“Rumah sudah siap, Bos. Malam nanti mulai saya tempati.”
“Bagus, laporkan semuanya.”
Walau aku nggak bisa secara langsung bersamamu , tapi aku akan tetap berusaha sebisaku untuk menjaga kalian.
***
Rumah yang dikontrak Devasya memang tidak besar tapi cukup asri dan bersih, lingkungannya juga cukup baik, mengingat bagaimana tetangga-tetangganya yang ramah menyapa setiap harinya, Devasya cukup bersyukur bisa menemukan hunian seperti ini.
Devasya mendapatkan informasi mengenai rumah ini dari sebuah tautan di internet. Devasya menggunakan uang nafkah yang diberikan Maxel selama ini, Devasya memang tidak banyak berbelanja selama menjadi istri Maxel. Ah! Mereka masih suami istri bukan?
Devasya sempat menolak saat Maxel selalu memberi uang berlebih setiap bulannya. Tapi, syukurlah, untuk saat ini, semua itu seakan menolongnya.
“Aku nggak akan balikin uang kamu, Maxel. Biarin aja kamu anggap aku matre. Toh, apa yang kamu lakukan ke aku nggak akan pernah bisa kamu bayar. Tidak ada nominal yang cukup untuk membayar setiap rasa sakit yang aku alami.”
“Sayang, kalian mau makan apa hari ini? Mama mau belanja ke supermarket. Mama nggak mau kalian hanya makan mie instan setiap hari. Mama mau kalian tumbuh sehat dan kuat,” gumam Devasya sambil mengelus lembut perutnya yang bergerak-gerak lucu.
“Bahkan sejak kalian belum lahir pun, kalian sudah dituntut untuk menjadi anak yang kuat, dan tidak diizinkan untuk lemah sedetik pun. Mama yakin kita pasti bisa.”
Sebuah tendangan terasa di perut Devasya, gerakan itu kembali membawa rasa haru, bukan karena Devasya yang kembali mengingat Maxel, tapi tendangan itu Devasya anggap sebagai penguat bagi jiwa dan raganya.
"Iya, mama nggak sedih, kok. Semangat!" seru Devasya sambil menyeka air matanya.
Pada awalnya Devasya memang berniat untuk pergi ke supermarket, tapi saat di perjalanan dia melihat sebuah pasar tradisional modern yang cukup besar, dan dia memutuskan untuk berbelanja di sana saja dan lagi-lagi karena alasan berhemat.
Matanya memindai sekitar. Devasya mulai berpikir akan membeli apa saja, mungkin membeli beberapa jenis sayur, buah dan daging segar untuk dia stok di rumah.
Akan tetapi, seketika dia ingat sesuatu. "Aku kan nggak punya kulkas, bagaimana ini? Apa aku beli kulkas dulu? Yang kecil dan murah aja."
Lalu, Devasya berjalan ke arah toko elektronik terdekat dari sana, memilih sebuah kulkas kecil yang cocok untuk rumah kontrakannya yang mungil.
"Ini akan sangat berguna," gumamnya.
Saat mendengar ponselnya berdering, Devasya buru-buru mengeluarkan benda pipih itu dari tas, ternyata ada sebuah panggilan telepon dari Dini.
Apa mama Maxel sudah tahu tentang masalah ini?
“Sayang, gimana kandungan kamu? baik-baik aja kan? kalian akan di sana berapa lama?” tanya Dini setelah basa-basi salam di awal telepon tadi.
“A-apa Maxel tidak memberi tahu mama?” Devasya meragu.
“Belum, Maxel belum mengatakan kapan kalian akan pulang.”
“Hmm ... ya, Ma. Sebaiknya mama hubungi Maxel sendiri untuk mendapatkan jawabannya.”
“Apa kalian bertengkar?”
Devasya diam. Apa ibu mertuanya itu benar-benar tidak tahu atau bagaimana?
Aku nggak mau ngadu apapun, biar Maxel sendiri yang ngomong sama mamanya. kalau Bude biar aku yang jelasin nanti.
“Enggak kok, Ma. Kami baik-baik aja, ini aku lagi belanja, Ma. Lagi nggak sama, Maxel.”
“Oh, kenapa bukan mbak Yuni yang belanja?"
Yuni? Apa dia adalah asisten rumah tangga Maxel di sini?
"Ah, Enggak. Devasya lagi pengen aja, Ma."
"Ya udah kalau gitu. hati-hati di sana, ya. Cepat pulang, mama kangen.”
“I-iya, Ma. Mama juga hati-hati di sana, ya. Jangan telat makan dan jangan terlalu larut nonton TV-nya.”
Dini terkekeh. “Iya-iya, menantu kesayangan mama yang bawel.”
“Satu lagi, Ma. Maafin Devasya kalau Devasya ada salah sama, Mama.”
Devasya menahan sesak, berusaha menstabilkan suaranya agar tak terdengar menyedihkan.
“Sayang, kamu kenapa?”
“Mbak, ini notanya,” potong salah satu karyawan toko elektronik yang hanya Devasya jawab dengan anggukan dan senyum.
“Devasya nggak kenapa-kenapa, Ma. Maaf, Ma. Devasya pamit dulu, ya. Ini sudah selesai belanjanya.”
Devasya memutus sambungan setelah saling mengucap salam. Ya, bisa jadi ini adalah salam perpisahan, entah sampai kapan Maxel akan menyembunyikan ini dari mamanya. Devasya tidak akan ikut campur lagi.
Sampai di rumah, Devasya tak langsung menata barang belanjaannya karena kulkas pesanannya belum datang dan dia merasa lelah sekali. Jangan lupakan dia sedang berbadan tiga saat ini.
Kalian lapar? Baiklah kita makan bubur ayam ini dulu, ya.
Devasya akan membuang sampah di depan rumah, matanya memperhatikan rumah di depannya. ada pergerakan, yang mana Devasya tahu saat Devasya pindah, rumah itu masih terlihat kosong.
Kayaknya penghuni baru, batin Devasya sambil memperhatikan pada tumpukkan kardus bekas di depan teras rumah tersebut.
Semoga orang baik, batinnya lagi.
Satu jam setelahnya, kulkas yang Devasya pesan datang, masih butuh waktu sekitar lima jam lagi agar Devasya benar-benar bisa menggunakan kulkas itu. Jadi, dia memutuskan untuk merebus dan mengolah beberapa jenis daging yang tadi dia beli agar tidak rusak dan bau.
Tiba-tiba, bunyi ketukan pintu menjeda kegiatan masaknya. Kemudian sebelum akhirnya membuka pintu depan, Devasya sempat mengintip sekilas dari balik tirai di jendela kaca samping pintu.
Orang asing, siapa?