The Court: Hearing

2750 Kata
“Terus apalagi? Kita seharusnya sudah mengirim berkas-berkas ini ke pengadilan hukum,” Amanda yang memimpin pertemuan terakhir itu, terlihat sangat marah atas ketidaksiapan dari tim pengacara SEMA. Sementara Sean hanya menundukkan kepalanya, berharap menemukan titik terang bagi perusahaannya di hari persidangan nanti.   “Tenang, Amanda, kita harus menunggu hasil dari analisis Clair dan juga timnya,” ungkap Sean mencoba untuk menenangkan Amanda.   Sementara di tempat lain, Clair dan timnya seperti hanya tinggal menunggu waktu hari persidangan. Clair merasa pengakuan dari Dylan Fiennes adalah kunci kemenangan mereka di persidangan hukum nanti. Meskipun Clair tidak sepenuhnya memberitahu kepada Amanda, Sean, dan juga timnya tentang pemalsuan yang dilakukan oleh Joseph Roose sendiri. Ia juga tidak akan memberitahu pada Amanda tentang kejahatan ayahnya yang seharusnya sudah dipenjarakan satu tahun yang lalu.   Hati dan pikiran Clair sekali lagi bergelut. Clair tau bahwa Amanda Roose adalah orang yang sudah dianggap seperti bagian dari keluarganya. Ia tidak ingin menutup-nutupi kebenaran tentang ayahnya. Namun di pikirannya yang lain, Clair juga tidak ingin Amanda Roose merasa sangat kecewa jika tau siapa sebenarnya Joseph Roose. Ia harus melindungi Amanda Roose dari apapun yang Joseph rencanakan kepada anak perempuannya itu, atau Sean, dan bahkan Clair sendiri. Clair menyadari, kejadian ini akan menjadi perang antara kedua pendiri perusahaan terbesar di Meeskatania itu. SEMA Capital mungkin tempat yang baru bagi Clair De Lune, tapi sudah lama Clair tidak mendapatkan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, cinta. Apapun akan Clair lakukan untuk melindungi orang-orang yang dicintainya itu. Clair dan timnya memutuskan untuk menuju ke gedung kantor SEMA Capital, setelah mendapat panggilan telepon terus-menerus dari Sean dan juga Amanda di sana. Hari ini adalah hari persiapan terakhir bagi mereka, karena para pengacara dari kedua perusahaan itu akan bertemu untuk menghadiri ruang persidangan lebih dahulu siang hari ini, guna memberikan berkas-berkas perkara. Undangan dari pihak pengadilan juga sudah diterima oleh Sean selaku pemilik perusahaan, juga sebagai terdakwa dalam masalah itu.   Sean berdiri menghampiri Clair yang baru saja tiba di dalam ruang kantornya.   “Bagaimana, Clair? Apa semua baik-baik saja?” Sean menanyakan pekerjaan yang Clair dan timnya lakukan.   Clair hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil menatap dalam ke arah Amanda dengan perasaan sedih. Mengingat ada rahasia yang Clair simpan dari Amanda Roose. Ia berjalan mendekati Amanda yang sedang terduduk tak jauh darinya.   “Kak Amanda, boleh aku mengatakan sesuatu?” Clair berlutut di hadapan Amanda untuk memberitahunya suatu hal penting.   “Tentu saja boleh, Clair,” jawab Amanda.   “Menurutku, biar aku dan timku saja yang menemani Sean selama persidangan nanti berlangsung.”   “Ada apa memangnya?”   “Kita akan menghadapi dua kali persidangan, Committal Hearing dan Trial. Di sidang pertama, aku akan menunjukkan beberapa bukti yang sudah kami selidiki. Jika di Trial memutuskan untuk memenangkan pihak Roosevelt, kamu yang akan mengajukan banding.” Clair sudah sepenuhnya menyadari bahwa apa yang ia katakan kepada Amanda adalah untuk menyembunyikan masalah Joseph Roose darinya. Ia juga sudah mengundang Dylan Fiennes untuk menjadi saksi di acara itu, dan mengatakan hal yang ia bicarakan sebelumnya kepada Clair. Clair tidak ingin Amanda mengetahui ini lebih dahulu. Jika gugatan ini dimenangkan oleh Roosevelt Corp, Amanda lah yang paling dikecewakan dari kejadian ini.   “Baiklah, Clair, jika memang itu yang dibutuhkan. Bagaimana, Sean?” Amanda menunggu persetujuan dari Sean tentang usul Clair.   “Untuk ini, saya setuju dengan Clair,” jawab Sean.   “Kalau begitu, aku pamit lebih dahulu. Ada hal yang harus aku selesaikan dengan adikku.”   “Kami ikut ke bawah, Kak Amanda,” seru Zydan dan juga Kate yang menggandeng tangan Amanda keluar dari ruang kerja Sean.   Pintu tertutup secara perlahan setelah mereka bertiga pulang. Clair yang berdiri di belakang Sean, memerhatikan pintu itu tertutup. Di ruangan itu hanya tinggal mereka berdua. Dengan perasaan yang masih sama seperti sebelumnya, Clair berusaha mencoba untuk tidak mengingat kembali beberapa hal yang ia lakukan kepada Sean saat mereka pertama kali bertemu. Sean membalikkan badannya, dan mendapati Clair yang sedang melamun dengan pikirannya yang kalut.   “Ada apa, Clair?” tanya Sean mencoba memecah suasana yang canggung.   “Ah? Tidak ada apa-apa, Sean,” Clair tersipu malu menjawab pertanyaan Sean.   “Kamu seperti sedang memikirkan banyak hal.”   “Aku lagi memikirkan hari persidangan nanti.” Sean berjalan mendekati Clair dan menepuk pundaknya.   “Ini bukan masalah besar, Clair, tenang saja.”   Clair membalasnya dengan senyuman kecil dari bibirnya.   “Oh ya, Sean, kamu mau aku menjawab pertanyaanmu, bukan?”   “Pertanyaan?” kening Sean sedikit mengerut mencoba mengingat pertanyaan yang sebelumnya ia pernah tanyakan di sebuah kedai, tempat mereka berdua bertemu pertama kalinya.   “Itu pertama kalinya aku menunjukkan rasa kagumku padamu. Melambaikan tanganku? Aku melakukan hal bodoh tiap kali aku merasa aneh.”   Clair hanya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Sean yang merasa penasaran tentang keberadaan dirinya. Bagi Clair, ia hanya ingin mencoba untuk mengakhiri rasa kagum itu pada Sean. Ia tidak ingin menyakiti hati siapapun karena dirinya, membuat orang lain bertanya-tanya, kemudian meninggalkannya suatu saat nanti.   “Dan kenapa kamu melihatku di aula gedung itu, mungkin aku lagi bertingkah aneh, itu sebabnya kamu memerhatikan gerak-gerikku dari jauh,” Clair mencoba tertawa kecil menjelaskan itu kepada Sean.   “Kamu orang yang pintar, dan saya lihat itu semenjak kamu berada di perusahaan ini. Banyak perubahan yang kami alami atas bantuanmu, terutama di masalah ini. Karena itu, saya juga kagum padamu. Dan karena hatimu, aku menyukaimu.”   Tatapan Clair membelalak seketika dengan rasa tidak percayanya. Clair perlahan berjalan mundur menjauhi Sean yang sedang berdiri di hadapannya. Mendengar ucapan Sean itu, membuat ketakutan besar dalam Clair yang sebelumnya ia rasakan kini muncul kembali di pikirannya. Hanya jika perasaan Sean berubah menjadi cinta untuknya.   “No, you can’t,”   Kalimat itu spontan keluar dari mulut Clair.   “Clair, apa yang kamu lakukan itu, sudah berhasil membuat saya jatuh cinta,” Sean mencoba meraih tangan Clair untuk menjelaskan perasaannya pada Clair, “saya tidak pernah merasa sejauh ini memiliki rasa penasaran kepada seorang wanita.”   Air mata Clair mulai jatuh perlahan membasahi kedua pipinya.   “Please, don’t,” Clair menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk meyakinkan kepada Sean, bahwa ia tidak boleh jatuh cinta padanya. Meskipun Clair lebih dahulu merasakan hal yang sama pada Sean, Clair lebih memilih untuk menguburnya dalam-dalam perasaan itu. Namun ia tetap tidak bisa melakukannya, perasaan Clair jauh lebih besar daripada logikanya. Clair kembali haru dalam tangisnya. Kini Clair seperti sedang benar-benar berdiri di ambang jurang kebingungan, yang hanya mampu ditapaki dengan satu kaki, jatuh bila ia tidak memperhitungkan langkah selanjutnya yang akan diambil. Di bawah jurang itu, terdapat arus sungai dengan rasa kekecewaan yang mengalir, sedangkan harapan adalah batu-batu di permukaan sungai yang muncul. Di keduanya itu, Clair memilih menjatuhkan dirinya di aliran sungai itu. Clair tidak ingin kehilangan laki-laki yang dicintanya, walaupun di sebuah titik di mana Clair akan pergi, ia akan mengalir terbawa arus sungai itu dan terbentur oleh batu-batu yang sudah menunggu untuk dilaluinya. Ia kemudian memeluk erat Sean yang sedari awal menggenggam tangannya.   “I’m sorry, Clair, I love you, and I do,” ucap Sean membalas pelukan Clair yang menangis di dekapannya. * Clair dan Sean memutuskan untuk pergi meninggalkan kantor SEMA Capital menuju ke apartemen Sean, mengumpulkan beberapa barang bukti lagi untuk diserahkan kepada tim pengacara. Di sepanjang perjalanan, Clair hanya diam tanpa satu kata pun terucap dari mulutnya. Clair hanya memandang kosong jalanan yang dilihatnya dari dalam mobil. Ia tidak tau kapan waktu bagi dirinya untuk pergi dari ‘sana’, meskipun ia tau, suatu saat waktu itu akan tiba dan Clair akan meninggalkan semuanya.   Sampainya di apartemen Sean, mereka berdua mulai mengumpulkan berkas-berkas yang disiapkan oleh tim pengacaranya. Clair menumpukkan lembaran kertas itu menjadi satu di atas meja kerja Sean, juga beberapa surat perjanjian yang ditandatangani oleh Joseph Roose dan juga Sean untuk menjalankan sebuah proyek yang akan dibuat beberapa bulan lagi.   Sebagai orang yang awam dalam bidang hukum pengadilan, Clair menyempatkan untuk membaca beberapa dasar hukum dari sebuah buku yang berada di atas meja kerja Sean. Ia membaca sebuah paragraf yang tertulis, “Justice will always prevail.”   “Apa yang kamu baca, Clair?” tanya Sean.   “Ini, buku dasar-dasar hukum. Kayaknya aku harus memahaminya sebelum menemanimu nanti di hearing court,” jawab Clair sambil menunjukkan buku yang dibacanya pada Sean.   “Kamu boleh bawa pulang buku itu, dan juga beberapa buku keuangan yang belum kamu baca.”   “Semua buku tentang keuangan di sini, aku sudah membaca semuanya.”   “Semua?” tanya Sean terkejut.   “Iya, semua, selama aku masih kuliah.”   Sean tersenyum dan menggelengkan kepalanya berkali-kali mendengar pengakuan Clair, seorang wanita yang terus-menerus membuatnya terkagum karena ambisinya. Bagi Sean, dirinya selalu dipenuhi rasa optimis dan ambisi, terlebih semasa ia berkuliah di Universitas Zeeskatania. Ambisinya untuk mendirikan sebuah perusahaan terbesar di negara Meeskatania, kini sudah berhasil, meskipun banyak pihak yang ingin menjatuhkan perusahaan itu.   Merasa jatuh cinta untuk yang pertama kalinya kepada seorang wanita, Sean merasa hidupnya sekarang sangat bahagia. Bertemu dengan Clair adalah suatu keajaiban bagi Sean. Ia merasa seperti menemukan cerminan dirinya sendiri di dalam diri Clair. Namun di sisi lain dirinya, Sean sempat mempertanyakan kehadiran Amanda Roose yang lebih dahulu ditemuinya sebelum Clair De Lune. Tidak pernah terlintas sekalipun dalam pikiran Sean, memiliki perasaan yang sama seperti apa yang ia rasakan pada Clair terhadap Amanda Roose. Ia mengingat kembali pertanyaan dari Joseph Roose yang sempat mempertanyakan hubungan dirinya dengan Amanda Roose saat ia baru saja pulang dari Nevorusstate. Hanya saja, Sean tidak ingin hubungan pertemanan dengan Amanda Roose harus terpisah karena menolaknya, dan memilih untuk tetap sebagai seorang rekan kerja.   **   Suasana di kota Zeeskatania sore hari itu terasa sangat dingin, setelah hujan deras turun selama beberapa jam. Sean memainkan sebuah lagu secara acak dari T-music miliknya. Ia hanya ingin sedikit bersantai setelah beberapa minggu sebelumnya harus mati-matian menyelesaikan masalah yang sekarang dihadapinya. Ia meminta Clair untuk berdiri tepat di sebelahnya di balkon apartemennya.   “Clair, musik apa yang kau suka?” tanya Sean.   “Hmm... Debussy?” jawab Clair sambil berjalan mendekati Sean. “Klasik, huh?”   Clair menganggukkan kepalanya dan menyilangkan kedua tangannya di belakang tubuhnya, menyusul Sean yang sedang memandangi ruas-ruas jalan dari balkon tempatnya berdiri.   “Tenang saja, Clair, feeling saya mengatakan, saya akan menang di pengadilan nanti.”   “Aku tidak begitu khawatir, karena kamu terkenal dengan ketenanganmu saat menghadapi banyak orang,” jawab Clair santai.   Mereka berdua tersenyum setelah membicarakan apa yang akan mereka berdua hadapi nanti di pengadilan. Clair menyandarkan kepalanya di pundak Sean, dan menggenggam tangan Sean yang sedang menaruh tangannya di atas pagar langkan. Clair tidak ingin melewati waktu kembalinya ini seperti saat pertama kali ia hidup dahulu. Bersama orang yang dicintainya saat ini, Clair pun merasa sangat bahagia, sama seperti yang dirasakan Sean. Keduanya mulai saling mencintai, dan mencoba saling memahami satu sama lain. Meskipun Clair masih menyimpan banyak rahasia tentang dirinya kepada Sean.   ***   Hari yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Di depan gedung pengadilan hukum, sudah banyak wartawan yang menunggu kedatangan pihak Roosevelt Corp dan SEMA Capital Corp. Mobil yang berlogo dari masing-masing stasiun televisi, terparkir berjajar di halaman depan pintu masuk utama gedung pengadilan pagi hari itu. 30 menit sebelum pengadilan dimulai, Joseph Roose beserta tim pengacaranya hadir terlebih dahulu. Joseph berjalan paling depan mendahului tim pengacaranya. Para wartawan segera berkumpul mengerumuni Joseph Roose yang baru saja tiba di sana. Joseph hanya mengangkat tangannya, mengisyaratkan ia tidak akan memberikan pernyataan apapun tentang persidangan itu. Tidak lama setelah Joseph dan timnya memasuki gedung, Sean dan Clair tiba di sana, disusul dengan rombongan tim pengacaranya. “Hei, itu Sean Rafsanjani dan timnya,” ucap salah seorang wartawan yang kemudian disusul dengan kerumunan yang berlari menghampiri mereka berdua. Sean berjalan memasuki gedung sambil merapihkan kerah bajunya, dan mengancing jas yang ia kenakan.   “Bagaimana anda akan menghadapi persidangan ini?” tanya seorang wartawan.   “Kami akan menghadapi mereka dengan rasa percaya diri,” jawab Sean.   “Lalu apa yang anda akan lakukan, mengingat Roosevelt Corp adalah perusahaan yang selalu mendukung SEMA Capital?”   “Mereka hanya salah perhitungan, dan kami akan membuktikan itu sekarang.”   “Apakah anda yakin akan memenangi perkara ini?”   Sean tersenyum menatap mata Clair yang berdiri di sampingnya, “justice will always prevail,” Clair pun tersenyum ke arah Sean.   Sean dan Clair kembali berjalan untuk memasuki gedung pengadilan. Persidangan itu tertutup untuk masyarakat umum, tidak ada yang boleh memasuki ruangan itu tanpa undangan dari pihak pengadilan. Mereka melihat Joseph Roose dan tim pengacaranya duduk di barisan paling depan. Joseph terlihat memalingkan wajahnya saat Sean dan Clair memasuki ruangan itu. Ia sedikit merasa bersalah setelah membunuh Dylan Fiennes yang seharusnya hadir di persidangan hari ini. Namun Joseph Roose akan tetap melakukan apapun, agar perusahaannya menang di persidangan kali ini. Sekalipun dikalahkan, Joseph berpikiran untuk menjatuhkan Sean kembali dengan caranya suatu saat nanti.   “Dimana Dylan Fiennes?” Clair bergumam dalam hatinya sembari melihat-lihat sekeliling ruangan itu, mencari Dylan Fiennes yang seharusnya berada di sana. “Ahhhhh...”   Clair memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Dalam pejam matanya, ia melihat tubuh Dylan Fiennes yang terbaring di sebuah kamar kosong seperti bangunan hotel tua, dan tak bernyawa.   “Dylan...” suara Clair melirih kesakitan melihat kejadian itu.   Clair terduduk lemas di kursi khusus ‘saksi’ di ruang persidangan itu. Setelah Clair melihat tubuh Dylan Fiennes, ia kembali mencoba untuk melihat apa yang terjadi pada Dylan. Sosok Joseph Roose muncul dalam sebuah ruangan, memegang pistol dan menarik pelatuk itu tepat ke arah jantung Dylan Fiennes, dan membuat Dylan mati saat itu juga.   “Tidak, Joseph, tidak,” ucap Clair dalam suara rintihannya.   Joseph Roose memandangi Clair yang terlihat lemas dan tidak berdaya di sandaran kursinya.   “Kenapa, Clair?” tanya Sean.   “Dylan, dia dibunuh...”   “Apa? Dylan, mahasiswa yang sempat bergabung di Roosevelt, ‘kan?”   “Iya, dia seharusnya datang sebagai saksi bersamaku di sini, namun seseorang di ruangan ini telah membunuhnya.”   Sean berputar membelakangi Clair untuk mencari siapa dalang pembunuhan Dylan Fiennes.   “Siapa yang membunuhnya, Clair?” tanya Sean. Seorang Hakim Ketua berjalan memasuki ruang sidang, disusul dengan dua orang Hakim Anggota di belakangnya.   “Majelis Hakim memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri,” ujar seorang presidium sidang di ruangan itu.   Sean kembali ke kursinya yang tidak jauh dari tempat duduk Clair. Semua orang yang hadir di ruang itu berdiri sampai Majelis Hakim persidangan itu duduk di kursinya.   “Hadirin dipersilahkan untuk duduk kembali.”   “Sidang pengadilan tinggi hukum Zeeskatania, yang memeriksa perkara pidana nomor 2028-015-1355-134 atas nama Sean Rafsanjani pada hari Senin tanggal 25 Juli 2028 dinyatakan dibuka dan tertutup untuk umum,” ujar seorang Hakim membuka acara sidang itu disertai dengan ketukan palu sebanyak tiga kali.   Sean berjalan menghampiri kursi terdakwa di hadapan Hakim. Ia juga sudah memberi surat pernyataan informasi personal tentang kesehatan dan identitas dirinya.   “Apakah terdakwa didampingi oleh seorang penasihat hukum?” tanya Hakim Ketua.   “Iya, Yang Mulia, saya beserta penasihat hukum menghadiri sidang ini.”   Jaksa penuntut umum dari pihak Roosevelt Corp membacakan tuntutan kepada Sean. Sean mengiakan dan siap untuk melanjutkan persidangannya. Hakim Ketua menanyakan kesiapan berkas-berkas yang kemarin sudah dibawa oleh pengacara dari kedua pihak perusahaan itu. Masing-masing pengacara dari keduanya, maju ke meja Hakim Ketua untuk menyerahkan berkas bukti yang mereka bawa.   “Sebelum membaca putusan, apakah terdakwa sudah menyiapkan saksi untuk dilanjutkan ke dalam sidang pembuktian?” tanya Hakim Ketua kepada Sean.   “Sudah, Yang Mulia,” jawab Sean tegas.   Sidang pertama sudah selesai dan akan dilanjut ke dalam sidang kedua minggu depan sebagai sidang pembuktian dan putusan. Para hakim menutup acara persidangan hari itu dengan ketukan palu untuk menandai berakhirnya sidang pemeriksaan perkara, dan meninggalkan ruangan sidang.   Joseph Roose berjalan ke arah Sean dan Clair untuk memberikan jabat tangan kepada mereka berdua. Namun Clair justru menolak ajakan itu, dan memandangi Joseph dengan pandangan sinis. Clair menarik tangan Sean dan mengajaknya segera keluar dari ruang sidang itu. Perasaan Clair sudah dipenuhi perasaan benci terhadap Joseph Roose, mengingat Clair sudah mengetahui apa yang telah dilakukan Joseph selama ini.   Clair De Lune dan Sean Rafsanjani meninggalkan gedung persidangan, mengabaikan beberapa wartawan yang sudah menunggunya keluar dari ruangan. Nampak raut kecewa dari wajah mereka. Joseph lebih memilih keluar melalui pintu halaman belakang untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari wartawan yang juga sudah menunggunya.   Sidang pertama itu meninggalkan kesan yang buruk bagi Clair. Ia harus menerima kenyataan kembali setelah melihat bagaimana kejahatan Joseph Roose yang hanya ia ketahui sendiri. Clair belum memutuskan untuk memberitahu ini pada Sean, maupun Amanda Roose dalam waktu dekat. Meskipun ia tau, lambat laun mereka berdua akan mengetahuinya, sebagaimanapun Clair coba untuk menutupi hal itu dari Sean dan juga Amanda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN