* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“What?” Hanna melotot kaget. “Apa lo bilang, Jane?”
“You heard me, Han.’
“Wait, wait, wait. s**t, wait.”
Jane malah ketawa mendengar respon Hanna yang beneran kelihatan panik dan bingungg.
“Lo deket sama Ryan? Terus udah tidur sama dia?”
Jane mengangguk.
“Dia ngaku suka sama lo?”
Jane mengangguk lagi.
“Kok bisa, sih?!”
“Ya kenapa enggak bisa, coba, gue tanya?” Jane menyeruput minumannya. “Dia cowok, gue cewek. Cakep pula. Apanya yang gak bisa?”
Hanna menggaruk keningnya yang gak gatel itu. “Sumpah perasaan lo baru ketemu sama Ryan pas ketemuan ada gue juga itu gak, sih? Yang lo ngajakin ke Gowlie?”
“Ya emang! Lo, sih, tiba-tiba ngecancel date kita. Padahal kan rencananya mau ke Gowlie. Eh lo malah milih ngebucin sama itu anak setan.”
“Sorry, deh, soal yang itu. Tapi gue kan bukan mau ngebucin anjir. Dia beneran sakit makanya harus gue bawa ke tukang urut,” Hanna mencoba menjelaskan sejujurnya. “Terus jadi abis gue pergi sama Jeff, lo cabut sama Ryan?”
“Iya. Dia bilangnya dia juga gabut gak mau kemana. Terus nanya, kalau gue ikut lo gak papa? Gue gak ada hak buat ngelarang, dong, Han—“
“Ada, lah. Kan itu hak lo, Oon.”
Jane nyengit.
“Ye, itu mah lo-nya juga demen.”
Cengiran Jane makin lebar lagi.
“Terus gimana? Malemnya kalian ngedate lagi?”
“Hooh. Terus bobo bareng/”
Hanna ngakak atas pemilihan kata yang disematkan oleh Jane. “Damn, emang bener-bener lo, ya.”
“Abisnya gimana, Han? Lo tahu sendiri dia cakep banget. Kalau gue lewatin yang kayak begini padahal udah lewat depan mata, padahal dia juga udah demen balik, sayang banget gak, sih?”
“Ya juga, sih.”
“Heh, kenapa lo kelihatannya gak yakin gitu, sih, Han?”
“Aduh, bukan gak yakin, ya, gue. Tapi... ragu aja ragu.”
“Ya elah, sama aja!”
Hanna meringis. “Sori, nih, ya. Tapi emangnya lo udah move on dari Kai?”
Gerakan tangan Jane yang lagi nyobekin kertas saking gabutnya tuh otomatis berhenti denger Hanna nyebut nama cowok b******k itu.
“Tuh, kan, belom!” Hanna berseru. “Heh, kalau gue boleh ngasih saran, ya. Mendingan kelarin dulu, deh, urusan lo sama si Kai. Kayaknya kalau gue lihat-lihat dan gue denger dari cerita lo, niatnya Ryan tuh bukan cuman buat ena-ena sama lo doang, Jane. Dia pasti suatu hari bakal minta kepastian, percaya deh sama gue. Gak kasihan apa kalau emang nanti Ryan udah bucin, tapi lo-nya belum move on dari mantan?”
Jane masih diam.
Hingga beberapa detik terlewati hanya dengan Hanna menunggu jawaban dari sahabat baiknya tersebut sementara Jane makin menunduk bingung.
“Sebenernya gue pas di Gowlie juga sempet ketemuan sama Kaisar.”
“Sumpah?!”
“Iya. Tanya aja, noh, sama Ryan.”
“Terus?”
“Ya dia sempet kelihatan... cemburu gitu sama Ryan, tapi gue nyoba buat bodo amat. Terus baru gue ngenalin Ryan ke Kaisar—eh gak, deh. Mereka kenalan sendiri—abis itu pacarnya si Kai dateng.”
“Crystal? Yang cewek bikin Kai nyelingkuhin lo itu?”
“Iya, Han,” Jane mendesah kasar. “Tapi asli, dia baik banget. Kayak mau senyum dan nyapa ke gue, terus nanya-nanya. Padahal gue ngiranya dia bakal judes gitu.”
Hanna ketawa. “Makanya lo, tuh, jangan suka fitnah orang.”
“Ya dari foto kelihatannya muka dia, kan, judes, bok.”
“Oke, oke, next. Terus?”
“Terus pas malem gue ngedate sama Ryan, gue banyak cerita ke dia soal Kai. Gue bahkan ngaku, kok, kalau gue emang masih gamon dari Kai.”
“f**k?!”
Jane mengangguk meyakinkan. “Makanya, Han. Karena tadi lo bilang ke gue soal ini, gue tuh mikirnya, Ryan aja udah tahu gimana gue dan masa lalu gue. Pasti dia juga udah bakal mikirin ini mateng-mateng, kan?”
“Gue gak paham.”
“Intinya kalau setelah malem itu dia tetep mau maju buat deketin gue, dia juga udah tahu resiko yang bakal dihadepin. Dia juga punya tantangan sendiri buat bantuin gue lupain Kai.”
“Tapi harusnya lo juga suportif, kan, Jane? Lo juga harus berusaha.”
“I know. Maka dari itu, gue buka lebar hidup gue biar Ryan bisa masuk, dan gue bisa lupain Kaisar sepenuhnya.”
Hanna mendesah. Kisah cinta temannya ini memang sangat rumit.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Sedari pagi, semuanya berjalan dengan buruk. Apa lagi ini hari Senin. Atau mungkin hanya bagi seorang Christian Dave aja?
Dia gak pernah, atau setidaknya jarang banget, buat bangun kesiangan. Tapi pengecualian buat pagi ini. Dia juga gak tahu kenapa dia bisa tidur nyenyak banget sampai-sampai alarmnya bunyi seratus kali dan dia tetep terlelap tanpa merasa keganggu. Anehnya lagi, hapenya ada di sebelah kepala dia.
Gila, gak, tuh?
Tapi kalau dipikir-pikir, ya, agak masuk akal juga, sih.
Karena yang pertama, dia cuman nyetel alarm satu kali di jam yang sama, gak kayak biasanya yang bakal beruntun. Yang kedua, dia kemarin malem ngegym berjam-jam di tempat gym punya papanya. Hal itu dia lakuin karena dia baru sadar seminggu ini belum pernah olahraga sama sekali. Makaya kemarin dia sampai brutal banget berapa jam gak selesai-selesai dan dia barusan pulang ke apartemennya di jam tengah malam. Itupun gak bisa langsung tidur, jadi dia begadang buat ini dan itu sampai jam tiga.
Make sense, kan, sekarang kenapa dia bisa-bisanya bangun siang di hari Senin?
Nah, selain bangun kesiangan, dia udah pasti juga telat ke kampus. Sialnya harusnya ada kuis. Tai karena Ryan lebih memilih bolos dari padamasuk tapi telat akhirnya dia terpaksa skip kuis yang seharusnya bisa jadi tambahan nilai buat dia.
Dia tetep berangkat ke kampus seperti biasanya—bedaya cuman telat dikit—padahal jam kelas keduanya masih lama. Yakni jam sepuluh. Sementara sekarang aja masih jam setengah sembilan.
Hal pertama yang dia lakukan setelah mobilnya memasuki teras gedung kampusnya, dia tidak membelokkan mobil ke kanan padahal gedungnya disana. Iya, sebagai cowok yang pinter mengambil kesempatan, dia memilih buat mampir dulu ke Fakultas sebelah. Ke gedungnya Jane.
Mobil sportnya yang memasuki area parkir disana cukup menyita perhatian banyak orang. Karena selain Jane, gak ada lagi yang suka bawa mobil mewah. Mentok juga cuman mobil. Gak ada embel-embel mewah.
Bahkan Jeff sekalipun. Kalau dia, mah, malah suka nebeng-nebeng ke Deril, teman baiknya. Mobilnya Gana juga bukan mobil yang semewah milik Ryan. Rubicon masih tidak ada tandingannya kalau dibandingin sama mobil Ryan.
Setelah menyemprotkan parfum ke beberapa titik spot di kulitnya seperti pergelangan tangan, leher, dan belakang lehernya, dia turun dari mobil. Sembari berjalan, dia mengunci mobilnya dengan remote yang ia pegang.
Pandangannya lurus mencari sosok perempuan yang dia cari. Karena gak menemukan Jane di tempat parkir yang biasanya emang jadi tempat nongkrong juga itu, Ryan memilih melangkahkan kaki ke arah kantin.
Sebenernya dia bisa aja, sih, nyari ke dalam gedung dulu mengingat ini jma-jam orang lagi masuk ke kelas kecuali yang bolos kayak dia. Tapi mengingat gak semua orang kelasnya jam 7 pagi kayak anak SD, Ryan mengikuti firasatnya aja kali ini.
Lagi pula dia juga belum sarapan. Kalaupun Jane gak ada di kantin, dia tetap akan sarapan disana. Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.
Mengingat beberapa kali Ryan datang ke gedung fakultas Psikologi, maklum kalau dia hafal jalan. Mengabaikan lirikan orang-orang yang merasa aneh, Ryan langsung menelurusi sepenjuru kantin dengan matanya, lalu tersenyum penuh kesenangan kala menemukan Hanna di salah satu bangku dan dan sedang berhadapan dengan seseorang yang punggungnya sangat Ryan kenal.
Dia mendekat diiringi tatapan terkejut dari Hanna. Kemudian gadis itu sepertinya memberi tahu Jane, karena gak lama, cewek itu noleh ke belakang tanpa sempat Ryan sampai di kursi mereka.
“Loh, Yan?”
Ryan tersenyum, sempat meninggalkan usapan lembut di rambut cantik perempuan itu. “Hai. Gak kelas?”
“Belum, jam sepuluh. Kok elo disini?”
“Mau sarapan,” katanya beralasan. “Soto disini enak.”
“Oh, soto di gedung lo gak enak, ya?” ledek Hanna kini. Yang mana dia, mah, tahu banget itu cuman alasan akal-akalan doang. Alasan pertamanya pasti lebih dari pada sekedar soto.
Jane juga gak bego-bego amat kali buat gak sadar apa tujuan Ryan kesini.
“Udah pesen?” Jane nanya. “Gue pesenin aja, deh. Gue juga laper.”
Ketika cewek itu berdiri, Hanna langsung berseru, “Gue juga, gue juga.”
“Oke, tiga ya berarti?”
Yang ditanya mengangguk semua.
“Oke, wait. Pesanan akan saya antarkan sebentar lagi, ya, Bu, Pak.” jawab Jane berlagak seolah pelayan restoran, membuat Hanna ketawa, dan Ryan menggekeng-gelengkan kepala melihat kelakuan gadis itu.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Gue denger dari Jane.”
Sepeninggal Jane, Hanna gak menyia-nyiakan waktu. Dia langsung menghunus tajam ke arah Ryan dengan tatapan serius.
Ryan menanggapi gadis itu dengan satu alis terangkat. “Denger apa?”
“Kalau lo udah tidur sama dia.”
“Ooh,” Ryan mengangguk-angguk santai. “Well, kalau lo mikirnya gue cuman mau tubuh dia, it is totally wrong. Gue gak serendah itu.”
Sebenernya, Hanna juga somehow percaya, sih, kalau Ryan beneran gentle man. Dilihat dari pengalamannya dulu yang mana ia lagi mabuk berat dan siap diapa-apakan aja, Ryan gak melakukan apapun selain mengantarnya pulang. Padahal siapa, sih, yang gak mau sama Hanna? Coba aja kalau Jeff yang di posisi begitu, udah pasti dia gak bakal melewatkan kesempatan. Hanna mikirnya begitu.
Tapi sebagai teman yang baik untuk Jane, dia tetap tidak mau lengah. Sekalipun Jane ini reputsinya udah hancur karena suka gonta-ganti cowok, Hanna tetep gak bisa menutup mata kalau Jane pun sering disakitin oleh cowok yang disayanginya. Lihat saja kasus Kaisar-Jane-Crystal dan Theo-Jane-Istri Theo itu.
Hanna gak mau yang kayak gitu terulang kembali. Apa lagi dia juga merasa bersalah gimanapun dulu, saat Jane cerita kalau dia deket sama orang ini dan orang itu, dia gak pernah turun langsung buat memastikan apakah cowok yang lagi deket sama temennya itu beneran cowok baik-baik apa bukan.
Jadi buat kali ini, Hanna gak bakal kecolongan lagi. Dia harus memastikan biar Jane gak mengulangi sakit yang sama.
“Terus? Bukannya lo baru ketemu sama Jane pas di gedung sama gue—oh, wait, yang di warung pecel kata kalian itu, kan?”
“Iya.”
“Kok bisa udah—“
“Tapi sebenernya sebelum di warung pecel, gue sempet ketemu dia pas di Swill. Pas lo sama gue. remember?”
“Ah...” Hanna ngangguk-ngangguk paham. “Jangan bilang lo ngincer Jane mulai itu? Padahal pas lo sama gue?”
“Bukan ngincer juga, sih. Cuman dia emang semenarik itu.”
Hanna memutar bola matanya jengah. Dasar mata cowok.
“Terus gimana? Lo pikir gue percaya sama love at the first sight? Apa lagi penampilan cowok kayak lo begini—“
“Sorry, madam,” Ryan menegakkan punggung menginterupsi. “Maksudnya cowok kayak gue, tuh, cowok kayak gimana?”
“Sorry to say, but you don’t look like a good man.” jawab Hanna jujur. Duh, kalau soal ngomong pedes, Hanna emang dari dulu yang paling juara, kan?
“Do i? Apa look gue bisa mencerminkan karakter gue? Apa kemudian cowok lo yang lo cintai sepenuh hati juga a good man sampai lo bisa sebucin itu sama cowok lo? Enggak, kan? Penampilan gak bisa dijadiin takaran buat menilai karakter seseorang, you know. Lagi pula kalaupun gue bukan good man, Jane juga sejalan sama gue, she’s not even a good girl. Bukannya dari situ alasan gue bisa klop sama Jane?”
Hanna mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Apa yang dibilang lawan bicara di hadapannya ini memang gak salah. Seratus persen benar. Pacar Hanna pun tidak berpenampilan baik, tidak menjamin dia juga laki-laki baik, tapi apa yang dilakukan Hanna? Perempuan itu tetap mau melanjutkan hubungan mereka.
Lalu apa haknya hendak melarang Jane untuk memilih Ryan dalam hidupnya?
“Girl, i adore him. So bad,” tekan Ryan. “Gue mau dia, gue terima masa lalu dia, kalau dia berhasil jatuh ke pelukan gue, i promise to the world i’ll love her with everything happens to her. Apa itu gak cukup buat jadi jaminan lo memperbolehkan gue deketin temen lo?”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Hanna gak pernah nemu ada cowok segentle Ryan yang mendekati Jane.
Selama ini, yang dia tahu dari semua laki-laki yang pernah menjalin hubungan dengan teman baiknya, sebut saja Kaisar. Laki-laki itu malah begajulan, gak pernah memperlakukan Jane dengan baik, bahkan pernah satu kali main tangan, menampar pipi Jane yang bikin Hanna mati-matian gak memakai tangan kosongnya untuk membunuh Kaisar. Belum sampai disitu, alasan mereka putus adalah karena Kaisar tidur dengan mantannya kala itu.
Setelah sama Kaisar, Jane malah sama Theo—dosen mereka—yang gak jauh beda sama Kaisar. Yang ini bisa dikatakan lebih parah karena diam-diam hendak menikah dengan perempuan lain. Mungkin bedanya Theo gak main tangan dan selama dia pacaran sama Jane, Theo menyayangi Jane dengan tulus. Pun dengan pernikahan yang terjadi, kata Theo itu karena perjodohan dua pihak keluarga yang gak bisa dihindari lagi. Sementara Theo mengaku menaruh hati hanya pada Jane.
Yang paling normal, mantan Jane yang paling Hanna gak benci, ya, cuman Jidi doang. Om-om yang satu itu benar-benar bisa membahagiakan Jane luar dan dalam. Sayangnya ada beberapa hal yang gak bisa Jane jelaskan membuat ia memilih berhenti dalam berhubungan dengan Jiro Dimanegara. Tapi itu pun, kata Jane mereka juga masih berkomunikasi baik dengan mantannya yang satu itu, selayaknya kakak dan adik ketemu gede.
Jadi kala Ryan dengan tegas bahwa ia ingin Jane menjadi miliknya dan berjanji memberikan hati sepenuhnya pada Jane, entahlah, Hanna hanya merasa laki-lkai itu tidak hanya membicarakan mong-kosong. Cara Ryan membicarakan temannya, dia bisa melihat ada ketulusan di matanya. Pada saat laki-laki itu menatap Jane, dia bisa menyamakan sorotnya ketika dia melihat Jeff. Hampir sama. Hanya mungkin karena mereka belum lama dekat, jadi Jeff dan Hanna jelas masih lebih unggul kalau ngomongin cinta-cintaan.
Hanna menghela nafas ketika kalimat terakhir dari Ryan keluar.
“Girl, i adore him. So bad,” tekan Ryan. “Gue mau dia, gue terima masa lalu dia, kalau dia berhasil jatuh ke pelukan gue, i promise to the world i’ll love her with everything happens to her. Apa itu gak cukup buat jadi jaminan lo memperbolehkan gue deketin temen lo?”
Harusnya Ryan tak perlu bertanya.
Tentu saja Hanna mempersilahkan dengan satu syarat yang sudah dipahami Ryan dengan baik.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Hadeh, ngomongin apa, sih, nih dua orang?”
Jane datang dengan membawa baki berisi tiga mangkuk soto, meletakkannya di meja satu-persatu, bikin Hanna ketawa karena seumur-umur, mana pernah Jane mau ditebengin makanan sama orang selain Hanna doang. Oh, sekarang nambah satu, Ryan.
“Nih, silahkan tuan dan nyonya.”
Hanna ketawa. “Cocok lo, Jane.”
“Sialan.”
Jane mengambil duduk di samping Ryan, bikin Hanna gak tahan buat gak meledek.
“Lo gak milih duduk ama gue aja, nih? Milih duduk sama Ryan, nih?”
Jane melotot. “Anjir, perkara duduk aja lo cengin, ya, Han.”
“Kelihatan bibit-bibit jatuh cinta lo.”
Ryan cuman menggeleng-gelengkan kepala. Dia noleh ke Jane. “Belum sarapan juga?”
“Belum, gue emang lebih suka sarapan di kantin. Lo sendiri ada urusan apa kesini? Jauh-jauh dari Teknik ke Psikologi selain buat cari soto?”
“Ketemu lo,” jawab Ryan gamblang sambil mengaduk nasi soto dengan kuah kecapnya agar tercampur. “Apa lagi emang?”
“Gue perlu pergi gak, sih, ini?” Hanna menghela nafas. “Kayak jadi nyamuk.”
“Ya gitu perasaan gue kalau lo sama Jeff pacaran pas ada gue. Mamam, noh.”
“Dih, dendam lo?”
“Kagak. Ngapain banget. Tuh, cowok lo dateng, tuh.”
Hanna jadi noleh, Ryan juga ikutan angkat kepala.
Jeff langsung memelankan langkah pas nemu ada Ryan di meja pacarnya, Jane berdecak. “Here we go again.”
Hanna terkekeh.
“Lo lagi,” Jeff menatap malas ke arah Ryan.
Ryan cuman manggut-manggut doang, gak peduli-peduli amat. “Yup, it’s me again.”
“Gak usah sok bahasa inggris—“
“Dih, biarin, dong. Apaan sih lo kok nyolot?” Jane jadi gak tahan buat gak berkomentar. “Han, cowok lo, nih, kandangin.”
“Jeff,” tegur Hanna.
Ryan malah tersenyum kecil mendapati Jane membelanya. Padahal, ya, bukan dibelain yang gimana-gimana, sih. Dan lagi pula kalaupun bukan Ryan yang kena semprot Jeff, Jane pasti juga bakal belain lawannya Jeff karena... well, cewek itu masih belum terima dan lapang d**a atas permasalahan yang menimpa Hanna beberapa waktu lalu karena Jeff.
“Pindah aja, yuk?”
“Childish lo,” semprot Jane lagi. “Minggat, dah, sana.”
“Ssst! Ini apaan, sih, berdua? Udah duduk sini aja. Gue udah terlanjur pesen soto juga, Jeff.”
Jeff mengalah, menghela nafas, dan mengambil duduk di samping Hanna.
“Kenapa berangkat duluan, sih? Gak bangunin gue dulu?”
“Kelamaan.”
Jeff mencibir.
“Lo kemarin nginep di kosannya Jeff, Han?”
Hanna mengangguk. “Iya. Kayaknya tadi gue udah bilang belum, sih?”
“Belum.”
“Ooh, kirain udah,” Hanna noleh ke arah Jeff. “Mau dipesenin soto juga gak lo?”
“Gak usah, bagi dua sama gue aja itu punya lo.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Gak usah sensi gitu sama Ryan. Dia disini bukan buat cewek lo. Dia kesini mau nemuin gue.”
Jane akhirnya membuka suara gara-gara dari tadi Jeff kelihatan emosi banget karena harus semeja sama Ryan. Padahal kenapa juga harus sensi, ya, kan? Orang Ryan-nya aja malah gak peduli-peduli amat sama keberadaan Jeff.
Emang cowok itu suka gak jelas, terlalu posesi kalau sama Hanna. Makanya sama Jane langsung dijelasin aja apa maksud Ryan ada disini. Lagian kalau gak gini, yang ada dia sendiri yang gak enak sama Ryan karena kelakuan Jeff.
Jeff cuman mengangkat satu alisnya ke arah Jane. Tahu kalau cowok itu bakal ngajak debat, Hanna langsung menengahi.
“Stop it, stop it. Yuk pindah aja, yuk.”
“Lo PDKT-in Jane?” Jeff nanya ke Ryan. “Padahal lo abis deketin cewek gue?”
“Jeff!”
“Dia gak deketin Hanna, kali,” Jane membela. “Makanya kalau gak tahu apa-apa, mingkem aja gak usah ngomong.”
“Gue cuman nanya, kali.”
Ryan menatap Jeff dengan tatapan muak. “Well, i’m her for this girl, it’s a fact,” katanya sambil mengedikkan dagu ke arah Jane. “Jangan salah paham. Gue gak ada apa-apa sama Hanna.”
Kelihatan banget, kan, kalau kayak gini siapa yang childish siapa yang bisa bijaksana menghadapi masalah?
“Udah, udah, ayok,” Hanna memaksa Jeff buat berdiri. “Pindah.”
“Makan disini aja. Lo terlanjur pesen.”
“Mana bisa kalau lo aja cari masalah mulu dari tadi.”
Jeff menghela nafas. “Gue janji gue diem. Udah, duduk lagi sini.”
“Duduk aja, Han,” Ryan ikut membuka mulut. “Gue udah mau selesai juga ini. Abis ini cabut.”
Jane yang jadi noleh. “Loh, cepet banget?”
“Kan niatnya emang mau sarapan.”
“Katanya ketemu gue juga?”
Senyum kecil terulas di bibir Ryan. “Nanti abis kelas gue jemput aja. Gak enak juga sama temen-temen lo.”
“Duh, ngapain mikirin Jeff? Anggep aja dia angin, emang anaknya rese begini tapi—“
“It’s okay, Jane. Abis ini gue juga emang ada kelas.”
“O-oh..”
Akhirnya setelah Ryan menyelesaikan sarapan sotonya, dia betulan pamit buat balik ke gedungnya. Yang mana kepergian Ryan bikin Jane murka banget sama Jeff si perusak suasana, dan Hanna kali ini gak bakal belain Jeff karena gimanapun dia sadar pacarnya emang salah korban.
Ryan kan gak salah apa-apa, kenapa harus dipelototin mulu coba?
“Ya kan siapa tahu dia bilangnya kesini buat Jane tapi sebenernya mau deketin lo?” katanya ke Hanna tadi yang bikin Hanna memutar bola matanya jengah.
Ya gimana, ya. Emang semenjak keduanya bertengkar beberapa waktu lalu, Jeff jadi makin-makin over protektif. Dia jadi cemburuan dan gampang emosi kalau menyangkut cowok lain. Hanna juga gak bisa nyalahin juga karena jujur aja, somehow dia ngerasa seneng Jeff lebih nunjukkin sayangnya sama Hanna belakangan ini.
“Percaya, dah, sama gue. Ryan udah mentok hatinya buat Jane.” ujar Hanna dengan penuh keyakinan. “Gak perlu lo kayak gitu ke Ryan.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
“Baru selesai kelas? Atau udah nunggu lama?”
Dua pertanyaan itu muncul pertama setelah Ryan muncul di depan gedung Jane—lagi. Kali ini mobilnyatidak ia parkir rapi, karena tahu setelah ini keduanya langsung pergi dari kampus. Perempuan yang hari ini rambutnya dikuncir satu itu menggeleng dan tersenyum, seraya merapikan powerbanknya dan ia masukkan ke dalam tas.
“Gak, barusan banget.”
“Oh, oke. Mau jalan sekarang?”
Jane mengangguk. Ryan mempersilahkan Jane buat berdiri dan keduanya mendekat ke arah tempat mobil diparkir. Kayak biasanya, Jane selalu dibukakan pintu oleh Ryan. Setelah keduanya memasang sabuk pengaman dan duduk nyaman di dalam mobil, barulah Jane bersuara.
“Mau kemana?”
“Makan siang dulu, ya? Udah makan belum?”
Jane mengangguk. “Udah. Ini mukan makan siang lagian, makan sore namanya.”
Ryan ketawa sambil melirik jam kecil yang dia taruh di dashboard. Jam memang sudah menunjukkan pukul tiga sore.
“Lo kelas dari tadi gak ada break?”
Ryan menggeleng. “Ada cuman setengah jam. Tapi pas lagi di kelas lantai atas sendiri, jadi males, lah, buat turun.”
“I see.”
“Nemenin gue makan dulu gak papa, ya?”
“Iya.”
Sebenernya, ya, Ryan sendiri tuh gak tahu mau ngajakin Jane kemana. Rencananya cuman ngajak Jane makan sore, tapi Jane malah gak ikut makan. Terus dia musti kemana?
Dia mikir tapi gak dapet ide. Masa iya dia ngajakin Jane ke apartemennya?
“Jane.”
Cewek itu noleh. “Ada rekomendasi tempat? Jujur gue gak tahu mau kemana.”
Jane jadi ketawa. “Gue kira dari pagi tadi lo bilang mau jemput gue karena mau ngajakin jalan?”
Ryan meringis. “Iya, niatnya emang gitu. Tapi sumpah, gue bingung mau ngajak kemana.”
“Ya udah nemenin lo makan aja gak papa.”
“Abis itu?”
“Pulang?” Jane malah balik tanya.
Ryan menggeleng gak setuju. “Gila, kali. Gak, gak. Masa cuman makan doang terus balik? Atau lo mau nonton aja?”
“Enggak. Gak terlalu suka ke bioskop, sih.”
“Loh?” Ryan tertawa. “Sama banget. Gue juga gak terlalu suka nonton di bioskop.”
“Tuh, kan. Sama berarti.”
“Kenapa lo gak suka ke bioskop? Biasanya cewek malah kalau diajak jalan milih ke bioskop.”
“Hm, karena menurut gue lebih enak nonton film di rumah aja bisa sambil pakai selimut, bisa duduk semua posisi, bisa makan nasi, bisa semuanya.”
Ryan ketawa lagi. Dia gak bohong, tapi alasan Jane bener-bener kayak alasan kenapa dia gak suka bioskop.
“Ya udah.”
“Apanya yang ya udah?”
“Ya udah, mau nonton di apartemen gue aja?” tawar Ryan sambil melengkungkan senyum.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Karena Jane menyetujui tawaran Ryan, cowok itu langsung membatalkan rencananya buat makan siang di luar. Dia memilih take away makanan cepat saji dan langsung pulang ke apartemennya. Jane agak geli sendiri karena cowok itu kelihatan semangat banget, bahkan tadi pas Jane bilang iya, sebenarnya Ryan cuman tinggal belok dikit udah nyampe tempat makan siang yang dia rencanakan.
“Welcome,” ucap Ryan setelah membuka pintu apartemennya dengan kartu akses kemudian mempersilahkan Jane masuk. “Langsung ke ruang tengah aja. Gue siapin filmnya.”
“Santai aja, Yan. Gak usah buru-buru gak papa. Santai. Lo bisa ganti baju, atau sekalian mandi, dan lainnya. I’m here all way.”
Ryan yang sedang melepaskan jaket dan ia taruh di atas meja bar langsung noleh buat ngasih senyum. “Nginep sini sekalian aja gimana?”
“Ye, dasar.”
Ryan terkekeh. “Gue ke kamar dulu, ya.”
“Oke.”
Sepeninggal Ryan yang sudah terlihat hilang dari pandangannya, Jane mengamati sekeliling. Dia memilih bangkit dari duduknya dan berjalan pelan—bukan maksudnya jalan emndap-endap kayak maling, tapi dia lihat-lihat perabotan dan ruang tengah apartemen Ryan.
Apa yang dipikirkan Jane kala pertama kali mengamati apatemen ini adalah, Ryan udah pasti orang kaya, atau anak orang kaya. Aparatemennya bukan cuman mewah, tapi mewah banget. Walaupun bukan didominasi emas beneran atau bahkan warna emas yang biasanya bisa menambah kesan mewah, apartemen Ryan ini malah terkesan mewah padahal didominasi warna hitam dan abu muda. Ryan tidak memasang foto apapun, dindingnya kebanyakan kosong, atau tidak—karena ketika melihat di dinding perbatasan antara kamar Ryan dan kamar tamu, dia melihat ada foto-foto black and white yang Jane tebak adalah tato-tato yang dimiliki Ryan di tubuhnya
Saat mereka menghabiskan malam bersama beberapa hari yang lalu, Jane memang mengamati setiap tato yang dimiliki Ryan. Gak cuman satu, mengingat lengan dan bagian dadanya memang punya beberapa gambar menakjubkan.
Anehnya, biasanya Jane tuh geli dan jijik kalau ada orang yang tatoan kebanyakan. Tapi kenapa ke Ryan enggak, ya? Emang gak adil banget manusia yang punya tampang ganteng, tuh, pasti sejelek apapun karakternya bakal termaafkan aja.
Sayangnya, di malam itu, Jane belum berani untuk bertanya-tanya satu-persatu tentang makna tato yang dimiliki cowok itu karena ia sendiri merasa tak ada hak untuk penasaran. Ingatkan Jane saja suatu hari nanti kalau kejadian kemarin terulang lagi, dia akan menanyakan.
“Udah ngelihatin tato gue?”
Suara itu membuat Jane menoleh cepat ke arah belakang kananya, yang ternyata Ryan udah selesai ganti baju dan kini memakai pakaian lebih santai.
“Ini tato yang di sebelah mana, sih?” Jane menunjuk salah satu figura besar disana. “Perasaan di lengen lo gak ada yang bentuknya begini.”
“Emang lo apal gambar tato di lengen gue gimana aja?”
Jane meringis lalu menggeleng. “Ya enggak, sih.”
“Kapan-kapan coba lihat lagi. Dihafal kalau perlu.”
Jane memutar bola matanya.
Dia gabut banget apa gimana bisa-bisanya disuruh ngapalin gambar tato orang?
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *