02 : you're so gorgeous

5000 Kata
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  “Aku sudah mulai lupa saat pertama rasakan lara Oleh harapan yang pupus hingga hati cedera serius Terima kasih kalian, barisan para mantan Dan semua yang pergi tanpa sempat aku miliki Tak satupun yang aku sesali Hanya membuatku semakin terlatih.”   Rasanya lantunan lagu itu sangat cocok untuk Jennie Laura nyanyikan saat ini, Kalau ngomongin hubungan antara Jane dengan para mantannya, dia sendiri juga gak tahu kenapa cowok yang pernah deket sama dia selalu berakhir jadi musuh kalau udah jadi mantan. Maksudnya, sebenernya kalaupun gak jadi teman setelah berpisah dan jadi mantan, mereka kan bisa gak usah musuhan. Tapi kenapa Jane dan mantan-mantannya gak bisa? Selain tiga mantan resminya : Jidi, Theo, dan Kai, dia juga pernah deket sama cowok-cowok lain tapi gak sampai jadian. Terus kenapa semuanya gak ada yang akur sama Jane? Well, kecuali Jidi, sih. Kalau Jane boleh ngomongin satu persatu mantan yang dia punya, maka Jane akan menaruh Jidi di nomor satu sebagai mantan yang paling dia bisa naruh respect—bukan yang masih dia sayang. Bukan Jane gak bisa move on, kalau ngomongin gagal move on, mah, Jane gamonnya ke Kaisar bukan ke Jidi apa lagi Theo. Tapi di antara tiga itu, mungkin karena didukung usia yang udah matang dan karakter dewasa yang dipunya Jidi, makanya pria itu bisa ngemong Jane alias abis jadi mantan, tetep bisa jadi kakak dan temapt curhat. Ini beneran. Bahkan hingga detik ini, kalau Hanna lagi sibuk dan dia pengen curhat atau main kemana gitu, maka Jidi adalah orang pertama yang muncul di kepalanya. Sementara Kaisar dan Theo sendiri gak bisa diurutin mana yang lebih baik. Mengingat cewek itu gak suka banget, benci banget, dan punya trauma banget sama perselingkuhan, kemudian dua cowok yang dia sebutin itu membuat luka Jane semakin menumpuk—Theo yang mau nikah tapi gak bilang Jane padahal mereka masih pacaran, juga Kaisar yang selingkuh sama mantannya saat masih pacaran sama dia—mereka berdua sama-sama dibenci Jane. Dia benci pengkhianat, itu udah gak bisa ditolerir lagi. Kalau kata tweet seseorang : segala kesalahan masih bisa dimaafkan kecuali perselingkuhan. Dan prinsip itu yang Jane pegang erat hingga sekarang. Lagian sebangsat-bangsatnya Jane, seburuk-buruknya kelakuan dia sebagai cewek, sebanyak-banyaknya cowok yang pernah dia accept jadi gebetan, dia gak pernah sekaligus punya dua cowok dalam satu waktu. Dia sadar kalau karma pasti berlaku, dan dia gak mau balik diselingkuhin di suatu hari nanti sama cowok yang dia sayang—yah, walaupun sejujurnya dia udah mengalami itu, bahkan sampai dua kali berturut-turut. Tapi kalau misalnya ada orang yang nanya—biasanya, sih, Hanna—apakah Jane lebih siap dan mau ketemu dan ngobrol sama Theo atau sama Kaisar, maka jawaban dia adalah ketemu sama Theo is the way better. Kenapa gitu? Simpel, sih, jawaban Jane. Karena dia masih sayang sama Kaisar padahal hatinya udah disakitin kayak gitu, dulu. Sialnya, dia gak bisa ngelupain Kaisar begitu aja. Dan hal ini bikin dia muak sama diri sendiri yang masih lemah sama cowok b******k itu, juga muak sama Kaisar, makanya dia gak mau—dia menolak mentah-mentah kalau sampai suatu hari nanti ketemu lagi sama cowok itu apa lagi harus sampai ngobrol. Tapi lihat gimana takdir mempermainkannya sekarang, saat ini. Tuhan kayaknya lagi seneng banget ngerjain Jane belakangan ini. Mulai dari dia tiba-tiba kenalan sama stranger ganteng dan hot macem Ryan, tiba-tiba bisa ke kedai berdua, kini malah dia dipertemukan juga dengan mantan yang paling dia hindari. Iya, Kaisar. Lama tak ku dengar tentangnya Yang paling dalam tancapkan luka Satu hal yang aku tahu terkadang dia juga rindu Terima kasih kalian, barisan para mantan Dan semua yang pergi tanpa sempat aku miliki * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * I'm giving you up I've forgiven it all You set me free Ryan jadi ikut noleh karena mendengar suara seseorang yang memanggil nama cewek di sampingnya. Tahu bahwa dia sekarang jadi orang luar kala mendaati cowok dengan kulit warna sawo matang itu mendekat dengan senyum lebar ke arah Jane, dia memilih jadi pengamat saja. Ryan menaikkan satu alisnya bingung kala mendapati ekspresi yang dipasang Jane di mukanya sangat berbanding terbalik dengan ekspresi cowok jaket cokelat kayu tersebut. Sialnya lagi, karena Ryan dari tadi mengamati muka cowok itu, dia jadi teringat sesuatu. Terlintas tiba-tiba di kepalanya dimana dia pernah bertemu dengan cowok ini. Right. Dia langsung inget bahwa dia pernah ketemu di Swill, tepat dimana dia ketemu Hanna dan Jane pertama kalinya. Seingatnya hari itu, kala dia memangku Hanna di dalah satu sofa kelab, dia mendapati Jane ditarik paksa oleh cowok itu sebelum keduanya malah mojok di pojok ruangan. Ekspresi yang dipasang Jane waktu itu sama seperti kali ini yang dia lihat. Jane terlihat tidak senang dan terang-terangan melangkah bergeser, menolak didekati. “Kebetulan banget ketemu disini,” ujar cowok itu, lagi. Jane memutar bola matanya. “Sama siapa?” Jane masih diam, seolah mulutnya mendadak bisu dan gak bisa bicara, tapi Ryan paham kalau itu adalah salah satu pembuktian bahwa cewek ini tidak berminat basa-basi dengan si cowok jaket cokelat. Tapi kemudian tiba-tiba lawan bicara Jane mengulurkan tangan di depan Ryan, membuat Ryan langsung mengernyitkan dahi gak paham sebelum akhirnya menjabat tangan. “Gue Kaisar.” Ryan menyunggingkan senyum seadanya. “Ryan.” “Siapanya Jane?” “Dan buat apa juga lo pengen tahu tentang itu?” Jane menyela sebelum langsung menggandeng Ryan untuk diajak keluar dari sana. “Balik sekarang.” Ryan mau ketawa aja jadi penonton disana. Diam-diam dia mikir, kenapa sih dia kok belakangan jadi sering banget terlibat di drama percintaan orang lain dan jadi pihak yang mengulurkan tangan? Dulu pas Hanna mau manas-manasin Jeff, juga pakai dia. Sekarang Jane juga begini. Tapi karena dia emang anak baik dan tidak sombong—oke, itu lebai—dia memilih bergabung sementara untuk mencelupkan diri ke dalam kolam permasalahan. “Wait, kenapa harus buru-buru, sih, Jane?” Ryan nanya pakai muka serius ke arah Jane, seolah-olah dia gak tahu apa-apa dan bingung beneran—padahal mah udah mulai bisa paham sama apa yang terjadi di depannya saat ini. “Gak sopan, tahu. Lagi diajak ngomong juga.” Jane mendelik mendengar itu. Ryan pura-pura gak sadar aja kalau dia udah dipelototin. Dia menatap Kaisar yang kini kelihatan menilai Ryan dari atas sampai bawah, dan karena pandangan Kaisar itulah bikin Ryan terkekeh puas di hatinya. Gak ada apa-apanya kalau lo dibandingin sama gue, mah. Batinnya sombong. “Gue Ryan, temennya Jane,” jelas Ryan kemudian. Jane mendesis, Kaisar tersenyum lebar. “Ooh, temen? Kirain Jane udah ada yang baru?” Kai ngelihat ke Jane pakai pandangan senang. “Kamu udah putus dari Om-Om itu, kan? Sekarang jomblo?” “Gue tanya sekali lagi, urusannya sama lo apa?” “Calm, Jane. Aku cuman nanya. Kalau kamu kayak gini, aku makin yakin kamu masih cinta sama aku.” Anjir, drama banget ini orang. Ryan komentar dalam hati. Jane terbahak sebagai respon, dia sampai pura-pura mengusap sudut matanya yang gak berair itu. “Aduh, lucu banget lo. Kayak kurang kerjaan aja masih gamonin cowok brengsek.” “But here you are. Tatapan kamu gak bisa bohong.” “Tatapan your ass. Gue—“ “Kai!” Kalimat Jane terpotong karena suara wanita cantik yang muncul dari arah kamar mandi. Membuat tiga orang disana : Kai, Jane, dan Ryan sama-sama menoleh kompak. Jane langsung mengamati cewek itu daria atas sampai bawah, dan apa yang dia pikirkan sebagai First Impression atas penampakan Crystal—pacar Kai sekaligus alasan kenapa dia minta putus dari cowok itu dulu—adalah bahwa Crystal memiliki wajah sempurna. Kalau Jane tingginya ideal dan pipinya bulat, maka Crystal bak sosok model internasional. Matanya tajam, tatapannya dingin, rambut lurus, dan style yang kelihatan mahal banget. Kelihatan anak orang kaya—well, lagian siapa yang gak kenal Crystal? Kalau Jane cuman mahasiswa biasa yang hobi mabuk, balapan, dan foya-foya, maka Crystal ini mahasiswa tapi nyambi bergabung di dunia entertainment. Dia aktris, model, sekaligus penyanyi. Lengkap banegt, kan? Jane jadi mengumpat dalam hati. Ya kalau dibandingin, kayaknya dia emang gak ada apa-apanya kalau dibanding Crystal. Pantesan Kaisar gamon banget ke cewek itu jaman masih pacaran sama dia! gerutu Jane dalam batin. Send my love to your new lover Treat her better We've gotta let go of all of our ghosts We both know we ain't kids no more Send my love to your new lover Treat her better We've gotta let go of all of our ghosts We both know we ain't kids no more Kaisar menoleh dengan memasang senyum manis, Ryan memutar bola matanya jengah. Tahu betul kalau Kaisar ini sangat bermuka dua.  Kelihatan gimana tadi dia coba merayu Jane dengan mengkepoi urusannya seolah dia masih menyayangi gadis itu dengan sangat. tapi ketika gadis camtik lainnya datang yang Ryan tebak adalah kekasihnya, Kaisar dengan cepat memasang ekspresi penuh puja. Banci. Umpat Ryan dalam hati. “Hai, Babe. Udah?” Kaisar merengkuh pinggangnya. Crystal mengangguk, tapi matanya menatap ke arah yang lain—ke arah Jane dan Ryan. “Oh, hai? Jane, kan?” Jujur, Jane kaget banget. Karena dari muka Crystal yang terlihat angkuh dan cocok jadi tokoh antagonis di dunia, dia ngira dia bakal dilirik sinis, atau at least Crystak bakal pura-pura gak kenal—well, karena masing-masing dari mereka sama-sama tahu siapa status mereka di kehidupan Kaisar—tapi lihat apa yang kini terjadi, Crystal malah menatap hangat ke arah Jane, juga Ryan, dengan senyumnya yang terulas. Jane yakin gak ada cowok yang gak suka Crsytal. Cantiknya bak dewi. Dia yang cewek aja mengakui kok. Karena tak ada alasan untuk berbuat ketus dan jutek sekalipun dia masih gagal move on dari pacarnya Crsytal, Jane memilih balik senyum. “Hai, iya, gue Jane.” Crsytal mengulurkan tangan. “Nice to meet you.” Gila, sih. Jane beneran gak pernah ngira kalau ternyata Crystal ini tokoh protagonis. Dia, deh, kayaknya yang antgonis malahan! “Nice to meet you too. Ah, kenalin. Ini Ryan, temen gue,” ujar Jane mengenalkan cowok bertato di sampingnya. Ryan mengangguk dan ikut berkenalan. “Ryan.” “Crystal.” “Wow, never thought that we’ll meet again in another chance like this,” Kai tersenyum. Tangannya yang ada di pinggang Crystal naik ke atas untuk merangkul bahunya. “Sayangnya kita berdua ada urusan. Jadi gak bisa ngobrol lebih lama lagi sama kalian.” Jane tertawa dalam hati. Kenapa bisa dia jatuh cinta dan gagal move on dari cowok sebrengsek ini coba? Kai benar-benar munafik! “It’s okay,” Ryan membalasnya. Dengan sedikit seringai di bibir cowok itu melanjutkan. “Gue sama Jane juga harus pergi lagi abis ini.” “Oh, ya? Kemana?” Kai kepo. Ryan menelengkan kepala. Dia melirik Jane sesaat. “Private place. Won’t tell anyone else.” Kemudian cowok itu tersenyum penuh kemenangan kala mendapati Kaisar menatapnya tajam. Ada sorot mengancam dan gak suka di tatapannnya, tapi Ryan mana peduli? Memang ini yang dia harapkan. Kai merasa kepanasan jenggot. I was too strong, you were trembling You couldn't handle the hot heat rising (rising), mmm Baby, I'm still rising I was running, you were walking You couldn't keep up, you were falling down (down), mmm There's only one way down * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * And I should just tell you to leave 'cause I Know exactly where it leads, but I Watch us go 'round and 'round each time Selesai dengan percakapan basa-basi sebagai penutupan, Ryan dan Jane segera berpamitan dan meninggalkan Crystal serta Kaisar di tempatnya. Mereka berdua gak banyak bicara setelah itu, sekalipun Ryan sebenarnya memiliki beberapa pertanyaan yang hendak ditanyakan, atau setidaknya dia kebelet meledek Jane yang baru ketemu sama mantannya dan moodnya langsung anjlok, well itu kelihatan banget dari mukanya. Tapi kalau dipikir-pikir, Ryan ngerasa dia sama Jane emang gampang banget buat berinteraksi. Ya bayangin aja. Mereka cuman pernah ngobrol sekali pas di warung pecel kemudian kali ini baru resmi keluar bareng—itu aja Ryan yang maksa ngikut. Tapi kemudian Ryan bisa seeenaknya aja ikut campur masalah Jane, begitu pula Jane yang mengikutsertakan nama Ryan kala berhadapan dengan mantan sialannya. Tapi Ryan sama sekali gak keberatan.   Dia malah senang, entah kenapa. Sementara Jane sendiri saat ini punya alasan tersendiri kenapa dia diem aja setelah dia da Ryan keluar kedai. Yang pertama, tentu aja karena moodnya anjlok abis ketemu Kai, walaupun Crystal ternyata bukan sosok menyebalkan seperti perkiraannya. Ya, kan, yang nyebelin Kainya, bukan Crystalnya. Yang kedua, karena dia agak malu aja sama Ryan karena belum kenal banget tapi udah bawa-bawa nama cowok itu. Jadilah dia milih diem. Tapi itu gak berlangsung lama karena tepat setelah keduanya menyeberang jalan dan hendak memasuki gerbang utama kampus, Ryan mengajaknya bicara. “Jane.” Cewek itu noleh. “Can i take you home? Tapi pakai mobil lo.” Jane jadi mengernyitkan dahi. “Nebeng maksud lo? Tapi, kan, bukannya lo bawa mobil sendiri?” “Iya, tapi ternyata mobil gue udah dibawa balik ke apart sama temen gue.” “Hah? Emang bisa kayak gitu? Kuncinya—“ “Kunci mobilnya emang dipegang temen gue.” Jane makin bingung lagi. Kalau gak salah inget pas di warung pecel, kala itu dia menemukan mobil yang diparkir di sebelah warung adalah mobil sport mahal, yang jelas Jane aja gak dibolehin sama papanya buat beli itu karena katanya buang-buang duit. Intinya, mobil Ryan ini mobil mahal banget. Terus kenapa percaya-percaya aja buat dipinjemin ke temannya? Jane merasa ada yang aneh. Dia jadi mikir apa cowok ini emang modus aja ke dia karena pengen sama Jane? Well, Jane maklum sih kalau emang alasan Ryan begitu, karena semua cowok kalau udah berhadapan sama Jane juga pasti melakukan hal yang sama untuk bersama Jane terus-menerus. Bodo amat dibilang geer, karena pengalamannya udah mengatakan segalanya. Jadi gak mau ambil pusing, Jane cuman mengangguk. “Oke.” Ryan mengalihkan wajahnya ke arah lain demi meneymbunyikan senyum yang berkembang lebar di bibirnya. You cut me down to the bone Now you're dancing All over my soul I'm falling to pieces To pieces, to pieces But I still stay cause you're the only thing I know So won't you take, oh, won't you take me home Take me home, home, home * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  “Tell me the location.” ujar Romeo setelah memundurkan jok kursi mobil milik Jane. Sebenernya, Ryan udah mau kepo kenapa kali ini Jane bawa mini cooper warna biru tua sementara terakhir kali dia ketemu Jane di warung pecel, dia tahunya Jane bawa mobil Audi waktu itu. Tapi ya karena dia ngerasa pertanannya jenis pertanyaan gak penting-penting amat dan jatuhnya kayak basa-basi busuk doang, jadi dia mengurungkan. Sebagai ganti, dia nanya dimana lokasi rumah Jane. Cewek yang hendak membuka dashboard itu jadi menoleh. “Loh, harusnya gue nganterin lo ke rumah—apartemen lo dong?” Bener. Jane jadi makin curiga karena Ryan berlaku aneh. Katanya nebeng tapi sekarang dia malah nganterin Jane ke rumahnya, pakai mobil dia pula. Kan jadinya percyma karena drai rumah Jane, Ryan harus balik naik transportasi lain ke apartemen tempatnya pulang. “It’s okay.” “Apanya yang okay?” Jane bersedekap, kini gak ragu menunjukkan kecurigaannya. “Don’t tell me you just wanna know where my house at.” “Wrong, woman.” “Masa?” Ryan mengangguk jujur. “That’s not the point,” dia noleh ke Jane sambil tersenyum miring. “I just wanna spend more time with you.” Jane hampir kesedak. “Really? At our second meet lo udah berani flirting?” “Am i?” Ryan mengedikkan bahu. “Gue gak ngerasa flirting, sih.” “Terus apa?” “If i want, then i fight, so i can get.’ “What?!” Jane terbatuk lagi di tengah-tengah dia yang hendak menelan air mineral botol kemasannya. “Lo... gila. Lo emang sejujur ini orangnya?” “Kenapa kaget gitu, sih? Bukannya udah kelihatan banget?” Jane menggeleng. “Enggak. Lo lebih sering acting cold and careless.” “Woman, kalau gue cold, mana mungkin gue tiba-tiba mau ngikut lo ke Gowlie sampai ikut lo ke rumah alih-alih balik ek apart gue sendiri?” tanyanya yang mampu membuat Jane terbungkam. “Dan kalau gue careless, mana mungkin gue mau tiba-tiba bantuin lo dari mantan lo tadi? Think smart.” Jane gak memperdulikandua kata sarkas yang keluar dari bibir Ryan barusan. Dia masih mencoba mengolah rasa bingung dan terkejutnya karena betapa jujurnya Ryan ini. Well, seharusnya dia emang gak kaget, sih. Karena beberapa kali dia emang mikir Ryan pasti tertarik sama dia. Entah dimulai dari fisik doang atau emang karakternya bikin Ryan kecantol, intinya hal kayak gini bukan yang pertama kali. Tapi dia inget banget gimana pas Ryan ketemu dia di warung pecel, cowok itu beneran sok jual mahal. Jangankan ngobrol, noleh ke arah dia aja kayaknya ogah banget. Jane masih inget! Oh, atau apa dia aja yang salah sangka? Dan karena itu pula dia kaget karena di pertemuan kedua mereka yang literally disebut ketemuan dan bisa jalan berdua, Ryan belum apa-apa udah mau ngaku kalau dia naksir Jane? It’s unbelievable! “Jane, ngelamun?” Pertanyaan itu membuat Jane kembali terbangun dari pikirannya sendiri. Dia noleh dan berdeham. Mengabaikan pernyataan Ryan, dia memilih mengajukan pertanyaan lain. “Kenapa lo bisa suka sama gue?” “Is that weird enough? Jangan bilang lo gak pernah disukai cowok?” “Hell, of course pernah. Tapi gue kira lo gak tertarik sama gue.” Ryan ketawa kecil. “Kenapa bisa mikir begitu?” “Lo tahu kenapa.” “Gue tebak lo, nih, bukan kaget karena gue suka sama lo. Ya itu juga, sih, tapi lebih banyak—“ “Gue kagetnya karena lo bisa jujur banget jadi orang. Itu aneh. Kita bahkan baru jalan sekali, hari ini, dan lo udah dengan gamblang ngomong soal naksir. Ini juga gak bisa dianggep proper date.” “Gue bukan tipe orang yang suka mendem, sih, sejujurnya. Kalau ada kesempatan dan waktu yang bagus, ya, gue langsung ngomong aja. Emang lo gak pernah ketemu yang macem gue?” Jane menggeleng jujur, Ryan ketawa lagi. Ni orang kenapa deh ketawa mulu? Jane sampai bingung, apa mukanya atau pembahasannya membuat Ryan geli sehingga dia ketawa? Perasaan enggak. “Eh wait. About proper date and stuff you just mentioned, how about—“ “No,” Jane langsung menggeleng gak percaya. “Jangan bilang lo ngajakin gue proper date beneran.” Ryan mengangguk pasti. “Sekarang gue percaya lo beneran anak Psikolog. Bener-bener jago banget nebak orang.” “Psikolog beda sama dukun.” “Dan gue gak bilang lo dukun, loh.” Jane mencibir doang. “So, Jennie Laura. Let’s back to the topic. Mau proper date sama gue?” Haish. Beneran, deh, segala sesuatu tentang Ryan ini beneran bikin dia gampang surprise. Dia suka tiba-tiba dan itu gak baik buat jantungnya. Tiba-tiba nongol di depannya, tiba-tiba ngikut ke kedai beli es krim, tiba-tiba ngobrol sama Kai, tiba-tiba ngaku naksir, sekarang dia lagi-lagi juga tiba-tiba banget ngajak ngedate. “Gue anggep diemnya lo adalah iya.” Jane mengedikkan bahu. “Berhubung gue lagi gak sama siapa-siapa dan gak punya janji sama orang, so yeah...” Ryan tersenyum penuh kebahagiaan. Dia noleh ke Jane, membuat cewek yang lagi bersedekap itu jadi ikut menoleh juga. “So i pick you up at 7 tonight?” “Mm-hm.” “Okay, girl,” Ryan membelokkan setir ke arah kanan, “Sekarang, bilang sama gue rumah lo dimana karena dari tadi gue nyetir cuman muter-muter.” “Dang?!” Jane melotot dan menegakkan punggung. “Jesus, makanya kita gak sampai-sampai dari tadi?!” Ryan mengedikkan bahu. “You don’t tell me where.” “Ya lo gak nanya.” “Hei, gue bahkan nanya itu di awal kita masuk mobil.” Oh, betul juga. Jane menepuk keningnya. Dia yang lalai. Salahkan saja Ryan yang membuat— “It’s okay, Jane. No wonder lo sampai lupa ngasih tahu kalau lagi sama gue.” Jane bertepuk tangan dalam hati atas tingkat kepercayaan Ryan yang menyundul langit, tapi dia gak merespon kalimat itu. Memilih untuk langsung menuntun Ryan agar mengikuti perintahnya pulang ke kos. Well, walaupun harusnya hari ini jadwal dia pulang ke rumah, tapi dia tahu bukan pilihan yang tepat mengajak Ryan pulang ke rumahnya dan bertemu orang tuanya. Jadi dia memilih kos saja sebagai tujuan akhir. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  Jane gak ngerti kenapa tiba-tiba dia jadi cewek yang super rempong hanya karena mau dijemput Ryan buat that proper date. Dia gak pernah kayak gini, even sama Kaisar atau Jidi yang udah jelas duitnya selangit. Tapi entahlah, malam ini, di jam setengah tujuh ini, Jane sibuk memilih dress yang akan ia gunakan. “Sialan, gue ngapain, sih?!” Jane bersungut-sungut sendiri lalu membuang dress yang ada di tangannya, membiarkan dress biru navy dengan harga hampir dua puluh juta itu jatuh tergeletak di lantai kosnya. “Ah, tapi gue beneran gak ada dress yang bagus, anjir!” Jane emang gak pernah bawa banyak baju dari rumah ke kos. Biasanya kalau dia punya janji yang mana mengharuskan dia memakai dress dan outfit lain yang bagus, dia harus pulang ke rumah dulu karena walk closet di rumahnya jelas penuh dengan pakaian terbaiknya, beda lagi sama lemari kamar kosnya ini. Masih dengan bathrobe yang dia pakai, dia melihat kamarnya yang berantakan dalam waktu tiga puluh menit saja. Cuman gara-gara mau keluar sama Ryan, kenapa dia bisa sampai jadi cewek ribet begini coba? “Udah, lah, Jane. Pake apa aja kek yang penting nyaman. Jangan lebay lo.” ujarnya memberi tahu diri sendiri. “Kayak mau keluar sama siapa aja.” Pencariannya berakhir dengan dia memakai dress hitam ketat tanpa lengan dengan panjang rok hanya sampai atas lutut. Tidak terlalu terbuka dan vulgar, setidaknya ini juga bukan dress resmi-resmi banget. Dia ingat Hannalah yang memberikan dia dress ini sebagai kado ulang tahunnya tahun kemarin. Setelah itu, gadis tersebut memilih segera membenahi rambutnya dengan segala macam alat mulai dari hairdryet, catok, vitamin rambut, dan lain sebagainya. Setelah rambut selesai, dia memakai dress dan mulai bermake-up ria. Sayangnya, baru juga dia menjepit bulu matanya, ponselnya berdering. Ada nomor tak dikenal muncul di layar Iphone-nya. Tapi dalam sekali lihat foto profil yang terpampang disana, dia tahu itu siapa. Wait, sejak kapan Ryan punya nomornya? Astaga, bahkan Jane baru ingat kalau dia dan Ryan sudah akan melakukan kencan pertama padahal nomor dan sosial media satu sama lain aja gak tahu. Benar-benar gila dan unpredictable. “Halo?” “You’ve done? Gue di bawah.” “Hah?” Jane melirik jam dindingnya. “Lima menit lagi, please?” “Gue nunggu disini aja? Gak lo suruh masuk gitu?” Jane mendengus. “Cuman limat menit. Sabar, gue belum ganti dress,” ujarnya berbohong. Padahal dia hanya tinggal membereskan bulu matanya dan lipstik saja. “You can change your dress meanwhile i’m there.” “Gila!” semprot Jane. Tuh, kan, dia bilang juga apa. Belum apa-apa, Ryan udah flirting ke arah seksual aja. Dasar, ya, emang otaknya cowok-cowok, nih, malah gak bisa dipercaya. Tapi setelahnya, Ryan terdengar melepaskan tawanya. “Kidding, girl. I am well behaved.” “Oh, really?” “You’ll see how i’m being so good at it.” “Glad to hear it.” “Okay, gue tunggu disini, ya. Gak usah cantik-cantik, you already pretty without any make up.” Jane tiba-tiba jadi melengkungkan senyumnya. Sial, kenapa Jane berubah jadi baperan?! * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Hey Beautiful, beautiful, beautiful, beautiful angel Love your imperfections, every angle Tomorrow comes and goes before you know So I just had to let you know   Tepat ketika Ryan yang lagi mengetuk-ketukkan jemarinya di atas stir mobil melirik dan mendapati bahwa gadis yang ia tunggu kedatangannya itu sudah muncul hendak membuka gerbang kos, Ryan langsung turun. Berhadapan dengan gadis itu di bawah rembulan dengan ramainya lalu lintas yang terdengar bising, Ryan malah dibuat terpana sesaat. Jane yang ia amati saat ini bukan lagi Jane yang tadi sore bersamanya di kedai es krim dengan jaket kulit dan celana jeans ketat dan sepatu boots. Jane yang saat ini membuat hatinya meleleh juga bukan Jane yang ia temui di Swill kala itu, yang memakai dress seksi dan niatnya sudah jelas menggoda p****************g. Kali ini, yang ada di hadapannya, adalah perpaduan dari dua macam Jane. Gadis itu terlihat memukai dengan dress hitam polos, hanya ada sedikit mutiara di bagian dadanya membentuk garis horizontal, belahan dadanya terekspos dengan indah, membuat Ryan jadi membayangkan bagaimana bentuk isinya. Pundak Jane juga terbuka, menampilkan bahu telanjangnya yang membuat Ryan ingin membubuhkan bercak kemerahan disana. “Ryan.” Gila. Ryan sudah gila. Hanya mendengar perempuan ini memanggil namanya dengan suara rendah dan raut wajah kebingungan, Ryan sudah bisa berhalusinasi bagaimana suara Jane jika memanggil namanya di atas ranjang. Akankah sama panasnya? “Yan.” Cowok itu langsung mengangkat pandangannya, tak lagi jatuh pada paha dan kaki jenjang Jane. “Apa?” “Udah selesai lihatin gue?” “Sebenernya belum,” jawab Ryan. “Tapi karena lo gak pake panjnag-panjang dan udaranya lagi dingin, so, Queen...” Ryan membukakan pintu untuk gadis itu. “Silahkan masuk.” Jane melengkungkan senyumnya. “What a gentleman,” pujinya setengah meledek. “I told you so, Babygirl.” Jane melotot setelah pintunya ditutup, berteriak dari dalam. “Don’t call me like that!” “Don’t even care.” jawab Ryan sambil terkekeh sebelum kemudian menutup pintunya sendiri dan memasang seatbelt. “You ready?” “Where are we going?” “You’ll see soon.” Jane cuman menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi karena Ryan gak kunjung menghidupkan mesin, Jane jadi noleh lagi. Sembari mengangkat satu kakinya agar menindih pahanya yang lain, gadis itu bertanya. “Gak jadi pergi apa gimana, nih?” “Wait, gue udah bilang sesuatu belum tadi?” “Apa?” “Oh, kayaknya belum,” Ryan menyerongkan tubuhnya lalu maju, mengecup pucuk hidung Jane kemudian berbisik disana. “You are gorgeous.” You're so gorgeous I can't say anything to your face 'Cause look at your face And I'm so furious At you for making me feel this way But, what can I say? You're gorgeous * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * "Damn, jangan bilang lo book restorannya?" Jane menatap gak percaya ke arah laki-laki tampan di sampingnya kala dia menemukan bahwa restoran mewah yang didesain penuh warna merah dan bunga maar dimana-mana ini tidak memiliki pengunjung sama sekali. "You kidding me, Yan?" "'I really am not," Ryan menepuk tangan Jane yang melingkar di lengannya. "Choose one table for us." "Oh my god, i can;t believe it." "Guess you never treated by a man like this." "Jangan salah. Gue punya mantan yang duitnya gak abis bahkan sampai seribu tahun lagi." Ryan tersenyum miring sambil menarik kursi untuk perempuan itu. "But i bet they'll never adore you the way i do." "You do?" Cowok itu gak menjawab, dia hanya membalas tatapan elang Jane tanpa takut, kemudian mengedikkan bahu. Membiarkan Jane mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN