'Big Rep. 1'
Hello... Welcome to ‘Big Reputation’.
Hope you like and enjoy it. X author
Happy Reading . . .
***
Kilatan flashlight langsung menyerbu seorang wanita yang baru saja keluar dari kantor label musik miliknya.
"Alison, bagaimana bisa anda melakukan penipuan seperti ini?"
"Dimanakah keberedaan Theo, Alison?"
"Bagaimana perasaan anda disebut sebagai wanita manipulatif?"
Namun saat Alison sedang dicecar pertanyaan-pertanyaan seperti itu, ia hanya bisa menundukkan kepala dan terus mempercepat langkah di jalan yang sudah dibuka oleh bodyguard-bodyguard pribadinya, yang juga melindungi wanita itu dari serangan Paparazi yang sedang mengerubungi dirinya.
Itulah Alison Ruby Quinn, seorang pop star yang sudah berkarir di dunia musik selama 10 tahun lamanya.
Bukanlah hal yang asing lagi jika setiap publik figur sepertinya dikejar-kejar oleh Paparazi seperti itu. Tetapi, kali ini bukanlah hal yang biasa untuk Alison.
Ia harus menghadapi kenyataan kalau dirinya sudah ditipu oleh tunangannya sendiri yang membuat reputasi besar dan kreadibilitas yang sudah ia bangun selama 10 tahun lamanya langsung hancur dengan seketika.
Ia dijadikan kambing hitam hingga membuat penyanyi-penyanyi baru yang bekerja sama pada label musiknya merasa tertipu dan termanipulasi.
Dengan alasan kontrak label yang begitu dibuat-buat, hasil dari perform yang belum juga dibayarkan kepada penyanyi, hingga bayaran yang tidak sesuai dengan kontrak membuat banyaknya layangan gugatan kepada label itu.
Dan satu kesalahan terbodohnya adalah, ia membangun label musik itu bersama Theodore Hardin. Tunangan Alison yang dengan tega meninggalkannya disaat wanita itu sedang diserang dari berbagai pihak dan memilih untuk angkat tangan atas permasalahan yang sudah pria itu buat.
Saat mobil miliknya sudah terparkir di depannya, Alison pun semakin mempercepat langkahnya hingga sampai ke dalam mobil miliknya.
"Apartement," ujar Alison yang menyuruh sang supir untuk mengantar ke apartement miliknya.
Setelah mobilnya berjalan, wanita itu langsung bisa bernafas dengan lega setelah menghadapi kekisruhan yang Paparazi lakukan kepadanya.
Lalu Alison mengambil ponsel dari dalam tas dan langsung mengubungi nomor tujuan yang berada di deretan teratas daftar panggilan teleponnya.
Ini akan menjadi yang ke tiga puluh kalinya jika sekali lagi Theo tidak mengangkat panggilan Alison. Dan setelah Alison menekan ikon telepon pada layar ponsel, nada ponsel yang tidak aktif langsung menyambut pendengaran Alison.
Dengan sangat kesal wanita itu langsung melempar ponselnya ke sembarang arah hingga menimbulkan suara benturan yang cukup kencang.
"Sepertinya ada yang sedang membututi kita, Nona." ucap Albert, sang supir kepada Alison.
Wanita itu pun langsung menengokkan kepala ke belakang dan melihat dari kaca belakang mobil jika benar ada beberapa mobil yang sedang mengikutinya.
"Sh*t!" umpatnya. "Arah tanpa tujuan," sambung Alison kepada sang supir.
Wanita itu benar-benar harus putar otak bagaimana caranya agar ia harus menghilang dari kejaran-kejaran itu. Bukannya ia ingin melepas tanggung jawab atas masalah yang sedang menimpanya, justru ia sedang memikirkan semua jalan keluar dengan pihak pengacaranya.
Yang menjadi rumit di sini adalah para korban yang begitu tidak sabar menunggu solusi yang sedang Alison usahakan dan terus menerus memanaskan situasi dengan cara memberikan pernyataan-pernyataan di media sosial maupun kepada Paparazi yang justru semakin menyudutkan posisi Alison.
Lalu Alison terus melamun dan memandang kosong ke arah luar jendela mobil. Jika ia tidak memiliki akal sehat mungkin saja saat ini ia sudah memilih satu-satunya jalan keluar yang hanya bisa membebaskannya dari semua masalah itu, yaitu dengan cara bunuh diri.
Tetapi nyatanya ia masih memiliki akal sehat dan tidak ingin menyia-nyiakan hidup hanya untuk menyesali perbuatan mantan tunangan brengseknya itu.
Albert menghentikan mobilnya di saat jalanan yang mereka lewati begitu sepi dan jarang ada kendaraan lain yang melintas.
"Nona, apakah anda sudah mengetahui tujuan anda?" ujar Albert sambil memutar tubuhnya ke kursi belakang dan membangunkan Alison yang ternyata jatuh tertidur.
"Dimanakah kita?" tanya Alison sambil meregangkan otot dan menegakkan tubuhnya.
"Kita berada di bagian selatan kota, Nona."
Alison pun terkejut mengetahui jika ia sudah begitu jauh pergi dari kota tempat tinggalnya. Dan ia juga baru menyadari jika ternyata hari pun juga sudah malam.
"Albert, apakah kau percaya kepadaku?"
"Maksud anda, Nona?"
"Aku begitu lelah dengan semua masalahku belakangan ini. Apakah kau percaya dengan semua omong kosong yang sedang memberitakan hal-hal sampah tentang diriku?"
"Saya sudah bekerja dengan anda sejak anda masih berada di dalam kandungan, Nona. Keluarga anda sudah menganggap saya sebagai keluarga sendiri. Saya lebih mengenal anda dan keluarga anda dari pada orang-orang di luar sana yang sedang begitu sibuknya mencari-cari kekurangan anda. Jadi, saya rasa anda sudah tahu jawaban dari pertanyaan anda tadi."
Sudah berpuluh-puluh tahun pria itu mengabdi pada keluarga Alison. Dari usia pria itu yang masih muda, hingga kini di usianya yang sudah menginjak setengah abad, pria itu masih setia bekerja untuknya. Membuat Alison begitu respect kepada Albert yang juga sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.
"Albert, apakah kau memiliki kampung halaman?"
"Tentu. Saya hanyalah pendatang di kota ini. Dan kampung halaman saya berada di salah satu pedesaan kecil di sudut barat kota."
"Apakah di sana suasananya masih begitu menenangkan?"
"Tentu, Nona. Udara di sana masih terasa begitu segar dan banyak pepohonan yang masih mengisi sisi-sisi jalanan membuat suasana di sana terasa begitu nyaman."
"Bisakah kau mengantarkanku ke sana?"
"Untuk apa, Nona?"
"Kau bisa untuk dipercaya, bukan?"
***
Keesokan harinya, Alison sudah mempersiapkan dirinya untuk mengakhiri hidupnya. Mengakhiri hidup versi Alison Ruby Quinn.
Itu semua karena ia sudah begitu lelah dengan drama yang sedang ia hadapi. Maka dari itu ia lebih memilih untuk menghilangkan dirinya dari kejahatan publik yang sedang menyerangnya.
"Selamat pagi, Nona." sapa Albert saat Alison sedang memasuki mobil.
"Selamat pagi, Albert. Apakah semua barang-barangku sudah kau masukkan?" tanya Alison sambil memakai safety belt-nya.
"Semuanya sudah ada di bagasi, Nona." jawab Albert sambil mulai menjalankan mobil.
"Great! Dan apakah kau sudah memeriksa rekeningmu pagi ini?"
"Untuk apa semua itu, Nona?"
"Untuk membahagianmu dan keluargamu,"
"Tetapi jumlahnya begitu banyak, Nona. Rasanya seperti saya bisa membeli sebuah rumah yang cukup besar di kampung saya."
"Kalau begitu pakailah untuk membeli rumah. Mudah, bukan?"
"Saya tidak pantas menerimanya, Nona."
"Anggap saja sebagai hadiah atas loyalitasmu karena sudah berpuluh-puluh tahun bekerja pada keluargaku, Albert."
"Bagaimana bisa mereka menilai anda seredah itu, Nona? Tidakkah yang menghina anda pernah mengingat dengan semua kebaikan yang pernah dulu anda berikan?"
"Biarkan saja. Selama mereka masih memiliki suara untuk berbicara, biarlah itu menjadi kebanggaan akan mereka."
"Lalu bagaimana dengan orangtua anda?"
"Itu tugasmu untuk membantuku meyakinkan mereka, Albert. Terkadang mereka begitu protektif kepada anak satu-satunya ini."
"Anda yakin dengan rencana ini, Nona? Karena sepertinya sudah ada yang menjadi penggemar anda di belakang sana."
Alison pun mengengokkan kepala dan melihat dari kaca belakang jika terdapat mobil-mobil yang sama seperti mobil yang membututinya kemarin terlihat dari plat nomor mobil tersebut.
"Sangat!" jawab Alison sambil tersenyum penuh arti.
***
To be continued . . .