* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Kalau Hanna tahu gimana Jane sekarang gampang salah tingkah cuman karena cowok yang bahkan belum dikenal lebih dari sehari, pasti dia udah diledekin habis-habisan. Ayolah, siapa sih yang gak tahu kalau ada dewi yang dipuja dan dipuji sama cowok seantero kampus karena selain cantik dan seksi, Jane juga punya aura kuat buat menarik perhatian cowok?
Kalau boleh lebai sedikit dan pamer, Jane berani bertaruh semua cowok gak bakal ada yang nolak ketika Jane mendekat. Dari mulai adik tingkat, anak seangkatan, kakak tingkat, hingga dosen, dan om-om bersuami di luar sana, Jane udah pernah semua.
Tentu aja yang pernah beneran jadi pacar cuman diitung jari. Dia emang nakal, tapi bukan berarti dia murahan yang mau diajak tidur sana-sini. Kalau ada gosip yang terdengar kalau dia cabe-cabean karena semua cowok yang deketin dia tidur sama Jane, itu cuman bohong. Itu cuman akal-akalan lambe turahnya kampus buat ngerusak reputasi Jane.
Karena yang ada di faktanya, Jane cuman pernah tidur sama mantan pacarnya yang resmi : Kaisar, Theo, dan Jidi. Gak pernah ada yang lain. Cowok-cowok mulut banci di luar sana cuman mau panjat sosial dengan menyebar gosip kalau mereka berhasil meniduri Jane.
Tanya aja sama Hanna kalau gak percaya. Teman yang satu karakter, teman yang paling Jane cintai, yang selalu jadi tempat mencurahkan isi hati, ya, emang cuman Hanna. Dia bahkan gak pernah punya temen deket dari jaman masih TK sampai detik dia masuk kuliah. Baru Hanna doang yang cocok dan awet temenan sama dia. No wonder, gimana mau enggak cocok kalau karakter mereka aja sama persis? Bedanya Hanna lebih nakal dikit karena dulu dia suka banget nge-PHP in cowok—sebelum kenal Jeff dan balik bucin.
Dari sekian banyak reputasi buruk yang dimiliki Jane, apakah pernah dia mencoba satu kali aja membersihkan namanya? Jawabannya jelas : enggak pernah. Toh, buat apa? Jane bukan pengemis yang mau minta orang lain buat gak mandang dia sebelah mata, apa lagi direndahin. Dia gak peduli orang mau ngecap dia kayak apa, kayak sampah, kek, kayak cabe-cabean, kek, apapun, dia sungguh gak peduli.
Dia gak bakal peduli begituan, at least selama temen-temen yang dia percaya tahu kalau Jane emang gak begitu, kok, sebenarnya. Tanya aja sama Hanna—lagi, atau Juno, Gana, dan tiga mantannya. Mereka jelas tahu seburuk-buruknya Jane di mata masyarakat—bahkan di mata mamanya sendiri yang suka mengomel itu—Jane cuman manusia biasa yang masih punya banyak kelebihan.
Sebut aja tentang sifatnya yang sangat loyal.
Jane kalau udah sayang sama orang, beneran bakal ngasih semua yang dia punya, semampu dia bakal ngebantuin. Lihat gimana dulu dia bucin total sama Kaisar. Tapi dia gak bodoh, kalau udah disakitin, dia gak mau balik lagi. Cui, gini-gini dia masih bisa mikir waras sekalipun udah terlanjur cinta.
Yang kedua, Jane punya otak jenius. Well, gak bisa disebut jenius juga, sih, karena pinternya dia bukan pinter kayak ilmuwan atau profesor. Tapi etetp, kalau dibanding Hanna, jelas Hanna gak ada apa-apanya. Itu juga yang bikin Jane kelihatan seksi di mata orang. Tahu pepatah Inggris yang bilang bahwa smart is the new sexy, kan? Itu Jane banget.
Yang ketiga, dia sayang banget sama Papa dan Mamanya. Walaupun dia bukan anak penurut—yang sebenarnya malah lebih sering bandel dan gak nurutnya—dia menyayangi kedua orang tuanya dengan sangat. Ada malam dimana dia bener-bener overthinking dan mau mikirin Tuhan tiba-tiba dan berdoa biar orang tuanya dikasih umur panjang.
Yang keempat, Jane, tuh, gampang gak tegaan. Sebenernya yang ini adalah sifat yang baru tumbuh di dirinya. Sejak berteman dengan Hanna, dia jadi ikutan punya rasa simpati yang tinggi. Dulu mana pernah. Boro-boro, deh, punya rasa simpati. Dia ngelihat ada orang kecelakaan di depan matanya aja dia bakal bodo amat. Tapi karena berteman tiga tahun lamanya sama Hanna, dia jadi sering ngelihat temen baiknya itu ngasih sedekah ke pengemis di lampu merah, tiba-tiba beliin nasi buat ojek di pangkalan yang padahal gak cuman satu orang, ngasih payung ke anak kecil yang mau pulang tapi harus neduh di toko dulu. Hal sekecil itu yang dilakuin Hanna bikin dia ikut terenyuh. Lama-kelamaan, tiap dia ketemu orang kesusahan di jalan, dia jadi tergerak untuk membantu.
Alright, that’s more than enough to describe what Jennie Laura is.
Back to the topic. Dikenal jadi playgirl dan suka bikin cowok ngiler sekaligus dipatahin hatinya, kini tiba-tiba dia jadi cewek yang gampang salah tingkah kayak dia baru lulus SMP dan dideketin cowok aja, ya, gak? Make sense, gak, tuh? Jelas enggak.
Jane aja juga gak tahu kenapa dia jadi selemah ini kalau sama Ryan. Well, mungkin dia tahu alasannya. Karena Ryan ganteng. Sesimpel itu. Mata laki-laki itu tajam. Setiap kali Jane bertatapan, rasanya dia udah pengen menggeliat aja karena bagian bawahnya terasa basah. Bagaimana cara bibir Ryan menyeringai geli tiap menemukan dia merona, selalu berhasil bikin jantung Jane gak menentu.
Apakah dia jatuh hati pada pandang pertama ke cowok itu? Mneurut Jane, sih, enggak. Karena dulu pas pertama ketemu Ryan di Swill, dia bener-bener ngelihat Ryan biasa aja, gak ada yang menarik. Di pertemuan kedua di warung pecel, dia cuman bisa mengambil kesimpulan kalau cowok itu ganteng dan punya badan bagus. Gak ada yang lebih.
Tapi di pertemuan ketiga ini, rasanya Jane bisa mengambil kesimpulan lagi.
Bahwa Ryan punya daya pikat yang sangat kuat, dan Jane tahu, sedikit aja Ryan mencoba merayunya, dia bisa jatuh begitu saja.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Her light is as loud as many ambulances
As it takes to save a saviour
She floats through the room on a big balloon
Some say she's such a fake, that her love is made up
Let's have another toast to the girl almighty
Let's pray we stay young, stay made out of lightning
Jane beneran gak tahu kenapa Ryan bisa sesantai itu dengan bilang bahwa dia mau ikut dia ke kedai es krim. Kayak aneh aja, gak, sih, kalau dipikir-pikir?
Yang pertama, Jane dan Ryan gak bisa dibilang berteman dan kenal dekat. Kenapa cowok itu pede banget bilang kalau dia mau nemenin Jane ke Gowlie?
Yang kedua, dengan Ryan yang lengan tangannya penuh tato dan badan kekar kayak Agung Hercules—gak, ini cuman bercanda dan hiperbola—tapi tetep aja badan gedenya Ryan gak cocok buat diajak nongkrong di kedai es krim.
Yang ketiga, Jane menebak mereka berdua bakal berakhir canggung kalau berduaan dan duduk berhadap-hadapan sambil makan es krim. Mau ngomongin apa coba?
Yang selanjutnya... gak ada. Cuman itu. Tapi tiga alasan itu beneran masuk akal. Makanya pas Ryan tanya, “boleh ikut, gak?” Jane jadi melontarkan tanya balik.
“Beneran mau ikut? Beneran banget?” katanya mencoba memastikan. Karena dia gak yakin kalau Ryan bakal nyaman sama dia, atau juga sebaliknya. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kenapa juga Jane jadi mikirin banget?
Jadi setelah Ryan mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaannya, dia cuman mengedikkan bahu dan jalan lebih dulu, yang mana dia sadar kalau Ryan ternyata beneran mengekor mengikutinya dari belakang.
Keduanya memilih buat jalan kaki karena jarak gedung dan gerbang kampus kali ini gak terlalu jauh. Kemudian dari gerbang kampus ke kedai cuman tinggal nyebrang.
“Lo beneran segabut itu sampai-sampai mau ikut gue?” tanya Jane merasa aneh, sembari kini memelankan langkahnya kala menemukan Ryan mencoba menyamakan kecepatan kaki mereka.
Ryan mengedikkan bahu.
Mata Jane memicing. “Apa, tuh, maksudnya?”
“Kenapa, deh? Lo keberatan gue ikut?”
“Kalau gue jawab iya?”
“Emang kenapa harus keberatan?”
“Well, we’re not that close to be called as friend, kan?”
Ryan tiba-tiba geser satu langkah ke arah kiri, membuat pundak mereka jadi makin deket sambil kaki masih sama melangkah.
“Ini emang not close enough to be called as friend?”
Jane memutar bola matanya “Terserah.”
Keduanya kemudian menyeberang bersamaan, tak banyak kalimat yang keluar dari bibir Ryan dan Jane setelahnya. Jane juga membiarkan Ryan membukakan pintu kedai es krim kala keduanya sudah sampai di tempat tujuan.
Ganteng, ceklis.
Seksi, ceklis.
Sekarang nambah satu poin. Gentleman, ceklis.
Jane berdecak dalam hati. Ngapain juga harus ngelist? Emang kenapa kalau nantinya ternyata Ryan bakal memenuhi semua kriteria cowok yang masuk ke dalam tipe pacarnya?
“Lo mau pesen apa?”
Jane menuding diri sendiri. “Lo nanya gue?”
“Nanya Hanna, misal gue kesininya sama dia.”
Jane mencibir.
Keduanya berdiri di depan meja kasir, karena sebelum duduk di meja, mereka memang harus mengkonfirmasi pesanan dan membayar di awal sebelum diperbolehkan duduk dengan membawa nomor meja.
Gowlie ini memang kedai es krim baru—baru banget opening minggu lalu—dan karena tempatnya strategis banget alias ada di seberang kampus, gak kaget kalau belum apa-apa udah rame aja tempatnya. Jane bahkan bisa ngelihat beberapa orang yang dia kenal menduduki bangku di sana-sini.
Cewek itu melirik ke arah Ryan sekilas yang lagi memegang buku menu dan membacanya khidmat. Dia tertawa dalam hati menemukan sosok cowok dengan badan L-Men ini berada di tempat yang menunya cuman ada es krim dan warna dinding serta interiornya penuh warna merah muda. Bener-bener kontras dan gak cocok banget.
“Matcha taro aja, Mbak,” Jane menutup buku menunya dan meletakkan di tempat semula. “Toppingnya caramel sama Oreos, ya.”
Ryan mengernyit aneh mendengar pesanan Jane, bikin cewek itu langsung sewot berkomentar. “Kenapa?”
“Gak papa. Matcha plus taro just seems weird.”
“Nah, so you should try it.”
“Thank you but no,” Ryan noleh ke kasir. “Saya chocolate vanilla, ya, Mbak.”
“Toppingnya, Kak?”
“Eum, sprinkle?”
Jane tersenyum ngeledek. “So basic,” gumamnya—tapi Ryan berhasil dengar. Sayangnya cowok itu gak niat menjawab, jadi setelah memesan dia langsung membuka dompet dan mengeluarkan kartunya.
Sayangnya lagi, dia kalah cepat sama Jane yang udah ngeluarin black card andalannya.
“Here.”
Ryan berdecak, menepis tangan Jane. “Use mine.”
“Hah? Gak. Split bill aja kalau gitu.”
“Jane,” desis Ryan gak suka—yang mana cewek itu merasa bulu kuduknya merinding seketika kala mendengar namanya keluar dari bibir Ryan dengan setengah berbisik begitu. Karena fokusya terpecah itulah, dia kemudian membiarkan Ryan membayarkan tagihan mereka berdua.
“Duduk di pojokan aja,” ujar Jane kala keduanya lagi mengedarkan pandangan nyari kursi kosong karena lebih banyak tempat yang gak kosong.
Ryan ngangguk aja, kakinya mengikuti kemana Jane melangkah.
Yang mereka berdua gak sadari, dua manusia yang tengah berjalan berdua di tengah keramaian itu jadi bahan bisik-bisik pelanggan disana. Oh, god. Emang siapa yang gak kaget kalau seorang Jennie Laura yang dikabarin udah jomblo selama hampir enam bulan ini tiba-tiba bersama cowok dari Teknik yang namanya juga diagung-agungkan?
Berkat momen ke Gowlie bersama itulah, tiba-tiba beredar foto mereka berdua mulai dari memasuki pintu kedai, di depan kasir, berjalan nyari meja, sampai pas duduk dan mengobrol, tiba-tiba tersebar di berbagai sosial media Lambe Turah-nya kampus.
Captionnya : Idaman para cewek dan idaman para cowok di kampus tiba-tiba jalan berdua. Fiks, hari ini resmi jadi Hari Patah Hati Nasional.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Tapi mereka berdua mana peka. Baik Jane dan Ryan sama-sama gak peduli apa yang terjadi di sekitarnya, padahal semua orang jelas dari tadi ngelihatin mereka berdua kemudian ngerumpi.
Jane menyendok es krimnya, tak memperdulikan Ryan yang berkali-kali ngelirik ke arah dia. Sampai kemudia Ryan sendiri yang pertama kali embuka percakapan.
“That’s your favorite flavour?”
Jane jadi mengangkat kepala, dia menunduk sekilas melihat es krim di gelasnya lalu menatap Ryan. “Ini? Bukan jadi. I have no special at one. Gue suka semua rasa.”
“Taro is the most weird flavour in the world.”
Jane jadi memutar bola matanya. “Lidah lo norak. Tahunya yang basic doang. Chocolate, strawberry, vanilla.”
“Well, itu, kan, emang rasa dasar. Semua orang suka.”
Jane menyendok es krimnya lagi, menyuap ke mulutnya sendiri lalu berkomentar. “Tapi temen gue juga banyak, sih, yang gak suka taro. Jadi, ya, gak kaget lo bilang gitu.”
“Nah,” Ryan menyeringai. “Told you so.”
“Terus apa kalau suka taro? Enggak, kan?”
“Gue gak bilang gitu juga, sih. Emang di lidah lo, rasanya taro kayak gimana?”
“Hah? Ya kayak taro.”
“Maksud gue, di lidah gak aneh apa?”
Jane jadi menelengkan kepala. Sebagai mahasiswa Psikolog, dia, nih, termasuk mahasiswa yang pinter menganalisis timbang yang lain. Jadi dia mencoba menebak isi kepala Ryan kali ini.
“Waiyt,” ujarnya sambil menaruh sendok. “Lo pernah nyoba taro terus ada trauma?”
“Exactly. Lo tahu Pop Ice?”
“Pop... ice?”
Jane clueless sama maksudnya Ryan. Dia gak pernah mendengar kalimat itu sebelumnya, jadi dia memajukan wajah dengan kening berkerut. Karena ekspresinya yang begitulah, yang bikin Ryan malah lebih kaget lagi.
“Jangan bilang lo gak tahu Pop Ice?!”
“...emang enggak, sih...”
“Damn,” Ryan membelalak gak percaya. “Itu minuman yang udah populer banget. Jangan-jangan lo gak pernah SD, ya?”
“Enak aja. Gue SD, tahu.”
“Dimana?”
“LA.”
“LA Los Angeles?”
“Ya, iya.”
“Pantesan.”
Jane bisa mengambil kesimpulan kemudian. “Lo dulu beli Pop Ice rasa taro terus gak enak? Terus akhirnya kapok?”
Ryan mengangkat satu alisnya tinggi, agak terpukau karena dia gak perlu jelasin panjang lebar dan Jane udah bisa menebaknya dengan tepat.
“You did good at Psychology, i guess.”
“I know right.”
“Iya, intinya begitu. Jadi gue gak mau nyoba taro.”
Jane mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda kalau dia paham dengan trauma yang dialami Ryan. “Harga Pop Ice berapaan? Kalau di bawah lima puluh ribu, no wonder rasanya bakal bikin lo trauma.”
“Seribu lima ratus kalau gak salah.”
“Ya elah,” Jane mendengkus. “Ya pantes. Itu cuman pakai perasa doang, bukan taro beneran.”
“Iya kali, ya?”
“Emang iya. Kalau taro di minuman yang agak mahalan, apa lagi di ice cream begini, enak kok.”
“Well, gue gak minat.”
“Ya... in case lo mau sembuh dari trauma lo.”
Ryan ketawa. Menertawakan kosa kata yang dipilih Jane. Karena itu terdengar seolah dia puya trauma hebat sampai-sampai harus sembuh segera. Padahal ini, kan cuman perkara taro doang.
“Berasa gue lagi berobat ke lo, ya. Mentang-mentang anak Psikolog.”
Jane mencibir. “Bukan gitu juga, kali. Tapi beneran, sebagai pecinta taro—well, gue lebih addicted sama matcha, sih, sebenernya—gue maksa lo buat nyobain es krim gue.”
“Jane,” Ryan langsung memicing. “I won’t.”
“Percaya sama gue, gak bakal lo temuin taro macem di SD lo.”
Ryan tetep menggeleng. “Thanks but no.”
“Astaga, kenapa, sih, jadi kayak bocah? Padahal disuruh nyoba dikit donag.”
Kali ini, laki-laki itu jadi mendesah pasrah sebelum akhirnya mengangguk. Jane tersenyum kemenangan. Well, apa sih yang gak bisa dia dapetin? I want it, i get it, kalau kata Mbak Ariana Grande, mah.
Jane menyodorkan gelas miliknya di tengah meja kepada Ryan, kemudian membiarkan Ryan menyendok menggunakan sendoknya. Sekali lagi biar makin jelas, Ryan menyendok menggunakan sendok milik Jane. Lalu menyuapkan ke dalam mulutnya sendiri. Untung aja Jane bukan tipe cewek yang bakal tersipu malu atau apa lagi marah karena sendoknya dipakai orang lain—well, yang penting bukan orang yang asing banget aja,
“Ya elah, segitu mah gak kerasa.”
Ryan mencecap rasa di lidahnya. “Kerasa, kok.”
“Enggak. Orang lo nyendoknya gak ada seujung kelingking gue.”
Gemas, Jane lansgung menyendok es krim lagi, kali ini dengan bagian yang lebih besar, lalu menghadapkan di depan wajah Ryan, bikin cowok itu memundurkan kepala seketika. Dia menatap Jane sesaat sebelum membuka mulut dan memakan es krim yang disodorkan Jane.
“Gimana?”
Ryan mengangguk-angguk. “Not bad.”
“Bukan not bad, kali. Tapi emang good.”
“Iya, terserah. Intinya it’s way better dari pada taro di SD.”
Jane menyeringai senang lalu menarik gelasnya kembali ke hadapan dia dan menikmati es krimnya. Cewek itu bener-bener. Dia gak sadar dia bahkan bisa berteman sama Ryan sedekat ini padahal cuman berapa menit doang baru barengan. Yang di warung pecel kan gak masuk hitungan karena keduanya gak banyak ngomong.
Ryan menyunggingkan senyum mengamati cewek itu kini udah fokus sama es krimnya sendiri dan gak lagi ngajak dia ngobrol. Seolah fungsinya Ryan kesini tadi emang mau berobat ke Jane buat nyembuhin traumanya dari rasa taro.
That’s kinda cute. Batin Ryan.
Could wake up, and make up, and play dumb
Pretending that I need a boy
Who's gonna treat me like a toy
I know the other girls wanna wear expensive things, like diamond rings
But I don't wanna be the puppet that you're playing on a string
This queen don't need a king
I don't know what you've been told
But this girl right here's gonna rule the world
that's where I'm gonna be because I wanna be
No, I don't wanna sit still, look pretty
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ryan.
Nama lengkapnya Christian Dave. Seharusnya, dia dipanggil Dave karena Christian adalah nama bapaknya—well, marga doang, sih, sebenernya. Tapi gak tahu kenapa, dari kecil dia gak suka dipanggil Dave karena hal sepele. Waktu itu, dia nonton film sama bokap dan nyokapnya. Film genre family yang mana ada karakter anak bernama Dave yang nakalnya minta ampun dan berakhir mati karena lari-lari di tengah jalan.
Sesimpel itu. Lalu apakah sebelum menonton film Christian Dave emang dipanggil Dave? Jawabannya iya. Kemudian semua berubah karena film yang membuat dia jadi emosi sama tokoh Dave di film barat lawas yang dia tonton dulu.
Nama bokapnya Tom Christian. Lahir di Amerika Serikat alias punya darah bule dan menikahi wanita Indonesia yang punya darah campuran Korea dan Jawa. Berkat campuran dari berbagai ras itulah yang bikin Ryan punya tampang semenarik ini.
Setiap kali dia melakukan perkenalan dengan teman barunya mulai dari masa kecil sampai kuliah, dia selalu menjumpai pertanyaan yang sama.
Yang pertama adalah, “Kenapa lo ganteng banget?”
Yang kedua adalah, “Kenapa lo gak dipanggil Chris atau Tian? Kenapa malah Ryan pakai huruf Y bukan I?”
Ryan beneran gak tahu kenapa orang lain bisa sekritis itu menganalisis nama panggilannya. Kenapa juga mereka harus menanyakan hal yang gak bermanfaat buat masa depan mereka? Ya walaupun dia tahu sebenarnya itu cuman basa-basi sebagai teman baru, atau alasan lainnya karena yang nanya cewek dan of course si cewek itu lagi cari perhatian ke dia.
Padahal jawaban dari pertanyaan kedua itu simpel, karena dia pengen. Sebatas karena Ryan pengen dipanggil Ryan, bukan Chris, Tian, ataupun Rian pakai I.
Chris itu panggilan nama yang terlalu bule, Tian sendiri terlalu norak dan pasaran, Rian pakai I juga sama pasarannya. That’s why Ryan milih ‘Ryan’.
Sementara pertanyaan pertama, tentu aja yang tanya selalu cewek.
“Karena gen,” jawab Ryan singkat setiap kali ditanya begitu.
Well, kenapa juga mereka harus tanya begitu sementara Ryan aja gak tahu jawaban yang tepat karena dia gak nyiptain muka dia dengan tangannya sendiri? Jawaban pertama adalah takdir, jawaban kedua adalah karena bokapnya bule dan ibunya orang Korea, jadi maklum, dong, kalau Ryan seganteng ini?
Soal tampang, Ryan emang berhak sombong. Cowok itu mengakui juga, kok, kalau tampangnya emang seganteng itu. Bukannya over percaya diri, ini cuman ngomongin fakta. Bahkan selama ini, Ryan jarang banget deketin cewek lebih dulu. Dia cuman pernah deketin satu cewek dan berakhir gagal karena cewek yang dia kejar milih yang lain—yang sialannya gak lebih ganteng dari dia. Selain itu, dia mulu yang dikejar-kejar. Berasa maling, kan, jadinya pakai dikejar-kejar?
Christian Dave tumbuh di keluarga yang harmonis. Alih-alih menyebut harmonis, dia kayaknya lebih enak nyebut bokapnya terlalu bucin sama nyokap. Itu alasan kenapa kalau di rumah, dia pengen minggat aja karena gak tahan ngelihat bokapnya nempel mulu sama nyokap.
Tapi semuak-muaknya dia sama bokapnya yang suka gak tahu tempat buat cium-cium dan peluk-peluk bininya di rumah padahal ada orang lain di sekitar mereka, sebenarnya Ryan juga bersyukur. Bersyukur banget malah. Karena gak semua orang di dunia ini punya kehidupan yang harmonis dan adem-ayem di dalam rumah.
Bokapnya tipe bapak yang teges, tapi bukan berarti protektif. Posesif, sih, sewajarnya aja, seperti orang tua sempurna yang berperilaku seperti seharusnya aja. Gak pernah yang ngelarang anak buat ini dan itu, dan memaksakan kehendak anak untuk ini dan itu. Hal inilah yang bikin Ryan menjunjung tinggi keluarganya di atas apapun.
Tumbuh dengan sikap manis ayahnya kepada sang ibu, membuat Ryan disempurnakan dengan kaarkter gentleman. Dia gak pernah mau sembarangan macarin anak orang kalau gak beneran sayang, gak mau tidur sama cewek kalau bukan karena mau gak mau, bukan tipe cowok b******k yang suka gonta ganti cewek macem ganti celana dalem.
Tapi kayak gimanapun Ryan ngejelasin sama orang kalau dia beneran seperti itu, gak bakal ada yang percaya. Jangankan di kampus, sejak dia SMP, dia udah dijuluki buaya darat padahal pas SMP dia gak pernah macarin siapapun. Aneh, kan?
Saking banyaknya gosip gak bener yang beredar di luar sana, lama-lama dia males ngejelasin. Jadilah sampai saat ini, reputasinya buruk. Apa lagi setelah dulu dia kena SP dari kampus karena ketahuan make out sama gebetannya di parkiran kampus.
Yah, yang satu itu dia gak bisa ngelak, sih. Dia ngaku salah. Ya gimana, sih, namanya lagi di puncak gairah dan udah gak bisa ditahan, terus gebetannya waktu itu malah sengaja mancing, jadilah dia jadiin di dalam mobil sekalian. Eh baru juga gebetannya dulu naik ke pangkuan, pintu mobil udah diketuk.
Tapi sekali lagi, Ryan gak pernah peduli sama reputasinya yang terlanjur dikenal buruk sama orang. Mulai dari kena SP, kabar hoaks soal dia yang bolak-balik nidurin anak orang padahal boro-boro, kemudian ditambah banyaknya tato yang dia punya.
Once again biar makin jelas kesimpulannya.
Baik Ryan maupun Jane memiliki karakter dan reputasi yang sama.
They say we're losers and we're alright with that
We are the leaders of the not coming backs
But we're alright though
Yeah, we're alright though
We are the kings and the queens of the new broken scene
Yeah, we're alright though
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
My shrink is telling me I got crazy dreams
She's also saying I got low self esteem
She's kinda hot though
Yeah, she's kinda hot though
(Just a little bit, a little bit hot)
She put me on meds, she won't get out of my head
She's kinda hot though
Kalau Ryan disuruh jabarin First Impression-nya tentang cewek yang sekarang lagi duduk di depannya ini, Jennie Laura, maka ada banyak yang muncul di kepalanya.
Dulu, sebelum dia ke Swill dan berujung dia mesra-mesraan sama Hanna walaupun dia tahu disana dia cuman jadi pelampiasan cewek itu doang karena lagi punya niat manas-manasin mantannya, Ryan gak punya niat sedikitpun ke club buat mabuk apa lagi cari perempuan yang bisa dia tidurin. Yang kayak gitu sama sekali bukan Ryan.
Niatnya ke Swill saat itu murni karena dia gak enak buat nolak ajakan temen kampusnya yang bilang kangen kumpul-kumpul. Mengingat mereka udah semester tua—semester enam, sih—mereka emang udah jarang banget hangout apa lagi sampai teler. Ryan pernah aktif jadi pemabuk pas kelas dua belas SMA sampai semester 4. Mulai semester lima kemarin, jujur aja, dia emang udah jarang banget minum alkohol. Ya, walaupun dia gak bakal bohong kalau apartemennya masih nyimpen satu kardus wine.
Tapi emang dia cuman manusia dan yang punya rencana terbaik itu cuman Tuhan, siapa yang sangka kalau ujung-ujungnya dia malah ditinggalin temen-temennya buat ke dance floor cari teman tidur sementara dia jadi sendirian di table-nya?
Kemudian, gak lama setelah itu, dia mendapati Hanna duduk di sampingnya. Bohong kalau Ryan bilang Hanna jelek. Cewek itu beneran gak ada cacatnya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, semua serba sempurna. Gak heran kalau mantan Hanna waktu itu—yang sekarang jadi pacarnya lagi—bucin glila-gilaan ke Hanna.
Tapi sayangnya, bahkan dari pertama ketemu, mata Ryan malah gak bisa lepas dari sosok cewek tinggi—tapi tinggian Hanna—dengan dress hitam ketat yang mana lengannya panjang sementara bagian bawahnya pendek banget—kayaknya hampir seperempat doang dari pahanya.
Ryan gak tahu nama cewek itu sebelumnya. Yang dia tahu, dia temen Hanna. Karena dari awal, Jane emang udah dateng sama Hanna.
Dengan lipstik merah menyala dan rambut terurai, Ryan bersumpah dia gak pernah ketemu sama cewek sepanas ini. Hanna emang cantik, tapi ada sesuatu yang bikin Ryan lebih gak bisa memalingkan wajah dari Jane.
Dia menatap ke arah sekitar, dan benar saja. Kayaknya bukan dia yang tersihir sama kecantikan Jane, tapi beberapa kali dia juga mendapati cowok-cowok bersiul menggoda setiap Jane lewat.
Well, mungkin itu first impression dari Ryan. Jane punya wajah yang menarik. Dengan mata tajam yang selalu tampak membuat perempuan itu terkesan menggoda padahal sebenernya enggak, bibir penuh yang mengundang Ryan ingin merasakan lembutnya, juga rambut dan kulit halus yang membuat Ryan ingin memberikan belaian, tiga kata yang cocok Ryan sematkan pada gadis itu :
She’s f*****g hot.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Jane."
Demi Tuhan Jesus, Jane kenapa, sih? Kenapa cewek itu selalu ngerasa merinding tiap Ryan manggil namanya? Mana suaranya dalem banget pula.
Dia memegang pipinya, sok-sokan lagi menopang dagu padahal dia berharap Ryan gak tahu kalau pipinya memerah. Dia berdeham malas. Cih, dasar munafik.
"Abis ini lo mau kemana?"
"Pulang," Jane melihat notifikasi yang baru masuk ke dalam ponselnya yang dia taruh di atas meja.
Ryan manggut-manggut. "Bawa mobil sendiri?"
"Iya."
"Ooh, lo parkir di kampus?"
"Iya."
"Oke, ambil mobilnya bareng kalau gitu. Mobil gue juga di kampus."
Jane mengangguk doang.
"Jane."
Kali ini cewek itu menghela nafas. Please, deh, Ryan bisa gak diem aja dan gak manggil-manggil namanya? Apa cowok itu gak tahu kalau otak Jane tuh gak bisa dikondisiin. Dipanggil biasa doang bisa bikin bawahnya basah. Ryan mana ngerti kalau di bawah mejanya, dia udah merapatkan paha merasakan sesuatu mengalir dari sana.
Bodo amat, ya, kalau dia disebut cemen. Tapi ngebayangin cowok keren di depannya ini buka baju dan membuat Jane bisa leluasa menyentuh tato di lengan tangan dan bahunya, lalu Ryan mengerang di atas ranjang bersamanya, memanggil namanya tepat seperti kayak apa yang dilakukan cowok itu barusan.
Aih, kenapa pikiran Jane jadi kemana-mana?
Cewek itu menggeleng-gelengkan kepala, merasa pening seketika. Detak jantungnya gak membaik kalau dia terus-terusan berhadapan sama cowok yang diem-diem menghanyutkan ini.
"Kenapa? Pusing?"
"Gak." jawab Jane terlalu cepat, mana suaranya jadi kayak ngegas pula. "Maksud gue, enggak. Gue gak pusing," dia ngeralat nada suaranya biar lebih kaleman dikit.
"Atau mikir aneh-aneh?"
Jane gak ngerti apa Ryan tanya serius atau gak. Tapi melihat ada seringai kecil seolah Ryan bisa menebak kemana isi kepala cewek itu berlayar, Jane yakin cowok itu sadar banget kalau dia emang segantung itu. Ini, nih, yang namanya cowok kategori G3 kalau kata Hanggini.
Gue tahu Gue Ganteng.
"Aneh-aneh apaan? Gue cuman ngantuk," ujarnya sambil mengambil ponsel dan memasukkan ke dalam tas.
Dia berdiri, membuat Ryan langsung ikut berdiri dan mengantungi dompet.
"Balik sekarang?'
"Iya. Kecuali kalau lo masih mau disini buat pesen es krim lagi, ya, silahkan. Tapi gue musti caw sekarang."
"Oke, i'll go with you."
Jane mencibir dalam hati. Kayak mau kemana aja.
Keduanya kemudian berjalan keluar kedai, yang mana lagi-lagi kemanapun dua orang itu pergi, gak lepas dari tatapan penasaran para pengunjung yang kebanyakan emang dari kampus yang sama kayak mereka. Sampai kemudian suara laki-laki yang hampir gak pernah dia dengar kembali muncul dan membuat jantung Jane hampir berhenti berdetak.
"Jennie?"
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *