Pergi Terasa Sulit

1126 Kata
Bau obat menyeruak dan memenuhi indera penciuman. Orang berlalu lalang tak lagi diperhatikan Almira. Benak dan fokusnya hanya tertuju pada seseorang, Demian. Ia semakin mempercepat langkahnya, tak sabar ingin segera menemui Demian. Ingin rasanya ia membenci karna apa yang telah lelaki itu lakukan padanya, namun tak bisa. Ingin tak peduli dan pergi jauh, namun hati tak mampu. Segila inikah cinta? Separah itukah tahapnya mencintai? Almira membuka pintu dan menemukan Demian tengah membaringkan tubuh sembari menatap kosong langit-langit kamar. Lelaki itu menoleh ke arahnya saat mendengar pintu yang terbuka. Tiba-tiba saja bayangan lelaki itu b******u mesra dengan wanita di hadapannya kembali memenuhi benak Almira, menyiksa bathinnya, menyesakkan d**a. Almira kembali meragu, tak ingin kembali mendekat dan menyiksa hatinya kembali. Ia terpaku di ambang pintu dan menatap nanar lelaki yang kini tersenyum lirih ke arahnya, seolah tak ada luka yang lelaki itu torehkan pada hatinya. Seperti semuanya baik-baik saja. Almira telah mencoba lupa, namun semakin mencoba, maka dirinya semakin mengingat pengkhianatan lelaki itu yang telah menghancurkan dunianya. Ingin pura-pura tak tahu dan berharap semuanya baik-baik saja, akan tetapi, saat melihat wajah Demian, hatinya seakan ditikam pisau, sakit bukan main. Melihat lelaki itu hari ini pun membuatnya yakin, jika luka di hati tak dapat disembuhkan begitu saja. Masih ada cinta di sana, akan tetapi takut telah menyelimutinya. Ketakutan akan pengkhianatan yang akan berulang. “Mira ... akhirnya, kamu kembali,” ucap lelaki itu lirih, menyayat hati Almira. Wanita itu memaksakan langkah mendekat pada Demian, ragu tak mau pergi, namun kaki bergerak secara otomatis, seakan tahu bahwa lelaki itu lah tujuannya. Ia ingin memasang wajah dingin, namun gagal, karna iba dan juga khawatir mendominasi hatinya. Almira pikir, setelah menangis dan menghabiskan waktu dengan memikirkan akan dibawa ke mana masa depan pernikahan mereka, dirinya sudah sanggup menghadapi Demian. Akan tetapi, pemikirannya salah. Melihat kesenduan pada sepasang mata lelaki itu seakan mampu merobohkan tembok perlindungan yang telah ia bangun dengan susah payah. Hatinya memang terlalu lemah, begitu rapu, hingga mudah goyah. Dirinya tak tahu lagi, adakah cinta yang tersisa. Yang ia tahu, dirinya tak sanggup melihat lelaki itu terluka seperti sekarang. “Kenapa kamu bisa begini, Mas? Apa kamu menyetir dalam keadaan mabuk?” tanya Almira begitu berdiri di samping ranjang yang ditempati oleh Demian. Ia menatap sekujur tubuh lelaki itu dengan tatapan meneliti, mencoba mencari tahu seberapa parah luka lelaki itu. Demian menggeleng lemah, lalu menarik tangan Almira dan menggenggamnya. Lelaki itu menatap ke dalam manik mata Almira. “Aku merindukanmu, bayanganmu hadir dan membuatku sadar, jika aku nggak bisa hidup tanpamu. Maukah kamu kembali ke rumah?” Lama Almira mengamati wajah lelaki itu. Apa benar lelaki itu merindukannya? Padahal, lelaki itu tak menanggapi dan tak acuh saat Jenny mencarinya. Apa yang kini terlihat di hadapannya adalah kebenaran atau hanya kepura-puraaan belaka? Kini, Almira tak mampu lagi menaruh rasa percayanya pada lelaki itu. Ia takut akan kembali terkhianati kembali. “Anisa sudah bilang, kalau kamu sempat mampir ke kantorku,” ucap lelaki itu menyadarkan Almira dari keterpakuannya, “kamu pasti melihat apa yang terjadi di sana?” Almira mengigit kuat bibir bawah, mencegah air yang memberontak untuk segera dikeluarkan. Ia pikir, ia bisa melupakan semua yang ada di otaknya, membuang semua bayangan menjijikkan itu dan kembali pada Demian, akan tetapi bayangan itu tak mau pergi. Jika memang Demian telah tahu dirinya mengetahui apa yang lelaki itu lakukan di belakangnya, mengapa Demian tak pergi mencarinya? Mengapa malah mengabaikannya dan terlihat menikmati kebebasannya selama beberapa hari ini? Bisakah ia mempercayai lelaki itu kembali? “Apa kamu mencintainya?” tanya Almira dengan suara tercekat. Hatinya pedih bukan main. Sungguh, rasanya seperti menikam jantung sendiri dengan pisau, seakan mati. Jika memang tak ada lagi rasa tersisa di dalam rumah tangganya, Almira akan mencoba menerima fakta itu. Mungkin memang dirinya yang terlalu lemah, hingga tak bisa mempertahankan apa yang telah mereka bangun dengan susah payah. Almira tak lagi mau memaksa dan kembali membunuh hatinya yang rapuh. Jika memang tak ada lagi cinta, untuk apa ia mempertahankan hal yang mustahil untuk tetap bersama dengan lelaki itu, bukan? Demian menggeleng. “Itu hanya hubungan fisik semata, Mira. Aku nggak pernah mempunyai perasaan apa pun padanya. Aku hanya kasihan padanya, Mira. Hidupnya tragis dan aku hanya berusaha menenangkannya. Siapa sangka, hubungan kami malah semakin dalam,” ucap Demian lirih, “aku memang bodoh saat bermain dengannya. Nggak seharusnya aku bermain api,” lanjut Demian sembari memukuli kepalanya. Air mata lelaki itu mengalir. Ingin rasanya, Almira membiarkan lelaki itu terus memukul kepalanya sendiri, karna apa yang hatinya rasakan pasti tak sebanding dengan apa yang telah lelaki itu lakukan pada dirinya sendiri. Namun sayang, bathin Almira tak sanggup. Ia mencegah tangan lelaki itu untuk terus memukuli dirinya sendiri, air matanya ikut jatuh. “Kamu pikir, bercinta dengannya tanpa perasaan bisa membenarkan tindakanmu?” Air mata Demian mengalir semakin deras, dengan cepat ia menggeleng keras. “Tentu saja nggak, Mira. Aku khilaf, aku mohon beri aku kesempatan lagi,” ucap Demian, “hanya kamu yang ada di hatiku. Aku mencintaimu dan kamu tahu itu, kan?” Lelaki itu menatap Almira memohon. Lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya, berharap Almira luluh. Aku nggak tahu, jawabnya dalam hati. Ia tak tahu lagi apa artinya cinta yang selama ini ia banggakan. Kepercayaannya akan cinta telah hancur berkeping-keping dan ia tak tahu sampai kapan lukanya akan menganga lebar. Jawaban lelaki itu tak sedikit pun menghiburnya. Apa hanya karna hubungan fisik semata, itu dapat membenarkan perlakuan lelaki itu? Apakah dosa dari hubungan fisik jauh lebih kecil dibandingkan turut memberikan hati lelaki itu pada Si wanita lain yang hadir dalam hubungan rumah tangga keduanya? Konyol sekali cara lelaki itu berpikir. “Itu hanya kesahalan bodoh saja, Mira. Hubungan kami sudah berakhir dan dia sudah nggak bekerja lagi di firma hukumku. Aku mohon, maafkan aku,” ucap Demian sembari menempatkan tangan Almira pada wajahnya, air mata lelaki itu jatuh semakin deras. Hati Almira melemah melihat pemandangan di hadapannya. Semenjak mengenal lelaki itu, tak pernah sekalipun ia melihat lelaki itu meneteskan air mata, namun kini dirinya menangis begitu derasnya hanya untuk dirinya. Almira tersenyum dan mengusap air mata suaminya. Ia mengecup kening lelaki itu penuh kasih. Mungkin lelaki itu akan berubah. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, jika ia masih begitu mencintai lelaki itu. Walau kini kepercayaannya telah runtuh dan cinta terasa menyakitkan, namun ia ingin mencoba kembali, memberikan hatinya yang telah hancur dan berharap lelaki itu tak kembali mematahkan hatinya yang tak lagi berbentuk. Ia akan memberikan kesempatan untuk lelaki itu. “Aku memaafkanmu, Mas.” “Makasih, Mira. Makasih, Sayang.” Lelaki itu menarik tubuh Almira dan memeluknya. Isak tangis lelaki itu mengiris kalbu Almira. Mungkin memang lelaki itu hanya membutuhkan suasana baru, hingga berpaling darinya. Mungkin saja, hubungan fisik memang hanya sebatas ketetarikan dan menghangatkan tubuh, namun tak ‘kan mampu menghapus cinta yang dulu terasa menggebu-gebu di hatinya. Setiap orang wajib diberikan kesempatan kedua, bukan? Lagipula, Demian adalah satu-satunya dunia yang Almira tahu dan dirinya tak sanggup pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN