Dalam sebuah malam yang panjang, banyak orang-orang melakukan aktivitas. Entah itu penjual kopi keliling, pedagang kaki lima yang hingga subuh masih tetap buka. Tempat hiburan malam, orang-orang yang merelakan psikis dan masa depannya untuk kelangsungan hidup mereka. Sampai pada overthingking manusia yang seharusnya bisa terlelap dalam posisi yang nyaman.
Malam minggu mungkin menjadi suatu malam yang spesial bersama orang yang spesial. Tapi bagi Mika, ia hanya ingin sendiri saja. Tidak mungkin ada orang yang keluar malam minggu menggunakan sendal japit juga piyama tidur. Kecuali itu Mika.
Dinginnya udara sudah sampai pada tulang yang hampir ngilu dibuatnya. Hanya untuk berjalan tanpa tujuan yang pasti. Jika saja Mika tidak bodoh meninggalkan kunci mobilnya di kamar. Mungkin sekarang gadis itu sudah sampai di tempat yang jauh.
Mungkin, apartemennya di kawasan Jakarta Selatan bisa jadi solusi untuknya pergi. Tapi sekarang ia bisa apa? Bahkan uang di saku piyamanya hanya sepuluh ribu. Tidak akan cukup untuknya sampai di sana. No money no life.
Mika tak bisa hidup tanpa uang. Tapi ia tidak segila itu. Rasional saja, adanya uang bisa membuat hidup lebih baik.
Mungkin itu alasan Papa membentak Ray tadi. Pernikahan laki-laki itu terancam gagal karena si perempuan berselingkuh. Kasihan sekali Kakaknya itu. Banyak perusahaan yang mendukung hubungan mereka. Cih. Lagi-lagi bisnis. Mika muak.
Ucapan-ucapan Papa masih terus terlintas dalam benaknya. Enak sekali Papa menjodohkannya. Perihal masa depan harusnya sepenuhnya ada di tangan Mika. Bukan Papa apalagi Mama sambungnya. Juga, tidak mungkin bagi manusia ambisius yang hanya tahu uang seperti Ray. Big No!
Tapi jika dipikir lagi, mungkin hanya ini jalan satu-satunya bagi Mika untuk mempunyai suami. Umurnya hampir 26 tahun. Dan tidak ada satupun laki-laki yang masuk dalam hidupnya. Sebatas rekan kerja tentu bukan orang spesial untuk Mika.
Gadis itu menghela napas. Biasanya Mika akan tidur pukul sebelas. Dan ini sudah ada di sepertiga malam. Mika merunduk, hanya untuk menemukan sendal japitnya putus padahal tujuan belum juga nampak untuk saat ini.
"Sialan," umpatnya sembari menendang keras sendalnya.
Yang hanya mengakibatkan gadis itu tambah murka. Karena sebelah sendalnya itu jelas terjun dan berenang di kubangan air got yang busuk.
Terduduk pada trotoar jalan. Mika hanya dibuat semakin kesal dengan hari ini. Dari pagi pekerjaannya menumpuk dengan deadline berdekatan. Dan entah kenapa, hari ini ia memaksakan diri ikut Musyawarah Besar padahal pekerjaannya tak bisa ditinggalkan.
Bertemu Jevano yang justru menyambutnya dengan baik. Lalu, keputusan final Papa atas hidupnya bertahun-tahun kedepan.
Ini memang hari tersial dalam hidup Mika. Bahkan lebih sial dibanding mendapati wajah Ray di pagi hari.
Terpaksa, untuk kali ini. Mika akan kembali berjalan tanpa alas kaki. Biarlah senin esok ia tak bisa memakai high-heels miliknya. Mungkin sneakers akan lebih baik dan cocok cocok saja.
Meninggalkan sendal jepitnya begitu saja. Mika melangkah tenang dibawah temaramnya jalanan kota yang penuh hiruk pikuk manusia dengan aktivitas malamnya. Membiarkan kakinya terus melangkah menapaki trotoar yang kasar. Yang kadang, sebuah batu kecil dan runcing membuat telapak kakinya nyeri.
Sampai pada sebuah tempat kebugaran gadis itu berhenti. Tidak cocok sekali tempat itu dengan dirinya. Bahkan dengan piyama dan tanpa alas kaki, Mika bisa dikatakan gembel jika begini.
Untung saja. Wajahnya tidak menampilkan aura gembel sama sekali. Jelas Mika percaya diri. Skincarenya mahal. Biaya perawatannya mahal. Meski ia tak serajin itu untuk mendatangi dokter kulit. Wajahnya lebih ayu bahkan tanpa riasan sekalipun.
Melengos. Mika memilih kembali berjalan di trotoar ketika melihat seorang yang familier keluar dari tempat kebugaran tersebut. Dari yang ia lihat, laki-laki itu tidak serapi tadi. Sekarang ini, laki-laki itu lebih mirip atlet boxing alih-alih seorang pengusaha muda.
"s**t!" Mika kembali mengumpat saat dirinya yang tak melihat jalanan menginjak sesuatu yang terasa menembus kulit dan daging tipis di telapak kaki.
Bahkan kini dinginnya malam sudah tidak lagi terasa. Tergantikan rasa perih dan nyeri dari telapak kakinya yang berdarah. Sudah di bilang, Mika itu kejam. Jadi saat paku itu ia cabut, hanya sebuah ringisan kecil tanpa sedikitpun kristal bening yang meluruh dari netra tajamnya.
