Aku sekarang memiliki banyak waktu untuk putriku, Sanum. Aku sudah tidak lagi bekerja, berkat pemberian Rahul.
Aku mengajak putriku untuk belanja ke Mal membeli pakaiannya, karena banyak pakaiannya yang sudah pendek, sekalian belanja bulanan.
Aku menggandengnya memasuki Mal.
Memang ya, sakit tidak bisa di hindari, kamu hanya bisa menahannya. Setiap perjalanan selalu ada yang membuat hatiku pilu sepanjang mata memandang.
Melihat pengunjung lain berlalu-lalang bersama keluarga mereka yang lengkap, suami yang menggandeng istrinya, ayah yang menuntun anaknya, ayah yang menyuapi anaknya makan, ayah yang menenangkan anaknya menangis karena meminta sesuatu.
Kulihat putriku sekilas yang hanya diam terkadang senyum-senyum menatap heran lampu-lampu Mal, ada nyeri di dadaku.
"Kita akan punya anak lima, dan aku akan menjadi ayah yang baik yang selalu ada untuk anakku" aku teringat kata-kata Rahul ketika kita pertama pindah rumah, itu juga pertama kali aku memanggil dia dengan sebutan Aa', namun pekerjaannya yang selalu nunggak selalu menunda kami untuk menyalurkan hasrat, itu karena kami ingin melakukannya jika sudah benar-benar siap.
Dan pada akhirnya, dia memiliki anak dari rahim wanita lain. Bayangan rambut basah mereka setiap pagi membuat sakit tak berdarah.
"Masak sarapan apa, Mbak? " tanya Vanesha saat itu.
"Nasi goreng, " jawabku dengan senyum sedikit terpaksa.
Kutatap penampilan Vanesha sekilas, ah, rambutnya basah. Itu artinya terjadi sesuatu antara mereka tadi malam.
"A' Rahul dimana? "
"Lagi mandi, " jawabnya tersenyum sambil menyusun piring.
"Bau apa ini enak sekali, " Rahul keluar dari kamarnya. Dia memakai kaos hitam yang dulu aku belikan dengan celana pendek di bawah lutut. Benar dugaanku, rambut Rahul juga basah. Sabar Lisa, sabar.
Ingatan itu terus muncul di pikiranku. Ibu akan memberikanmu sosok ayah, Sanum. Jika ibu masih di berikan jodoh, ibu takkan membuatmu merasa iri ketika kamu dewasa dan sudah mengerti nanti.
Tapi dengan siapa? Selama hidupku aku hanya punya dua orang yang pernah mencintaiku, Rahul dan teman sekolahku dulu.
"Kak lisa, " seseorang memanggilku.
Olif, iya dia seperti Olif.
"Olif, kok kamu bisa ada disini? " tanyaku heran, bagaimana mereka bisa disini, kemarin Rahul sekarang adiknya. Usahaku pergi menjauh sia-sia.
"Kami kan jalan-jalan disini, semuanya juga ikut kok, ada Bang Rahul juga loh. Kita belanja bareng, ya, kak. "
Aku menemani Olif memilih pakaian remaja. Dan terakhir dia gantian menemaniku memilih pakaian anak.
"Kak, sepertinya bang Rahul masih punya cinta deh sama kak Lisa, "
"Kamu kok bisa bilang gitu? " tanyaku penasaran.
"Iya, kemarin aja bang Rahul ngasih distro kan, terus nih ya, belum lama ini bang Rahul mengganti bingkai foto pernikahan kakak yang rusak, sekarang sudah seperti baru,"
"Kamu tau darimana? " tanyaku meyakinkan.
"Kepergok sama aku, aku tuh di suruh bunda buat beresin kamar bang Rahul yang di rumah kami, aku lihat deh foto itu di dalam lemari. "
Rahul mengganti bingkai foto pernikahan yang rusak karena dia banting dulu? Buat apa? Dia sudah punya keluarga, seharusnya foto itu sudah tidak perlu dan di buang saja.
Akhir-akhir ini memang sifat Rahul membuatku heran, bagaimanapun aku cinta pertamanya, tapi aku tidak mau ge-er dulu.
Ingat Lisa, dia sudah menyakitimu!
Dia sudah membuangmu!
***
POV Rahul
Istriku Vanesha mengajak makan di resto yang paling bagus di kota ini, karena resto itu selalu ramai pengunjung.
Terpukul sekali aku melihat wanita yang pernah kusakiti bekerja di resto itu, setelah sekian lama, Tuhan mempertemukanku dengan menyakitinya lagi. Bagaimana tidak? Dia melayani orang yang menyakitinya.
Entah mengapa aku berniat sekali memberikan distroku kepada Lisa, itu sebenarnya sudah kurencanakan saat kita masih tunangan dulu, namun rasa kecewa dan amarah menyelimutiku, anggap saja sebagai maaf dan mengganti rumah pernikahan yang kini telah di ambil Vanesha.
Aku juga sangat kecewa ketika Lisa meminta cerai, aku selalu menghindar darinya karena aku ingin lebih tenang dulu dan memilih menghabiskan waktu bersama Vanesha dulu. Tidak bisakah dia bersabar sedikit?
Api yang besar juga butuh waktu untuk padam, mungkin jika Lisa di posisiku dia juga akan begitu, melihat orang yang sangat kita cintai di kotori orang lain.
Namun mau bagaimana lagi? Itu pilihannya meminta semua berakhir.
Setelah menyerahkan sertifikat itu, aku sengaja mengikuti Lisa pulang, bukan karena apa-apa hanya sekedar menjaga karena sudah sore dan aku juga ingin tahu tempat tinggalnya sekarang.
Aku melihat dia menggendong seorang anak perempuan, apakah itu anak yang di kandungnya dulu? Kulihat dia sangat telaten dengan anak kecil, tidak seperti Vanesha, yang selalu malas jika anak rewel dan lebih memilih menyuruh baby sister kami yang menenangkannya.
Sudah cukup lama aku bersama Vanesha, sudah cukup banyak aku mengerti sifatnya, tapi aku selalu merasa Lisa lebih baik dari dia.
Aku melajukan mobilku kembali ke penginapan, takut Vanesha akan curiga karena kelamaan. Untung saja dia tidak merajuk.
"Tadi ngobrol apa sama ibu? " saat aku kembali, kulihat Vanesha mengobrol lama dengan ibu mertuaku dengan wajah sendu.
"Cuman curhat" jawabnya singkat.
"Abang boleh tau? " tawarku.
"Ibu rindu sama kakak, "
"Kamu punya kakak? " Vanesha mengangguk "Kenapa kamu gk pernah kenalin ke abang? Waktu pernikahan kita juga dia gk datang? "
"Bang, sebenarnya aku punya seorang kakak laki-laki, dia pergi dari rumah setelah ayah kami meninggal dulu, dia depresi karena tidak terima ayah kami meninggal karena di bunuh akibat perampokan, lalu dia meninggalkan ibu dan aku, "
"Dia tidak pernah pulang setelah itu, entah kemana. Dia tertekan masalah waktu itu, perempuan yang sangat ia sukai menolaknya,dan ayah yang ia banggakan di bunuh, belum lagi masalah ekonomi, "
"Aku mendengar dari beberapa orang, kalau kakakku sering melakukan kejahatan, bersama teman gengnya. Namun, aku tidak pernah menemukan dimana dia berada,"
"Aku sangat sedih mendengar itu, kakakku sebenarnya adalah orang yang sangat baik, sebelum kejadian itu,"
Aku menggenggam tangan Vanesha,
"Nanti kita cari sama-sama, " ucapku.
Aku memeluknya agar dia lebih tenang. Setelah beberapa tahun menikah denganku, mengapa Vanesha baru mengatakan sekarang?