Mencintai Demian seperti bernapas, yang jika berhenti, maka dirinya akan mati. Teramat sakit yang ia rasakan karna cinta sepihak itu. Melihat kebelakang membuat Almira semakin sadar, jika memang hanya dirinya yang mencinta, sedang Demian hanya bermain cinta. Siapa yang harus disalahkannya atas kehancuran hati, selain dirinya sendiri? Jelas-jelas tanda-tanda sudah diberikan oleh Demian, akan tetapi Almira seakan buta dan tak mampu melihat semuanya.
Pagi yang biasanya kerap ditunggu banyak orang dan menandakan harapan baru, tak ingin ditemui Almira hari ini. Ia ingin terus terlelap dan terbuai dalam mimpi indahnya di masa lalu. Masih begitu jelas di dalam benak Almira bagaimana indahnya cinta mereka dulu. Ada dirinya dan juga Demian, di puncak, menatap keindahan alam sembari berpelukan.
“Kamu lebih suka ke pantai atau ke gunung?” tanya Demian yang menempatkan dagunya pada pundak kecil Almira. Dipeluknya erat tubuh kecil yang terasa begitu pas di dalam dekapannya. Almira tampa berpikir sejenak, lalu senyumnya terbit menghiasi wajah cantiknya.
“Sebenarnya pantai. Aku suka mendengar debur ombak dan menatap samudera yang begitu luas. Apalagi menyaksikan pemandangan matahari terbenam yang tampak sangat romantis, seakan mampu menyihir siapapun yang menyaksikannya,” ucap Almira menatap langit jingga yang terbentang luas di hadapan mereka.
“Bukannya pemandangan senja berpulang sama aja, mau dilihat dari gunung ataupun pantai. Sama-sama romantis dan mempesona,” ucap Demian tersenyum.
Almira mengangguk. “Ya memang sama-sama indah. Hanya saja, sensasinya berbeda.”
Demian menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. “Aku lebih suka pegunungan.” Demian hendak mencari persamaan di antara mereka. Ternyata, memang pasangan tak selalu memiliki selera yang sama pula.
Setelah melamar Almira. Demian mengajak wanita itu untuk berlibur ke pegunungan karna ia pikir, wanita itu memiliki selera yang sama dengannya. Alam dan udara sejuk yang membuat hati terasa damai. Demian tak begitu menyukai pantai, apalagi pasirnya.
Siapa sangka, tebakannya salah. Mereka memang perlu banyak waktu untuk saling mengenal dan masih banyak hal yang perlu mereka pelajari. Demian pikir, Almira adalah calon yang tepat. Wanita itu tak rewel dan mudah dikendalikan. Salahkan saja kakenya yang begitu takut jika hidupnya tak lama lagi, hingga memaksa agar Demian segera menikah agar ada yang menjaga cucu kesayangannya itu sepeninggalan kakek. Lelaki tua itu bahkan memaksa mendonasikan seluruh harta warisannya pada panti asuhan, jika Demian menolak segera menikah. Demian kalut dan akhirnya dipertemukan dengan Almira. Ia pikir, inilah takdirnya.
“Kalau musik suka klasik atau pop?”
Almira tersenyum lalu dengan yakin menjawab. “Klasik. Anggun terdengarnya.”
Demian tertawa. “Aku suka musik pop.”
Demian merasa semakin banyak perbedaan di antara mereka. Demian tak menyerah pasti ada kesamaan yang membuatnya mulai tertarik pada Almira dan memutuskan mengakhiri masa lajangnya berasama wanita itu. Ia tahu niatan Sang kakek yang ingin mengubah hidupnya yang bebas dengan menikah, akan tetapi terburu-buru memutuskan membuat Demian merasa takut. Dulu, ia tak pernah memikirkan hari esok, apalagi masa depan. Ia hidup hanya untuk hari ini, biarlah masa yang akan datang menjadi sebuah misteri yang akan dipecahkannya pelan-pelan. Oleh karna itu, pernikahan membuatnya cukup cemas.
“Suka makanan asin atau manis?” kali ini Almira yang bertanya. Mereka memang memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan Demian untuk lebih saling mengenal. Untuk meyakinkan jika memang pernikahan akan membawa mereka kepada akhir dari sebuah dongeng cinta. Pangeran dan putri hidup bahagia selamanya—kata-kata penutup dari sebuah kisah cinta dalam dongeng pengantar tidur—kata yang ingin Almira jadikan sebagai penutup kisah mereka.
“Asin,” jawab Demian seraya mengecup pundak kepala Almira penuh kasih. Ia memang menyukai wanita itu, namun tak yakin jika rasa itu adalah cinta. Tuntutan dan kedatangan wanita itu di saat yang tepat membuatnya tak mampu mengartikan rasa yang menyelimuti hati.
“Aku juga suka makanan asin,” ucap Almira sembari tersenyum.
Walau banyak perbedaan, namun ada beberapa persamaan yang bisa menyatukan mereka dan hal kecil itu membuat Almira merasa bahagia, begitupun dengan Demian. Entah mengapa, persamaan seakan hal mutlak untuk mengukur seberapa cocok pasangan dengan dirimu. Konyol memang, akan tetapi dirasa perlu oleh Demian untuk menghabiskan waktu bersama.
Demian melepaskan pelukannya, membalik tubuh Almira ke arahnya, dan menikmati kecantikan wanita muda itu. Almira memiliki senyum yang memikat, mungkin itulah yang membuatnya yakin untuk menjadi wanita itu istrinya. Almira wanita kuat, ia rela bekerja paruh waktu demi membantu keuangan keluarga, mandiri dan terkadang terlihat manja. Banyak alasan yang membuat Demian menyukai Almira. Selalu ada alasan di balik rasa suka yang timbul dalam hatinya, sedang Almira yang tak begitu mengerti makna cinta yang sesungguhnya merasa bahagia karna memiliki seseorang yang akan bertanggung jawab atas kehidupannya.
Almira sempat menganggap wanita yang ingin hidup tenang dengan menikahi seorang pria kaya adalah hal yang konyol, namun siapa sangka, kini dirinya mengambil jalan yang sama. Akan tetapi, bukan hanya kemapanan ekonomi yang ia dapatkan dari Demian, dirinya merasa nyaman di samping lelaki itu. Almira merasa bahagia dan begitu dimanjakan. Ia tak tahu bagaimana cinta yang kerap diagungkan banyak orang, akan tetapi dirinya yakin, jika bersama Demian ia akan segera mengerti arti dari rasa itu dan bersama mengapai mimpi indah.
“Apa kamu akan menyesal karna menikah denganku, Mira?”
Almira dapat melihat ketakutan dalam kedua manik mata Demian. Ketakutan yang ia pikir karna rasa takut kehilangan. Almira menggeleng. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi besok, namun aku yakin, kita akan selalu sepert ini, Mas. Bergenggaman tangan, tersenyum, dan berbagi cinta. Kita akan menciptakan kebahagiaan kita bersama.”
Almira yang selalu optimis. Ya, itu adalah salah satu alasan lain dirinya menyukai wanita itu. Almira selalu mampu membakar semangatnya. Membuat hal yang terdengar mustahil menjadi mudah. Kini Demian semakin yakin dengan pilihannya. Walau memang ada beberapa perbedaan, ia tahu jika semua itu tak menjadi penghalang. Ia harap, dirinya akan mampu menjalani hubungan pernikahan bersama Almira. Dirinya akan menjadi optimis seperti Almira yang berpikir, jika yang diperlukan dari pernikahan adalah keinginan untuk terus bersama.
“Bagaimana denganmu, Mas,” ucap Almira meneliti kedua netra di hadapannya, “apa kamu akan merasa menyesal jika menikah denganku nanti?”
Almira ingin pernikahan terjadi sekali untuk seumur hidupnya. Oleh karna itu, ia mengerti dengan kegundahan yang seharian ini ditunjukkan Demian padanya. Tak seperti Demian yang beberapa hari lalu penuh keyakinan melamar dan memintanya pada keluarganya. Mungkin, kini ketakutan mulai menjalar ke penjuru hati lelaki itu. Tampaknya, mereka berdua memiliki kesamaan lainnya, takut dengan hubungan yang terlalu terburu-buru ini, namun terlalu takut juga untuk saling melepaskan. Menikah perkara rumit, oleh karna itu ketakutan kerap hadir.
Demian tersenyum manis, mengusap lembut wajah Almira. “Aku nggak akan pernah menyesal, apa lagi bosan denganmu. Ketika rasa mulai memudar, aku akan melangkah mundur dan mengulang step yang telah kita lalui, kembali jatuh cinta padamu. Berulang kali.”
Hati Almira menghangat, ia menghambur ke pelukan lelaki itu Rasa nyaman yang tercipta membuatnya tak ingin lepas dari dekapan Demian. Ya, yang mereka perlu lakukan adalah menjaga apa yang ada di antara mereka. Jika semuanya telah memudar, mereka bisa kembali melihat perjalanan cinta dan kembali jatuh cinta, lagi dan lagi.
Almira kembali meringkuk di dalam selimut. Air matanya kembali mengalir, pedih di hati telah menyiksanya tanpa ampun, membuat dadanya sesak bukan main. Ternyata, apa yang dijanjikan Demian hanya omong kosong belaka. Mereka tak akan bisa mengulang langkah dan kembali jatuh cinta. Lelaki itu malah lebih memilih mematahkan hatinya dan meninggalkan cinta mereka. Almira tak ingin bertemu mentari pagi ini. Ia ingin kembali tenggelam dalam kegelapan dan berharap saat bangun, semua rasa sakitnya akan sirna. Hanya sekadar mimpi buruk yang telah berakhir. Ya ... hati yang dipatahkan ini hanyalah segelintir mimpi-mimpi buruknya.