Gadis itu baik-baik saja. Sampai seseorang yang sejak tadi ia wanti-wanti agar tak melihatnya kini sudah berdiri tegak di depan Mika.
"Saya bantu?"
Suara serak berat itu hanya membuat Mika semakin merunduk dengan berbagai sumpah serapah yang hanya sampai tenggorokannya. Atau, orang di depannya ini tahu bahwa Mika tengah menyedihkan.
Gadis itu menggeleng kecil. Bangkit dari posisi duduknya kemudian melangkahkan kaki dengan tertatih. Sampai laki-laki yang dipastikan bernama Jevano menghentikan langkahnya.
"Kakinya berdarah, biar saya bantu obati,"
"Tidak usah. Saya bisa sendiri," tolak Mika mentah-mentah. Jika dirinya mengiyakan, maka akan pergi kemana Mika si kejam yang digantikan dengan Mika yang menyedihkan.
Mika tidak suka jika orang lain menatapnya dengan tatapan menyedihkan. Mika tidak sudi, ada orang yang mengasihinya seolah ia akan mati esok pagi. Mika tidak suka terlihat menyedihkan begini. Alih-alih memelas, Mika hanya akan menyombong dan tak peduli.
"Kak Mika, listen to me. Itu bisa infeksi," Jevano berjongkok, memeriksa luka Mika yang semakin merah karena darah yang terus mengalir.
Gadis jangkung itu membeku. Membiarkan Jevano menekan telapak kakinya. Dalam hati Mika mengumpat lagi. Entah berapa kali tuhan akan menghukumnya karena terlalu banyak mengumpat sejak pagi.
"Ayo, mungkin masih ada rumah sakit yang buka,"
"Enggak usah. Saya bisa pergi sendiri," Jawaban yakin Mika hanya membuat Jevano terkekeh geli.
"Dengan luka begini?"
Mika mengangguk. Tak memedulikan tatapan Jevano yang semakin teduh. Gadis itu kembali berjalan tanpa menoleh sedikitpun.
Tertatih, sakit, nyeri, tapi juga gengsi. Mikayla Cyrene tak boleh terlihat goyah sedikitpun. Mika kejam, Mika pemberani, tegas, dan tak akan pernah terlihat menyedihkan.
Lima langkah berlalu dari wajah datar Jevano. Mika dibuat terkejut dan hampir berteriak ketika merasakan tubuhnya melayang oleh seorang Jevano Hadinata. Refleks, gadis itu mengalungkan tangannya pada leher Jevano. Menatap laki-laki itu tak habis pikir.
"Jangan keras kepala. Nanti infeksi," dengan intonasi yang teramat tenang, juga kedua tangan kekar yang sama sekali tak memberikan peluang bagi Mika untuk melarikan diri. Laki-laki itu tersenyum simpul.
"Masih banyak langkah yang harus dilanjutkan. Kalo luka begini gimana?"
Mika terus diam dan melengos. Tak peduli pada apapun yang dilakukan laki-laki itu untuk mengobati lukanya. Pada akhirnya, hanya dibutuhkan Jevano untuk membersihkan hingga merekatkan plester pada ujung perban di kaki Mika.
"Comeback home?"
"No. Saya mau sendiri, terimakasih untuk ini, Jevano. Saya permisi,"
Jika Mikayla adalah si kejam. Maka Jevano adalah si keras kepala. Sampai kapanpun akan seperti itu. Tak hanya dulu saat masih ada di satu lembaga yang sama, Jevano masih sama saja. Keras kepala.
Bahkan kini dengan entengnya kembali mengangkat tubuh Mika yang mendelik tak terima. Yang kemudian mendudukkan gadis itu di jok penumpang di sampingnya. Senyum bulan sabitnya masih sama. Masih terlihat menyegarkan juga menyebalkan.
Untuk manusia sejenis Jevano, Mika hanya ingin menyerah.
"Mau kemana kita?"
"Jevano please. Saya bisa sendiri,"
"No. I have to help you,"
Mika berdecak. Bersandar lelah pada jok mobil Vano. Rasanya ia tak bisa meneruskan hidup dengan tenang apabila Jevano masih bersikeras seperti ini.
Cita-citanya untuk kembali menghilang mungkin akan lebih lama terwujud. Karena dengan senyum simpulnya Jevano jelas menyebutkan unit apartemen milik Mika. Tanpa gadis itu sebutkan lebih dulu.
Bagaimana bisa?
"Koneksiku banyak. Mau cari ke lubang semut pun kita akan ketemu, Kak Mika,"
Mika mengeraskan rahang. Dalam jangka waktu dua belas jam, Mika hanya dibuat kesal oleh Jevano Hadinata. Yang entah kenapa, kali ini laki-laki itu lebih menyebalkan berkali-kali lipat dari jaman kuliah dulu.
Senyum lebarnya tak kunjung meluruh. Sesekali juga bersenandung kecil bahkan tak peduli pada Mika yang sudah pulas bersandar pada jok penumpang. Jevano tak akan pernah menyia-nyiakan kehadiran Mika kali ini.
Gadis yang selalu bersikap kejam itu nyatanya sering membuat Jevano berpikir akan melakukan hal yang sama padanya. Dan mungkin, waktunya akan segera tiba. Panggung milik Jevano akan segera rampung untuk sebuah pertunjukan yang mengagumkan.
"Good Night, Kak Mika,"