* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Nafas mereka berdua, Ryan dan Jane, masih sama-sama tersengal. Dadanya naik turun karena terengah. Dua orang itu sudah terbaring lemah di atas ranjang, berdampingan, dengan mata sama-sama menatap ke langit-langit kamar.
Ryan kemudian menoleh menghadap gadis itu, awalnya cuman kepala yang noleh, tapi melihat rambut Jane berantakan hingga beberapa anak rambut sampai menutupi pipi nyaris ke hidung. Karena itulah dia akhirnya noleh sebada-badan, tidur sambil miring dengan satu tangan menyangga tubuhnya, sementara tangan yang lain merapikan rambut perempuan itu.
“Tired already?”
Jane mengangguk. “Kenapa? Mau lagi?”
Tapi laki-laki itu menggeleng. Dia maju untuk mengecup pucuk hidung Jane kemudian membuka suara sebagai jawaban. “Gue gak sejahat itu bikin cewek cantik yang udah capek, makin kecapekan.”
Iya, Jane Laura tahu itu.
Bahkan dari awal laki-laki itu menyentuhnya, pada setiap sentuhan, Ryan selalu mengutamakan consent. Padahal sudah Jane bilang bahwa kalaupun langsung ke permainan inti, dia juga tidak keberatan. Tapi nyatanya Ryan emang betulan laki-laki sejati. Selain consent, laki-laki itu juga memastikan bahwa Jane aman dan tidak merasa kesakitan. Sekalipun perempuan itu juga bilang bahwa dia tidak masalah jika Ryan melakukan seks kategori b**m.
Bahkan laki-laki itu mengabaikan rasa lelahnya sendiri hanya untuk bangkit mengambil tisu dan membersihkan daerah kewanitaan Jane yang lengket dan basah. What a true gentleman. Jane benar-benar menyukai laki-laki yang bisa bersikap seperti ini.
Ketika kali ini Ryan hendak bangkit lagi untuk membersihkan diri, Jane mencekal lengannya, membuat Ryan menoleh. “Kenapa?”
“Stay here.”
Ryan terkekeh kecil. “Gue mau mandi, Jane.”
“Gue pengen tidur sambil dipeluk,” ujar perempuan itu sembari menggigit bibir bawahnya, bukan karena niatnya menggoda, tapi karena ia ragu jika pertanyaannya akan diiyakan atau tidak oleh laki-laki tersebut.
Mendengar itu, senyum langsung terulas di bibir Ryan. Dia mengangguk dan kembali merebahkan punggungnya di atas ranjang bergabung dengan Jane, mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri walaupun sebenarnya ia paling tidak suka kalau langsung tidur setelah bercinta.
“Oke, come here,” Ryan mengisyratkan perempuan itu untuk masuk ke rengkuhannya. Jane menurut tanpa banyak komentar, langsung menaruh kepalanya untuk bersandar di d**a bidang laki-laki itu, seiring dengan ia yang merasakan punggungnya diusap teratur, menghentarkan ia ke alam bawah sadarnya, Jane mendengar laki-laki itu berbisik di telinga.
“Makasih, ya, Jane. I couldn’t say more sincere.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Setelah Ryan memastikan bahwa Jane sudah terlelap, barulah ia turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi. Dia membersihkan diri tak terlalu lama, kemudian berganti baju, barulah dia menyusul untuk beristirahat.
Ryan sempat tertidur setelahnya. Beberapa kali pergerakan Ryan yang menyamankan posisi untuk tidur membuat ranjang bergerak, ternyata Jane juga tak terbangun juga. Bukan Ryan berharap Jane segera bangun, tapi dari sini dia menyimpulkan kalau Jane tipe cewek yang tidurnya kebo banget dan bakal susah dibangunin.
That’s mean soal bangun dan tidur, maka keduanya punya perbedaan yang cukup signifikan. Karena Ryan sendiri malah bukan tipe orang yang susah dibangunkan—sementara cowok di luar sana lebih banyak kebonya, kan? Selain itu, dia juga bukan tipe cowok yang bakal bangun siang banget—seperti cowok-cowok lainnya juga. Bahkan Jane aja pernah cerita kalau dia tipe cewek yang bagunnya di pukul sebelas sampai tiga sore di hari weekend. Separah itu. Dia gak kaget, sih, karena emang manusia milenial jamans sekarang emang susah kalau disuruh jadi morning person.
Tapi itu lain lagi dengan Ryan. Karena sekalipun weekend dan dia gak ada kegiatan apapun untuk dilakukan, jam delapan adalah jam maksimalnya dia terbangun di pagi hari. Soal ini, dia memang sudah terbiasa dari kecil mengingat orang tuanya memang morning person semua, sehingga Ryan pun seringnya juga dibangunin pagi.
Apa yang membedakan Ryan dengan orang-orang lain juga bisa dilihat lewat hobi. Banyak orang yang mengaku kalau rebahan adalah the best part of their life. Mereka senang rebahan dan bermalas-malasan. Sementara Ryan malah paling gak suka diem doang, bermalas-malasan, apa lagi rebahan. Lain cerita kalau soal kecapekan, ya. Kalau kecapekan, mah, siapapun juga udah pasti bakal langsung tertidur gak tahu waktu dan gak tahu tempat.
Ryan ini orangnya produktif banget. Dia kretif dan suka keluar dari zona nyaman. Ini yang bikin dia jadi multitalenta, bisa ini bisa itu, dan jadi salah satu hal yang bikin orang makin tertarik sama cowok ini. Dia pernah menekuni banyak kegiatan pas usianya masih kecil, sekitar kelas 5 SD. Iya, di kelas 5 SD pas anak-anak lain pada lebih suka main layangan atau kelereng, dia lebih suka latihan sepak bola, badminton, tenis meja, sampai bowling walaupun gak pinter-pinter amat.
Sementara pas SMP, dia menekuni alat musik. Hingga sekarang, dia masih menguasai banyak alat musik. Mulai dari gitar yang paling mudah, hingga drum, bas, piano, dan lainnya. Kemampuan vokalnya juga bagus, tapi karena dia tidak suka bernyanyi, jadi dia tidak mendalami permusikan di bidang apapun.
Kemudian saat dia mulai menginjak SMA, Ryan sebenernya gak puya predikat pinter dan anak baik, malahan dia suka bolos sekolah dan lompat pager buat kabur kalau lagi males. Hanya saja, dari lahir otaknya emang lain dari yang lain, alias kalau disuruh hafalan, tuh, cepet banget. Itu yang bikin dia cepet belajar. Dan karena di usia SMA waktu itu dia sudah memikirkan panjang tentang masa depannya, jadi dia mulai mempelajari tentang dunia bisnis.
Temen-temen sekolahnya gak ada yang tahu kalau setiap pulang sekolah dan Ryan menolak buat diajak nongkrong dengan alesan males, sebenarnya yang dia lakukan adalah ikut papanya untuk turun lapangan melihat pembangunan salah satu perusahaan cabang milik papanya. Dia selalu banyak tanya karena rasa ingin tahunya yang tinggi, tapi papanya justru senang dengan itu dan dengan senang hati menjelaskan. Bahkan kala Ryan bilang dia ingin jadi pebisnis saja, gak peduli kalau kuliahnya ada di Teknik yang mana dia jadi kayak salah jurusan, papanya mengangguk saja, mendukung pilihan anaknya asal jelas dan baik.
Sempurnanya Christian Dave, tuh, disitu. Play hard learn hard adalah prinsip yang ia simpan sebagai pegangan hidunpnya. Dia gak mau hidupnya gak seimbang antara main sama masa depan. Dia maunya semua dilakukan seimbang. Dia main, dia mabuk, dia pacaran, dia nakal, tapi dia juga serius belajar, nabung, mempersiapkan masa depan, bangun bisnis ini dan itu.
Sayangnya cuman satu, orang lain mana tahu tentang baiknya dia? Yang orang tahu tentang reputasi Ryan cuman yang jelek-jelek doang.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Setelah tertidur hanya dua jam setengah usai dia mandi karena badannya yang lengket akibat sisa percintaannya dengan Jane tadi, laki-laki itu terbangun di pukul tiga pagi. Gak tahu kenapa, tapi dia emang agak gak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan karena dia gak nyaman sama Jane yang tidur berbagi ranjang sama dengan dia, sama sekali bukan karena gak nyaman. Tapi faktor subjeknya emang sama : karena Jane.
Ryan udah pernah bilang, kan, kalau dia udah libur hampir empat bulan tidur sama cewek belakangan ini? Dan itu termasuk reward ke dirinya sendiri karena biasanya dia sebulan sekali masih sempet ‘bermain’. Entah sama siapa, yang pasti dia selalu bermain aman.
Tapi kali ini tentu rasanya berbeda.
Walaupun dia mengenal Jane belum lama-lama amat, tapi dia sudah mengakui kepada dirinya sendiri, lagi pula dia juga gak suka membohongi perasaan, bahwa dia memang betulan tertarik. Setelah aktivitas yang ia lakukan dengan perempuan itu, Ryan bahkan bertekad kuat dalam hatinya kalau setelah ini, ia akan lebih gencar mendekati Jane. Dia sudah cocok dan merasa nyaman, tak ada salahnya jika dia mencoba menghapus nama Kaisar di hati perempuan itu dan mengganti jadi namanya sendiri.
Lalu apa yang membuat Ryan terbangun di sepagi ini padahal dia juga kelelahan dan butuh tidur?
Jawabannya adalah karena dia masih suka gak percaya bahwa dia benar-benar membawa Jane ke ranjang. Mendekap perempuan itu dalam rengkuhannya dengan selimut putih tebal yang menutupi kedua tubuh telanjang manusia di atas ranjang tersebut, ruangan hotel yang disewa semalam, ciuman manis di antara keduanya, kulit bertemu kulit, desah dan erangan, semuanya masih terasa gak nyata.
Bilang Ryan lebay, dia gak peduli. Tapi ada rasa membuncah dalam hatinya setiap mengingat bahwa respon tubuh Jane memang sesuai harapannya. Karena hal itulah jadi dia tahu bahwa kesempatannya untuk mendekati si perempuan bisa dibilang cukup besar juga.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Jadi pilihannya di pukul empat pagi setelah matanya tiba-tiba terbuka adalah bukan kembali tidur. Dia memilih turun dari kasur dan mengambil sekotak rokoknya, kemudian keluar ke arah balkon kamarnya. Dia memastikan pintu pembatas antara kamar dan balkor sudah benar tertutup rapat mengingat di luar sangat dingin.
Dia gak bohong. Ternyata Jakarta bisa dingin juga di sepagi ini. Karena dia hanya memakai kaos dan celana boksernya—mengingat dia gak bawa apa-apa buat ganti karena niatnya memang cuman dinner doang sama Jane eh ternyata kebablasan—bulu kuduknya sampai berdiri saat angin pagi menerpanya.
Dia duduk dan segera menyalakan pemantik api untuk rokok yang sudah ia jepit di antara bibirnya. Dia menghirup dalam-dalam nikotin itu, kemudian rasa hangat menerpa paru-parunya tepat di satu detik kemudian.
Emang dasar, ya, manusia. Kalau udah tahu racun dan gak sehat, malah diterusin. Gak perlu ngomongin rokok, deh, yang deket-deket aja contohnya. Jane, misalnya. Ryan emang suka cewek itu, tapi bukannya dengan dia memilih mendekati Jane juga salah satu contoh addicted ke racun?
Ryan benci punya hubungan sama orang yang masih belum sepenuhya lepas dari masa lalu mereka. Semua orang pasti sepakat dengan Ryan. Siapa, sih, yang mau berpasangan sama orang yang ternyata masih gagal move on? Bahkan dalam sekali lihat, Ryan tahu seberapa besar efek seorang Kaisar bagi Jane.
Ryan jadi menerka-nerka. Sudah berapa progreskah gadis itu untuk melupakan Kaisar? Apakah sudah hampir benar-benar lupa atau bahkan menginjak sepuluh persen saja belum? Akankah dia berhasil mendekati perempuan itu atau dia lebih baik cari aman untuk menjaga hatinya sendiri saja?
“s**t,” Ryan mengumpat tiba-tiba.
Karena melamun, dia tidak sadar bahwa batang rokok yang ia pegang jatuh dan mengenai pahanya. Untung gak sampai yang kayak gimana-gimana. Tapi tetep, lah, yang namanya kena percikan api rokok juga pasti panas dan nyelekit.
Berapa lama laki-laki itu tadi melamun sampai gak sadar, coba? Adakah sepuluh menit? Atau malah bahkan tiga puluh menit?
Langit masih sangat gelap, udaranya terasa segar walaupun anginnya terasa dingin menerpa kulit. Ryan menikmati pagi ini dengan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk menyegarkan pikiran. Gila, ya. Kenapa juga cowok itu harus overthinking padahal mulai aja belum?
Jawabannya gampang.
Karena Jane punya aura menarik yang tinggi. Dia bisa dengan mudah membuat lawan jenis bertekuk lutu padanya, begitu pula dengan Ryan. Jadi kalau pulang dari sini cowok itu memutuskan untuk mempererat hubungan dengan Jane, artinya dia juga harus siap menerima segala resikonya, kan?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
She had a face straight out a magazine
God only knows but you'll never leave her
Her balaclava is starting to chafe
When she gets his gun he's begging, babe stay, stay
Stay, stay, stay
I'll give you one more time
We'll give you one more fight
Said one more line
Will I know you?
Now if you never shoot, you'll never know
And if you never eat, you'll never grow
You've got a pretty kind of dirty face
And when she's leaving your home
She's begging you to stay, stay
Stay, stay, stay
Ryan menoleh ke belakang kala tiba-tiba dia mendengar suara lagu dari 1975 yang sangat dia tahu. Jusulnya Robbers, kalau Ryan gak salah ingat. Tapi bukan tentang itu yang bikin dia bingung, yakni siapa pelakunya.
Baru dia noleh ke belakang, dia sudah menemukan jawaban.
Jane dengan wajah khas cewek bangun tidur—alias mata sipit dengan make up yang masih agak nampak karena kemarin dia tidak sempat membersihkan wajah, rambut sedikit berantakan tapi itu malah terkesan seksi di mata Ryan, kemeja yang Ryan pakai kemarin yang membungkus tubuhnya. Well, biarkan Ryan menebak dulu. Apakah gadis itu memakai dalaman? Atau tidak?
Mungkin, sembilan puluh persen jawaban dari Ryan adalah tidak. Terlihat dari bagaimana bagian atas puncak d**a Jane yang terlihat menonjol sekalipun kemeja Ryan gak bisa dibilang tipis.
Jeez. Ada apa dengan otak Ryan yang bisa langsung sekotor ini setiap melihat Jane?
“Kok udah bangun?” Jane bertanya sembari mendekat, lalu duduk di samping kursi laki-laki itu sebelum bergidik kedinginan. “Atau lo belum tidur sama sekali?”
“Baru bangun.”
“Ooh,” Jane manggut-manggut. Dia menggosok kedua lengannya yang terasa dingin.
“Masuk aja. Masih pagi banget. Lo bisa tidur lagi kalau lo mau.”
Tapi gadis itu menggeleng, memberi penolakan atas penawaran menggiurkan Ryan karena gimanapun dia emang masih ngantuk banget.
“You had a good sleep?” Ryan bertanya, sembari menggeser kotak rokoknya pada Jane, dan perempuan itu gak ragu untuk menerima.
Jane mengangguk. “I had a good s*x too.”
Jawaban gamblang perempuan itu membuat Ryan terkekeh. Gadis ini benar-benar.
“Glad to hear it.”
“How about you?”
“Same here, Girl. It was great s*x. Thanks to you.”
“Thanks to you too.”
Jane maklum, sih, kalau bangun setelah kegiatannya dengan Ryan semalam, mereka gak bakal punya rasa canggung atau apapun sekalipun ini pertama kalinya mereka melakukan bersama, juga padahal keduanya bisa dibilang belum terlalu mengenal satu sama lain.
Tapi siapa, sih, yang gak bisa nebak kalau Ryan memang udah gak perjaka? Kelihatan banget, kali. Lain cerita kalau Ryan baru pertama ngelakuin ini. Baru, deh, mungkin Jane akan terbangun dan menghadapi laki-laki yang bertingkah sok menyesal atau malah canggung.
Well, Jane sebenernya juga emang gak terlalu suka main sama yang belum berpengalaman. Gak menantang.
“Lo suka 1975?”
Jane noleh setelah menghembuskan asap dari dalam mulutnya. “Who doesn’t?”
“Lo nonton konsernya tahun lalu di Jakarta?”
Tapi perempuan itu kali ini menggeleng. “So bad. Karena waktu itu gue abis kecelakaan jadi gak bisa nonton.”
“Padahal udah beli tiketnya?”
Jane mengangguk. “Sayang banget, kan?”
“Iya,” jawab Ryan singkat sebelum kembali melontarkan kalimat lain. “Tapi kayaknya akhir tahun ini ada 1975 lagi. Entah di Spore atau di Jakarta.”
“I know right. Dan kalau lo nanya apa gue berminat nonton atau gak, it will be a freaking yes for me.”
Ryan nyengir. “Oke, noted.”
“Apanya yang noted?”
“Lo mau nonton 1975 Desember nanti sama gue.”
Mendengar itu, kekehan dari Jane jadi gak terkendali, keluar begitu saja.
“Itu masih lama. Kenapa ngomongin yang jauh banget?”
“Hm?”
Ryan belum sempat mencerna maksudnya kala kemudian Jane kembali bersuara.
“How about second proper date?”
Sialan, Ryan mendesis. Jane Laura emang paling bisa mengambil start, kan?
Ryan gak perlu memberi jawaban atas tawaran Jane. Tapi dia memilih memberi ciuman untuk membungkam bibir seksi perempuan itu, kemudian menggendongnya ke kamar, dan memulai kegiatan panas mereka berdua, lagi.
Entahlah, mungkin Ryan harus booking kamar ini lagi karena keduanya gak tahu kapan ini akan berakhir.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
I'm not one to stick around
One strike and you're out, baby
Don't care if I sound crazy
But you never let me down
That's why when the sun's up, I'm stayin'
Still layin' in your bed, singin'
Got all this time on my hands
Might as well cancel our plans
I could stay here for a lifetime
So lock the door
And throw out the key
Can't fight this no more
It's just you and me
And there's nothing I can do
I'm stuck with you, stuck with you, stuck with you
So go ahead and drive me insane
Baby, run your mouth
I still wouldn't change being stuck with you
Stuck with you, stuck with you
I'm stuck with you, stuck with you, stuck with you, baby
There's nowhere we need to be
I'ma get to know you better
Kinda hope we're here forever
There's nobody on these streets
If you told me that the world's ending
Ain't no other way that I could spend it
Baby, come take all my time
Go on, make me lose my mind
We got all that we need here tonight
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Setelah pulang dari hotel, Ryan mengantar Jane ke apartemennya, dia gak sempat mampir karena dia sendiri butuh tidur yang cukup karena ia benar-benar kelelahan. Aktivitas mereka berdua seperti tiada henti, menghabiskan banyak tenaga dan waktu.
“Gue pulang, ya.”
Jane mengangguk. “Hati-hati.”
Hanya itu saja yang keduanya ucapkan sebelum mobil Ryan menjauh dari tempat Jane berdiri—karena perempuan itu sendiri memang yang meminta agar Ryan pergi lebih dulu, baru ia yang masuk ke apartemen.
Setelah sampai di apartemennya, dia segera mandi dan ganti baju—lagi, sebelum kemudian langsung melempar badan ke atas ranjang dan tertidur pulas dalam hitungan detik. Ryan bangun di empat jam kemudian, tepatnya saat jam menunjukkan pukul setengah setengah satu siang.
Saat terbangun, apa yang ia cari pertama kali membuka mata adalah benda yang juga pasti orang lain cari saat baru bangun. Apa lagi kalau bukan hape?
Dia menemukan banyak notif masuk dari temen tongkrongannya di kampus. Soal teme, Ryan tentu membaur sama siapa aja. Tapi bukan berarti dia punya geng kayak di tv-tv, kayak Dilan atau Nathan. Dari dulu, dia selalu kayak gini, alias jadi social butterfly.
Sementara yang bener-bener temen baik dia cuman ada satu sekarang, dulu dua, sih. Dulu ada dua tapi karena dia pindah ke Los Angeles ikut neneknya, mau gak mau komunikasi di antara mereka semakin memburuk karena kesibukan masing-masing. Jadi ya tinggal satu doang sekaranag.
Namanya River.
Dulu, pas Ryan masih SD, mereka emang udah kenal alias dulu satu sekolahan cuman gak deket-deket amat karena seingat Ryan yang dulu berada di kelas A, River ini malah ada di kelas C. Hanya saja keduanya sering berpapasan dan beberapa kali ngobrol pas ada ekstrakulikuler pramuka.
Kemudian keduanya dipertemukan lagi di kampus. Dia awalnya juga agak kaget, sih, karena River ternyata berada di satu kampus yang sama dengannya. Oke, lah, kalau kampus kan emang bisa buat orang banyak. Tapi bahkan satu jurusan dan satu kelas?
Karena udah pernah kenal, jadilah keduanya mudah untuk nyambung. Dan karena dari semester satu River udah sering ngintilin Ryan kemana-mana, akhirnya gak bisa dipungkiri mereka jadi temen deket sampai sekarang ini.
Oh, omong-omong tentang karakternya, River ini dibilang cenderung bodo amat—gak cenderung, sih, tapi emang bodo amat banget orangnya. Dia cuek sama orang lain, gak pernah peduli, hampir kayak ga punya rasa empati. Tapi lain lagi kalau sama orang terdekatnya, kayak Ryan misalnya.
Apa yang bikin River kayak gini, usut punya usut, karena orang tuanya udah meninggal bunuh diri bersama ketika usianya baru memasuki tiga belas tahun. Ryan selalu ikut merasakan jantungnya diremas ssetiap kali ingat.
Tapi dia gak pernah mempermasalahkan masa lalu dia. Untuk apa juga? Dia mau berteman dengan River karena dia enak diajak ngobrol, bukan melihat dari apa yang pernah dialami.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
River :
Eh dimane lu
ke bar gak malem ini?
Pesan itu dibaca dengan cepat oleh Ryan, mengabaikan pesan lain dari teman-temannya yang kelihatannya gak ada yang penting. Jemari laki-laki itu segera mengetikkan pesan balasan.
Ryan :
kayaknya enggak
River :
ya elah
gue sendirian dong
Ryan :
jangan kayak bocah
River :
gue ke apart lo aja ok abis ii
Ryan :
ya, terserah
Ini bukan kali pertama juga, sih, River ke apartemen Ryan, jelas. Mengingat keduanya udah kayak saudara beda darah dan beda ASI, mereka emang sering ke tempat satu sama lain. Dulu Ryan udah pernah nawarin River buat tinggal di apartemennya aja dari pada ngekos. Lagi pula Ryan sudah mengantungi izin dari orang tuanya jika memang River mau tinggal sama dia.
Tapi River menolak, alasannya sih karena dia nyaman tinggal di kosnya yang sekarang. Padahal Ryan yakin bukan karena itu, melainkan karena River ngerasa gak enak merepotkan. Tipikal.
“f**k,” umpat Ryan tiba-tiba kala baru juga dia keluar kamar dan hendak ke dapur, dia menemukan River udah ada di ruang tamu, lagi meletakkan sepatu—artinya baru datang. “Lo—sial, bisa-bisanya tiba-tiba disini gak ada aba-aba?”
“Gak ada aba-aba gimana? Pintu lo kalau dibuka kan bunyi. Masa gak denger?”
Ryan cuman mendengus. Tapi padahal dia beneran gak denger. Sambil meneruskan langkah, Ryan membuka obrolan. “Lo berangkat dari kos?”
“Berangkat dari kerjaan, lah.”
“Oh, shift pagi?”
River mengangguk sembari merebahkan punggungnya di sofa empuk milik Ryan lalu memejamkan mata. Ryan geleng-geleng kepala. Kadang dia suka gak habis pikir aja sama temennya ini. River yang emang udah gak punya orang tua dan menolak ikut salah satu saudara kandung bokap atau nyokapnya berarti harus menanggung kebutuhan hidup dia seorang diri. Dari SMP, berdasarkan cerita River, dia emang udah kerja sambilan. Pagi sekolah, sore kerja. Itu udah biasa. Bahkan pas kuliah dia dapet beasiswa aja, dia juga masih kerja karena katanya buat bayar kos. Ya, bener, sih. Tapi masalahnya, kenapa River ini masih suka menghambur-hamburkan duit? Udah tahu kerja itu susah dan bikin capek, tapi tiap gajian dibuat minum-minum.
“Pesen grab food atau apa kek kalau laper,” ujar Ryan kala menemukan suara perut berbunyi dan itu tentu bukan berasal dari dia. “Gue yang bayar.”
River meringis. “Kok lo bisa denegr, sih? Kan jauh.”
“Kenceng bunyinya, astaga.”
“Oke, oke, oke. Gue pesen. Lo mau juga? King crab mau gak? Pengin kepiting.”
Agak gak tahu diri, ya, udah ditraktir tapi minta kepiting. Tapi untung aja Ryan baiknya gak ketulungan, duitnya juga gak ketulungan.
“Yang lain. Gue kemarin abis makan kepiting udah.”
“Hah? Kenapa lo gak ngajak gue?”
Ryan mendekat sambil menaruh gelas berisi air mineral di depan River.
“Sama siapa?”
“Ada, lah. Cewek.”
“Oh, ngedate?”
Ryan melengkungkan senyum tipis tanpa diketahui River. “Iya.”
“Iya?!”
“Iya.”
River menoleh cepat, badannya udah menghadap sempurna ke arah cowok itu. Dan tanpa diketahui oleh Ryan pula, River menatapnya dengan pandangan aneh, yang sulit diartikan siapapun.
Oh, biarkan River memperkenal nama lengkapnya.
Dia Riveria Angelic.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
River terlahir cukup beruntung karena selain dikaruniai wajah cantik bak malaikat, seperti nama yang disematkan oleh ibunya di belakang nama dia, River juga mendapatkan orang tua yang penuh kasih sayang.
Dari kecil, dia tidak pernah mendengar huru-hara antara ayah dan ibunya. Bahkan memasuki SD, dia sering sekali mendapat puja-puji dari teman-temannya karena orang tuanya selalu terlihat sangat menyayangi River sekaligus memanjakan. Apa yang River mau akan segera ia dapat.
Semuanya terasa sempurna, setidaknya bagi River saja.
Karena dibalik bagaimana orang tua River memberi kasih sayang dan segala sesuatu untuk River, ayahnya ternyata mengalami kebangkrutan besar-besaran. Perusahaannya merugi, membuat rumah mereka disita sekaligus empat mobil dan barang-barang di dalam rumah.
River tidak pernah tahu kejadian penyitaan itu, karena seingatnya, sejak dia memasuki usia 12 tahun atau kelas 5 SD, dia sering dititipkan di rumah neneknya. River tak pernah menaruh curiga, lagi pula dia masih kecil, jadi dia kira semuanya masih baik-baik saja.
Hingga kemudian neneknya memberi tahu bahwa orang tuanya meninggal di hari yang sama. River kecil belum tahu alasannya. Semua keluarga menutupi alasan kenapa orang tuanya meninggal bersamaan dari River sekaligus.
Sampai kemudian usianya sudah kelas 3 SMP waktu itu. Dia masih ikut nenek dari pihak ayahnya. Baru hari itulah tante dan omnya berani memberikan fakta sebenarnya karena mereka mengira sudah sepantasnya River tahu.
Semuanya berubah sejak itu.
Tidak ada lagi River yang hangat dan ceria. Tidak ada lagi River yang memiliki banyak teman dan selalu bergembira. Yang ada hanya River yang dingin dan sulit terbuka kepada orang di luar sana. Dia menangis kencang kala ditinggal meninggal oleh orang tuanya, tapi setelah mendapat fakta baru alasan di balik kematian tersebut, dia hanya bisa melamun dan mulai menyalahkan diri sendiri.
Kenapa lo gak peka sama keadaan orang tua lo sendiri, Ver?!
Setelah itu, dia memutuskan untuk tinggal sendiri dengan uang seadanya yang sudah ia kumpulkan sejak hari pertama ia bekerja setahun belakangan. Tnetu keluarga dari ayah dan ibunya menentang keras, tapi River tak kalah keras. Ia tidak mau lagi merepotkan orang lain. Pantang baginya merepotkan orang lain.
Dimana langkah River keluar dari pintu singgasana neneknya diiringi tangis oleh keluarga yang lain karena gadis itu benar-benar tak ingin tinggal bersama mereka lagi, River memutuskan untuk menjadi River yang baru.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Siapa?”
River kembali melontarkan pertanyaan lagi. Yang mana kali ini suaranya terdengar lebih pelan.
“Lo gak kenal, River.”
“Temen tidur lo, kan? Kayak biasanya?”
“Hei, lo tahu rumor tentang gue suka nidurin cewek itu cuman sampah. Kapan gue main-main sama cewek? Lo tahu gue dengan baik, River.”
“Jadi lo gak main-main sama dia?”
“Of course not.”
“Lo jatuh cinta beneran?”
Ryan gak menjawab, tapi hanya meliriknya sekilas dengan mengulas senyum manis sebelum kembali menunduk ke arah ponselnya.
River berdeham, berusaha menutupi raut wajahnya yang terlihat berubah sebelum kembali melontarkan pertanyaan lain. “Lo ketemu dia dimana?”
“Pertemuan pertama? Di Swill.”
“Terus?”
“Terus apa? Waktu di Swill? Gue belum ngeh banget sama dia. Terus ketemu lagi di kampus.”
“Dia sekampus sama kita?”
“Iya.”
“Jurusan?”
Ryan jadi noleh dan ketawa bentar. “Lo jadi kayak wartawan.”
“I’m just asking.”
“Kapan-kapan gue kenalin langsung. Doain aja.”
“Doain apa?”
“Doain gue cepet jadian sama dia. Well, not gonna lie, but it’s gonna be hard between her and i,” Ryan menghela nafas ketika wajah Kaisar si laki-laki b******n itu kembali muncul di kepalanya. “It’s gonna be hard.”
River diam, gak lagi melontarkan pertanyaan selanjutnya. Ryan sendiri kini berdiri sambil menempelkan ponsel di samping telinganya. Dengan mengucapkan kalimat tanpa suara pada River, bahwa dia harus mengangkat telepon dari mamanya sebentar.
River tersenyum, kepalanya mengangguk. Mempersilahkan.
Seiring dengan punggung laki-laki tampan itu menjauh, senyum River menghilang, digantikan dengan kepalanya yang terasa pening membuat River mendesis tiba-tiba.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *