03 : versace on the floor

5000 Kata
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  Beneran. Jane bakalan membantah mentah-mentah kalau ada statement mengerikan mengenai Jane gak pernah punya pengalaman diperlakukan spesial sama cowok. Hampir semua gebetan Jane, semuanya selalu memperlakukan dia kayak ratu. Mulai dari gebetan doang sampai pacar. Apa lagi jaman sama Jidi. Om-om yang satu itu emang loyalnya kebangetan. Jane bahkan hampir dibeliin apartemen kalau aja mereka gak keburu putus. Bahkan seingatnya, pas abis putus pun Jidi bilang dia tetep mau beliin Jane apartemen biar gak tinggal di kos. Selain apartemen, dulu pas Jane ulang tahun dan posisinya lagi pacaran sama Jidi, Jidi merayakan dengan memberi surprise makan malam di tengah laut, alias di kapal pesiar yang bener, sih, emang bukan punya Jidi sendiri, tapi tetep aja pasti butuh duit gak sedikit buat nyewa, kan? Apa lagi mereka kayak lagi honeymoon di tengah laut sampai dua hari. Iya, honeymoon secara literal. Lengkap dari makan malam sampai hal-hal lain yang berhubungan dengan aktivitas di atas ranjang. Makanya, Jane gak terima apa lagi kalau yang bilang adalah Ryan. Enak aja katanya ini baru pertama kali dia di-treat seistimewa ini! Setelah Ryan menarik kursi untuk gadis itu, ia duduk di hadapannya. Meja mereka masih berisi lilin cantik di tengah dan dua gelas wine merah serta dua botol yang terbuka. Belum ada makanan dan pencuci mulut yang disediakan karena—for your information, Ryan gak suka makanan dingin kecuali makanan pencuci mulut. Jadi bahkan kalau makan sushi aja ikan di dalamnya beneran harus masih terasa hangat di lidah. Hal ini juga berlaku untuk malam ini. Dia memberikan waktu kepada para pegawai disana untuk menyiapkan makanan secara dadakan saja sementara dia akan menghabiskan waktu dengan Jane untuk mengobrol. Toh Ryan gak keberatan buat mendengarkan gadis itu bercerita tanpa lelah, selama itu Jane. Tuh, kan. Belum apa-apa dia udah sebegininya. Ryan menyampirkan jas yang sudah ia lepas dari tubuhnya di punggung kursi yang dia duduki. Sebetulnya, tadi dia sudah hendak menyampirkan jas di bahu Jane saja yang kulitnya terbuka itu. Mengingat malam ini sedikit dingin dan Ryan adalah gentle man. Tapi sayangnya Jane menolak dengan alasan blak-blakan, yakni : “Gak usah. Gue sengaja pakai dress ini bukan buat ditutupin.” Ryan mengangkat satu alisnya menunggu kelanjutan apa maksud Jane bilang gitu. Terus cewek itu ngelanjutin. “Siapa tahu lo kegoda.” Damn. Andai Jane tahu kalau sedari awal dia menjemput Jane, Ryan udah merasa panas dingin di sekujur tubuh. She can kill with a smile, she can wound with her eyes And she can ruin your faith with her casual lies And she only reveals what she wants you to see She hides like a child but she's always a woman to me She can lead you to love, she can take you or leave you * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  “So....” Jane menopang dagunya dengan anggun, menatap Ryan yang duduk bersandar santai—membuat cowok itu jadi tampak makin seksi dengan kemeja yang dia gulung hingga siku dan tatapan membara menatapnya. “Kita mulai dari mana?” tanya perempuan itu. “Tell me everything.” “Itu gak bakal cukup dua puluh empat jam.” Ryan menyeringai tipis. Kenapa setiap kalimat Jane terasa ambigu dan membakar bara bagi Ryan? Atau otaknya saja yang kotor? “We have forever, Babe.” Jane langsung berdecak karena kembali mendengar panggilan tersebut. “Told you that i hate the way you babe me.” “Told you i don’t even care. I mean it. Lagian kenapa, sih? I love call you that way.” “We are nothing more than friend.” “s**t,” Ryan meledakkan tawanya mendengar itu. “Gue bahkan sama sekali gak pernah nganggep lo temen.” “Terus apa? Stranger?” “Kalau udah proper date gini, bukannya more than friend apa lagi orang asing, ya?” “...but we less than lover.” “We will, Babe,” Ryan mengerling. “Trust me, we will.” “What a s**t talker.” “Sweet talker,” ralat Ryan. “By the way, Jane. Lo sejak kapan ngekos? Kalau gak salah, lo dulu sewa apartemen, kan?” Jane menelengkan kepala. “Kok tahu gue dulu sewa apart?” “Thanks to Hanna.” “Lo nanya-nanya soal gue ke dia?” Ryan menggeleng jujur. “Gak, lah. Dulu dia kayak sempet cerita aja gitu. Terus gue dengerin. That;s it.” “Ooh. Iya, sekarang ngekos.” “Kenapa?” “Ada, lah. Secret reason,” jawab Jane setengah bercanda setengah serius. “Lo sendiri?” “Iya, sendiri.” “Damn,” Jane ketawa. “Maksud gue lo sendiri kos apa apartemen.” “Apartemen.” “Sejak semester satu?” Ryan menggeleng. “Nope. Sejak kelas 11 SMA.” “Wow? Really?” Jane melemparkan pertanyaan itu dengan wajah berbinar. Bukan rahasia lagi bahwa Jane sangat mencintai kebebasan. Dari dulu, dia paling senang kalau jauh dari pengawasan orang tuanya—bukan berarti dia tak menyayangi mereka. Makanya, dulu pas SMA dia juga sempat meminta orang tuanya untuk memberi dia izin tinggal sendiri. Tapi jelas saja, jawabannya ditentang dengan alasan bahwa saat itu Jane terlalu kecil untuk tinggal seorang diri dan orang tuanya takut tidak bisa mengawasi aktivitas Jane sehari-hari. Kata mamanya, mereka takut Jane salah pergaulan dan suka gak inget waktu kalau tinggal sendiri. Jane mendengus mendengar alasan orang tuanya menolak permintaan dia. Karena gimanapun, alasan dia buat pergi dari rumah, ya, emang karena dia pengen diberi kebebasan—padahal sebenernya dia di rumah juga bebas aja, sih, tapi kan tetep gak sebebas kalau tinggal sendiri. Kemudian hal yang mengundang sedikit kekehan geli dari Jane adalah, apa-apaan dengan kalimat takut Jane salah pergaulan itu? Bahkan dia lepas keperawanan saat usianya baru menginjak tujuh belas tahun, tepat ketika di malam pesta perayaan ulang tahun yang dia selenggarakan tanpa sepengatahuan mamanya—tapi papanya tahu—di salah satu villa di Bogor, dengan mantan gebetannya. Iya, bahkan mereka belum pacaran waktu itu tapi Jane dengan pedenya bilang kalau dia mau melakukan itu. Emang, ya, kalau masih bocah otak, tuh, gak bisa lurus dan gampang terpengaruh lingkungan. Well, walaupun sebenarnya tanpa dihasut oleh lingkungan yang gak bener, Jane sendiri udah gak bener dari jaman mamanya brojolin dia. Beruntung dia mampu membujuk papanya biar ngebiarin dia tinggal sendiri pas udah kuliah. Ya kali betapa malesnya dia kalau balik pulang dari kampus nyetir jauh ke rumahnya—walaupun gak jauh-jauh amat. Maka dari itu, mendengar bahwa Romeo udah tinggal di apartemen seorang diri dari jaman masih kelas 11 alias udah empat atau lima tahun belakangan, dia jadi iri. “Kenapa?” Ryan terkekeh geli. “Berminat tinggal bareng gue?” Jane memutar bola matanya. “Enggak, elah. Cuman wow aja. Gue juga pengen tinggal sendirian begitu dari dulu jaman SMA.  Cuman baru keturutanya pas semester dua.” “Oh, orang tua lo strict parent?” “Dibilang strict parent juga bukan, sih. At least bokap bener-bener ngebebasin gue buat ini itu, terserah gue. Mungkin karena dia asli Amerika kali, ya? Jadi budayanya barat banget.” “Ibu lo orang mana?” “Orang sini.” “Nyokap lo yang strict?” Jane mengangguk. “Well, i see.” Ryan benci memiliki waktu tanpa percakapan dengan Jane bahkan hanya untuk satu detik. Karena setiap mereka tidak mengobrol, mata Ryan jadi tidak bisa terkontrol untuk tidak menatap bibir perempuan itu yang penuh dan mengundangnya untuk melumat panas. Cowok tersebut menggelengkan kepala cepat, berusaha mengalihkan isi pikirannya yang belum apa-apa udah kotor aja. Duh, padahal dia jarang banget—bahkan tiga bulan ini dia beneran libur dari kenalan sama cewek. Kenapa ketemu Jane sekali aja dia udah langsung gak bisa kedip begini, coba? Jangan-jangan ini cewek pakai dukun kali, ya? Batin Ryan ngawur. Tapi enggak, dia juga cuman bercanda. Tanpa ada ilmu sihir dari perdukunan, Jane emang punya aura menarik perhatian terutama kaum adam. No wonder kenapa Ryan jadi salah satu yang kena ‘pelet’nya. They say we too young to get ourselves sprung Oh, we didn't care, we made it very clear And they also said that we couldn't last together See it's very defined, you're one of a kind But you mush up my mind, you have to get declined Oh lord, my baby is driving me crazy * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Hello, man?” Jane menyeringai geli. “Udah puas ngelihatin gue?” Bukannya salah tingkah karena ketahuan ngelihatin Jane dari ujung rambut ke ujung pundak, Ryan malah balik terkekeh. Dia menopang dagu pada tangannya di atas meja. “Sorry but i can’t help.” “I know. Udah bisa.” Sinting, Ryan bener-bener bisa sinting kalau berhadapan sama cewek macem Jane. Kalau kepedean yang dilakuin orang lain apa lagi dengan gender perempuan, maka sudah pasti bakal bikin cowok ilfeel. Tapi kenapa gak berlaku buat Jane? Setiap kalimat penuh kepercayaan diri yang keluar dari bibir Jane malah bikin gadis itu tampak lebih seksi. “Eh, gue mau cerita aja boleh gak, sih?” Satu alis Ryan terangkat tinggi. “Why not?” “Soal tadi siang—“ “Mantan lo maksudnya?” Jane mengangguk, gak ngerasa bersalah sama sekali padahal notabene-nya dia nyeritain mantan di depan gebetannya, kan? “Namanya Kaisar.” “Udah tahu.” Jane meringis. “Lo bisa nebak gimana jalan hubungan gue sama dia?” “Kalian mantanan?” Ryan clueless. “Kalian mantan, dan lo masih gamon, sementara dia udah punya pacar baru.” “Wrong. Bener, sih, dua poin awalnya, tapi yang tadi sama dia—Crystal—itu bukan pacar barunya dia. Dia pernah pacaran sama Crystal sebelum dia pacaran sama gue.” “Oke, wait, wait,” Ryan mengangkat tangannya meminta Jane tidak melanjutkan jalan cerita lebih dahulu. “Biar gue tebak. Dia selingkuh sama Crystal pas masih pacaran sama lo? Atau dia ketahuan gamon mantannya pas masih sama lo?” “Dua-duanya yang lo sebutin kan sama. Dan, ya. Iya, dia selingkuh sama Crystal pas masih sama gue.” Ryan mengangguk-anggukan kepalanya paham. “Get it. Kalau gue boleh bilang, cowok sawo mateng itu—“ “Kaisar,” jawab Jane sambil ngakak. “His name is Kaisar.” “Bodo amat. Gue tiba-tiba males nyebut namanya. intinya, dia masuk kategori cowok beruntung gak, sih? Gue bukan tipe orang suka muji orang lain apa lagi satu jenis kelamin begini, but this one is a kind. Gimana bisa cowok begitu bisa macarin lo dan Crsytal? Atau pertanyaannya gue balik. Kenapa lo sama Crystal bisa mau-mauan pacaran sama cowok kayak dia? He’s not even attractive.” “Dia attractive, kok,” sangkal Jane. “Kalau gak, mana mau gue sama dia.” “Itu lo aja yang udah terlanjur blind.” Jane berdecak. “Makin gak make sense karena mantan lo modelan begitu tapi bisa-bisanya lo gagal move on.” “Well, as u human being who created by God, i definitely can’t control my feelings neither can’t you.” “Tapi as a human being, kita tetep punya hak buat nyetir mau gimana sama feeling kita. Kalau menurut gue, sorry to say, tapi gagal move on is a bullshit. Gagal move means lo emang gak punya niat ngelupain makanya lo gak move on-move on. Karena kalau lo niat, lo pasti bisa,” jelasnya panjang dan lebar. “As simple as that.” “Not that simple as that,” jawab Jane gak setuju dengan pernyataan cowok di depannya. “Tapi by the way, gue tadi jadi mikir, deh, pas keluar dari Gowlie. Kenapa Crystal gak kelihatan kayak cewek punya salah ke gue, ya? I mean, kalau mereka beneran selingkuh, harusnya Crystal ngleitain gue gak pakai tatapan yang—lo liat, kan, tadi dia kayak hangat banget cara ngomongnya?” Ryan mengangguk. “Tapi bukannya dia emang orangnya kayak begitu?” “Lo kenal dia?” Kali ini cowok dengan lengan penuh tato itu menggeleng. “Blame my mama yang ngefans Crystal.” “Anjing. Sumpah?!” Jane beneran kaget. Oke, dia tahu, sih, Crystal emang berkecimpung di dunia entertainment. Walaupun hanya pernah memerankan satu film layar lebar dan hanya jadi pemeran pmebantu, tapi nama Crystal sebagai model kebanggaan Indonesia tentu gak bisa dipandang sebelah mata. Crytsal ini tipe cewek yang cantik banget, flawaless banget, dan kaki jenjang serta tatapan dingin yang bikin dia jadi sosok yang dilihat sebagai manusia misterius. Jutek, lah, bahasa gampangnya. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata pamor nama Crystal selama ini sangat berbanding terbalik dengan sikapnya yang asli? She means, Crystal beneran ramah banget tadi pas kenalan sama Jane, padahal cewek itu udah menyiapkan taring kalau aja Crystal bakal nyinyir atau at least ngelirik dia kayak tokoh-tokoh antagonis di Indosiar? Tapi ternyata praduganya salah total. “Anggep aja ini asumsi orang asing, ya,” Rya membuka suara. “Tapi kalau kata gue, kayaknya Crystal gak tahu kalau lo pacaran sama si cowok sawo mateng waktu itu? Bentar, deh. Emang lo tahu mantan lo selingkuh gimana ceritanya?” “Gue punya foto dia masuk hotel sama Crsytal.” “Means tidur bareng, ya,” Ryan manggut-manggut. “Kayaknya, sih, tapi Crystal gak tahu lo sama mantan lo pas itu pacaran. Atau mungkin taunya kalian putus? Atau Kai sendiri yang bilang ke Crystal kalau lo sama dia udah gak ada hubungan?” “Kok kesannya lo jelek-jelekin Kai banget, yak?” Bukan Jane tersinggung, tapi dari cara ngomongnya, Ryan emang kelihatan banget kalau gak suka sama Kai. “Everything happens for a reason.” “Dan reason lo adalah?’ “Satu, sekali lihat juga orang udah tahu kalau dia brengsek.” Oke, soal itu Jane juga setuju seratus persen. “Dua, dia kebanyakan gaya. Tiga, lo masih suka sama dia.” Jane tergelak mendengar dua poin terakhir yang disebutkan Ryan. “Oh, really?” “Apanya?’ “Menurut lo dia kebanyakan gaya?”                                            “Emang menurut lo gak? Bahkan gue tahu kalau aja Crsytal gak keluar dari kamar mandi tadi, dia bakal flirting ke elo lagi.” Jane manggut-manggut. “Iya, sih. Terus, terus? Kalau alasan ketiga lo tadi maksudnya gimana?” “You already mature, lah. You know what i mean.” Jane memiringkan senyumnya. Bukan Jennie Laura kalau gak malah ngegodain lawan bicaranya. “Gue gak tahu, tuh, maksud lo apa. Can you explain?” Karena Jane bertanya begitu seiring dengan gadis tersebut mencondongkan wajah, Ryan jadi tergiur membalas. Dia menantang Jane dengan tatapan tajamnya, juga seringainya. “I adore you so damn much. Apa itu cukup bikin lo paham kenapa gue gak suka kalau lo masih dia?” Walk in your rainbow paradise Strawberry lipstick state of mind I get so lost inside your eyes Would you believe it? You don't have to say you love me You don't have to say nothing You don't have to say you're mine Honey I'd walk through fire for you Just let me adore you   * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   Ryan bukan tipe cowok yang suka flirting. Demi papaun, demi nama Tuhan yang Ryan sembah, dia bukan tipe laki-laki buaya darat walaupun kabar yang beredar selama ini memang mengatakan demikian. Tapi yang tahu tentang dia dan kepribadiannya adalah dia sendiri, kan? Oke, dan teman dekatnya yang cuman ada satu biji itu, namanya Noah. Keluarganya, walaupun ia dan orang tuanya termasuk memiliki hubungan yang hangat, tapi mereka gak tahu gimana kisah cinta Ryan selama ini, jadi mereka gak masuk hitungan. Tapi kali ini, Ryan berbicara jujur. Dia beneran bukan tipe cowok flirting. Selama ini, dia cenderung tidak banyak omong jika memang tidak ada maksud dan kepentingan. Dengan perempuan cantik sekalipun, kalau dia gak minat, maka dalam lima jam dia bisa cuman keluar lima kata doang : ya, tidak, ya, dan tidak. Tapi lain ceritanya kalau Ryan memang memiliki kepentingan dan minat untuk mengobrol. Maka laki-laki itu akan berubah menjadi Ryan yang detik ini, yang seperti ini, tepat ketika di hadapannya Jane Laura. Rasanya, setiap detik gak bakal bisa dia sia-siain buat gak melontarkan pujian, atau gombalan, atau topik baru untuk bercakap. Bibirnya gak bisa diem, pengennya ngobrol sama Jane terus. Kenapa bisa kayak gitu, ya? Ryan yang terlihat misterius dan banyak diamnya bener-bener kayak playboy ahli kalau udah menyangkut Jane. Aneh, Ryan bahkan masih menganggap semua ini aneh. Gimanapun, mereka belum kenal dekat, bahkan baru satu kali keluar dan bisa dianggap proper date. Tapi emang Tuhan doang yang bisa ngatur perasaan manusia, untungnya Ryan seneng-seneng aja. Terhadap kalimatnya yang barusan Ryan lontarkan, Jane bukannya tersipu, dia malah memutar bola matanya. Jane doang emang, the one of a kind, gak kayak yang lainnya—atau cuman satu yang agak mirip sama dia yaitu teman baiknya, Hanna Nadinia. “Lo bilang kayak gini udah berapa kali dalam sebulan. Eh atau seminggu?” Jane menjawab sarkas. Dan bukannya Ryan tersinggung, dia malah terkekeh. “So you heard the rumour.” “Enggak. Gue sama sekali gak pernah kenal siapa itu Christian Dave sebelum ini. Tapi the way you act tells me everything.” “Wah, gak fair, nih. Masa nilai orang secepet itu? Lo baru bisa bilang gue A atau B kalau udah kenal deket, but we’re not.” “Yea, we are totally not.” “Nah, makanya,” Ryan mengulas senyum lebar hingga gigi-giginya yang putih dan rapi terlihat. “We’re need to be closer.” Well said, Ryan. Well said. Emang kemampuan Ryan buat bikin Jane mingkem, tuh, perlu diacungin jempol. Gak cuman sekali ini doang, kan. Tapi cewek yang pandai debat itu hampir lima kali di skak-mat, dibuat bungkam, dengan kalimat manis Ryan. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Seniat apa Ryan nyiapin makan malam di kencan pertamanya dengan Jane Laura dapat dilihat dari gimana kemudian pas ada lampu menyorot ke salah satu spot di restoran, membuat Jane menoleh ke arah sana, sementara Ryan terlihat gak terkejut sama sekali—ya, iyalah. Orang dia sendiri yang nyiapin, Laki-laki itu masih gak bergeming dari duduknya, matanya masih asik menikmati karya Tuhan di hadapannya, padahal Jane-nya lagi terpukau karena beberapa pemain biola dan instrumen musik lainnya yang dia gak tahu namanya apaan. Ada pertunjukkan musik klasik alias Mozart disana yang bikin suasana remang-remang di restoran ini makin terasa romantis. Gak kalah romantis dengan suasananya, alunan lagu yang terdengar di telinga membuat Jane gak bisa menahan rasa hangat di pipinya. Gila, Ryan emang totalitas banget. Let's take our time tonight, girl Above us all the stars are watchin' There's no place I'd rather be in this world Your eyes are where I'm lost in Underneath the chandelier We're dancin' all alone There's no reason to hide What we're feelin' inside Right now Jane gak bisa menahan senyumnya kala dia menoleh dan mendapati laki-laki itu udah berdiri dari kursinya dengan tangan menyambut Jane. “Dance with me, please?” Jane tertawa. “Really?” “Gak lengkap kalau gak dansa. Suasananya udah mendukung gini, Jane.” Jane setuju, sih. Dan walaupun dia lebih suka joget di dance floor karena gerakan yang dia lakukan bakal bebas dan gak teratur, tapi untuk Ryan, she’ll break her own rule, deh. Jadi dia mengangguk dan menerima uluran tangan laki-laki itu. Ryan membawanya ke tengah, kemudian dengan cekatan tangan laki-laki berpindah ke pinggang Jane yang ramping, laki-laki itu menahan diri agar tidak menekan pinggang Jane terlalu kuat karena belum apa-apa, Ryan sudah merasakan suasana dan euphoria di sekitar mereka memanas. Jane mengalungkan kedua tangannya di leher Ryan, menikmati wajah tampan laki-laki itu dari arah dekat. Tatapan dingin dan tajam Ryan memang kontras sekali dengan perilaku laki-laki itu kepadanya. Tapi ia tak masalah. Sorot Ryan adalah bagian dari milik Ryan yang paling Jane sukai. Seolah makna tatapan laki-laki itu serat akan panas dan gairah. Entahlah, Jane hanya menyukai mata Ryan apapun arti dari tatapannya. So baby let's just turn down the lights And close the door Oooh I love that dress But you won't need it anymore No you won't need it no more Let's just kiss 'til we're naked, baby   Versace on the floor “Lo emang request lagu ini?” Jane gak bisa menahan rasa penasarannya sementara kaki mereka berdua masih bergerak sesuai alunan lagu, pelan, dan menikmati setiap tempo dan arah kaki yang bergerak ke kanan dan ke kiri. “Enggak.” Jane memicing gak percaya, tatapannya berkilat menggoda. “In the name of God, gue gak ada request lagu, cuman emang yang minta ada musik Mozartnya,  ya, gue sendiri,” jawab laki-laki itu jujur seiring dia mempererat jarak antara tubuh mereka, menikmati keintiman yang tercipta. “Kenapa? Pasti lo mikirnya gue sengaja request Versace on the floor?” Jane mengangguk jujur. Ryan manggut-manggut sambil menahan senyum. “Tapi emang suits us well, sih, walaupun lo gak lagi pakai Versace.” “Apanya yang suits us well?” Keduanya manusia ini kalau udah ngobrol, pasti sok-sokan polos dua-duanya, padahal udah tahu tujuan dan maksud kalimat yang dibahas. “My dress doesnt on the floor.” “Atau belum?” Jane menelengkan wajah. “Masa?” “Kan nanti lo pulang, ganti baju, kan? Apa lo mau tidur pakai begini?” Jane memutar bola matanya. Emang sialan ini cowok di depannya. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * I unzip the back to watch it fall While I kiss your neck and shoulders No don't be afraid to show it off I'll be right here ready to hold you Girl you know you're perfect from Your head down to your heels Don't be confused by my smile 'Cause I ain't ever been more for real, for real Lagu sialan. Ryan dan Jane sama-sama menyukai lagu ini. Siapa, sih, yang gak suka sama lagu-lagunya Bruno Mars? Apa lagi manusia kayak Ryan dan Jane yang pasti telinganya lebih masuk buat lagu yang nadanya mendayu kayak gini karena terkesan seksi—belum lagi liriknya. Entah bagaimana bisa, tapi ketika lirik tersebut terdengar, makna lirik tersebut pulalah yang mencerminkan apa yang mereka berdua lakukan. Saat ini keduanya sedang ada di kamar hotel. Panjang ceritanya bagaimana bisa dinner romantis yang sudah keduanya rencanakan kini malah membuat mereka berdua memasuki ruangan hotel yang baru di check in oleh mereka. Panjang ceritanya pula bagaimana bisa Ryan dan Jane yang awalnya hanya terbawa suasana—oke, itu bohong—karena yang sebenarnya terjadi adalah, karena hanyut pada lagu, keduanya berciuman di tengah-tengah dansa tadi. Jarak tubuh mereka sudah habis kala Jane semakin melekatkan tubuhnya ke bagian depan tubuh Ryan, sementara cowok itu memiringkan kepala untuk mencium Jane lebih dalam. Peduli setan mereka berdua dengan lampu restoran yang menyorot ke arah mereka, yang membuat para pegawai pasti ada yang diam-dam atau bahkan terang-terangan mengintip kegiatan mereka saat itu. Ciuman semakin panas kala Ryan mencoba menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Ryan—kalau saja Jane gak menepuk pundaknya sebelum menjauh dan menghentikan aktifitas mereka. “Jangan disini,” ujar perempuan itu sambil menata nafasnya yang sudah tak beraturan. Kening mereka masih bersatu, nafas Ryan sama tersengalnya karena tangannya tadi sudah kemana-mana. Hampir melucuti dress perempuan itu disini, di tempat umum. Gila. Untung Jane ngingetin dia, kan? Ryan mengangguk sebagai jawaban. Dia mencuri satu lumatan lagi sebelum membawa Jane ke hotel. Dia tak punya waktu banyak untuk mengemudi ke apartemennya sementara gairah mereka berdua sudah diujung tanduk. Baik Ryan dan Jane sudah lama tidak melakukan aktifitas seksual dengan siapapun. Terakhir kali Ryan melakukan ini adalah tiga atau empat bulan yang lalu, sementara Jane sudah setengah tahun yang lalu alias semester kemarin. Gak heran kenapa sekarang pas mereka nemu partner yang pas di atas ranjang, mereka jadi sama-sama kelaparan. Lalu inilah yang keduanya lakukan sekarang. So just turn down the lights And close the door Oooh I love that dress But you won't need it anymore No you won't need it no more Let's just kiss 'til we're naked, baby Versace on the floor Take it off for me now girl Seiring dengan priingan hitam yang memutar lagu Bruno Mars dengan judul Versace on The Floor tersebut terlantun indah, tangan Ryan menurunkan resleting dress gadis itu, membiarkan kain tersebut jatuh ke lantai—tepat seperti judul lagunya. Bibir Ryan berlabuh di pundak telanjang gadis itu dengan tangan yang tak bisa diam, mengerayangi kesana kemari tak kunjung berhenti. Jujur saja, walaupun lak-laki itu juga sudah dikendalikan oleh nafsu—tanyakan saja pada kejantanannya yang mengeras tegak tersebut, tapi dia ingin melakukan ini dengan lembut dan tak terburu-buru. Toh selama ini dia bukan pecinta quick s*x apa lagi b**m. Menurutnya itu sama sekali tak memiliki makna kasih sayang di dalamnya. Sebagai lelaki sejati yang hanya meniduri gadis yang dia sukai, dia tak mau menyakiti perempuannya walaupun untuk mengejar rasa nikmat. Tapi sepertinya prinsip Ryan kali ini bertolak belakang dengan Jennie Laura, gadis yang sedang memiringkan kepala, demi memberi akses Ryan pada spot lehernya lebih banyak itu. Jane sepertinya tak bisa sabaran. Apa yang Jane mau harus segera Jane dapatkan. Dan hal ini makin terbukti kala tangan kanan Ryan masih asik mengusap lembut pinggang Jane dan memberi lumatan basah di lehernya dari arah belakang, perempuan itu sudah balik badan. Matanya yang sayu karena dikendalikan gairah mengatakan semuanya. Jane segera butuh pelampiasan, Ryan tahu. Can you feel it? Seems like you're ready for more, more, more Let's just kiss 'til we're naked “Gue mau langsung,” kata Jane merintih, memohon. Dia sudah di ujung tanduk rupanya. Tak hanya meminta hal itu, perempuan itu meraba celana milik Ryan di bagain depan, merasai bagaimana milik Ryan sudah keras bak kayu. Cewek itu menyeringai. Tangannya semakin nakal disana. Ryan menggeleng sebagai jawaban. “Gue gak mau buru-buru.” “Please?” “No,” jawab Ryan tegas. “Let me pleasure you first.” katanya sebelum meraih wajah Jane untuk ia lumat bibirnya. So just turn down the lights And close the door Oooh I love that dress But you won't need it anymore No you won't need it no more Let's just kiss 'til we're naked, baby Versace on the floor Take it off for me now girl * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN