Amanda menemui adiknya, Nick Roose, di rumahnya untuk meminta pendapat tentang pembacaan nota pembelaan jika persidangan putusan nanti memenangkan pihak Roosevelt Corp. Nick adalah mahasiswa jurusan Ilmu Hukum di Universitas Zeeskatania, dan baru saja lulus dari pendidikannya. Sama seperti perjalanan Joseph dan juga Amanda, Nick termasuk mahasiswa yang sangat pintar selama menjalani kuliahnya.
Nick menjelaskan pada Amanda tata cara pembacaan nota pembelaan terhadap Sean jika hakim memvonisnya bersalah.
“Kamu harus menulisnya, atau mengetiknya juga boleh,” ujar Nick.
“Coba kamu yang buat nota itu.”
“Oke.” Nick menanggukkan kepalanya. “Lagian, kenapa ayah bersikap semena-mena seperti ini?”
“Aku juga tidak tau,” jawab Amanda dengan suaranya yang mengecil.
“Tapi, Sean baik-baik saja, ‘kan?”
“Dia belum menghubungiku, kemungkinan ia akan baik-baik saja, karena Clair bersamanya.”
“Siapa Clair? Pacar baru Sean?” Nick mengejek Amanda yang ia tahu bahwa kakaknya sudah lama menyukai Sean.
“Ck, bukan, dia rekan kerjaku juga,” Amanda mengecak lidah menjawab pertanyaan Nick, “sudah cepat selesaikan nota itu, biar aku bisa memberinya ke Sean,” lanjutnya.
Nick melanjutkan untuk mengetik nota pembelaan di dalam laptopnya. Sementara Amanda hanya termenung mendengar apa yang diucapkan oleh Nick sebelumnya. Ia memikirkan tentang Sean dan Clair yang dilihatnya semakin dekat satu sama lainnya, terlebih saat kemarin Amanda meninggalkannya berdua di ruang kerja Sean. Perasaan Amanda seperti tidak tenang mengingat Sean yang pernah bercerita tentang Clair kepadanya. Semenjak kedatangan Clair di SEMA Capital, Sean selalu mendukung pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh Clair. Ia juga masih ingat tentang kejadian di kedai kopi, saat Amanda menemui Clair yang sedang menangis di langsan, hingga Sean yang membukakan pintu mobil untuk Clair.
Rasa cemburu Amanda terlintas kembali di antara pikirannya. Amanda memang sudah lama mengagumi Sean, namun ia tidak pernah punya keberanian untuk mengatakan itu padanya.
“Apa benar itu akan kejadian?” Amanda bergurau pada dirinya sendiri.
Nick menoleh ke arah Amanda, “Hah? Kejadian apa?”
“Hah?” Amanda kebingungan mendengar pertanyaan Nick yang mendengarnya sedang bergurau, “Apa yang apa?”
“Kakak tadi ngomong, ‘blah blah blah’, aku mendengar itu,” Nick mencoba menirukan suara Amanda, “Kejadian apa?”
“Enggak, kok,” Amanda menjawab dengan nada halus.
“Nih, sudah selesai,” Nick memberikan selembar kertas kepada Amanda.
“Terima kasih adikku tercinta,” ujar Amanda dengan nada sedikit merayu.
“Jijik, ih.” Nick berlajan meninggalkan Amanda.
*
Setelah mengetahui kejadian yang menimpa Dylan, Clair sangat merasakan beban dalam dirinya. Clair harus mencari cara lain menyampaikan kesaksiannya di pengadilan untuk memenangkan Sean dalam kasus ini. Namun, ia juga tidak bisa memberikan kesaksian-kesaksian yang menyudutkan pihak Roosevelt Corp.
Clair berjalan bolak-balik di dalam ruang kerjanya. “Bagaimana ini? Aku harus melakukan apa?” Clair mengambil handphonenya yang tergeletak di atas meja. “Aku harus menelepon Kak Amanda.”
Clair menyilangkan tangannya, menunggu jawaban telepon dari Amanda yang masih berdering.
“Halo, Clair,” ujar Amanda menjawab panggilan telepon Clair.
“Halo, Kak Amanda. Kamu di mana sekarang?” tanya Clair
“Aku sedang berada di rumahku, Clair. Bagaimana persidangan tadi?”
“Semuanya berjalan lancar.” Clair mengecilkan suaranya. “Hanya saja...”
“Kenapa, Clair?” tanya Amanda.
“A ... aku ....” Clair merasa bingung menjelaskan kepada Amanda tentang Dylan yang seharusnya berada di persidangan hari itu.
Clair menghela napas panjang. “Aku butuh orang lain untuk menjadi saksi.”
“Kamu mau bertemu dengan aku dan adikku?” tanya Amanda. “Aku akan mengirimkan alamat rumahku sekarang,” lanjutnya.
“Baiklah.” Clair melihat notifikasi pesan dari Amanda. “Aku sudah membaca alamatnya, aku ke sana sekarang, ya?”
“Oke, Clair.”
Clair mengakhiri panggilan telepon dengan Amanda. Ia melirik ke arah meja kerjanya sambil merapihkan beberapa barang yang berserakan di meja kerjanya. “Kok, berantakan banget mejaku?”
Clair menghampiri ruang kerja Sean yang terlihat kosong. Pikirnya, ia akan mengajak Sean untuk menemui Amanda dan meminta pendapatnya, mempersiapkan sidang kedua yang akan berlangsung satu minggu lagi. Namun mendapati ruang kerja Sean yang kosong, Clair sedikit cemberut. Setidaknya, Clair ingin menghabiskan waktu bersama Sean, melewati setiap momen yang sedang ia rasakan.
**
Clair baru saja tiba, mobilnya berhenti persis di depan rumah Amanda Roose yang terlihat sangat megah dari luar. Clair mengirimi pesan singkat ke Amanda, memberinya kabar untuk menjemputnya di depan rumah. Di sela-sela menunggu Amanda, Clair tertegun melihat sekeliling rumah Amanda dari dalam mobilnya. “Wah, mewah banget rumah Kak Amanda.”
Amanda mengetuk kaca pintu mobil Clair. “Clair, mobilmu dipakirkan saja di garasi.”
Clair menurunkan kaca mobilnya. “Iya. Kamu naik saja ke mobilku.” Clair membukakan pintu untuk Amanda.
Mereka berdua turun dari mobil setelah memarkirkannya di garasi. Clair berjalan di samping Amanda untuk menuju ke ruang tamu, dan menunggu Amanda yang akan mempersiapkan berkas-berkas penelitiannya terlebih dahulu.
“Tunggu sebentar ya, Clair.” Amanda berlari ke dalam kamarnya.
Clair mengangguk. “Iya.”
Terdengar suara langkah kaki yang menuruni anak tangga dari lantai dua rumah itu. Ia adalah Nick Roose. Clair baru sempat bertemu dengan Nick, meskipun Amanda sudah beberapa kali menceritakan tentang adiknya itu kepada Amanda.
“Kamu pasti Clair De Lune.” Nick menyodorkan tangannya kepada Clair.
Clair berdiri menjabat tangan Nick. “Dan kamu pasti Nick Roose.”
Nick mempersilahkan Clair duduk kembali. “Bagaimana persidangan tadi pagi?” tanya Nick.
“Aku butuh banyak saran darimu sepertinya.”
“Sebenarnya, Amanda sudah memintaku membuat nota pembelaan untuk Sean.” Nick menoleh ke arah kamar Amanda yang tidak jauh dari ruang tamu. “Maaf ya, Clair, Amanda memang sangat lama kalau sedang dandan.”
Clair hanya tertawa kecil. “Iya, tidak apa-apa.”
“Terus, pendapatmu bagaimana?” tanya Clair.
Nick menghela napas panjang. “Pertama, biarkan pengacara dari pihak Roosevelt menyampaikan pernyataan yang menyangkal bukti yang sudah kalian siapkan.”
Nick mengeluarkan sebuah kertas dan menuliskan alur yang kemungkinan terjadi di persidangan nanti. “Nah, yang kedua, ketika pengacara Sean menyampaikan keberatan, hakim persidangan akan menunjukmu untuk berbicara,” lanjut Nick.
“Terus, aku harus melakukan apa?” tanya Clair.
Nick melihat ke arah Clair. “Kunci dari persidangan ini adalah kamu. Amanda bilang padaku, kamu menemukan bukti transaksi palsu itu, ‘kan?”
Clair menganggukkan kepalanya.
“Kamu akan menjelaskan tentang transaksi palsu itu. Selebihnya, biar pengacara Sean yang menyelesaikan.” Nick mengecak lidahnya dan mengedipkan satu matanya.
“Itu doang?” tanya Clair yang keheranan.
“Iya. Percaya saja padaku.”
Amanda baru saja keluar dari kamarnya, menenteng banyak klip berisikan lembaran kertas. Ia meminta Nick untuk membantu membawakannya ke meja ruang tamu.
Nick menaruh tumpukan kertas itu di meja. “Banyak banget, ini apa?” tanya Nick.
“Ini laporan yang sudah kubuat dari hari kemarin.” Amanda menarik kursi di sebelah Clair.
“Ini mau kita bawa ke pengadilan?” tanya Clair.
“Tidak, aku membuat ini untuk Nick.” Amanda menyerahkan beberapa kertas itu untuk Nick.
Nick menunjuk ke arah dirinya. “Aku?” tanyanya.
“Iya, aku mendaftarkanmu sebagai saksi untuk persidangan selanjutnya.”
Clair dan Nick terkejut mendengar ucapan Amanda. “Hah?” tanya mereka bersamaan.
“Aku kan baru beberapa bulan lulus,” ujar Nick. “Aku juga belum begitu paham tentang —”
“Aku tau kamu sanggup,” kata Amanda cepat.
Nick dan Clair saling bertatapan. Ia membaca laporan-laporan yang Amanda buat untuknya sebagai persiapan mengikuti tim pengacara Sean lainnya. Nick hanya menggelengkan kepalanya, melihat Amanda yang begitu sangat memercayai dirinya.
Tidak ada kabar kemana Sean setelah persidangan pagi itu. Clair dan Amanda saling bertanya tentang keberadaan Sean saat itu. Clair memberitahu Amanda, ia tidak mendapati Sean di ruang kerjanya, juga di gedung kantor SEMA sebelumnya. Mereka berpikiran kalau Sean langsung pulang menuju apartemennya setelah mengikuti persidangan.
Hari itu, mereka bertiga menyelesaikan rencana-rencana yang akan digunakan untuk memenangkan sidang putusan. Tidak hanya Amanda, Clair juga mulai menjelaskan tentang pemalsuan transaksi itu kepada Nick. Sedikit demi sedikit, pikiran Nick mulai mengerucut dan menemukan motif yang dilakukan perusahaan ayahnya. Rasanya sangat tidak dapat dipercaya. Nick mempertanyakan kepada dirinya sendiri tentang Joseph Roose, mengapa perusahaan ayahnya dengan sengaja menciptakan sebuah transaksi palsu lalu menuduh perusahaan SEMA sebagai perusahaan yang membuat kerugian di Roosevelt Corp.
***
Satu minggu sudah berlalu, sudah begitu banyak persiapan yang dilakukan oleh Clair, Amanda, dan juga adiknya, Nick Roose. Sidang terakhir sebagai sidang putusan perkara, akan dimulai beberapa jam lagi. Clair mengendarai mobilnya untuk berangkat dari rumahnya di Buitenkatania menuju Pengadilan Tinggi Hukum Zeeskatania. Begitu juga Amanda dan Nick yang sedang dalam perjalanan menuju kantor SEMA terlebih dahulu, lalu menyusul ke tempat persidangan akan berlangsung.
Sudah satu minggu juga, belum ada kabar yang mereka terima dari Sean tentang keberadaannya. Clair yang baru saja tiba di gedung pengadilan, mulai panik dan menelepon Sean berkali-kali. Tetap tidak ada jawaban dari Sean. Clair menyusuri parkiran kendaraan untuk mencari mobil Sean.
Rombongan tim pengacara Roosevelt baru tiba di sana. Joseph Roose keluar dari mobilnya yang berhenti tepat di depan Clair. Joseph berjalan ke arah Clair yang melihatnya dari kejauhan. “Sudah siap menghadapi sidang putusan terakhir, Clair?” tanya Joseph Roose.
Clair melihat sinis ke arah Joseph. “Siap atau tidak, itu bukan urusanmu,” jawab Clair ketus.
Joseph tertawa mendengar perkataan Clair.
“Lihat, begitu yakin sekali anak muda ini.” Para pengacara Joseph ikut menertawakan Clair.
“Ya, kami sangat yakin untuk mengalahkanmu di persidangan ini, Joseph.” Sean tiba-tiba saja muncul lalu berjalan ke arah Clair dan menggenggam tangannya.
Joseph memerhatikan keduanya yang saling menggenggam tangan. “Sampai jumpa di dalam ruang persidangan.” Joseph dan timnya berjalan meninggalkan Sean dan Clair.
Clair tertegun melihat ke arah Sean yang baru saja tiba, setelah menghilang tanpa kabar sebelumnya.
“Ya ampun, kamu dari mana saja?” tanya Clair kepada Sean yang sedang menggenggam tanganya. “Satu minggu aku menunggu kabarmu.”
“Maaf, saya tidak memberimu kabar, Clair.”
“Aku benar-benar mengkhawatirkanmu, Sean.”
Sean memeluk Clair yang masih terlihat sangat khawatir. “Maaf sudah membuatmu begitu khawatir, Clair. Saya meninggalkan Zeeskatania untuk mempersiapkan hari ini.”
“Untuk apa? Aku juga ada di sini untuk membantumu, ‘kan.” Clair membalas pelukan Sean. “Kamu tidak menganggapku ada, ya?” tanya Clair
Sean melepaskan pelukannya. “Bukan. Bukan seperti itu....”
Mata Clair mulai berkaca-kaca. “Lalu apa?” tanya Clair dengan nada halus menahan tangis.
“Saya mencintaimu, tidak mungkin saya tidak menganggap keberadaanmu.” Sean membelai halus pipi Clair. “Hanya saja, saya membutuhkan waktu untuk mempersiapkan sendiri dalam beberapa hal.”
Clair tersenyum menganggukan kepalanya perlahan. “Aku mengerti. Ya sudah, yang penting kamu di sini sekarang.”
Clair meraih tangan Sean dan mengajaknya untuk segera memasuki ruangan persidangan. “Amanda sudah menunggumu di dalam.”
Sean dan juga Clair melangkahkan kakinya dari tempat itu. Mereka melihat banyak wartawan yang juga akan memasuki ruangan, karena sidang kali ini adalah sidang terbuka untuk umum, berbeda dengan sidang pertama yang tertutup.
Di dalam ruang persidangan, Amanda Roose sudah duduk di sebelah Nick Roose di kursi tunggu. Amanda menoleh ke arah pintu masuk, melihat Sean dan juga Clair yang saling menggenggam tangan memasuki ruangan itu. Amanda Roose hanya terdiam dalam duduknya tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Hatinya serasa hancur saat melihatnya. Ia tertunduk menahan air mata yang sudah mulai membasahi kedua pipinya.
Nick mendapati Amanda yang sedang tertunduk menangis. “Kamu kenapa menangis, Kak?” tanya Nick. Nick lalu mendekap Amanda dalam pundaknya.
Amanda mengusap air mata di kedua pipinya. “Tidak apa-apa, aku hanya merasa sedih karena ayah sejahat ini padaku.”
Nick berusaha menenangkan Amanda yang bersandar di pundaknya.
Presidium sidang di ruangan itu berdiri. “Majelis Hakim memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri.”
Semua orang yang hadir di ruang itu kemudian berdiri untuk menyambut hakim yang memimpin jalannya sidang putusan terakhir.
“Hadirin dipersilahkan untuk duduk kembali.” Presidium sidang duduk kembali.
“Sidang lanjutan putusan akhir Pengadilan Tinggi Hukum Zeeskatania, yang memeriksa perkara pidana nomor 2028-015-1355-134 atas nama Sean Rafsanjani pada hari Senin tanggal 2 Juli 2028 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.” ujar seorang Hakim membuka acara sidang itu disertai dengan ketukan palu sebanyak tiga kali.
Sebelum memasuki acara pembuktian, para hakim membuka berkas-berkas dan melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti-bukti dan barang bukti yang sudah diajukan oleh masing-masing tim pengacara. Hakim mempersilahkan Sean Rafsanjani untuk berpindah dari kursi pemeriksaan ke kursi terdakwa yang terletak di samping kanan penasihat hukum.
Seorang Hakim Ketua mengajukan pertanyaan kepada penuntut umum dari pihak Roosevelt Corp. “Apakah sudah siap menghadirkan saksi-saksi pada sidang hari ini?” tanya Hakim Ketua.
“Sudah, Yang Mulia.” Penuntut umum mempersilahkan Joseph Roose untuk duduk di kursi saksi yang berada tepat di hadapan Hakim.
“Saudara Joseph Roose, adalah benar sebagai saksi dalam persidangan ini?” tanya Hakim Ketua pada Clair.
Joseph berdiri dari duduknya. “Benar, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, silahkan melakukan sumpah yang dibimbing oleh Presidium.”
Joseph melafalkan sumpah yang diikutinya setelah seorang Presidium membacakan sumpah saksi.
“Silahkan saudara saksi untuk duduk kembali,” ujar seorang Hakim Anggota.
Majelis hakim mulai menanyakan tentang bukti-bukti dari pihak Sean yang ditunjukkan kepada Joseph Roose. Tetapi, Joseph menyangkal bahwa bukti-bukti itu adalah palsu dan rekayasa dari perusahaan SEMA Capital Corp, agar dirinya mau mengakui ketidaksesuaian laporan keuangan yang sudah disusun sebelumnya.
Clair yang duduk tidak jauh dari kursi pemeriksaan, merasa sangat geram dengan pengakuan yang dibuat oleh Joseph Roose. Ia tahu persis bahwa bukti-bukti itu adalah alat bukti asli yang sudah Clair dan timnya persiapkan sebelumnya. Meskipun di dalam laporan itu, tidak ada niatan dari Clair untuk membuat Joseph mengakui seperti apa yang baru saja ia bicarakan di depan majelis hakim.
Clair berdiri dari duduknya. “Saya keberatan, Yang Mulia. Dia sudah berbohong tentang semua alat bukti, karena dia adalah orang yang memalsukan transaksi itu sendiri.”
Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut dengan ucapan Clair, begitu juga dengan Sean yang sedang duduk di kursi terdakwa.
Hakim Ketua mengetuk palu untuk menenangkan kembali suasana yang ricuh akibat ucapan Clair. “Dimohon untuk tenang. Saksi dari SEMA Capital Corp akan diberi waktu untuk berbicara setelah saksi dari Roosevelt Corp. Silahkan untuk duduk kembali.”
Clair duduk kembali di kursinya, dan menggerutu melihat Joseph yang tertawa kecil ke arahnya.
Kini Joseph memberikan keterangan yang diperlukan oleh pengacara Sean sebagai bahan pertimbangan majelis hakim untuk menjatuhkan putusan. Pihak Roosevelt Corp juga menghadirkan seorang ahli keuangan yang bertindak sebagai analis di perusahaan Roosevelt Corp. Ia adalah James Dean, rekan Clair semasa ia berkuliah strata-2 di Universitas Zeeskatania.
Clair sungguh sangat tidak mengerti, mengapa Joseph menggunakan orang-orang yang pernah ia kenal dan menjadikannya sebagai lawan. Clair mencoba untuk berpikir jernih kembali meskipun hatinya merasakan kekesalan. Bagaimanapun, Clair akan menyampaikan hal tentang Joseph Roose yang ia ketahui dari Dylan Fiennes sebelum mati.
Majelis Hakim mengakhiri penjelasan dari saksi yang dihadirkan oleh pihak Roosevelt Corp, dan meminta saksi dari pihak Sean untuk duduk di kursi pemeriksaan dan memberikan kesaksiannya setelah melakukan sumpah. Clair bergegas untuk berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan menuju kursi pemeriksaan di hadapan Hakim untuk diambil sumpah dan memberikan keterangan.
“Bagaimana tanggapan dari saksi?” tanya seorang Hakim Anggota kepada Clair.
Clair berdiri dari kursi pemeriksaan dan mengeluarkan sebuah alat perekam suara dari kantung jasnya. “Ini adalah salah satu bukti yang saya tahan.” Clair meminta pengeras suara dari seorang Presidium untuk memutar rekaman itu.
“Clair, percayalah, dia orang yang jahat. Aku diminta untuk menggantikan dirinya yang seharusnya sudah di penjara satu tahun lalu. Saat itu juga dia mulai memercayaiku untuk melakukan rencana-rencana jahatnya kepada siapapun, termasuk perusahaan SEMA.”
Semua pengunjung sidang hari itu sontak terkaget mendengar alat bukti suara dari perekam yang Clair putar di ruang sidang.
“Aku mengikuti perintahnya karena dia mengancam akan membunuhku jika tidak melakukan itu. Kamu harus berhati-hati jika sudah berurusan dengannya, terlebih kamu sekarang adalah bagian dari SEMA Capital. Kamu hanya dimanfaatkan saja sebagai tameng paling depan di perusahaan itu.” Suara Dylan Fiennes dalam rekaman itu terdengar ketakutan saat memberitahu Clair tentang kejahatan Joseph Roose.
“Siapa orang yang kamu maksud?” tanya Clair dalam bukti rekaman itu.
“Dia adalah —”
Joseph berlari ke arah Clair dan melempar alat perekam suara yang Clair gunakan. “Yang Mulia, saya merasa keberatan dengan bukti itu,” teriak Joseph yang memotong suara dari alat rekaman itu.
Amanda dan Nick terkejut melihat ayahnya yang melempar alat perekam yang sedang dipakai Clair untuk memutar rekaman itu. Amanda tidak mengetahui apapun tentang rekaman itu. Clair sama sekali tidak pernah memberitahunya tentang bukti suara seseorang yang sedang berbicara dengan Clair itu.
Hakim Ketua mengetuk palu beberapa kali untuk menenangkan para pengunjung sidang dan juga kedua pihak yang ricuh saat Joseph melempar alat perekam suara itu.
“Dimohon untuk para hadirin persidangan agar tetap tenang!” teriak seorang Hakim Anggota.
Hakim Ketua berdiri dari kursinya. “Joseph Roose, kau akan diperiksa oleh kepolisian karena telah menghancurkan alat bukti berupa perekam suara,” tegasnya.
Para polisi yang menjaga jalannya persidangan, datang menghampiri Joseph Roose dan mengikat kedua tangan Joseph Roose untuk menuntunnya keluar dari ruang persidangan. Joseph dibawa ke ruang pengamanan khusus di gedung Pengadilan Tinggi Hukum Zeeskatania, diikuti oleh Amanda Roose yang berlari keluar menghampirinya.
Persidangan kembali dilanjutkan dengan kesaksian Clair yang menyebutkan kejadian bahwa seseorang yang ada di alat perekam itu telah mati dibunuh oleh seseorang yang berada di ruang itu, dan jasadnya masih tergeletak di sebuah ruangan berbentuk kamar hotel seperti bangunan tua. Majelis hakim saling bertatap mata mendengar pengakuan Clair itu dengan rasa tidak percaya. Clair meminta para polisi untuk segera mengusut kasus pembunuhan itu. Namun Clair tidak memberitahu kelanjutan dari isi rekaman itu. Ia hanya memberikan alat perekam suara itu kepada para hakim untuk disimpan.
Sean memandangi Clair dengan tatapan penuh pertanyaan. Bagaimana Clair menyimpan itu semua tanpa memberitahu kepada dirinya terlebih dahulu, meskipun sebelumnya Sean tau bahwa Dylan telah mati dibunuh. Sean mengerti kondisinya pada saat itu, ia tidak bisa berbicara apapun sebelum Hakim memintanya untuk berbicara.
“Silahkan saudari saksi untuk kembali ke kursi tunggu.” Hakim Ketua mencatat pengakuan dari Clair sebagai bahan pertimbangan putusan akhir yang akan dijatuhkan kepada Sean. “Saudara terdakwa, silahkan duduk menempati kursi pemeriksaan.”
Sean berjalan ke arah kursi pemeriksaan. Ia menatap mata Clair yang baru saja turun dari tempat itu. Clair menganggukkan kepalanya, meyakinkan Sean dan memberikan semangat kepada Sean untuk menghadapi pemeriksaan. Sean menghela napas panjang lalu kembali menuju kursi pemeriksaan.
Satu jam sudah berlalu. Pertanyaan-pertanyaan majelis hakim dan juga penuntut umum pihak Roosevelt yang ditujukan kepada Sean, dijawab dengan sangat tenang olehnya. Sean diminta untuk kembali ke kursi terdakwa yang berada di antara para pengacaranya. Majelis hakim pergi sementara meninggalkan ruang sidang untuk menentukan vonis yang akan dijatuhkan terhadap Sean sebagai terdakwa dalam kasus ini.
*
Di ruangan lain, Amanda masih menunggu Joseph Roose yang sedang dalam pemeriksaan kepolisian. Ia mendengar beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh polisi kepada ayahnya. Joseph terlihat tenang dan tidak berbicara banyak hal, ia hanya menjawab seperlunya saja dan tidak semua pertanyaan dijawabnya.
Tak lama berselang, Joseph Roose keluar dari ruang pemeriksaan dan menemui Amanda Roose yang sedang duduk menantinya.
Amanda berdiri menghampiri Joseph Roose. Ia menangis berdiri di hadapan Joseph Roose. “Kenapa melakukan ini semua, Ayah?” tanya Amanda dengan suara isak.
Joseph memegang kedua pundak Amanda. “Maafkan saya, Amanda.”
Amanda berjalan mundur menghindari Joseph. “Aku tidak butuh kata maaf, aku butuh penjelasan darimu.” Air mata Amanda semakin deras membasahi kedua pipinya.
“Saya memalsukan transaksi itu agar perusahaan SEMA bangkrut. Dan Sean, tidak akan mempunyai apa-apa lagi,” jawab Joseph.
“Tetapi kenapa kau melakukan itu semua?”
“Apa kamu tahu alasan saya, mengapa dulu saya rela mengeluarkan banyak uang dan mendukungnya untuk membangun perusahaan itu?” tanya Joseph.
Joseph menghela napasnya. “Saya tau kamu mencintai Sean, saya hanya ingin kamu berhenti melakukan itu.” Joseph menundukkan kepalanya setelah memberi alasan kepada Amanda. “Kamu harus tau kalau Sean bukanlah orang yang tepat untukmu. Dia bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, kamu tau itu prinsip saya,” lanjutnya.
Dalam tangisnya, Amanda menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak, aku tidak tau prinsipmu itu,” jawab Amanda dengan suara yang menahan isak tangis.
“Amanda, kamu belum mengerti. Saya —”
“Aku mengerti sekarang,” pangkas Amanda. “Kamu adalah orang terjahat dalam hidupku.”
“Amanda—”
Belum selesai Joseph berbicara, Amanda berlari keluar meninggalkan Joseph Roose di ruangan itu.
Di salah satu sudut gedung pengadilan, Amanda menyandarkan tubuhnya dan terduduk mengeluarkan semua air matanya yang tidak tertahan lagi. Entah untuk apa air matanya terjatuh. Amanda mulai membenci Joseph Roose sebagai ayahnya. Ia tidak tau kebencian itu berasal dari salah atau benar yang diucapkan oleh Joseph Roose tentang Sean pada dirinya untuk berhenti mencintai Sean, setelah mengingat kejadian Sean bersama Clair sebelum persidangan hari itu dimulai. Yang ia tahu pasti, Joseph telah melakukan kesalahan dengan sengaja memalsukan transaksi itu, agar perusahaan Sean dan Amanda bangkrut.
Amanda memilih untuk berjalan pelan menyusuri lorong koridor sepanjang gedung pengadilan. Mencoba untuk menghilangkan sembab pada matanya setelah menangis, dan menenangkan hatinya kembali sebelum masuk ke dalam ruang persidangan.
**
Majelis hakim kembali memasuki ruang persidangan setelah rapat di ruang khusus bersama juri lainnya untuk menentukan putusan. Hakim meminta Sean untuk duduk kembali menempati kursi pemeriksaan untuk mendengarkan pembacaan putusan.
“Setelah pertimbangan dari barang bukti, para saksi, dan juga para ahli yang dihadirkan oleh masing-masing pihak. Pengadilan Tinggi Hukum Zeeskatania mengadili vonis kepada Sean Rafsanjani yang saat ini berstatus sebagai pemilik serta penanggungjawab perusahaan SEMA Capital Corp, dengan pidana paling maksimal 1 tahun penjara, juga membayar denda sebesar 200.000.000.000 Xilden kepada Roosevelt Corp.”
Sebelum Hakim Ketua mengetuk palu untuk menetapkan vonis, Amanda Roose menerobos masuk ke depan hadapan majelis hakim. “Tunggu.” Amanda menunjuk ke arah pintu masuk samping yang menuju langsung ke ruang pemeriksaan.
Joseph Roose berjalan keluar dari pintu tersebut dengan tangannya yang masih terborgol.
Nick Roose berdiri menghampiri Amanda Roose. “Ayah?”
Clair berdiri dari duduknya setelah melihat Joseph Roose yang keluar dari ruang khusus pemeriksaan. Ia sama sekali tidak mempunyai dugaan terhadap Joseph Roose yang akan mengakui perbuatannya. Jangankan untuk mengakui perbuatannya, membiarkan dirinya diborgol saja, Clair tidak menduganya.
Di hadapan para majelis hakim, Joseph mengakui perbuatan perusahaannya yang dengan sengaja memalsukan transaksi keuangan dengan nominal yang sangat besar, agar SEMA Capital Corp bangkrut. Tetapi, Joseph menyebutkan bahwa komisaris lainnya lah yang menjalankan itu, bukan dirinya. Begitu pula dengan kasus pembunuhan yang sebelumnya disindir oleh Clair, ia tidak tahu-menahu tentang kejadian itu.
Para majelis hakim kebingungan mendengar pengakuan yang baru saja didengarnya dari Joseph Roose. Hakim ketua mengetuk palu untuk para majelis hakim kembali berunding di ruang khusus putusan. Menelaah perkara tuntutan palsu yang sudah dibuat oleh Roosevelt corp.
Sean berjalan mendekati Amanda Roose dan Nick Roose. “Ada apa, Amanda?” tanya Seam.
“Aku membuat ayahku untuk mengakui perbuatan perusahaannya.” Amanda menoleh ke arah Sean yang berdiri tepat di sampingnya. “Dia sudah melakukan ini dengan sengaja,” ujar Amanda dengan nada kecewa.
“Apa kamu aik-baik saja?” tanya Sean.
Amanda mengangguk mengiakan pertanyaan Sean. “Aku tidak menyangka dia sudah melakukan ini ke kita semua.”
“Aku juga tidak bisa berkata apapun lagi,” sahut Nick.
Sean mendekat ke arah mereka berdua dan memeluknya.
Para hakim kembali ke dalam ruang persidangan. Mereka membacakan putusan yang sudah disepakati oleh beberapa juri lainnya di ruang khusus putusan. Vonis terhadap Sean sebelumnya, dinyatakan batal. Begitupun dengan perkara kasus ini. Majelis hakim menilai adanya kecenderungan hubungan internal yang buruk antara petinggi Roosevelt Corp dan juga SEMA Capital Corp.
Persidangan ditutup setelah bunyi ketukan palu dari Hakim Ketua sebanyak tiga kali. Para wartawan yang sedari awal berada di ruang itu, mengabadikan beberapa foto momen-momen yang terjadi saat pembacaan sidang putusan terhadap Sean. Semua orang yang berada di pihak Sean terlihat sangat bahagia, kecuali Amanda Roose dan Nick Roose. Mereka berdua sangat membenci Joseph Roose karena kejadian itu.
Joseph Roose dibawa ke kantor polisi bersama dengan seorang komisarisnya untuk menjalani proses pemeriksaan lebih lanjut. Amanda hanya terdiam saat mengamati ayahnya yang sedang terborgol untuk masuk ke dalam mobil polisi. Saat itu juga, Amanda mengingat segala ucapan yang ia dengar dari Joseph Roose sebelumnya. Kini Amanda Roose mulai berpikiran untuk berhenti dari jabatan presiden direktur di perusahaan SEMA Capital.
Hari persidangan itu menciptakan sebuah luka yang terdalam bagi keluarga Roose, terutama Amanda Roose dan Nick Roose. Setelah kejadian itu, seluruh pemberitaan media sedang masif melakukan pemberitaan tentang Roosevelt Corp. Publik kini menganggap kejadian itu sebagai hal yang sangat konyol yang dilakukan oleh perusahaan sebesar Roosevelt. Banyak perusahaan di Zeeskatania yang memilih untuk memutus kontrak kerjasama dengan Roosevelt Corp setelah melihat kejadian itu.