00 : permulaan
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Mama pernah ngedidik kamu jadi kayak gini, Jane, hah?"
Ini sudah lima belas menit berlangsung. Kalau dijadiin detik, ini udah hitungan ke 900. Benar-benar membuang waktu.
Jenitra, sang ibu, yang dari awal membuka pintu rumah langsung meneriakinya, mencaci, memaki. Tapi bukan berarti ibunya yang antagonis. Bukan. Jane seratus persen tahu diri kalau kesalahan ada pada dirinya sendiri.
"Mama malu, Jane. Dalam waktu tiga bulan doang mama udah masuk kantor polisi dua kali cuman buat bebasin kamu. Kamu, tuh, kenapa gak bisa dibilangin, sih?! Mama kurang gimana sama kamu?!"
"Iya, Ma, Jane yang salah."
"Mama gak butuh validasi. Mama butuh kamu berubah."
"Ma, jangan teriak-teriak, ini jam dua malem."
Jenitra mendesis menahan emosi. Dia menutup pintu rumah lalu melangkah masuk sambil memijat pelipis.
"Kalau kamu balapan liar lagi dan mama harus ke kantor polisi ketiga kalinya, mama laporin kamu ke papa."
Jane hampir keceplosan ketawa mendengar itu.
"Mam, please deh. Aku suka balapan aja karena papa juga hobi begini jaman masih muda. Mama kira papa bakal marahin aku karena ini? Yang ada papa bakal ke kantor polisi buat bikinin aku Surat Izin Balapan Liar biar gak kena tangkep mulu."
Yang diomongin Jane adalah fakta.
Dia bisa menjamin kalau Papanya gak akan memarahi dia, mungkin hanya mengomel sedikit dengan membawa gender, kayak, "Kamu perempuan, harusnya gak kayak gini," tapi cuman berhenti disana dan kalau Jane balapan lagi, papanya gak bakal ngomel ulang. Entah udah capek ngasih tahu atau emang Jane sebenarnya dikasih izin balapan cuman papanya juga takut diomelin sang istri.
"Well, kalau gitu kamu yang terlalu percaya diri kalau papa gak bakal marah," Jenitra menempelkan ponsel ke arah telinga, melirik sang puteri semata wayangnya sinis. "Halo, Pa."
Jane mengumpat dalam hati. Diam-diam menyebut nama Jesus meminta perlindungan. Bisa mampus kalau dia beneran bakal dilarang balapan, atau yang paling bikin was-was adalah mobilnya disita sama sang papa.
Jane memilih bersikap sok santai aja. Dia duduk di sofa single ruang tamu sambil scrolling i********:. Tapi fokusnya ada di setiap kalimat kompor yang dibicarakan mamanya ke pria di seberang sana.
"Dia udah seminggu gak pulang, sekalinya pulang bikin masalah—"
"Bohong, Pa!" teriak Jane mencoba memasukkan suaranya ke telepon. "Aku pulang tiga hari yang lalu. Mama, nih, suka kompor!"
"Jangan percaya, Pa. Jane ini susah banget dikasih tahu—"
"Ma!"
Di seberang sana, Jordi mendengkus. "Mana, mana. Papa ngomong sama Jane langsung aja. Anaknya mana?"
Jenitra mengangsurkan ponsel ke Jane yang masih duduk.
"Halo, Pa?"
"Kamu habis ketangkep lagi?"
"Iya..." Jane melirik ke arah mamanya yang kini menjauh entah hendak ke ruangan mana.
"Oh my god, my dear..."
"Maaf, Pa. Abisnya aku gabut banget di rumah. Sama Mama gak dibolehin clubbing seminggu ini. Terus aku ngapain, dong, kalau malem?"
"Tidur, dong, Nak."
Jane berdecak.
"Okay, okay. Papa ngerti. Abis ini papa ngomong sama mama kamu biar kamu berhenti diomelin, oke?"
"You sure mama bisa papa suruh diem? Biasanya mama yang nyuruh papa diem."
Jordi ketawa. "Give it on my hands, dear."
"Oke kalau gitu. Thank you, Pa! Cepet pulang, oke?"
"Minggu depan, ya, Nak. Jangan bikin masalah dulu sampai Papa pulang. Mama kamu susah dihandle soalnya belakangan ini."
"Well, gak janji, ya. Hehe."
"Serious, kalau kamu bisa gak nakal seminggu doang sampai papa pulang, papa pastiin sebulan ke depan kamu bebas ngapain aja dan mama kamu gak bakal tahu."
"Including open table seminggu penuh di Bali?"
"Whatever you want."
"Aight aight! I love you!"
"Love you more."
Jane bilang juga apa. Sebucin-bucinnya sang papa ke mamanya, Jordi tetap akan memprioritaskan puteri cantiknya di atas apapun.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Hanna!"
Jane mempercepat langkahnya untuk menghampiri seorang cewek yang lagi duduk di kursi depan ruang kelas seorang diri.
"MKU lo belum masuk?" tanya Hanna sambil mengernyitkan dahi. Karena seingatnya, Jane sudah harus ada di kelas di pukul sembilan pagi ini.
"Telat masuk. Jadi dari pada gue dipermalukan dosen di depan kelas, alangkah baiknya gue bolos aja sekalian."
"Siapa dosennya?"
"Theo."
Hanna melepaskan tawanya. "No wonder, ya, kalau mantan lo yang ngajar. Kayaknya bakalan dipermaluin beneran soalnya sekalian balas dendam lo putusin dulu."
"Tau, tuh. Udah punya bini masih aja suka ngelirik-ngelirik yang lain," Jane mengedikkan bahu gak peduli. "Lo disini ngapain? MKU lo udah selesai?"
"Udah, gak ada dosen. Jadi abis presentasi langsung cabut semua."
"Gaaaah, thank God gue ada temennya."
"Eh, tapi gue mau cabut sama Jeff," Hanna nyengir. "Apa mau ikut aja?"
"Bad idea, emang mau kemana?"
"Mau ke tukang pijet. Dia abis keseleo gitu."
Perhatian Hanna teralih ke arah pintu masuk. Disana, cowok jangkung dengan jaket jeans mengedarkan pandangan mencari keberadaan sang pacar. Jadi Hanna mengangkat tangan, melambai. "Jeff!"
Jane mau gak mau jadi ikut noleh ke belakang, ikut ngeliatin cowok dengan lesung pipi yang langsung tersenyum manis. Dia berdecih, mencibir kemudian. "Dia kalau ngeliatin lo, kok, kayak ketemu duit semilyar, sih? Sumringah banget."
Hanna cuman terkekeh sebagai respon.
"Oit, Jane," sapa Jeff lalu duduk di samping Hanna.
"Oi. Kata Hanna lo mau ke tukang pijet?"
"Iya, abis keseleo gue."
"Jane mau ikut kita katanya," Hanna mengedikkan dagu ke arah teman baiknya. "Dia bolos matkul."
"Heh, bukan. Kagak, anjir. Lo kira gue mau jadi nyamuk?"
"Loh gue sama Jeff bukan mau pacaran. Mau ke tukang pijet. Ngapain jadi nyamuk? Lagian kalau nanti Jeff masuk ruangan, kan, gue jadi gak sendirian kalau ada lo."
Jane tetap menggeleng. "Gak. Gue kayaknya mau keluar, deh, kemana gitu cari makan."
"Ke kantin?"
"Gak, cari warung pinggir jalan. Hehe. Mau sarapan yang murah aja begitu, loh, Bu."
"Ya udah kalau gitu," Jeff berdiri. "Ayok, Han, berangkat sekarang. Lo yang nyetir, ya?"
Cewek yang jadi lawan bicaranya cuman memutar bola matanya malas. "Iya."
"Jangan mau, dong, dibabuin pacar. Lo, nih, kayak bukan temen gue, deh," Jane kompor sambil ketawa. "Harusnya cowok yang ditundukin."
"Ya elah gak tahu aja lo. Gue kurang nurut apa kalau sama Hanna?"
"Udah ayo. Jadi berangkat, gak, ini?"
Jeff merangkul pundak pacarnya. "Iya, iya, ayo."
"Jane, duluan."
"Iye. Lo masih ke kampus, kan, nanti siang?"
"Iya."
Jane mengangguk paham. "Oke! See you around.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Jane membawa mobil mewahnya parkir di pinggir jalan. Niatnya buat cari nasi pecel benar-benar dia wujudkan. Gak peduli ini cuman warung tenda, tapi kalau urusan lidah, yang beginian emang lebih nikmat dari pada restoran bintang lima.
Cewek dengan kaos crop dan celana jeans itu menggulung rambutnya asal sambil memasuki tenda. Sengaja dia cari yang sepi karena dia suka risih kalau ditatap abang-abang yang biasanya makan di warung pinggir jalan.
"Bu, nasi pecel satu, ya."
"Dimakan sini?"
Jane mengangguk.
"Ditunggu dulu, ya, Neng."
Setelahnya, cewek itu mengambil duduk secara asal. Mengingat disana ada dua kursi kayu yang panjang, jadi dia bebas memilih. Yang dia gak tahu, ternyata pengunjung di warung ini bukan cuman dia. Tapi ada satu lagi yang mana ternyata dari awal dia masuk, dia udah dilihatin.
Jane baru sadar pas dia mau naruh tas ke meja. Dia melirik ke kursi depan dan agak berjengit kaget karena ada manusia disana. Keterkejutan Jane semakin bertambah kala dia mengenali siapa laki-laki yang duduk di hadapannya.
"Lo... Christian bukan, sih?"
Cowok dengan kaos lengan panjang yang dilipat hingga siku itu mengangkat alis, mencoba mengingat-ingat.
"...temennya Hanna?"
Jane mengangguk. "Iya."
"Ooh," Christian gantian yang mengangguk. "Iya, gue Christian."
Diam-diam, Jane agak merasa terintimidasi karena tatapan cowok di depan dia ini lurus ke arahnya seolah meneliti. Tapi gak mau ketahuan kalau dia jadi salah tingkah sendiri, dia memilih sok cuek aja dan fokus sama hape.
Tapi kalau Jane boleh jujur, Christian ini gantengnya bener-bener bukan kaleng-kaleng. Kaisar, Theo, bahkan Jidi aja kalah semua. Christian punya bentuk wajah sempurna, dengan warna kulit bukan putih kayak Theo atau kecokelatan kayak Kaisar, tapi yang jelas warna kulitnya bagus. Belum lagi mata, bibir, alis, lengan, tato dan segala sesuatunya yang membuat aura Christian makin keluar.
Suara kekehan Christian membuat Jane tersadar dari lamunan. Astaga, jangan bilang kalau cowok ini sadar dari tadi Jane ngelihatin?
"Well, lady, ada yang mau lo tanyain or something? You look a little bit curious about me."
"Hah? Enggak. Gue ngelamun doang, bukan ngeliatin lo."
"Gue gak bilang lo ngeliatin gue, sih."
Hadeh, mampus.
Gak mau membiarkan perempuan asing di depannya jadi malu karena kalimatnya, Christian memilih membuka percakapan. "Nama lo siapa?"
"Gue?"
"Iya."
"Jane."
"Jane?"
"Jennie Laura."
Christian tersenyum. Batin Jennie menjerit. Haduh, Jesus, umatmu yang ini kenapa ganteng banget?
"Emang biasanya sarapan disini?" tanya cowok itu lagi. "Apa kebetulan?"
"Kebetulan. Biasanya sarapan di kantin kampus."
"Kampus mana?"
"Sama kayak Hanna, kok."
"Oh, kalian emang temen deket?"
Jane mengangguk. "Kalau gak deket, gak mungkin gue mau repot-repot nganterin dia pulang dalam posisi mabuk, dong, Chris?"
"Ryan," koreksinya. "Panggil Ryan aja."
"Ooh, sorry."
"No need to. Ngasih tahu biar lebih enak manggilnya aja."
Jane mengangguk-angguk. "Lo sendiri? Emang enggak ngampus jam segini?"
"Abis sarapan mau ke kampus langsung."
"Kampus mana?"
"Sama kayak Hanna, kok," jawabnya mirip dengan cara Jane menjawab dia tadi. Ryan menyeringai geli kala Jane melebarkan mata kaget. "Gue gak bohong, in case lo mau nuduh begitu."
"Serius? Kita sekampus?"
"Mm-hm. Lo Psikologi, kan? Gue Teknik."
"Ah, i see."
Emang cocok jadi anak Teknik, sih, dia. Batin Jane lagi.
"Jane," panggil Ryan beberapa saat setelah mereka diam-diaman cukup lama.
Cowok itu lagi mikirin satu hal : kenapa lidahnya nyaman banget manggil nama cewek di depannya ini seolah mereka udah kenal lama?
"Iya?"
"Gedungnya Psikologi itu yang deket sama HI, bukan?"
"Iya. Kenapa?"
"Gak papa." Cuman mastiin kalau berarti gedung Teknik sama Psikologi gak jauh-jauh banget. lanjut Ryan dalam hati.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Gak ngerti ada angin apa, atau apa maksud Tuhan sebenarnya, tapi setelah pertemuan di warung pecel pinggir jalan beberapa hari lalu, Jane ngerasa jadi sering ketemu sama Ryan. Gak cuman sekali dua kali.
Pertama setelah kejadian sarapan di tempat yang sama itu. Yang kedua, dia papasan sama Ryan yang bawa motor ngebut nyalip dia di parkiran gedung fakultasnya tempo hari tanpa pakai helm, yang ketiga dia sekilas ngelihat Ryan masuk ke kamar mandi kantin fakultasnya, yang ke empat... gak ada. Cuman tiga kali artinya.
Yang jelas, berapa kalipun dia gak sengaja ngelihat mukanya Ryan, satu hal yang jadi alasan Jane agak bingung. Ngapain Ryan ada di gedung fakultasnya? Bukankah waktu itu Ryan sendiri yang bilang kalau dia anak Teknik, bukan Psikologi?
Dan ini kejadian lagi.
Di antara banyaknya manusia yang lagi ada di depan ruangan dosen gedung Fakutas Psikologi—Jane ulang sekali lagi, di depan ruangan dosen gedung Fakultas Psikologi, dia menemukan kembali cowok ganteng nan keren lagi jalan dari arah berlawanan. Dengan menggendong gitar di sebelah bahu, Ryan terlihat makin cakep karena lagi ketawa.
“Loh, Ryan?”
Bukan, itu bukan suara Jane, melainkan suara Hanna.
“Hai, Han,” sapa Ryan yang tahu-tahu udah berdiri di samping Jane. “Hai, you too.”
“Hai?” Jane masih mengerjap bingung. “Kenapa bisa disini?”
“Well, ini masih kampus tempat gue menuntut ilmu, right?”
“Ya iya, sih, tapi—“
“Wait, wait, lady and gentleman, kok kalian kayak akrab banget?” sela Hanna bingung. “Perasaan kalian cuman sempet ngobrol bentar di Swill waktu itu, ya, gak?”
“Gue ketemu Jane beberapa hari lalu pas lagi di warung pecel.”
Hanna langsung ber-oh ria dan mengangguk-anggukkan kepalanya paham. “Kok bisa di gedung Psikolog?”
“Lagi ada urusan sama temen, sih, tadi.”
“Kok sering ke Psikolog?” Jane gak mampu menahan lebih lama lagi rasa penasarannya tanpa alasan. “It’s not my first time seeing you here.”
“Really?”
Jane mengangkat alis. “Apanya?”
“You’re not even saying hello everytime you met me? I’m not once or twice looking for where you at.”
“Oh, wow,” Hanna terkekeh kecil setelah dari tadi cuman jadi pengamat Ryan dan Jane. “Well, i gues both of you have a private business—“
“No!” sela Jane, entah kenapa harus salah tingkah juga denger Hanna ngomong begitu. “We’re not.”
Ryan malah ketawa. Tapi kepalanya mengangguk. “Bercanda, Han, elah.”
“Astaga, kirain beneran nyari Jane sampai ke gedung Psikologi.”
“Well, misal gue beneran nyari dia, bukan masalah, kan? She’s single, am i wrong?”
Haduh, sejak kapan, sih, Jane jadi gampang salah tingkah? Masa cuman karena Ryan ngelirik dia sambil ngomong begitu, ditambah seringai geli, dia merasa pipinya langsung memerah?
“She is. Boleh, deh, kalau lo mau minta tolong gue buat jadi comblang.”
Jane melotot. “Han, god damn it. Lo kira ini masih jaman deketin orang harus pakai perantara?”
“Ooh, dianya mau langsung aja, Yan, ternyata.”
“Han, really...” Jane mendesah frustasi. “Ini lo berdua ngomongin apa, sih?”
Kompak, Hanna dan Ryan ketawa. Entah ngetawain apa, yang jelas berhasil bikin Jane jadi bete sendiri karena dia ngerasa kali ini dia emang kayak bocah yang bergabung ke perkacapan orang tua tapi gak dibolehin ngerti maksudnya.
“Baby,” Jeff tiba-tiba muncul dan menarik pinggang Hanna. Gak ngerti dateng dari mana, tiba-tiba cowok itu udah masang wajah gak enak aja karena mendapati ada laki-laki yang jelas gak bakal dilupain Jeff karena suatu hal itu. “Kenapa disini sama dia?”
Jane disana hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sadar seratus persen apa yang lagi dilakuin Jeff.
“I’m not going to steal your girlfriend,” jelas Ryan santai.
“And i’m not talking to you,” jawab Jeff masih dengan nada ketus. “Han? Explain something.”
“Haduh, apa, sih? Orang gak sengaja ketemu doang. Dia kebetulan kesini, jadi aku nyapa. That’s it. Nothing more.”
Pas Jeff noleh lagi ke Ryan, cowok yang diketusin itu cuman mengangkat alisnya tinggi, “See?”
“Jijik banget cowok lo cemburunya gak tahu situasi,” julid Jane yang dibalas kekehan oleh Ryan. “Hanna cuman ngobrol aja lo seposesif ini.”
“Bodo amat, ya, Jane.”
Jane menirukan kalimat Jeff barusan dengan nada dibuat-buat alias ngeledek. Karena tahu bakal ada perdebatan gak penting setelah ini, Hanna langsung berinisiatif buat ngebawa pacarnya pergi aja sekalian. Jadi yang dia lakukan adalah berpamitan ke Jane dan Ryan buat pulang dan menarik Jeff dari sana.
“Loh, katanya mau ke Gowlie sama gue?!” protes Jane gak terima.
Iya, lah, gimana bisa dia terima gitu aja kala rencana yang dia buat dengan Hanna sejak seminggu lalu buat hangout ke kedai es krim baru di depan kampus tiba-tiba gagal cuman karena Jeff?
Hanna nyengir. “Next time, deh. Gue kelupaan juga janjiin Jeff buat nemenin nugas.”
“Oh, jadi lo sekarang milih Jeff dari pada sahabat hidup dan mati lo?” Jane sengaja milih kosa-kata yang lebay. Dia berlagak sok sakit hati dengan meletakkan kedua tangan di depan d**a. “Tega lo, Han.”
“Minta temenin Ryan aja, deh. Kayaknya dia lagi free juga, tuh.”
Gak tahu apakah Hanna emang niat jadi mak comblang atau cuman sekedar asal nyeplos, tapi jujur aja apa yang dibilang Hanna bikin Jane gak enak. Gimanapun, sekepingin apapun dia ke kedai Gowlie yang baru opening minggu lalu itu, dia sama Ryan gak pernah ketemu dan ngobrol selain momen warung pecel. Ya, kali, sekarang tiba-tiba dia mau minta temenin Ryan?
“Udah, ya, bye!”
“Hah, gue beneran ditinggal, dong?!”
Hanna cuman tertawa sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
Jane akhirnya noleh ke Ryan. “Lo mau tetep disini atau gimana? Gue mau cabut soalnya.”
“Gue?” Ryan menuding diri sendiri. “Hm, kalau lo mau kemana? Jadi ke Gowlie?”
Jane melipat dahi. “Kenapa? Beneran mau nemenin gue?”
Jujur aja, pas nanya gitu, Jane bukan bermaksud berharap apa lagi memaksa. Tapi murni karena dia iseng aja, setengah ngeledek. Tapi dia jadi melipat bibir ke dalam karena Ryan mendekat satu langkah dan menatapnya lurus.
“Boleh ikut, gak? Kebetulan gue lagi free, sih, emang. Bingung mau kemana.”
Well, Jane, kenapa lo salah tingkah lagi?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *