Prolog
Di sebuah ruang keluarga, terdapat tiga orang yang tengah berseteru. Hal itu berawal dari ucapan sang ayah.
“Kamu akan menikah dengan putra teman Papa,” ucap pria berkacamata setelah melipat koran, membuat gadis yang duduk di sebelah kirinya terkejut dan hendak membantah. Namun, pria itu lebih dahulu berkata, “Tidak ada bantahan!”
Si gadis memberengut kesal, kemudian pandangannyaberalih kepada bundanya. “Bun, bilang sama Ayah, Alra enggak mau menikah. Lagian, Alra masih tujuh belas tahun. Masih di bawah umur.”
Bunda mengelus rambut gadis itu dengan sayang. “Itu semua demi kebaikan kamu, kok. Lagian calonnya ganteng kayak Oppa di K-drama yang sering kamu tonton. Bukan cuma ganteng, dia juga baik banget. Ya, kan, Yah?”
Ayah mengangguk mengiakan. Mendengar itu, mata Alra berbinar. Bukan karena pujian baik dari sang ibu, melainkankata Oppa yang disebutkan.“Oke. Kalau gitu Alra siap.”
Ayah dan bunda tersenyum. Namun, ada yang aneh dengan senyuman itu. Bukan senyuman bahagia, melainkan senyuman pedih. Sudah jelas itu tidak disadari seorang Alra Anastasia yang polos.
***
“Calonnya sudah ada. Kamu harus segera mempersiapkan diri.”Ucapan itu seketika menghilangkan fokus seorang pria. Ia menatap papanya dengan mengangkat sebelah alisnya bingung.
“Kamu akan segera menikah. Kamu tahu, kan, kalau kamu tidak punya pewaris? Maka otomatis perusahaan itu akan jatuh pada sepupumu.”
Pria itu menghela napas lelah dan pasrah. Seberapa lama pun menunggu, gadis yang pernah memasuki hatinya itu mungkin tidak akan pernah kembali. Dengan terpaksa ia mengangguk, lalu beranjak dan pergi meninggalkan kedua orangtuanya.