Aku yakin bisa hidup tanpamu, tapi kamu harus tahu, aku tersiksa dengan kenangan kita. Kenangan indah yang menyakitkan.
Setelah memastikan kondisi aman, Nendra keluar, melangkah sedikit jauh, tapi matanya tajam mengawasi ke arah pintu masuk kamar rawat Devasya.
Dia menghubungi seseorang. "Bos, beliau masuk rumah sakit," katanya lirih.
“Apa? Kenapa bisa?" Maxel bangkit dari duduknya. "Bagaimana keadaannya? Anak-anakku bagaimana?” Maxel terus memberondong Nendra dengan pertanyaan.
“Tenang dulu, Bos. mereka baik-baik saja. Nyonya kekurangan HB dan juga kelelahan, Bos," jelas Nendra pada Maxel sama persis dengan keterangan dokter tadi.
Maxel merutuki diri dalam hati.
Ini semua gara-gara aku. Aku terlalu pengecut.
“Aku akan datang," kata Maxel tanpa banyak berpikir.
“Ta-tapi, Bos. Kal-”
“Kirim alamat rumah sakitnya.” Maxel memotong kalimat Nendra.
Nendra hanya bisa menurut saja. Lalu segera memberitahu letak rumah sakit tempat Devasya dirawat dan tanpa pikir panjang Maxel bergegas keluar ruangan.
"Pak, Anda mau kemana?” tanya Angel heran. Pasalnya, sang bos terlihat tergesa-gesa.
Maxel menghentikan langkah. “Batalkan semuanya untuk hari ini,” perintahnya tiba-tiba.
“Tapi, Pak. Ada pertemuan penting dengan pihak resort yang dari Wakatobi, mereka sudah berada di hotel saat ini,” sahut Angel tegas.
Bagaimanapun pekerjaan tetaplah pekerjaan, dia pun tidak ingin reputasi perusahaan buruk jika sang bos semena-mena membatalkan janji.
Sial!
"Baiklah, jam berapa pertemuan itu?" Maxel pun harus mengalah, dia sadar jika menjadi seorang pemimpin tidak bisa egois.
"Pukul satu, Pak. Sekalian perjamuan makan siang." Angel was-was menunggu jawaban Maxel.
Setelah menimang sejenak akhirnya Maxel mengangguk kecil. "Baiklah, aku pastikan kembali sebelum jam satu. Ingatkan aku lagi lima belas menit sebelum acara."
Angel kini bisa bernafas lega. "Baik, Pak," jawabnya senang.
Sebagai pemimpin yang baik dan juga rekan bisnis yang terpercaya, sudah menjadi kewajiban Maxel untuk menjamu tamu dengan baik pula. Apalagi, mengingat mereka sudah datang jauh-jauh.
Setelah melihatnya sebentar, aku harus segera kembali.
Maxel bergegas menuju mobilnya, tapi urung, alih-alih menyetir sendiri, Maxel memilih memesan taksi online. Maxel tidak pernah merasakan dirinya sekhawatir ini, tapi dia tetap harus waspada.
Dia tidak ingin gegabah yang malah nantinya membahayakan siapapun. Bahkan Maxel tidak tahu wujud musuh sesungguhnya seperti apa.
Taksi pesanannya datang, sebelumnya Maxel meminta untuk mengantarnya ke toko pakaian, dia harus mengganti pakaiannya agar tidak terlihat mencolok.
Sampai di parkiran rumah sakit Maxel menghubungi Nendra, sebenarnya Maxel ragu untuk masuk. Tapi rasa khawatirnya mengalahkan rasa takutnya.
“Bos,” sapa Nendra yang datang dengan sedikit berlari.
“Bagaimana?”
“Aman, Bos bisa masuk. Nyonya masih tidur, sepertinya dokter memberi obat penenang, agar nyonya bisa beristirahat lebih lama.”
Mendengar itu, Maxel terdiam sesaat.
"Baiklah, ayo."
Nendra mengangguk, "Mari ikuti saya."
Nendra berjalan mendahului Maxel untuk menunjukkan jalan, juga untuk berjaga-jaga. Maxel yang sebelumnya telah berganti pakaian dengan yang lebih santai, berharap bisa sedikit mengelabui, kalau-kalau ada yang mengikutinya.
Sampai depan kamar rawat Devasya Maxel ragu untuk masuk. Dia takut Devasya terbangun saat dirinya ada di dalam.
Sebaiknya aku melihatnya dari sini saja.
Maxel melihat ke jendela, matanya menangkap sosok yang dia cintai itu terbaring lemah dan pucat. Perutnya sudah lebih buncit dari terakhir dia melihat. Maxel mengusap kaca jendela.
Entah dapat keberanian dari mana, Maxel akhirnya masuk, perlahan dia mendekat, menggigit bibirnya sendiri, menghalau desah berat yang akan keluar, sesak, bahkan dadanya sangat sesak.
Perlahan dia menyibak sedikit selimut yang menutupi perut Devasya, perlahan dia tempelkan telapak tangan kanannya di sisi kanan perut Devasya.
Sedikit terkejut, saat tangan Maxel benar-benar merasakan pergerakan yang Devasya maksud kemarin, matanya berkaca-kaca, hatinya membuncah bahagia, tapi dia harus segera menyudahi itu, karena Devasya mulai bergerak-gerak gelisah.
Maxel cepat-cepat keluar dari kamar, bersembunyi di balik pintu di sisi luar kamar. Persis seperti pengecut.
"Maxel!" Devasya tiba-tiba berteriak.
Maxel memberi kode pada Nendra untuk segera masuk. Nendra mengangguk patuh.
"Mbak, Mbak sudah bangun?" tanya Nendra berusaha tenang.
Devasya melihat sekeliling. "Dimana, Maxel?"
"Maxel?"
Devasya mengangguk berkali-kali. "Iya, suami saya, dimana dia? Saya yakin tadi dia ada disini?"
"Tidak, Nyo-"
"Ah, maksud saya. Tidak ada, Mbak. Tidak ada siapa pun, sejak tadi saya berjaga di luar," jawab Nendra berbohong yang hampir saja keceplosan.
"Maxel …." Devasya kembali memanggil nama itu, nada yang entah kenapa juga terasa menusuk d**a Nendra.
Terpaku sejenak, Nendra akhirnya bersuara. "Mbak, biar saya panggilkan dokter."
Devasya menarik nafas dalam. "Nggak, nggak perlu. Saya hanya ingin sendiri. Tolong kamu keluar aja." Devasya memiringkan tubuhnya ke samping kanan.
Tak lama dari itu Nendra dengar Devasya menangis, Nendra memilih menuruti kemauan Devasya yang memintanya keluar, memberi waktu untuk Nyonya-nya itu menikmati kesedihan yang dia sendiri tak bisa menepisnya.
Dan bagi Devasya, dia masih tidak percaya jika yang dialami barusan adalah sebuah mimpi.
Aku yakin itu nyata, aku yakin itu kamu, Maxel. Bodoh! Kenapa aku begitu merindukanmu.
***
Setelah pertemuan menyedihkannya dengan Devasya, Maxel menegakan hatinya untuk segera pergi dari rumah sakit untuk menemui kliennya.
Walau berat, Maxel tetap harus terus melanjutkan rencananya untuk mengabaikan Devasya. Sampai batas waktu yang dia sendiri tak tahu sampai kapan.
Sesampainya kembali di kantor setelah pertemuannya dengan para klien, Maxel kembali mendapat kejutan. Sebuah amplop coklat besar berada di atas meja kerjanya.
Memang, tadi Angel sudah memberitahunya jika ada paket, tapi Angel tidak mengatakan jika paket itu dari 'Devasya'
Lagi-lagi Maxel dibuat geram dengan isinya, sebuah foto ukuran besar, tercetak jelas di sana bagaimana Maxel memegang perut Devasya beberapa saat lalu di rumah sakit. Dari hasil foto itu bisa dilihat jika gambar diambil dari arah atas, dari jarak yang cukup jauh.
“Sialan!”
Maxel buru-buru menghubungi Nendra untuk bertanya tentang si pengirim di hari sebelumnya.
Tapi, Nendra tidak menemukan data apapun.
“Sepertinya, baju ojek dan motor itu hanya sewaan untuk mengelabui kita, Bos.”
Mendengar itu, Maxel hanya bisa mengepalkan tangannya. Dia bukanlah orang yang terbiasa dengan hal-hal berbau misteri ala detektif seperti ini.
“Sepertinya dia bukan orang sembarangan, Bos. Anda harus lebih hati-hati," pesan Nendra.
Sebenarnya, Nendra pagi tadi hendak menghubungi Maxel, tapi urung saat melibat Devasya jatuh pingsan.
“Kamu benar, lalu bagaimana keadaannya sekarang?”
“Nyonya sudah lebih tenang setelah tangisnya mereda beberapa saat lalu. Jika hasil laboratorium besok bagus, sepertinya lusa, Nyonya bisa pulang.”
Aku saja sangat stress dan tertekan dengan keadaan ini, bagaimana dengan dia? batin Maxel.
"Aku minta tolong jaga dia selalu, aku percaya padamu."
Nendra satu-satunya orang kepercayaan Maxel. Bagaimanapun, untuk saat ini, Maxel berharap banyak pada Nendra.
"Saya akan berusaha yang terbaik, Bos."
***
“Bagaimana ini? Biaya rumah sakit pasti tidak murah, mana aku harus berhemat, tidak mungkin aku meminta tolong pada Bude.” Devasya berbicara pada dirinya sendiri saat melibat selang infus di tangannya.
“Mbak,” sapa Nendra saat memasuki kamar rawat Devasya.
Devasya mengalihkan pandangan lalu tersenyum. "Mas, terima kasih sudah membantu saya."
"Sama-sama. Tidak hanya saya, tapi para tetangga juga ikut membantu, Mbak."
"Pokoknya terima kasih, Mas sudah menjaga saya, maafkan sikap saya tadi."
"Sudah, Mbak. Saya mengerti, lebih baik Mbak sekarang banyak istirahat agar lekas pulih."
Tidak ada hal yang lebih menenangkan dari kehadiran seorang teman, yang bahkan beberapa saat lalu hanyalah orang asing.
"Iya, Mas. Makasih."
"Setelah ini, mungkin Mbak Eka yang akan berganti menjaga di sini, tadi dia bilang akan kemari sebentar lagi."
"Wah, saya merasa merepotkan banyak orang."
Nendra tersenyum tulus. "Tentu tidak, Mbak. Sudah kewajiban kita sebagai sesama manusia untuk saling membantu. Apalagi kita bertetangga."
Lagi dan lagi, Devasya merasa tidak enak hati. "Maaf karena mengganggu pekerjaan, Mas."
"Santai, saya hanya jualan kue kok, Mbak. Tidak ikut orang." Betul sekali, toko kue milik Nendra bahkan sudah ada sebelum dia bekerja pada Maxel. Itu adalah toko kue peninggalan almarhum sang ibu.
"Mas, jualan kue?" tanya Devasya tak percaya. Tapi, cepat-cepat dia menepis rasa terkejutnya. Dia lupa tentang Gio yang walau laki-laki dia adalah seorang chef.
Bunyi pintu diketuk memutus percakapan mereka. Sosok Eka yang baru saja mereka bicarakan muncul dari balik pintu.
"Hai, Devasya. Udah baikan?" tanyanya dengan senyum tulus.
Lalu mengangguk sopan pada Nendra. "Hai, Mas ..." sapanya kemudian tapi dengan kening yang berkerut. Mencoba mengingat-ingat.
"Saya, Nendra." Nendra menjawab sambil terkekeh.
"Iya, Nendra. Maaf saya lupa terus." Eka terlihat sungkan.
"Nggak masalah, Mbak. Lama-lama pasti inget dan takutnya malah nggak bisa lupa, lho," canda Nendra yang malah membuat Eka sedikit merona. Sedang Devasya terlihat menahan tawa.
"Ya udah, saya pamit dulu, ya." Nendra segera mengambil jaketnya. Sebelum ke rumah sakit tadi dia sempat menyambar jaket yang ada di ruang tamu.
"Iya, mas. Makasih, ya," ucap Devasya yang di angguki oleh Eka.
Nendra memang pamit, tapi sebetulnya dia tidak benar-benar pergi dari sana, dia tetap mengawasi dari kejauhan.
“Gimana, Sya?” Eka memulai percakapan.
"Lumayan, Mbak." Devasya berusaha bangun untuk duduk. "Makasih, ya," lanjutnya sambil menata bantal di punggungnya.
Eka tergerak untuk membantu Devasya mencari posisi duduk bersandar yang nyaman. Setelah itu dia berkata, “Hmm, aku ngerti kok, Sya. Sepertinya kamu punya masalah yang sama kayak aku dulu.”
Devasya mengernyit. "Maksud, Mbak?"
Eka menghela nafas panjang. "Aku ditinggalkan suamiku saat aku lagi hamil muda. Hanya aja janinku nggak bisa bertahan, lalu sebulan kemudian dia mengirim surat cerai." Setelah mengatakan itu, kemudian Eka menunduk.
Devasya merasa bersalah karena membuat Eka mengingat masa lalunya. "Maaf, Mbak."
Eka kembali menegakkan pandangan lalu tersenyum. "Nggak apa-apa, Sya. Sudah tiga tahun berlalu, sekarang aku baik-baik aja."
Hening. Masing-masing dari mereka mencoba menguatkan hati.
"Hmm, ya … aku pun sama. Hanya aja aku merasa dia masih mencintaiku, Mbak. Aku merasa, ada yang aneh sama semua ini."
Devasya mulai mengalun kisahnya dengan Maxel. Eka mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali, Eka ikut tersenyum saat Devasya tersenyum, dan ikut haru saat Devasya menangis.
Baru kali ini Devasya mau terbuka dengan orang lain perihal masalahnya. Bahkan masalah ini belum diceritakan pada budenya.
"Kalau dari cerita kamu, bisa aja kan sebenarnya Maxel emang main-main sama kamu, bisa aja di sini dia ada istri lagi, makanya dia nggak ngakuin kamu. Takut ketahuan mungkin." Asumsi Eka.
Huft!
"Setahuku nggak punya, Mbak, dari beberapa karyawan yang aku coba tanya, katanya Maxel belum menikah malahan."
"Apa iya, dia ingin terlihat melajang di depan pada klien-kliennya? Tapi aneh juga pas kamu bilang ibunya Maxel malah nggak tahu."
"Iya, Mbak, kayaknya mama nggak tahu. Tapi, entahlah Mbak, aku nggak mau berprasangka. Lelah rasanya."
"Apapun itu kamu harus kuat, ya. Kamu jangan nyerah kayak aku. kamu harus kuat demi anak-anak kamu."
"Sekali lagi, makasih ya, Mbak."
Sedari awal Eka sebenarnya sadar jika Devasya sebenarnya hanya seorang diri, tanpa suami. Entah karena insting sesama wanita atau apa, yang pasti Eka merasa iba akan keadaan Devasya saat ini.
"Nanti, kalau ada apa-apa kamu panggil aku saja, kita kan sebelahan. Selama kamu sakit biar aku yang masak buat kamu."
"Maaf, aku ngerepotin ya, Mbak?"
"Enggak lah. Lagian aku hanya sendirian di rumah. Aku jualan online dari laptop aja, dan juga … aku udah nggak punya keluarga." Ada nada sedih di kalimat Eka.
"Sekali lagi, makasih ya, Mbak."
Perasaan Devasya maupun Eka sama-sama menghangat, bagai menemukan seorang teman seperjuangan.
Sedari awal aku udah merasa ada sebuah ketertarikan untuk berteman lebih dekat dengan Devasya. Benar aja, kasihan dia, semoga dia dan bayinya kuat. Eka membatin.
***
“Bos, selanjutnya bagaimana?”
"Kita diam dulu aja. Aku yakin sekarang Maxel lagi bingung. Dia pasti akan kerahkan keamanan ekstra buat kantor juga rumahnya." Foto Devasya kembali Sandy pandangi dengan penuh minat.
"Sekali lagi aku lihat kamu menemui istrimu, maka aku akan memberimu kejutan kecil yang nggak akan pernah kamu lupakan." Sandy meringis, walau nyatanya hatinya teriris.