Almira memutuskan untuk menghabiskan uang suaminya yang dulu sangat sayang ia hamburkan pada dirinya sendiri. Ia pikir, untuk apa menghabiskan banyak uang untuk sesuatu yang tak penting. Kini, ia mengerti, jika menikmati hidup dan mempercantik diri adalah hal yang wajib dilakukan seorang istri. Hari ini, ia menggunakan karttu debit yang disimpannya pada selipan dompat guna membeli kebutuhan dan juga membayar tagihan hotel untuk seminggu ke dapan. Demian tak mencari ataupun menghubunginya, lelaki itu seakan menikmati kebebasan yang Almira berikan. Almira sendiri menangis berhari-hari, mengunci diri dari dunia.
“Mau bayar dengan cara apa, Bu?” Si kasir tempatnya berbelanja menyadarkan lamunan Almira. Ia mengeluarkan kartu debet dan mengulurkan pada wanita berwajah manis di hadapannya. Melihat banyak wanita karir membuatnya berpikir, mungkin cara berpakaian ataupun pikirannya menjadi sempit karna tak pernah merasakan kehidupan kantoran.
Mungkin, semua itu pula yang membuat Demian berpaling darinya. Lelaki pasti lebih menyukai wanita dengan pikiran terbuka dan modis, tak seperti dirinya yang masih muda, namun berpakaian layaknya wanita berusia di atas kepala tiga. Semenjak lulus kuliah dan mendekam di rumah, ia melupakan banyak hal. Termasuk, cara merawat diri.
“Makasih,” ucap Almira begitu telah menyelesaikan transaksinya.
Almira berjalan berkeliling dengan tatapan dan pikiran kosong. Ia kesepian, walau berada di tengah keramaian. Bisingnya tempat itu pun tak mampu mengusir keheningan yang memenuhi kehidupannya. Kini, ia bagai robot tanpa hati, hanya bergerak sesuai dengan naluri, tanpa bisa merasakan apa pun. Mungkin, ini efek mendekam diri terlalu lama di kamar hotel dan menangis, namun Almira tak mampu lagi menemukan warna dalam hidupnya. Ia gagal untuk maju seperti niatnya di awal meninggalkan hotel di mana harapannya dipupuskan oleh lelaki itu.
Almira memutuskan untuk menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi yang berada di mall. Ia memesan segelas vanilla latte dan juga cinnamon cookies untuk menemani kesendiriannya. Almira menatap iri ke arah beberapa pasangan muda-mudi yang terlihat dimabuk cinta. Almira mengejek mereka dalam hati. Betapa bodohnya mereka, senaif dirinya dulu. Toh, kenyataannya cinta tak semudah itu dan tak ada yang namanya abadi, termasuk perasaan itu.
Ponsel Almira berbunyi, ia segera mengeluarkan benda pipih itu dengan terburu-buru, berharap Demian lah yang menguhubunginya. Mungkin, lelaki itu memintanya kembali dan mengemis cintanya. Ia akan berlagak sedikit jual mahal, walau hatinya bahagia. Ya, ia telah membayangkan banyak hal mustahil. Namun sayang, tak ada satupun dari pemikirannya yang menjadi nyata. Semenjak pergi dari rumah beberapa hari lalu, lelaki itu tak menampakkan batang hidup. Tak mau bersusah payah mencari atau sekadar bertanya kabar. Dirinya tak dianggap ada.
Nama Jenny yang tertera di sana membuat senyum Almira lenyap. Lagi-lagi, ia harus menelan pil kepahitan karna cintanya yang teramat besar untuk lelaki itu. Almira menjawab panggilan wanita itu, ia tak bermaksud menghindar dari Jenny dengan mengabaikan pesan maupun telpon lelaki itu selama tiga hari belakangan ini. Ia hanya butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya, tenggelam dalam tangis, dan mengusir bayangan menjijikkan yang terus-menerus diputar di dalam benaknya meski ia tak menginginkannya.
“Almira ....” terdengar teriakan dari seberang sana begitu Almira menjawab panggilan. Almira segera menjauhkan benda pipih itu dari telinganya yang ia yakin akan segera tuli jika berlama-lama menahan rasa sakit karna teriakan Jenny itu.
“Ya, aku bisa mendengarmu, Jen. Jangan takut, aku masih hidup dan baik-baik aja,” ucap Almira sembari tersenyum lirih.
Almira memang bersalah karna tak mengabari sahabatnya, akan tetapi dirinya hanya ingin menghilang sebentar. Menjauh dari kenyataan yang terus mengejar dan menyakitinya. Diirnya mencoba lari, walau memang sulit untuk dilakukan. Ia tak berani menonaktifkan ponsel dan masih berharap lelaki itu menghubunginya, namun ia tak bisa merespon panggilan dan juga pesan Jenny. Ia takut, tangisnya pecah dan ia tak ingin menceritakan aib suaminya pada sahabatnya. Setidaknya, tidak untuk saat ini. Dirinya belum siap.
“Aku akan segera gila karnamu, Mira! Kamu membuatku khawatir setengah mati.”
Almira dapat mendengar amarah dari suara sahabatnya. Ia hanya bisa tersenyum tipis. Nyatanya, dirinya pun hampir saja menjadi gila karna cinta. Tadi malam, saat ia sendiri dan merenung di kamar gelapnya, terbesit rencana gila yang memenuhi benaknya.
Di atas meja sana, pisau yang digunakannya untuk mengupas buah seakan memanggil-manggil dan minta dipertemukan dengan urat nadinya. Jika saja, ia tak mengingat keluarganya, maka ia tak ‘kan berada di sini, menikmati sepi dalam keramaian.
“Maaf ... aku ada urusan mendadak dan nggak sempat memberitahumu kepergianku.”
Terdengar tawa mengejek dari seberang sana. “Urusan? Jangan mendadak sok sibuk.” Almira dapat mendengar helaan napas gusar sahabatnya, “aku mencari sampai ke rumahmu, tapi Demian bilang dia nggak tahu kamu ada di mana dengan santainya. Apa yang terjadi pada kalian? Kalian bertengkar? Ya Tuhan, Mira ... kamu nggak perlu kabur dari rumah hanya karna pertengkaran di antara suami istri. Pertengkaran biasa terjadi.”
Almira menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, mencegah air mata yang memberontak untuk segera dikeluarkan. Kenyataan di mana lelaki itu tak peduli padanya, membuat lukanya menganga semakin besar. Hatinya yang telah hancur berantakkan pun semakin tak berbentuk. Sungguh, tak bisakah lelaki itu mencintainya seperti dulu lagi?
Andai saja permasalahan di antara mereka semudah pertengkaran antar suami istri yang terjadi karna hal kecil dan normal. Nyatanya, apa yang dilihatnya hari itu membuatnya tak bisa mengobati luka hatinya. Bukan karna sikap tak acuh, namun kini Almira mengetahui fakta ia tak diinginkan karna memang hati lelaki itu tak ada lagi padanya.
“Kami baik-baik aja, Jen. Aku ada urusan mendadak, aku akan segera pulang.”
Jenny menghela napas kasar. “Kamu pasti belum tahu,” ucap Jenny ragu, “Demian dirawat di rumah sakit. Hari ini aku ke kantornya dengan maksud ingin menannyakan tentangmu, tapi resepsionisnya bilang dia dirawat.”
Almira tak mampu mencegah rasa khawatir dan juga ketakutan yang tak malu-malu merasuki hatinya yang terluka. Harusnya ia tak perlu merasa seperti ini. Toh, lelaki itu tak lagi memperdulikannya, akan tetapi, Almira tak bisa membohongi hati. Ia mencintai lelaki itu dan mendengar kabar buruk tentang suaminya membuatnya tak tenang. Almira segera berdiri, menyambar tas-tas belanjaannya, dan berjalan keluar dari kedai kopi itu.
“Kamu tahu dia dirawat di mana?”
Ada jeda sebelum Jenny menjawab, “Jadi ... kalian beneran berantem besar?”
“Katakan padaku, Jen. Dimana Mas Demian dirawat!” Almira bertanya sedikit membentak, otak dan hatinya tak bisa diajak bekerjasama. Rasa khawatir telah mendominasi, membuatnya mencemaskan suaminya. Ingin segera bertemu dan merawat lelaki itu.
“Maaf, Jenny. Aku nggak bermaksud membentakmu,” ucap Almira lirih saat tak menerima respon apa pun dari Jenny. Ia merasa begitu bersalah.
“Ya, Mira. Aku paham, kamu pasti khawatir,” ucapan Jenny membuat Almira merasa lega. Jenny memberitahukan nama rumah sakit dan juga kamar rawat inap lelaki itu. Almira semakin melebarkan langkahnya, ia mengucapkan terimakasih pada Jenny, lalu menutup panggilan. Ia segera berlari menuju parkiran mobil.
Dalam hati, Almira terus mendoakan keselamatan suaminya. Jenny bilang, lelaki itu dirawat karna mengalami kecelakaan mobil. Lelaki itu menabrak sebuah pohon dan harus diwarat karna mengalami patah tulanh. Berulang kali Almira merutuk sikap egoisnya yang berusaha lari dari kenyataan dan meninggalkan lelaki yang seharusnya dilayani dan dijaganya dengan baik. Walau memang lelaki itu melakukan kesalahan fatal, namun tak seharusnya Almira melakukan kesalahan yang sama dengan mengabaikan lelaki itu.
Maafkan aku, Mas. Aku harap kamu baik-baik aja.