Lintang malam ini mau menampakkan diri lebih banyak. Dari banyaknya bintang yang bermunculan, Mika tertarik pada satu yang bersinar paling terang. Tepat berada di arah Tenggara dari tempatnya berdiri di ujung jendela kamar.
Sepertinya, ini akan menjadi rutinitas bagi seorang Mikayla. Merenung di ujung jendela. Menatap langit yang sama sekali tidak biru. Menurutnya, langit malam berwarna hitam alih-alih biru. Kalau pun itu biru, Mika akan tetap menyukai hitam. Warna monokrom yang kuat dan misterius.
Di setiap malam yang sunyi. Orang-orang akan menghabiskan waktu mereka untuk beristirahat. Karena esok ketika sang surya tiba, akan banyak pekerjaan yang menyapa.
Ketika rembulan tak menampakkan diri dan memilih bersembunyi di balik awan. Mungkin itulah hal yang akan Mika lakukan untuk saat ini.
Ia merutuk beberapa kali karena merasa sudah membahayakan diri sendiri. Pertemuan dengan Jevano jelas membuatnya ingin sekali menghilang. Terlebih, mulut bodohnya ia gunakan untuk mengucapkan dengan lancar alamat baru pada laki-laki itu.
Apa setelah ini ia akan pindah rumah lagi? Mika harap tidak. Dan gadis itu juga berharap bahwa tak akan ada lagi pertemuan dengan Jevano setelah hari ini. Cukup untuk hari ini. Mika tak akan ceroboh lagi untuk menampakkan diri sembarangan.
Ia akan kembali pada hidupnya yang tenang dan damai tanpa bayangan masa lalu dari siapapun.
"Bisa-bisanya kamu batal hanya karena hal sepele? Kamu mau bikin Papa malu? Iya?!"
Gadis itu memilih untuk tetap diam di ujung jendela. Dengan mata terpejam rapat. Dan kalau bisa, Mika juga ingin tuli untuk beberapa saat. Bentakkan itu tak pernah lagi ia dengar semenjak beberapa tahun silam. Tapi mungkin, ia akan mendengarnya lebih keras dan kejam dari ini.
Mika bersandar pada lemari besarnya. Meremas ujung piyama dengan helaan napas panjang yang terdengar melelahkan. Hari sudah semakin larut, dan beberapa menit lagi dini hari akan menyapa. Berganti jadi hari selanjutnya.
"Papa tidak mau tau! Jalan terakhir hanya ada pada Kayla," sesaat, Mika hanya bisa membisu dalam keterdiamannya. Bahkan tak sadar, ia hanya ingin pergi saat ini juga.
Ketukan pelan di pintu menyadarkan Mika. Memaksa gadis itu untuk berdiri tegak dengan dagu terangkat tinggi. Lalu dengan satu tarikan napas panjang, gadis itu memutar knop pintu. Hanya untuk melihat wajah ketakutan dari sang asisten rumah tangga.
"Non, bapak--"
"Saya dengar,"
Si asisten langsung melarikan diri begitu mendengar jawaban singkat anak majikannya. Berada dalam zona aman lebih baik daripada mendengar segala hal yang hanya membuat pekerjaannya semakin berat.
Mika memilih duduk di ujung sofa ruang tengah dengan tatapan nanar yang ia berikan pada sang Kakak laki-laki. Yang kini memalingkan wajah dengan kepala merunduk dalam. Di ujung meja, seorang laki-laki paruh baya memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.
Tak jauh dari tempat mereka berada, seorang wanita memilih duduk memisah di pantry. Menyaksikan apapun yang akan terjadi dalam keadaan hening. Bahkan ia tak punya kuasa apapun untuk sekedar menggeleng lemah.
Dalam beberapa menit. Hanya terdengar helaan napas bergantian dari orang yang tinggal di ruang tengah.
"Sekarang apa mau kamu, Ray?" si empunya nama hanya bisa menggeleng lemah dengan kepala semakin menunduk dalam. Dan itu memicu sebuah kekehan si pria paruh baya.
"Memalukan,"
Sungguh. Mika betulan muak berada di tengah keluarganya sendiri. Rasanya, ia ingin segera tidur. Karena dengan begitu semua lelahnya akan menguap. Segala drama dari pagi hingga tengah malam ini akan pergi. Karena dengan begitu, Mika akan segera amnesia esok pagi.
Netranya menatap tepat pada kepala yang menunduk dalam itu. Dalam hatinya Mika memaki. Kemana saja sosok laki-laki sombong yang sering ia temui?
Kenapa hanya dengan begini laki-laki itu dibuat tak berkutik sedikitpun?
Benar-benar memicu sebuah argumen untuk seorang Mikayla. Dimana gadis yang sama sekali tak mau mencampuri urusan orang lain itu menatap miris pada sang Kakak.
Memikirkan masa depan suram ada di tangan laki-laki itu. Meski, sebagai manusia biasa jelas Mika tak punya indra ke-tujuh untuk mengetahui takdir seseorang. Ayolah, bahkan paranormal tidak seratus persen benar. Atau, mungkin anggapan Mika yang ini adalah salah.
"Untuk kali ini saja Kay. Lakukan apa mau Papa!" laki-laki paruh baya itu akhirnya berujar demikian. Memancing Mika untuk mengumpat kasar dalam hatinya.
Setelah keterdiaman panjang dalam sebuah malam yang dingin dan sunyi. Hanya untuk membuat yang paling muda mengeraskan rahang dengan bibir terkatup rapat.
Dalam hatinya, Mika menimang banyak hal. Apa langkah awal yang menyeret dirinya kali ini? Memang, Mika tak pernah benar-benar mengikuti perintah sang Papa. Tapi untuk satu masa depannya, jelas Mika hanya akan menjadi dirinya sendiri.
"Menikah dengan orang yang Papa percaya. Dengan begitu Papa akan tenang," kalimat akhir itu berhasil membuat Mika tersenyum culas.
Apa semudah itu untuk mencari pendamping hidup?
"Apa Kakak enggak bisa bikin Kay lebih baik? Dan apa ini? Menikah?" Mika terkekeh pelan. Kali ini berani menatap sang Papa yang sama sekali tak mengindahkan tatapan menyedihkannya.
"Semudah itu untuk orang yang lebih tua memberi perintah? Untuk membuat nama baik tetap terjaga?" kali ini si wanita paruh baya duduk menegak. "Bahkan harga Kay lebih murah dari saham Papa,"
Tak peduli bagaimana si wanita paruh baya berdiri dari duduknya karena ucapan tajam Mika pada si laki-laki paruh baya yang sekarang ini menyorotnya tajam. Juga tatapan menyesal Ray.
Mika berdecih. Emosinya yang sejak pagi ia tahan hampir meledak kali ini. Mungkin, malam ini adalah puncaknya. Ia lirik satu per satu anggota keluarga yang duduk terpisah. Termasuk ibu sambungnya yang duduk di pantry itu.
Mereka adalah keluarga bahagia yang penuh dengan drama. Ketika sang putra menyesal pernikahannya gagal, sang ayah mencetuskan ide gila yang membuat si bungsu kelabakan dan murka. Lalu, sang istri yang memisahkan diri sudah siap mencecar si bungsu dengan kata-kata tajam.
Lantas, akan bagaimanakah akhir keluarga ini?
Mika tidak ingin melihatnya sendiri. Ia memilih melangkah pergi.
Untuk saat ini, ia hanya ingin menjauh. Berlari menembus dinginnya Jakarta pukul 2 pagi mungkin bisa membantunya lebih cepat amnesia. Bahkan mata lelahnya sudah tak ia pedulikan lagi. Sekarang ini, kedua netranya menurut ia ajak kerja sama. Memindai bagian manapun dari komplek perumahan mewah itu. Mencari celah untuknya pergi. Kemanapun.
Hanya berbalut piyama terusan abu-abu juga sendal rumahan berwarna hitam, Mika memilih untuk terus menembus waktu. Kalau bisa, ia tak ingin kembali pada suasana rumah yang nyatanya tak pernah ia inginkan kehadirannya. Semuanya palsu. Hanya diisi ambisi para penghuninya. Termasuk dirinya.