Sakitnya Rasa

2037 Kata
Sesuatu yang kau anggap sanggup kau genggam erat, nyatanya justru dapat terlepas dengan begitu mudahnya. Orang asing, siapa? “Permisi,” sapa seorang pria sambil terus mengetuk pintu. Devasya membuka pintu, melihat dengan tatapan waspada. “I-iya,” jawabnya ragu. Pria itu tersenyum ramah. “Maaf mengganggu, Mbak. Saya tetangga baru, ngontrak di depan sana, mau memberi ini sebagai perkenalan.” Pria itu memberi Devasya sebuah plastik bening berisi dua kotak kue berwarna cokelat dan satu lagi berwarna cream. Devasya bisa menebak isinya, kue bolu yang merknya lumayan terkenal di penjuru negeri. Terlihat juga pria itu membawa beberapa kantong lainnya dengan isi yang sama, mungkin untuk dia bagikan ke rumah-rumah lainnya, begitu pikir Devasya. Devasya menerima dengan ragu. “Oh, makasih, ya. Hmm, sebenarnya saya juga baru tinggal di sini. Baru beberapa hari," sambung Devasya. “Nama saya, Nendra.” Nendra mengulurkan tangannya untuk Devasya jabat. Devasya menerima jabatan tangan Nendra. “Saya, Devasya.” “Ya udah, Mbak, saya pamit dulu, mau antar ke lainnya.” Nendra mengangkat sisa beberapa kantong bening itu di tangannya. Devasya mengangguk. “Iya, Mas, makasih.” Segera setelah sosok Nendra menjauh, Devasya menatap kue itu dengan berbinar. Sejak hamil, memang nafsu makannya meningkat drastis. Rezeki, mama cantik dan sabar, batinnya girang. Dug! Dia merasakan sebuah tendangan. “Iya-iya, rezeki juga buat si kembar yang lucu.” *** Esok paginya Devasya bangun lebih pagi, tidak seperti sebelumnya, kali ini Devasya merasa sedikit lebih bersemangat untuk menjalani harinya dengan baik. Dia memilih berjalan-jalan santai mengelilingi area kompleks perumahan yang dikontraknya. Secara tidak sengaja dia kembali bertemu dengan Nendra. “Hai, Mbak,” sapa Nendra, dia sedang menyapu halaman. “Iya, Mas,” sapa balik Devasya. “Mbak lagi hamil, ya?” Pertanyaan konyol keluar dari mulut Nendra. Nih orang pertanyaannya, dia kira aku busung lapar apa? gerutu Devasya dalam hati. “Iya, Mas sudah hampir lima bulan. Permisi, saya masuk dulu.” Devasya segera mengakhiri interaksinya dengan Nendra. Perlu diingat Devasya memang selalu seperti itu jika dengan orang asing. “Mbak, kalau butuh sesuatu, Mbak bisa panggil saya," teriak Nendra. Ops! Nendra buru-buru menutup mulutnya. Bisa-bisanya dia to the point seperti itu, bisa ketahuan kalau dia berada di sana atas perintah Maxel. Devasya mengernyit, lalu menjawab dengan senyum simpul. Devasya mendengus, Laki-laki di mana aja sama, tukang modus, gumamnya kesal. *** Semakin hari Maxel semakin tak terawat, dia sering begadang karena pikirannya tak pernah tenang, juga karena pekerjaannya yang sedikit terbengkalai belakangan ini, mengharuskannya untuk segera menyelesaikan tanggung jawabnya. Bagaimanapun nasib ratusan karyawannya itu tidak bisa dia abaikan begitu saja. Aku kangen, Sayang. Maxel memejam, matanya panas, dadanya tak pernah sesesak ini, bahkan saat mantan-mantan kekasihnya pergi, Maxel tidak merasa sejatuh ini. Aku terlalu takut, aku adalah pecundang, pengecut sejati, bahkan melindungimu pun aku tidak bisa. Ponsel Maxel berdering, menampilkan sebuah nama yang sebenarnya Maxel hindari. "Iya, Ma." "Maxel! Kalian ini saking apanya sampe lupa ngabarin mama. Kalian mau berapa lama di sana?" Sebenarnya Maxel tidak ingin memberitahukan tentang masalahnya kali ini dengan sang mama. Akan tetapi, menurutnya semakin ditutupi maka akan semakin runyam. Maxel menghela nafas dalam. "Ma, Maaf. Sepertinya, untuk waktu lama Maxel dan Devasya belum bisa pulang. Karena …" Maxel mulai menceritakan tentang apa yang dia lakukan pada Devasya. "Kamu gila, Maxel! Devasya itu sedang hamil, tega kamu ngelakuin itu sama menantu mama!" pekik Dini dari seberang telepon. "Ma, situasinya nggak bagus," sanggah Maxel. "Mama nggak mau tahu, kamu harus segera selesaikan semua ini dan bawa Devasya pulang!" Dini kehabisan kesabaran. "Maxel takut, Ma. Takut kejadian seperti dulu terulang lagi." Terdengar sendu bercampur khawatir dalam nada bicara Maxel. "Tapi nggak dengan kamu ninggalin Devasya gitu aja, Maxel! Kamu nggak kasihan sama dia? Sama anak-anak kamu?" Dini menitikkan air mata. Dini tahu trauma Maxel, tapi Dini tidak bisa membenarkan tindakan Maxel kali ini. "Lebih kasihan lagi kalau Devasya kenapa-kenapa karena Maxel, Ma." Entah Maxel yang sedang blank, atau memang situasinya yang begitu tidak menguntungkannya, membuat Maxel bertindak begitu bodoh di mata Dini. "Nggak! Harusnya kamu bisa berpikir lebih pintar. Nggak ada yang akan nyakitin kalian. Masa lalu itu nggak akan pernah terulang lagi. Secepatnya mama akan ke sana!" *** Hari ini, Devasya berniat mengirim sesuatu pada Maxel, setelah beberapa saat lalu Devasya memberikan hasil USG, kali ini Devasya ingin memberikan sebuah rekaman, berupa video pergerakan bayi-bayi mereka. Devasya yakin, Maxel masih punya hati nurani, sekali lagi Devasya bersikeras, walau seandainya dirinya tidak diakui, setidaknya Maxel harus mengakui anak-anak mereka. Bagaimana tidak? Devasya merasa terhina sekali, Maxel pikir Devasya w************n yang akan dengan rela berselingkuh dan mendapatkan anak dari laki-laki lain? Tidak! Kamu benar-benar akan menyesalinya, Maxel! Terimalah hadiahku. Devasya membatin saat menyiapkan rekaman itu. Maxel membolak-balik sebuah kotak yang tertera nama Devasya di bagian pengirimnya. Saat dibuka, Maxel terkejut bercampur haru dengan apa yang menjadi isinya. Sepasang sepatu yang sekilas terlihat kembar, berwarna merah jambu dan biru muda. Akan tetapi hanya sisi kiri saja, sisi lainnya mungkin ada pada Devasya. [Saat itu aku datang hanya untuk memberitahumu, jika mereka sudah bergerak, aku ingin kamu jadi orang pertama yang melihat juga merasakannya, tapi sayang sekali kamu menolak kami.] Maxel menitikkan air mata saat membaca surat dari Devasya. Maxel buru-buru menyalakan laptopnya dan mulai menghubungkan flashdisk yang ada di dalam kotak, Maxel mengerti jika Devasya ingin menunjukkan sesuatu. “Hai, Papa … kami bergerak, kami nyata, dan kami adalah anak-anakmu.” Suara dalam video yang memperlihatkan perut Devasya yang sedang bergerak-gerak, seperti membentuk gelombang yang lembut. Air mata Maxel mengalir deras, dan itu membuat dadanya kian sesak, rasanya dia ingin segera berlari dan memeluk Devasya. Bunyi ketukan pintu pada ruangan kerjanya membuat Maxel segera menutup laptopnya. Maxel juga membalik badannya yang memang sedang duduk di kursi putar meja kerjanya. Dengan gerakan cepat, dia mengusap sisa lelehan air mata. “Permisi, Pak. Ada paket lagi," kata Angel–sekretaris Maxel. Maxel berdehem. “Letakkan di meja," jawabnya datar. Setelah meletakkan itu, sekretaris pribadi Maxel itu keluar. Maxel dengan antusias membuka amplop cokelat itu, dia kira itu paket yang sama yang juga dikirim Devasya, walau tak ada nama pengirim di sana. Tapi, ternyata bukan. Paket itu berisi beberapa foto Devasya dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah foto Devasya yang sedang minum teh di teras rumah kontrakannya. [Aku sudah tahu.] Hanya tulisan itu yang ada di balik salah satu foto. Maxel segera bangkit menuju meja sekretarisnya, “Siapa yang mengirim?” tanyanya tegas. “Tadi kurir bilang pengirimnya Devasya, Pak. Kurir yojek yang antar," jawab Angel heran. Karena wajah bosnya terlihat begitu marah. “Bukan paket yang pertama tapi yang barusan!" pekik Maxel tak sabaran. "I-iya, Pak. Sama, atas nama Devasya juga." Angel gemetar. Apa ada yang salah? Bahkan tadi aku kayak lihat bos Maxel abis nangis. "Tidak mungkin! Cari tahu lagi, siapa tepatnya yang mengirim!" perintah Maxel. "Ba-baik. Biar saya coba menghubungi pihak yojek, Pak." Tak menunggu lagi, Maxel berbalik kembali ke ruangannya. “Aku harus memperingati, Nendra!" gumam Maxel, lalu merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Maxel segera menghubungi Nendra. “Dra, baru saja ada paket misterius, orang itu sudah tahu tentang Devasya, dia mengirim beberapa foto. Apa kamu nggak lihat ada yang mencurigakan?" "Benarkah, Bos? Banyak sekali orang berlalu lalang disini, Bos. Karena jalanan perumahan ini juga akses keluar masuk untuk warga kampung sebelah. Tapi, sejauh ini saya tidak melihat sesuatu yang mencurigakan." "Kamu harus lebih waspada, dan juga cari tahu siapa pengirimnya. Aku nggak mau kamu lengah!" sunggut Maxel. “Baik! Saya coba, Bos.” Maxel berdehem. “Lalu, bagaimana dia hari ini?” Dibalik ponsel, Nendra tersenyum. “Nyonya baik-baik saja, Bos. Dia berjalan-jalan keliling kompleks.” Bagaimanapun Nendra tahu, Maxel begitu menyayangi Devasya. Nendra pun tahu kisah kelam bosnya itu. “Ikuti dia, terserah kamu mau pura-pura gimana, jangan sampai kecolongan.” “Baik, Bos.” Maxel menutup sambungan lalu menatap lekat foto Devasya. Ya Tuhan semoga aku bisa mengetahui siapa 'dia' kali ini. Aku sudah tidak sanggup jika harus kehilangan lagi. Kumohon, bantu aku. *** Sementara di tempat lain, seorang Sandy Surya Praja sedang memandangi foto Adinda Kusuma Praja–sang adik. Rasa rindu memenuhi hatinya, bayang-bayang bagaimana manjanya Adinda kepadanya dulu, bahkan semut saja tidak dia izinkan untuk menyakitinya. “Kenapa, Dek? Harusnya kamu bilang sama kakak dan semua nggak akan kayak gini, kalau aja kakak tahu saat itu. Kakak akan buat Maxel menjadi milikmu bagaimanapun caranya.” Sandy bermonolog. Tangan Sandy lembut membelai pigura kayu kecil di atas meja kerjanya. “Maafkan kakak tidak bisa menjagamu dengan baik.” Saat lamunan Sandy semakin dalam, bunyi dering ponsel mengalihkan perhatiannya. “Bagaimana?” tanyanya to the point pada seseorang. “Beres, Pak. Jelas mereka akan kesulitan melacak, saya meminjam peralatan ojek teman saya tapi dengan motor yang berbeda," jelas seseorang di seberang sana, yang tak lain adalah orang suruhan Sandy yang ternyata sudah lama memata-matai Maxel. “Pintar, awasi terus tapi jangan dulu berbuat apa pun," perintah Maxel diiringi senyum smirk. “Baik, Pak.” Sandy menerawang, dia memikirkan sesuatu. “Bagaimanapun, kamu tidak boleh merasakan kebahagiaan karena cinta, Maxel! Sama seperti adikku, kamu juga harus merana, dan sepertinya, aku harus bermain-main sedikit denganmu.” Sandy kembali tersenyum licik, lalu mengalihkan pandangan ke foto-foto Devasya di meja kerjanya. Orang suruhannya itu juga mengirim pada Sandy tadi. “Dia lumayan cantik juga, menarik. Tapi … kali ini kamu tetap tidak akan beruntung, Maxel!” *** Pagi ini Devasya merasa ada yang tidak nyaman dengan tubuhnya, tulang belakangnya terasa nyeri dan matanya terasa panas. “Sepertinya aku demam.” Devasya menuju laci meja kamarnya. Ah, aku bahkan tak punya alat pengukur suhu. Tubuhnya sangat lemas, tapi dia paksakan untuk tetap melakukan kegiatan seperti biasanya, walau baru pindah dan tidak ada perabot berarti, tapi dia tetap membersihkan dapur juga ruangan lainnya. Sejak dulu, Devasya memang suka menjaga kerapian tempat tinggalnya. Saat dia akan membuang sampah di depan rumah, baru sampai di depan pagar, tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang, tak lama pandangannya menggelap. Devasya pingsan. Nendra yang kebetulan sekali sedang akan keluar ke halaman rumah, dengan sigap berlari menuju rumah Devasya, sayangnya pagar terkunci. Nendra berpikir, jika dia melompat ke dalam bisa jadi para tetangga akan mengira hal yang tidak-tidak, maka dari itu dia lebih memilih untuk berteriak "Tolong! Tolong!" teriaknya sekuat tenaga, dia khawatir akan terjadi sesuatu pada nyonya-nya ini. Mendengar teriakan Nendra, membuat beberapa warga berbondong-bondong mendatanginya. "I-itu … wanita itu pingsan, saya melihatnya terjatuh, saat saya dekati dan akan mencoba menolong, ternyata pagarnya terkunci," jelas Nendra dengan nada panik. "Ayo, mari kita tolong," kata salah satu warga. Beberapa orang laki-laki membantu Nendra membuka paksa pagar rumah kontrakan Devasya, jika rusak maka bisa dipikirkan nanti. Lalu, beberapa ibu-ibu berusaha membangunkan Devasya dengan memberi minyak kayu putih. Tapi nihil, Devasya tak kunjung sadar. "Badannya demam tinggi, sebaiknya kita bawa ke rumah sakit," saran salah satu perempuan yang terlihat seusia dengan Devasya. "Ba-baik, mari saya antar." "Saya tutup pintu rumahnya dulu." Perempuan itu mulai bangkit dan menutup pintu rumah Devasya lalu segera kembali. "Naik mobil saya saja," pinta Nendra yakin. Semua setuju, Nendra serta perempuan tadi dan salah satu warga lainnya membawa Devasya ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan mobil milik Nendra, yang sebenarnya adalah fasilitas dari Maxel. “Pasien mengalami penurunan HB atau hemoglobin. Sebenarnya ini wajar mengingat pasien sedang hamil, maka dari itu ibu Devasya memerlukan banyak asupan gizi juga zat besi, dan demamnya ini bisa jadi karena kelelahan. Kita masih melakukan observasi," jelas dokter panjang lebar. “Hmm, Anda suaminya?” tanya dokter pada Nendra. Nendra buru-buru menggeleng. "Bukan, dok, saya tetangganya. Saya hanya tahu dia tinggal sendiri," jawab Nendra serba salah. “Suaminya bekerja di luar kota, sepertinya dia pernah bilang gitu.” Eka–tetangga yang ikut mengantar tadi, menimpali jawaban Nendra. “Bagaimana jika saya yang tanggung jawab, dok. Bu-buat sementara,” usul Nendra lalu tatapannya menuju Eka dan salah satu warna lainnya. Dokter dan lainnya mengangguk. "Boleh, tapi setelah pasien sadar nanti, usahakan untuk mengabari keluarganya," tambah sang dokter. Eka mengangguk. "Baik, Mas. Saya juga akan membantu. Biar nanti saya gantikan jaga Mbak Devasya saat malam.” Setelah itu, Eka dan salah satu warga tadi kembali pulang. Menyisakan Nendra dan Devasya dalam ruangan. Setelah memastikan kondisi aman, Nendra keluar, melangkah sedikit jauh, tapi matanya tajam mengawasi ke arah pintu masuk kamar rawat Devasya. Dia menghubungi seseorang. "Bos, beliau masuk rumah sakit," katanya lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN