Senja telah berpulang begitu Almira membuka mata. Kelamnya langit malam menyambutnya. Matanya terasa berat, efek bengkak yang terjadi karna menangis seharian penuh. Ia pikir, tangisnya akan membuat hati sedikit lega, akan tetapi pemikirannya salah. Begitu terbangun rasa sakit itu masih menyelimuti hatinya. Bayangan Demian bermesraan dengan wanita lain terus mengusik bathinnya. Ia tak tahu, di mana letak kekurangan dirinya, hingga lelaki itu mencari kepuasan pada orang lain. Benarkah apa yang pernah Jenny katakan, sifatnya yang takut mengambil resiko dan monoton membuat orang merasa bosan.
Almira mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Kepalanya terasa berat. Ia melirik ponsel yang telah di non aktifkannya sejak tadi pagi. Ia tahu, jika Demian tak mungkin menghubunginya. Hanya saja, ia tak ingin atau lebih tepatnya tak tahu kebohongan apa yang bisa digunakannya saat Jenny menghubungi dan mewawancarai dirinya. Ia hanya ingin menyendiri untuk sejenak, memikirkan banyak hal, termasuk masa depannya nanti.
Melihat apa yang lelaki itu lakukan di belakangnya, membuatnya mulai ketakutan. Bagaimana bila lelaki itu ingin berpisah, demi bisa bersama dengan wanita yang kini telah menempati setiap relung hatinya? Bagaimana jika akhirnya dirinya dibuang begitu saja? Almira tak bisa kembali ke keluarganya dan menyusahkan mereka. Ia juga tak mungkin terus-terusan bergantung pada Jenny. Almira tak pernah memikirkan apa yang akan terjadi saat tak ada Demian di sisinya, karna tak sekalipun ia pernah berpikir, akan ada saat di mana Demian akan meninggalkannya. Ia pikir, dirinya tak perlu pekerjaan ataupun kehidupan lain selain rumah tangganya karna lelaki itu telah membuatnya merasa lengkap.
Siapa sangka, kenyataan di depan mata menampar keras pipinya, membuatnya sadar, jika hidup tak selalu berjalan sesuai keinginan kita dan hati manusia itu memang rapuh. Mudah berubah-ubah dan tak selamanya bisa merasakan hal yang sama. Cinta ... pada akhirnya terlalu indah bagi seorang wanita seperti Almira, sangat mustahil untuk selamanya dimiliki oleh seorang dengan pemikiran sesederhana dirinya. Cinta itu terlalu mewah, hingga dirinya sadar, jika memang dirinya tak pernah pantas mendapatkan rasa yang banyak diangung-angungkan banyak orang itu. Tak heran, jika Demian berpaling, ia hanyalah wanita dengan banyak angan.
Air mata Almira kembali mengalir. Diusapnya kasar air mata yang jatuh dan membasahi pipinya itu. Ia menggeleng dan memaksakan senyum. Tidak ... dirinya tak boleh selemah ini. Memang, pengkhiantan Demian telah meruntuhkan dunianya, akan tetapi bukan membunuh raga dan pikirannya. Ia harus mulai memikirkan langkah apa yang akan ia ambil begitu Demian menuntut cerai dan meninggalkannya pergi.
“Kamu harus bangkit, Mira. Kamu nggak boleh kalah dengan rasa ini,” ucap Almira pada dirinya sendiri. Ia segera bangkit berdiri dan membersihkan dirinya.
Begitu di kamar mandi ditatapnya nanar pantulan dirinya yang tampak sangat mengenaskan. Lingkaran hitam di bawah mata, mata yang terlihat bengkak, dan penampilang yang begitu mengenaskan. Ia tersenyum, lalu senyum itu berubah menjadi tawa pilu yang keluar diiringi oleh air mata yang jatuh menemani tawanya. Ia menertawakan kebodohannya.
“Apa yang kau perjuangkan selama ini, Mira?” kata hatinya menghinanya, membuatnya merasa begitu kerdil, “inikah cinta yang kau sombongkan? Cih ... lihatlah Mira. Dia nggak pernah mencintaimu. Hanya kamu yang tenggelam sendiri dalam kebodohan itu,” lanjut kata hatinya yang semakin marah melihat kekacauan pada wajahnya.
“Aku mencintainya,” ucap Almira lirih pada pantulan dirinya.
“Dasar bodoh! Apa kau tahu artinya cinta? Apa menyiksa diri seperti ini dinamakan cinta? Martabatmu telah diinjak-injak, Mira! Dia telah mengkhianatimu dan menghancurkan istana yang telah kalian bangun bersama. Bangunlah Mira!” suara hati Almira lagi-lagi memberontak, tak mau menyetujui kebodohan Almira yang ia sebut sebagai cinta.
Almira mengangguk. Ya, mungkin ini saatnya ia terbangun dari indahnya dongeng tentang cinta. Ini saatnya sadar, jika memang tak ada lagi cinta di antara mereka. Mungkin, sejak awal memang tak pernah ada rasa itu. Mereka hanya dua orang yang saling membutuhkan.
Almira menggeleng-geleng. Tidak, ia yakin, jika dirinya mencintai Demian. Ia merasa nyaman dengan kebersamaan mereka. Entahlah ... ia sendiri mulai tak tahu, apa yang dimaksudkan dengan cinta. Dirinya mulai meragukan semua rasa yang memenuhi bathin.
Almira tak ingin lagi berperang dengan bathinnya sendiri. Cepat-cepat ia membersihkan diri dan membereskan semua barang-barangnya. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar yang harusnya dapat menyalakan kembali api cinta di antara mereka. Ia tak ingin melihat dekorasi romantis itu dan menikmatinya seorang diri. Ia harus segera keluar, sebelum kewarasannya benar-benar direnggut paksa. Almira memutuskan pergi ke hotel lain yang jauh lebih murah untuk menenangkan diri dan berharap hatinya bisa menemukan kedamaian.
Beberapa menit telah berselang. Almira yang sudah tampak rapi memutuskan untuk memoles riasan yang agak tebal di wajahnya, guna menutupi wajahnya yang tampak begitu mengenaskan. Ia mengenakan gaun merah tanpa lengan yang memamerkan bahu mulusnya. Gaun yang tadinya ia pikir, akan digunakannya saat mereka makan malam di restoran hotel. Akan tetapi, semua itu hanya menjadi angan yang tak mungkin lagi terwujud.
Almira tersenyum menatap pantulan diri. Ia masih muda, jika kecantikan yang lelaki itu cari dari wanita lain, maka dirinya memiliki hal yang sama. Jika hasrat gairah, dirinya pun masih mampu merasakan semua itu. Ia telah melakukan semuanya dan selama pernikahan mereka, hanya mengabdilah yang ada di benaknya. Baru kali ini, ia ingin keluar dan menjauh dari semuanya tanpa memikirkan tentang pernikahan yang hampir karam.
Almira menenteng tas tangannya dan berjalan santai keluar dari kamar hotel. Ia turun ke lantai bawah, menggunakan lift, lalu segera check out dari hotel itu. Ia tak ingin teru-terusan di sana karna takut, Jennya akan menyusul. Sebelum pergi, Almira memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menyantap makan malam dengan suasana mewah di tempat itu. Harusnya, semua ini ia lakukan bersama Demian. Namun sayang, dirinya tak lagi dipedulikan, apalagi diinginkan. Ia hanyalah angin yang dapat dirasakan, namun tak terlihat.
Setelah memesan makanan, Almira mengarahkan pandangan keluar kaca besar di sampingnya. Kerlap-kerlip lampu jalanan terlihat bagai bintang-bintang kecil yang memukau. Harusnya, hari ini dirinya menikmati pemandangan indah itu bersama dengan Demian, bukan seorang diri. Almira tersenyum miris dan kembali mengarahkan wajah ke depan. Banyak mata lelaki menatapnya penuh minat, seakan menerka-nerka apa yang wanita sepertinya lakukan sendiri di dalam restoran. Mungkin, beberapa dari mereka menyangka dirinya w************n.
Almira tak peduli dengan pemikiran banyak orang tentangnya. Hatinya sudah cukup kacau dan ia harus memikirkan masa depannya. Harusnya, dirinya segera bekerja agar mandiri secara finansial dan tak bergantungan pada suaminya. Harusnya, ia tak terbuai dalam kenyamanan yang diberikan Demian padanya, membuatnya lupa, jika hari esok bisa saja berubah.
“Kau memutuskan bercerai?”
Suara itu terdengar dari bangku di belakang Almira. Almira menajamkan pendengarannya. Bukan bermaksud ingin tahu, mungkin saja pembicaraan wanita-wanita di belakangnya mampu membuka sedikit pikirannya akan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya.
“Untuk apa berdua tapi menderita, lebih baik sendiri dan bebas. Aku akan menciptakan kebahagiaanku sendiri, tanpa dia yang terus menyakiti hati.”
Almira mengangguk setuju mendengarkan perkataan wanita itu. Ya, harusnya ia bisa memutuskan hal yang sama. Lebih baik sendiri dan bahagia, daripada bersama, namun terluka. Dirinya masih muda, ia pasti bisa mendapatkan pekerjaan untuk menyokong hidupnya.
“Aku doakan yang terbaik. Untuk masalah keuangan bagaimana?”
“Aku bisa meminta uang kompensasi yang besar, lalu memulai usaha. Usiaku nggak muda lagi dan akan sulit mencari pekerjaan.”
Almira tersenyum tipis. Dirinya tak mau lagi menggunakan Demian untuk kebutuhan semata. Semua kesalahan ini terjadi karna ia merasa membutuhkan. Ia akan berusaha sendiri. Ya ... yang dirinya harus lakukan adalah menguatkan hati untuk pergi dari cinta yang menyakitkan itu. Dirinya tak mungkin terus-terusan memaksakan kebersamaan pada orang yang tak lagi peduli akan hati dan cintanya yang begitu besar. Dirinya harus belajar melepaskan.