06 : more than you know

5000 Kata
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Karena tadi Ryan cuman beli makanan cepat saji dan gak dine in, jadilah dia beli dua porsi sekalian, sekalipun Jane udah bilang perutnya udah penuh karena barusan makan. Kini, dengan satu box pizza, friench fries, dua botol cola besar yang dibeli di minimarket, dua botol air mineral, dua piring nasi, dan empat paha ayam, Jane memandangi semuanya sambil geleng-geleng kepala. “Padahal pesen satu box pizza aja, atau dua paket ayam udah bikin kenyang. Kenapa harus banyak banget begini, sih?” “Gak papa. Kan gak ada yang tahu lo disini sampai kapan.” Jane mencibir mendengar itu. “Abis nonton gue balik.” “Yakin?” “Ya kenapa juga gue harus gak yakin?” Ryan mengedikkan bahu dengan bibir menahan senyum meledek. Dia mengulurkan remote ke arah Jane yang diterima dengan senang hati demi memilih film yang akan mereka tonton. “Film hollywood?” Jane nanya. “Terserah lo aja,” Ryan jawab. “Mau bollywood juga gak papa, terserah lo.” Jane ketawa. “Kayaknya kemarin ada film Indo bagus, sih. Tapi gue lupa judulnya apa.” “Pemainnya siapa?” “Gak apal juga namanya.” “Ya udah nonton yang lain aja.” Jane terus mengotak-atik remote sementara Ryan menghabiskan nasi dan ayamnya. Karena Jane beneran merasa perutnya penuh dan udah gak bisa dimasukin apa-apa lagi, perempuan itu memilih menutup nasi dan ayamnya dari pada kena angin. Biar bisa dimakan nanti-nanti juga kalau Ryan laper, atau dirinya yang laper. “Ini?” Jane nanya lagi. Ryan mengangkat kepalanya. “Terserah, Jane. Gue nonton apa yang lo tonton.” “Oke.” Akhirnya mereka berdua memilih film bertemakan anaconda tersebut—walaupun Ryan yakin Jane bukan pertama kalinya nonton ini, juga sebaliknya. Tapi ya udah, lah, karena gak tahu mau nonton apa, juga karena sebenernya gak ada rencana buat nonton bareng alias movie date begini di agenda keduanya, dimaklumin aja. Selagi Jane menyamankan duduknya, Ryan bangkir berdiri karena hendak mencuci tangan dan meletakkan piring di tempat kotor. Cewek yang duduk bersila sambil memangku box french fries itu kini mengamati tiap pergerakan Ryan. Gila, ya, emang. Mana ada orang yang dilihat dari punggungnya doang aja kelihatan bisa seganteng ini? Ryan, tuh, badannya kekar tapi bukan kayak Deddy Corbuzier, punya banyak tato tapi gak bikin risih kayak Young Lex, bahkan Justin Bieber aja masih bisa bikin Jane risih. Tapi kenapa kalau Ryan enggak? Dunia emang gak adil kalau soal yang cakep. Ryan menuangkan coca-cola ke dua gelas di depannya ketika dia udah duduk di samping Jane lagi. “Here yours.” Jane menerima dengan senang hati. “Thank you.” “Don’t mention it, my princess.” Jane kayak capek aja mau negur atau sekedar memutar bola mata karena tiap hari, Ryan makin gak bisa dibilangin buat gak manggil dia pakai sebutan-sebutan aneh kayak gitu. Oke, aneh macam apa yang tetep bisa bikin Jane berbunga-bunga dan merasa salah tingkah? Duh, padahal dulu Theo juga sering banget manggil dia pakai panggilan-panggilan manis, tapi perasaan Jane gak pernah senorak ini, deh? “Cheers?” Ryan mengangkat gelasnya, membuat Jane tersenyum dan mendentingkan gelas mereka berdua. “Cheers.” Setelah menikmati beberapa teguk soda berwarna hitam legam tersebut, keduanya bersamaan menaruh gelas. “Butuh wine juga, gak?” tawar Ryan. Jane jadi noleh sambil menayndarkan punggung di sofa belakangnya. “Punya?” “Banyak. Gue ambilin kalau lo mau.” Tapi Jane menggeleng, dia lagi gak mood meminum segala macam wine atau sejenisnya saat ini. Ryan mengangguk mengerti. Cewek itu udah bersiap memfokuskan mata dan pikirannya buat nonton fil yang udah mulai sejak beberapa menit yang lalu sebelum niatnya terinterupsi karena cowok di sebelahnya memanggil nama dia. “Jane.” “Ya?” Ryan menyelundupkan lengan tangan kanannya di belakang pinggang Jane, lalu menarik pinggang tersebut agar memangkas jarak antara bahu Jane dengan bahu Ryan. “Lean your head on my shoulder.” Dan Jane gak punya alasan buat menolak karena ia tahu, menaruh kepala di pundak laki-laki itu akan jadi hal yang nyaman sekaligus menyenangkan. Put your head on my shoulder Hold me in your arms, baby Squeeze me oh-so-tight Show me that you love me too * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “It doesn’t make sense.” Jane langsung menjauhkan kepala dari pundak cowok itu hanya demi memberikan sorot gak percaya. Sebagai pecinta film kedua yang lagi mereka tonton—karena film pertama tadi gak jadi mereka tonton karena sudah terlalu sering—Jane gak terima film favoritnya dihina begitu. “What does that mean?!” Ryan mengedikkan bahu sambil mengulurkan tangan buat meraih satu biji french fries yang tersisa. “Emang menurut lo itu masuk akal?” “Bagian mana yang lo omongin?” “Itu,” Ryan mengedikkan bahu ke arah layar film yang masih menampilkan adegan perdebatan di pengadilan oleh satu tokoh utama dan satu tokoh pembantu. “Gimana bisa yang bener malah dapet sad ending hanya karena dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu? Padahal kalau menurut gue, yang dia lakuin dulu juga bukan kesalahan. Emangnya nolak pernyataan cinta dari cowok yang bahkan gak lo cinta itu adalah sebuah kesalahan?” “Tapi si Dianna emang salah, dia nolaknya—“ “Pake kalimat kasar dan terkesan jahat?” Jane mengangguk. “Jane, Dianna kayak gitu juga karena cowoknya maksa dia buat nerima cintanya, kan? It’s a normal thing to do. Coba kalau Dianna diem aja, yang ada dia malah dianeh-anehin sama si cowok.” “...” “Misal lo sendiri, kalau dipaksa-paksa suruh pacaran sama cowok yang padahal lo aja gak ada feeling, emang mau?” “Ya... enggak, sih.” “Nah.” Jane mencibir. Tapi namanya juga cewek, kan, ya. Sekalipun yang bener, tuh, cowok, Jane gak bisa langsung ngalah gitu aja. Kali ini dia akuin dia gak bakal debatin Ryan balik karena gimanapun emang apa yang dibilang cowok itu bener, tapi dia mencibir doang. Cibirannya mengundang kekehan Ryan. “Gue udah pernah bilang belum, sih, kalau lo lagi masang muka begitu that makes you look hot?” “Jangan peres, deh.” “Serius. Ngaca coba.” Jane berdecak, kini malah melipat tangan di kedua d**a dan pura-pura fokus aja sama film di depannya, padahal mah dia lagi menahan diri biar senyumnya gak lebar-lebar amat. Gimana Jane bisa fokus kalau Ryan aja sekarang malah duduk ngadep dia dengan tangan yang diletakkan di kepala sofa terus nyender kesana? Jane gak bisa gak menggigit bibir bawahnya sebagai bentuk pelampiasan salah tingkah. Tapi sekuat tenaga dia tetep mau sok cool dan sok gak ngerasa apa-apa aja. Ambyar boleh, tapi ga boleh ketahuan dong. Jemari Ryan berlabuh di bibirnya, hanya sentuhan sekilas, kemudian menegur. “Jangan digigitin.” Jane cuman diem aja. “Lo kalau mau senyum, feel free, Jane.” “Gak ada yang mau senyum, Ryan.” “Oh, ya?” Jane berdecak lagi. Dan Ryan gak tahu harus kayak gimana lagi buat jelasin ke cewek itu kalau semakin Jane masang muka kayak gitu, yang datar dan kelihatan jutek, Jane terlihat dua kali lebih seksi dari pada biasanya. Yang mana ngelihatin Jane dari samping dengan muka cewek itu yang sok datar padahal pipi sampai telinganya udah merah bikin Ryan menggeram dalam hati. Sial, kenapa baru sekarang Ryan ketemu cewek secantik Jane? Di semester-semester yang lalu, dia kemana aja? Kenapa cewek sepanas dan semenarik Jane bisa kelewat dari pandangnya? “Berhenti ngelihatin gue, Ryan,” tegur Jane tanpa mengalihkan pandangan ke arah yang lain, masih lurus ke TV walaupun dia sama sekali gak mencerna yang lagi ada di layar tersebut. Tapi Ryan gak memperdulikan teguran Jane. Siapa Jane bisa meminta mata miliknya buat gak ngelihatin pemandangan indah yang gak setiap hari bisa dipandangin, ya, kan? “Berhenti bikin gue pengen cium lo.” ucap Ryan kemudian. Gak ada nyambung-nyambungnya emang dari larangan yang diberi oleh Jane tadi. Tapi Ryan benar-benar memaknai apa yang dia sampaikan. Ryan lelah harus menahan diri buat gak menguasai bibir gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu. Ryan ingin memberi ciuman panas disana, karena gairahnya terus terpancing setiap kali bibir Jane bergerak untuk bicara, atau bahkan saat bibir itu diam saja. “Let me know what’s stopping you.” Tantangan. Ryan suka tantangan. Apa yang jadi jawaban Jane barusan tentu adalah tantangan dari perempuan itu untuk dia, kan? “Jadi lo izinin gue?” “Gue nanya. What’s stopping you,” ulangnya lebih tegas, menjelaskan perbedaan jelas di antara ‘nanya’ dan ‘ngeizinin’. Ryan menegakkan punggung, gak lagi bersandar di tumpuan tangannya, dia menatap Jane lamat-lamat, lalu turun ke bibir perempuan itu yang kini tubuhnya sudah menghadap penuh ke Ryan. Posisinya, mereka berdua lagi sama-sama duduk di satu sofa yang sama, sedang berhadapan. Bedanya, Jane bersila, sementara satu kaki Ryan ada di karpet, satunya di atas sofa. Bayangin aja sendiri, deh. “What’s stopping me? I need your consent.” Jane melepaskan senyumnya kemudian. Dia hanya butuh kejujuran Ryan dan detik ini dia sudah mendapatkannya. Andai saja Ryan pintar membaca pikiran orang, maka Jane mungkin akan merasa lebih malu karena sebelum Ryan meminta, bahkan ketika Jane melihat Ryan melepas jaketnya setelah memasuki apartemen tadi, dia sudah tergiur memandangi Ryan. “Then just kiss me, Christian. Kiss me hard.” Won't you kiss me once, baby? Just a kiss goodnight, maybe You and I will fall in love (you and I will fall in love) Diakhiri dengan perintah dari perempuan itu pada sang laki-laki, kemudian lagu yang berjudul Put Your Head on My Shoulder terdengar. Nyatanya film yang jadi teman mereka sedari tadi itu sudah berada di akhir. Tulisan tamat sudah terlihat dan lagu itulah yang menjadi penutup film. Entahlah, beberapa kali mereka berdua—Jane dan Ryan—sedang melakukan sesuatu yang intimate, pasti ada lagu yang maknanya sangat membakar gelora. Seolah lagu-lagu tersebut sudah diniatkan untuk menjadi latar lagu dalam setiap sejarah panas yang terukir antara Christian Dave dan Jennie Laura. People say that love's a game A game you just can't win If there's a way I'll find it someday And then this fool will rush in Put your head on my shoulder Whisper in my ear, baby Words I want to hear Tell me, tell me that you love me too (tell me that you love me too) * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Ryan gak pernah mau terburu-buru, seperti itu adalah peraturan pertama yang selalu dipegang oleh laki-laki tersebut. Jane gak tahu apakah Ryan hanya bertingkah semanis ini kepadanya saja atau ke perempuan lain pun juga berbuat seperti ini, tapi yang pasti Jane menyukai bagaimana Ryan selalu menyentuhnya dengan penuh puja. Wanita munafik mana di dunia ini yang tidak suka dipuja, dikagumi, dijadikan pusat atensi oleh laki-laki yang sedari awal mencuri perhatiannya? Gak ada. Sama sekali gak ada. Begitu pula dengan Jennie Laura. Detik di mana ia sudah memberikan izin kepada laki-laki yang duduk di sampingnya untuk merasai bibir milik dia, Jane merasa Ryan hanya perlu waktu kurang dari satu detik sebelum kemudian wajahnya dirangkum oleh dua tangan besar Ryan. Laki-laki itu berlutut di atas sofa, dengan kepala menunduk, ke dua tangan berada di rahang Jane, sementara bibirnya memijat lembut bibir manis milik perempuan itu. Ryan selalu menciumnya seperti ini. Bahkan ketika keduanya sudah dihajar nafsu yang besar, gairah yang tinggi, dan berada di puncak, belaian lembut bibir Ryan tak pernah berubah. Seolah laki-laki itu ingin merekam setiap detik bagaimana bibirnya bertemu dengan bibir Jane, kemudian melumat bagian bawahnya, menjilat bagian atasnya, memasukkan lidahnya, melilit milik Jane, semuanya. Tahu-tahu, Jane sudah ditidurkan di atas sofa lebar berwarna abu-abu muda dan hitam tersebut. Di atasnya ada Ryan yang masih memejamkan mata dengan lidah bermain-main di dalam mulutnya, membuat Jane terengah karena belum apa-apa, dia sudah merasakan miliknya mulai terasa basah. Sialan. Lemah sekali gairah Jane setiap kali sudah berhadapan dengan laki-laki bernama Christian Jane ini. Ryan melepaskan tautan bibir mereka beberapa saat, demi mengambil banyak udara untuk dihirup rakus oleh mereka berdua, cowok itu tersenyum senang kala mendapati Jane sudah memiliki bibir yang lebih bengkak. Bengkak dan basah, akibat ulahnya. Tanpa menjauhkan kening, Ryan mengusap jejak-jejak basah di bibir Jane yang mengkilat, membiarkan Jane membenarkan detak jantungnya yang terasa kencang, sekaligus agar nafasnya tak tersengal. “Enough?” “...Apa?” Jane mengerjap bingung. Apanya yang enough? Ciumannya? Batinnya bertanya-tanya. “Your bad breath. Udah cukup ambil nafasnya? I’ll kiss you longer after this.” Sialan. Ryan memang sialan. Bagaimana bisa di tengah-tengah kegiatan seintim ini laki-laki itu masih memikirkan kenyamanan Jane? Bagaimana bisa di tengah ciuman liar mereka, Ryan masih sempat-sempatnya meminta Jane agar membetulkan cara kerja jantungnya, juga nafasnya, agar mereka bisa berciuman lagi dengan lebih baik? Kalau kayak gini ceritanya, gimana bisa Jane gak klepek-klepek? Ryan is such a gentle man that she’s ever knew! Dengan perasaan hangat yang melingkupi hatinya, Jane melengkungkan senyum, yang mana itu bisa ditangkap dengan baik oleh mata Ryan sekalipun jarak wajah mereka terlalu dekat. Kali ini, Jane tidak mau menunggu Ryan yang mengambil langkah pertama. Jadi perempuan itu segera menubrukkan bibirnya dengan laki-laki yang masih berada di atasnya itu, kedua tangan Jane sudah melingkar mesra di leher Ryan, kecupan dan lumatan tak bisa terkontrol karena kapal Jane sudah terasa pening dan mabuk akibat lumatan basah dari laki-laki tersebut. “Wait,” Ryan melepaskan ciuman mereka lagi, membuat Jane mengerang sebal, dan itu bikin Ryan terkekeh dan memberi kecupan singkat di sudut bibir perempuan itu. “Sabar.” “Kali ini kenapa lagi?” tanyanya dengan gak sabaran. “Should we move or you okay to be here? Di sofa?” “...” “Gue gak mau lo ngerasa gak nyaman karena, you know, sofa ini gak terlalu lebar dan panjang. Kita berdua bakal kesusahan.” Tapi bahkan Jane gak peduli apakah setelah ini dia bakal encok atau pegal linu kayak oma-oma. Dia gak peduli apapun resikonya nanti setelah percintaan mereka selesai—yang mana padahal dimulai aja belum. Dia hanya menjawab pertanyaan Ryan dengan memajukan wajah, kembali merangkum bibir Ryan dan kali ini lebih kasar. Jane gak peduli kalau Ryan menertawakannya dalam hati karean tingkah gilanya yang kini meraba milik Ryan dari luar celana menggunakan tangan kanannya. Ryan melenguh pelan, juga sedikit terkejut dengan godaan yang tiba-tiba datang tersebut. “Oke, i’ll take it as an okay from you to having s*x with me here, in this sofa.” * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Dua kali. Terhitung sudah dua kali Ryan dan Jane melakukan ini. Jane yakin, Ryan pun bukan pertama kalimelakukan kegiatan seperti ini—maksudnya bercinta dengan perempuan yang tidak bisa dikatakan dekat dengannnya. Begitu pula degan Jane sendiri. Biasanya, baik Jane maupun Ryan gak mempermasalahkan itu. Kenapa pula dipermasalahkan sementara saat melakukannya, kedua belah pihak merasa baik-baik saja bahkan cenderung menikmati? Tidak ada hal yang harus dituntut setelah bercinta. Tapi Ryan akuin, kali ini lain lagi. Dia tak mengerti apa perbedaannya, tapi dengan Jane, dia merasakan sesuatu yang menjanggal. Banyak pertanyaan yang mulai muncul di kepalanya tanpa bisa dia kontrol. Seperti : kenapa pertemuannya dengan Jane selalu berakhir dengan percintaan panas padahal Ryan bukan membutuhkan tubuh Jane? Apakah percintaan yang mereka lakukan bagian dari hal yang bisa merubah hati Jane untuknya? Apakah setiap kali Jane merasakan hentakan di dalamnya, Jane benar-benar memikirkannya dan bukan laki-laki lain? Ryan tahu terlalu dini untuk memikirkan segala sesuatu tersebut sementara dia dan Jane belum lama ini bertemu dan dekat. Tapi sekali lagi, segalanya di luar kontrol Ryan. Percintaan panas antara dia dengan perempuan yang kini tertidur di atas dadanya dengan tubuh tak terbalut kain sama sekali ini membuat Ryan bertanya-tanya. Dia tidak hanya ingin melampiaskan nafsunya, bahkan itu bukan alasan pertama dia selalu menyetujui kegiatan bercinta mereka. Dia ingin Jane membuka hati untuknya, lewat sentuhan manis darinya, ciuman lembut, dan ungkapan penuh puja dan puji. Ryan hanya—ah, entahlah. Ryan pun tak tahu jalur seperti apa yang seharusnya ia tempuh. Satu-satunya yang ia rasakan kini hanyalah, dia merasa ada yang salah. Seharusnya tidak seperti ini. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Dua kali  gue terbangun, dua kali juga gak nemuin lo di kasur,” Komentar itu membuat Ryan—yang lagi berkutat untuk menghangatkan pizza di dapur, jadi menoleh ke belakang. Dia mendapati Jane dengan kaos miliknya yang sengaja ia siapkan di atas nakas meja—tahu bahwa Jane akan bangun dan bingung memakai apa karena atasan yang dikenakan Jane tadi basah akibat terciprat air saat Ryan menggendong Jane ke kamar mandi. “Gue jadi ngerasa kayak wanita panggilan tahu, gak?” lanjut Jane dengan mencibir sebal. Kedua tangannya masih terlipat di depan d**a seiring langkahnya mendekat. Ryan menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum tipis yang muncul di bibirnya. “You know you’re not.” “Iya, tahu. But you make me feel like i am.” “Sorry, bukan maksud gue kayak gitu,” Ryan menaruh pizza yang sudah ia hangatkan di depan Jane yang duduk di kursi bar. “Kenapa kebangun?” “Laper.” Ryan terkekeh. “This is for you. Kalau pengen nasi, yang di kotak tadi punya lo belum kemakan. Atau gue pesenin lagi aja karena yang tadi udah dingin?” “Gak usah. Makan pizza udah cukup.” “Gak takut naik berat badannya?” Ryan melirik ke arah jam dinding. “Ini tengah malem.”  “Lo ngeledek gue?” “Of course, no. Tapi we all know segimana sensitifnya cewek dengan jam makan malam apa lagi sama fast food semacam pizza kayak gini.” “Okay then i’m the only exception.” Ryan mengunggingkan senyum. “Okay, noted. Ya udah, makan.” “Sini, lo juga harus makan, lah.” Yang mana permintaan Jane langsung dikabulkan oleh Ryan detik ini juga. Lagi pula, Ryan gak mungkin bangun tengah malam di jam satu pagi hanya untuk menyiapkan pengisi perut untuk Jane saja. Sama seperti alasan Jane, tadi dia kebangun juga karena dia merasakan perutnya berbunyi. “Lo ada kelas besok?” Jane nanya setelah cowok bertato itu duduk di sampingnya. “Ada. Pagi.” “Jam 7 banget?” “Iya. Lo sendiri?” “Siang, sih.” Ryan manggut-manggut. “Lo pake aja mobil gue.” “Hm?’ “Lo ke apart gue, kan, bareng gue. Gak bawa kendaraan sendiri.” “Oh, itu. Gak usah, gue bisa nebeng Hanna.” Ya, tentu Ryan gak lupa perkara Jane yang punya Hanna sebagai teman baik dan satu-satunya teman yang bisa diandalkan—well, Ryan belum tahu, sih, temen-temen Jane yang lainnya tuh yang mana aja. Tapi mengingat dia yang membawa Jane Laura kesini, rasanya gak sopan bikin cewek itu nebeng temennya cuman karena dia berangkat pagi sementara cewek itu sendiri berangkat siang. “Pake aja mobil gue,” ulang Jane. “Gue bisa nebeng temen gue.” Jane ketawa. “Kok jadi lo yang nebeng padahal yang ada mobil, kan, elo?” “Iya, so—“ “It’s okay, Ryan. Beneran, gue gak masalah berangkat sama Hanna.” “It’s also okay. Gue yang bareng temen gue. Lo bawa mobil gue.” Karena Ryan ngotot, Jane jadi menghela nafas. “Aneh, deh. Lo sadar gak, sih, kalau gue nanti berangkat pakai mobil lo sampai-sampai mengorbankan pemilik mobilnya sendiri, nanti baliknya juga gimana? Gue harus balikin mobil ke apart lo lagi?” “Gampang, nanti baliknya gue ke gedung lo. Gue anter lo pulang.” “...” “Problem solved, ya?” Jane gak ada pilihan lain apa lagi lawan bicaranya ini ternyata sama keras kepalanya kayak dia. Jadi Jane mengangguk. “Okay.” “Good girl,” Ryan menarik senyum. “Now take your pizza and eat. Abis ini tidur lagi.” “...tidur?” Ryan noleh, dong, karena pertanyaan Jane terdengar ambigu di telinganya, seolah cewek itu gak menyukai ide tidur lagi setelah makan tengah malam ini. Atau Ryan aja yang isi kepalanya terlalu kotor? “Iya. What do you want to do emang?” “... ya, enggak, sih.” Ryan menyeringai geli. “Tell me, Jane.” “Gak ada, Ryan. There’s nothing i want to do. You right, it’s middle of the night and you have morning class, so we—you and i should go to bed soon. For sleep. Nothing else.” Ryan manggut-manggut sambil nunduk menggigit pizzanya. Ya, ya, ya. Terserah Jane aja mau ngomong apa. But who knows, kan? * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Tapi kenyataannya, mereka betulan tidur. Gak ada kegiatan lain yang dilakukan, apa lagi kegiatan yang ada di kepala Ryan tadi. Sehabis makan pizza dan menghabiskannya tanpa ada yang tersisa, keduanya yang emang udah ngantuk berat—bahkan Ryan yang matanya lebih gak kuat melek lagi—jadi memilih langsung pergi ke kamar. Layaknya pasangan suami istri yang udah berada di pernikahan yang berusia tiga puluh tahun, keduanya memasuki kamar dengan santai, kemudian ke atas ranjang tapi saling memunggungi satu sama lain. Jane langsung memeluk guling milik Ryan, dan laki-laki tengkurap. Itu terlihat aneh tapi juga funny somehow. Seolah dua orang tersebut memang sudah kenal lama dan gak pernah ada canggung di antara mereka satu sama lain. Paginya, Ryan dibangunkan oleh alarm dari ponselnya yang berbunyi pukul enam pagi pas. Karena dia bukan kebo dan gak susah buat bangun, alhasil di detik ketiga ponselnya berbunyi, dia udah meraih benda itu dan beranjak bangun untuk mematikan. Menoleh sekilas pada Jane, gadis itu tidur dengan tenang, masih dengan posisi gak berubah sedari awal, yakni memeluk gelung erat dengan nafas yang naik turun dengan konstan. Beberapa anak rambutnya menutupi wajah. Ryan mencoba mengingat kembali kalimat perempuan itu kemarin saat ia diberi tahu jam berapa Jane akan pergi ke kampus. Lalu saat dia ingat bahwa Jane tidak memiliki kelas pagi, laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk membangunkan Jane. Dia bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Di tengah-tengah jam mepet, dia masih menyempatkan untuk membuat dua lapis roti, satu untuknya dan satu untuk Jane nanti. Ryan bahkan menaruh nampan kecil di samping ranjang—di atas nakas—berisi sepotong roti dan air putih juga kertas kecil yang berisi pesan singkat dari dirinya untuk Jane. “Kalau udah bangun, langsung mandi dan sarapan. Karena gak ada nasi, sarapan nasinya di kantin aja kayak biasanya. Roti cuman buat ganjel. Soal baju lo buat ke kampus, gue udah beliin satu set sekalian daleman. Gue taruh di deket kasur, kelihatan kan?” Emang niat banget, sih, Ryan kalau disuruh baperin anak orang. Padahal sebenernya dia ngelakuin itu juga bukan buat baperin Jane. Kalau baper, ya, bagus. Kalau enggak, ya, gak apa karena niat dia pure mau Jane sarapan sebelum berangkat dan ngasih pakaian karena biar Jane gak bingung pakai baju apa ngampusnya, mengingat kayaknya cewek itu juga gak bakal bangun kalau gak mepet jam berangkat. Setelah merasa bahwa segala sesuatu untuk Jane sudah siap, Ryan memakai jaketnya dan menghubungi taksi online yang sudah dekat. Iya, karena mobilnya, kan, jadi dibawa Jane buat ke kampus. “Oke, Pak. Saya turun sekarang. Wait, ya.” Ryan langsung menutup telepon. Dia udah bersiap melangkahkan kakinya buat meninggalkan kamar, tapi dia noleh lagi ke belakang, ke Jane yang masih tidur dengan tenang. Cowok itu menghela nafas, karena entah kenapa, ada keinginan untuk memberi ciuman hangat di kening Jane. Tapi apakah pantas sementara mereka berdua belum sejauh itu? Jauh yang dimaksud Ryan adalah Jane belum tentu menerima perasaannya, bisa saja perempuan itu melakukan seks dengannya hanya karena nafsu semata bukan karena tertarik seperti apa yang ia rasakan. Tapi kemudian dia mengalahkan egonya dengan menghampiri Jane, menunduk, dan memberi kecupan singkat di atas poni perempuan itu. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Tumben.” Adalah satu kata yang dkeluar dari bibir River setelah teman baiknya ini, Ryan, menceritakan bahwa dia telat lima menit sampai di kelas tadi pagi.  Maklum, sih, kalau River merasa aneh karena gimanapun Ryan orangnya sangat-amat tepat waktu. Kayaknya terakhir kali River menemukan Ryan telat ke kampus, tuh, semester lalu. Atau malah bahkan udah tahun lalu. Emang sejarang itu. Ryan adalah salah satu sosok terhebat di dunia karena time management-nya bagus sekali. Gak semua orang bisa begitu, right? “Gak papa, lah. Sekali-kali.” lanjur River. “Lo, kan, jarang telat. Lagian juga gak kena minus di matkulnya.” “Minus, lah, River.” “Loh, iya? Bukannya lo mahasiswa kesayangan Pak Prapto?’ Ryan memutra bola matanya. “Ngeledek lo?” Yang mana River jadi ngakak sama jawaban itu. Ya emang sih dia tadi cuman sarkas doang. Karena gimanapun baik River maupu Ryan sama-sama masih gak bisa lupa gimana gilanya anak Pak Prapto yang dulu pas masih kelas 11 SMA nembak Ryan di kampus, di kantin kampus yang lagi rame, mana suaranya kenceng banget gak bisa dikecilin. Terus karean muncul berita soal itu dimana-mana, sosial media dan jadi perbincangan banyak orang dengan judul “Christian Dave dari Fakultas Teknik menolak mentah-mentah  anak guru besar, Pak Suprapto.” Gara-gara itu, deh, sejak itu juga, pak Prapto jadi agak gimana gitu setiap ketemu sama Ryan. Bahkan pas lagi ngajar, dulu dia pernah disindir sama dosen yang usianya uah empat puluh lima-an itu dengan bilang bahwa Ryan, tuh, harusnya bersyukur anaknya yang cantik dan pintar mau-maunya suka sama cowok begajulan kayak dia, mana punya banyak tato. Gitu. Awalnya, Ryan, sih, gak sadar kalau dia lagi disindir, sampai kemudian Pak Prapto bawa-bawa tato itulah, akhrinya dia ngeh. Lagian aneh banget emang dosen yang satu itu. Menolak, kan, hak asasi manusia. Masa kalau gak suka harus tetep bilang iya? “Tapi tadi pagi gue mau mampir ke apart lo, loh, sebelumnya.” Ryan noleh sambil nyeduh milonya. “Oh, ya?” “Iya, mau nebeng sarapan.” “Tadi gue aja gak sarapan.” “Nah, makanya. Untung gak jadi belok ke apart lo.” “Harusnya ke apart aja, sih. Gue tadi naik taksi soalnya pas berangkat.” River langsung mengerutkan dahi. “Hah? Kenapa mobil lo? Di bengkel?” “Gak, sih. Cuman lagi dipake aja.” “Sama siapa? Bukannya kata lo bulan lalu nyokap lo dapet mobil baru dari bokap lo?’ “Iya, tapi mobil gue bukan dipake nyokap. Dipake cewek—“ Ryan berdeham karena hampir saja menyebut Jane sebagai kekasihnya. “Sama temen gue.” “Temen lo cewek maksudnya?” “Iya.” “...Jangan bilang cewek yang kata lo...” Ryan mengangguk seolah tebakan River emang bener. “Iya, yang itu.” River langsung diam.   When I wasn't making much money You know where my paycheck went You know, I brought it home to you, baby And I never spent a red cent Is that any way for a man to carry on Do you think I want my loved one gone Said I love you More than you'll ever know Now listen to this I'm not trying to be just any kind of woman No, I ain't I'm just trying to be somebody You can love, trust and understand I know, I know, I know that I can be A part of you that no one else could see But I gotta hear you say I got to hear you say It's alright   * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN